Aku pernah mendengar orang bijak berkata : "Jangan pernah berhubungan dengan wanita dan cinta. Wanita dan cinta hanya membuatmu seolah terjebak di dalam sebuah permainan judi. Begitu kamu “terjatuh”, kamu akan mengambil semua yang kamu punya untuk di pertaruhkan, kemudian kamu akan menyadari bahwa rasa gelisah dan takutmu benar. Kamu hanya mendapatkan kekalahan di ronde berikutnya".
Setelahnya, tidak ada lagi yang tersisa daripadamu, kecuali luka dan sakit akan kehilangan semua hal yang kamu miliki. Termasuk hilangnya kewarasanmu dan harapanmu untuk melanjutkan hidup.
Apa ada yang pernah mendiskripsikan sebagai mana sakitnya suatu rindu? Tidak akan ada orang yang mampu membuatmu bisa membayangkannya sebelum kamu merasakan sendiri. Betapa putus asanya menanti, betapa menyakitkannya berharap, betapa sakitnya di kecewakan. Hanya karena satu nama, satu orang, semesta seolah kehilangan ranumnya.
“Aku, tidak percaya akan kebahagiaan dalam hubungan cinta,” ucapku dalam hati, tapi yang terucap dari bibirku adalah “Carilah pria lain,” Membuat mata polosmu membulat. Ada riak luka disana. Jelas kamu tidak menduga jawaban itu keluar dari mulutku.
“Breng**” aku tidak dapat mencegah diriku mengumpat dalam hati.
Sudah berapa lama dan berapa kali aku melatih jawaban ini? Tapi bahkan sampai akhir, aku sangat menyadari bahwa aku tidak akan pernah siap untuk menerima responmu. Entah mengapa.
“Oh,” kamu tersenyum canggung. Aku merasakan ada yang mencubit jantungku saat melihatnya. Matamu mulai membasah, dan dengan gemetar tanganmu menyelipkan anakan rambut ke celah daun telinga. “ehm,” kamu berdeham pelan, “Oke, Aku pergi,” bisikmu kemudian. Saat melihatmu pergi, aku merasa ada sesuatu yang hilang. Entah apa.
***
He saw Margareth on the roof top, she was wearing white
And He was like, “I might be trouble”
He had flashes of the good life
He was like, “Should I jump off this building now or do it on the double?”
“Eva...,” panggilku yang lebih bisa disebut erangan, untuk kesekian kalinya. Setelah kepergianmu, aku merasa begitu gelisah. Seolah aku kehilangan sesuatu yang sangat penting. Aku kewalahan mencarinya, sebab aku tidak tahu apa yang hilang. Apapun yang aku lakukan seolah menjadi tidak pernah benar, dan itu membuatku sangat kacau. “Eva, Eva EVA!”
Aku membanting gelas dengan sembarangan, sehingga pecahannya terpental kemana-mana. “Kalau mau pergi, pergi aja! Gak usah bikin orang kacau balau!” triakku frustasi pada sosok “khayalan”-mu yang sedang berdiri di sudut ruangan, menatapku dengan sorot mata terluka. Sorot matamu yang terakhir kali aku ingat.
“Breng**” umpatku kemudian, karena menyadari sosok “khayalan”-mu memperburuk segalanya. “Kalau mau pergi, kenapa harus menyatakan cinta?” bisik hati kecilku tidak terima. Sayup-sayup lagu yang kusetel secara acak sore ini terdengar menggema, memenuhi sudut ruang tamu yang lenggang.
When you know, you know
It kinda makes me laugh, runnin’ down the path
When you’re good as gold
Tanpa sadar aku menangis. Aku merasa tersesat. “Aku pernah ada di situasi itu Eva, cinta hanya membuat kita terluka.” Bisikku dengan parau.
***
“Adam?”
Aku menatap seorang gadis berkulit sawo matang, wajahnya yang tegas dan tirus dibalut rambut ikal menampakkan aura gadis Jawa-Bugisnya yang khas. “Maaf Sa, lagi kacau,” sahutku lesu.
“Karena Eva?” tanya Sasa, membuat mataku menyipit. Sudah muak dengan nama yang ingin sekali aku usir dari benakku, tetapi bahkan aku tak mampu melakukannya. Parahnya aku sudah memanggilnya ratusan-atau mungkin ribuan kali.
Aku mendengar suara tawa Sasa yang renyah, “Makanya jangan kebiasaan nolak. Eh ternyata yang di tolak jodoh sendiri,” sindir Sasa.
“Kata siapa?” tangkasku dengan suara yang terdengar ragu. Mataku terpejam lelah. “Bagaimana jika memang Eva orangnya? Bagaimana jika jodoh itu ada dan Eva orangnya?”
“Heh, nih ya, Dam. Aku kasih tahu.” Sasa menutup leptopnya, matanya yang penuh ledekan kini menatap serius. “Dari kemarin kamu denger lagu Margaret kan??”
Aku mengerutkan dahi tidak mengerti.
Melihat reasiku, Sasa segera menambahkan, “Itu yang liriknya When you know, you know,” Jelas Eva buru-buru dengan tidak sabar. Membuat kerutan di dahiku memudar. Lagu yang menghantuiku berhari-hari juga.
“Kamu, sama Jack Antonoff tu sama, dan aku rasa semua pria tu sebenernya sama,”
“Apa sih,” aku menggerutu mulai jengah. Jengah dengan kalimat “Semua pria itu sama”
“Dengerin dulu,” Sasa menggerutu balik, tidak menerima penolakan, “Kalian itu diciptakan buat berburu, bersaing, mencari....” jelas Sasa menggebu, memberi jeda sesaat sebelum menambahkan “menemukan,” dengan suara lebih lembut.
“Coba kamu lihat kisah Adam dan Hawa, Hawa diciptakan dari Adam. Tuhan ambil tulang rusuk Adam, ditiupNya, jadilah Hawa. Coba, memangnya ada, kisah Hawa kejar-kejar Adam??” tanyanya mendramatisir. Sasa sengaja memberi jeda untuk memancing rasa penasaranku. Aku masih menatapnya tanpa minat.
“Gak ada lah! Yang ada, Adam menemukan Hawa, dan saat itu, Adam sadar bahwa Hawa itu adalah bagian dari dirinya. Adam yang saat itu lagi dikasih tugas sama Tuhan buat menamai semua makhluk di muka bumi ini -diantara semua nama- memilih nama Hawa,” jelasnya. Aku mengerutkan dahi kembali. Masih belum menemukan inti dari penjelasan Sasa.
“Terus hubungannya sama Jack Antonoff itu apa?” tanyaku.
“Jack Antonoff juga sama. Dia itu temen nya Lana Del Ray, dan jadi sosok inspirasi Lana Del Rey dalam membuat karya Margaret. Kisahnya, Dia ketemu Margaret -sekarang istrinya- di roof top, dan langsung sadar Margaret-lah orangnya. Kamu, Jack Antonoff, dan pria-pria lain di luar sana, sama. Kalian akan langsung menyadari “Hawa” kalian saat melihatnya,” aku tercenung, kali ini dada kiriku terasa nyