Vina akhirnya tidak tahan dengan semua perlakuan Arman, apalagi ia juga mulai menyentuh Rika putri satu-satunya yang mulai merasa terancam.
“Aku butuh bantuan bu Mira, ini darurat” ujarnya di telepon seminggu lalu saat menghubungi Mira Jayanti seorang psikolog yang direkomendasi temannya.
***
Mira Jayanti berdiri, lalu menarik roller blind agar ruangan seluruhnya terbuka lebih terang. Pantulan cahaya hangat matahari menelusup masuk ke ruangan yang berisi dua kursi yang tertata rapi. Arman duduk berhadapan dengan Mira, memasang raut wajah tenang, sedikit tersenyum.
Sebenarnya tak ada yang aneh dengan Arman, pria baya berusia 40-an yang kini ada dihadapannya. Memasuki usia matang sebagai seorang suami dan ayah, dengan pekerjaan nyaman di sebuah perusahaan BUMN.
Satu kesalahan membuat sisi gelap yang tersembunyi mulai terkuak dari balik pintu rumah mereka. Terutama sejak kekerasan yang dilakukannya mengoyak kehidupan tenang Vina, istrinya dan Rika, satu-satunya putrinya.
Setiap kali perilakunya dipertanyakan, Arman hanya berdalih bahwa ia memiliki gangguan mental, ia mengaku sebagai seorang psikopat.
Tapi tidak begitu bagi Mira Jayanti, seorang psikolog ternama yang sering terlibat dalam kasus kriminal, ditunjuk untuk memeriksanya. Mira tidak mudah tertipu, setelah bertahun-tahun menangani kasus serupa, ketika para penjahat mencoba memanfaatkan klaim gangguan psikologis untuk mendapatkan keringanan hukuman, bahkan bebas dari jerat hukum.
Apalagi Mira menemukan fakta bahwa Arman, belajar banyak tentang psikologi untuk meyakinkan pihak berwenang bahwa ia memang seorang psikopat. Berharap klaimnya bisa jadi alasan mengurangi hukuman, bahkan membebaskannya. Tapi, Mira tidak mudah diyakinkan. Itu hanya modus!. Dan itu artinya Arman lebih berbahaya dari seorang psikopat, ia sakit jiwa!.
***
"Terima kasih sudah datang, Pak Arman. Saya akan memandu sesi ini untuk membantu kita memahami kondisi Anda lebih baik. Anda siap?" Arman menjawabnya dengan tersenyum tipis. Sesuatu yang dipahami Mira sebagai sebuah cara seorang yang memahami kejiwaan untuk mencoba menyerangnya.
"Tentu, Bu Mira. Saya harap Anda bisa memahami... beban yang saya alami selama ini. Sebagai seorang suami dan ayah, ini bukan sesuatu yang mudah."
Arman masih memainkan pola berusaha tenang. Ini sudah dilatihnya berkali-kali, setelah banyak membaca referensi. Tetaplah tenang, ujar batinnya.
Mira mengangguk tenang.
"Tentu. Mungkin Anda bisa mulai dengan menjelaskan apa yang Anda maksud dengan ‘beban’? Apa yang terjadi dalam keluarga Anda, Pak Arman?"
"Saya sering… tidak bisa mengendalikan diri, Bu Mira. Saat saya merasa marah, semuanya seakan meledak. Rasanya seperti ada dorongan di dalam diri yang… tak bisa saya kendalikan. Kadang saya merasa seperti orang lain yang mengendalikan tubuh saya." Arman menghela napas setenang mungkin karena ia tahu bisa menjadi pertanda untuk “lawan” di depannya.
Mira menatap tajam, mencoba mengenali pola lawannya.
"Menarik. Apa Anda merasa kondisi ini sudah berlangsung lama? Mungkin sejak masa kecil Anda?"
"Iya… Sepertinya begitu. Saya bahkan takut pada diri sendiri, Bu Mira. Saya takut apa yang bisa saya lakukan pada orang-orang yang saya sayangi."
"Tapi Anda sadar dengan apa yang Anda lakukan saat itu, bukan? Bahwa Anda melakukan kekerasan?"
Arman tidak langsung menjawabnya, mencoba menunjukkan modus rasa bersalah penuh penyesalan dengan menunduk.
"Ya… saya sadar. Tapi saya merasa seperti tak berdaya untuk mengendalikan dorongan itu. Mungkin… saya memang psikopat, Bu Mira."
Mira nyaris tak bisa menyembunyikan kekagetannya karena Arman begitu cepat menggunakan senjata andalannya—mengaku sebagai psikopat. Bahkan jawaban itu membuat Mira mengeryit.
"Psikopat, ya? Anda tahu banyak juga tentang kondisi psikologis. Apa yang membuat Anda yakin Anda seorang psikopat, Pak Arman?" cecar Mira kemudian.
Meski terkejut, Arman berusaha menutupinya dengan cepat tersenyum.
"Saya... membaca. Saya mencoba mencari tahu apa yang salah dengan diri saya. Saya pikir dengan memahami lebih baik, mungkin saya bisa lebih mengendalikan dorongan-dorongan itu."
"Itu usaha yang baik. Namun, tahukah Anda, Pak Arman, seorang psikopat umumnya tak merasa ada yang salah dengan diri mereka. Mereka tidak merasakan kesedihan atau penyesalan seperti yang Anda rasakan sekarang." Ujar Mira kali ini sengaja menatap tajam, menantang Arman.
Mau tidak mau serangan itu membuat Arman tersenyum kecut. [Sialan ujar suara batinnya].
"Saya hanya mencoba jujur, Bu Mira. Anda tahu, banyak yang tidak mengerti apa yang saya alami…"
Arman minta mereka mengakhiri pertemuan dengan alasan pekerjaan di kantor.
***
Mira mulai mencurigai bahwa Arman memanfaatkan informasi psikologis untuk membangun alibi palsu. Beberapa hari setelah pertemuan awal, mereka bertemu kembali. Kini Mira mencoba memancing reaksi yang lebih dalam.
"Pak Arman, apakah Anda pernah menyakiti orang lain sebelumnya, selain istri dan anak Anda?"
"Tidak... Tidak ada yang saya ingat. Semua hanya terjadi pada mereka. Saya tidak pernah berniat melakukannya, Bu Mira." Ujar Arman setelah sejenak berpikir, lalu menjawab perlahan.
"Anda tahu, kontrol emosi pada individu dengan gangguan tertentu itu sangat unik. Biasanya, mereka melampiaskan pada siapa saja, tidak terbatas pada lingkungan terdekat. Apakah Anda yakin tak ada pola tertentu di sini?"
Arman tidak menduga pertanyaan itu bisa membuatnya merasa tersudut, ia tidak bisa menyembunyikan suaranya yang agak bergetar saat menjawabnya.
"Jadi… Anda berpikir saya hanya berpura-pura? Bukankah ini cara saya untuk menyampaikan bahwa saya juga butuh bantuan?"
"Oh, tentu, apakah dugaan saya itu salah. Tapi pertanyaan sebenarnya adalah, bantuan untuk apa, Pak Arman? Untuk mengatasi dorongan yang tidak bisa Anda kendalikan, atau untuk menghindari hukuman dari apa yang telah Anda lakukan?"
Ini membuat Arman terdiam, lalu tertawa kecil.
"Saya lihat Bu Mira adalah orang yang tidak mudah diyakinkan, ya?"
"Saya hanya bekerja sesuai dengan bukti dan fakta, Pak Arman. Bagi saya, tidak ada yang lebih berbahaya dari seseorang yang mengetahui cara memanipulasi kebenaran demi keuntungan pribadi. Termasuk bersembunyi di balik label psikopat."
"Sepertinya Anda meremehkan ketulusan saya, Bu Mira."
Mira dengan sudut matanya bisa melihat jika Arman mulai terlihat gelisah, memainkan jemarinya.
"Mungkin begitu. Tapi ingat, Pak Arman, saya tidak akan berhenti sampai saya tahu seluruh kebenaran tentang diri Anda."
***
Babak-babak baru semakin menguak kebenaran-kebenaran dari setiap mozaik yang Mira temukan. Termasuk temuan beberapa bukti yang memperkuat keyakinannya. Ia akan mengkonfrontasi Arman di pertemuan berikutnya, di mana Mira membawa catatan hasil penelusurannya.
"Saya menemukan sesuatu yang menarik, Pak Arman. Anda sering mengunjungi perpustakaan dan meminjam buku-buku psikologi tentang gangguan kepribadian. Bahkan, ada beberapa yang sangat spesifik tentang psikopat."
[Gila, batin Arman yang merasa terkejut dengan serangan itu, namun mencoba tenang].
“Saya hanya ingin tahu lebih banyak tentang diri saya, Bu Mira."
"Saya rasa lebih dari sekadar itu. Anda ingin tahu bagaimana menjadi ‘psikopat’ supaya bisa menipu orang-orang, bukan?"
"Kalau itu benar, apa yang akan Anda lakukan, Bu Mira? Bukankah sebagai psikolog, Anda punya kewajiban untuk memahami dan membantu saya?" Arman mencoba tersenyum tipis menutupi kecanggungannya.
"Tentu Pak Arman. Tapi sebagai seorang profesional, saya juga punya kewajiban untuk tidak membiarkan manipulasi semacam ini mencederai keadilan. Saya sudah mencatat banyak kejanggalan, Pak Arman. Anda mungkin berhasil menipu orang lain, tapi tidak dengan saya."
"Saya hanya melakukan apa yang perlu saya lakukan agar bisa bebas. Saya hanya menggunakan kelemahan dalam sistem ini. Salahkah itu, Bu Mira?" Arman kali ini berterus terang, namun suaranya yang berubah dingin mengirimkan sinyal ancaman untuk Mira.
"Yang salah adalah merugikan orang lain dan berpura-pura sebagai korban hanya demi keuntungan pribadi. Apa Anda sadar, Pak Arman, apa yang Anda lakukan bisa berdampak pada banyak orang? Termasuk istri dan anak Anda sendiri?"
Arman tertawa kecil, seolah mengejek Mira, tapi sebenarnya ia didera rasa canggung yang kuat.
"Anda tahu, saya sudah mengorbankan banyak hal untuk menjadi seperti ini. Seseorang harus menang di sini, Bu Mira. Entah itu saya… atau sistem ini."
"Dan saya tidak akan membiarkan Anda memanipulasi sistem ini, Pak Arman. Keadilan akan selalu menemukan jalannya."
“Anda tidak bisa menekan saya” ujar Arman berang. Langsung berdiri, bersamaan dengan itu beberapa laki-laki berpakaian preman masuk ke ruangan dengan tergesa. Semua kejadian di ruangan terpantau CCTV dari ruang khusus. Mira sudah mempersiapkannya. Termasuk sebuah senjata kecil di kursi dan satu lagi terselip di pinggangnya.
“Tenang, Anda harus bisa mengendalikan diri” ujar Mira mencoba tetap tenang meminta Arman duduk dan memberi tanda pada para petugas tetap di tempat. Kini mereka bersiap di belakang Arman yang tidak lagi berkutik.
Di akhir penyelidikan, Arman diproses secara hukum tanpa keringanan. Ia akhirnya mengaku bahwa semua klaimnya tentang menjadi "psikopat" hanyalah dalih.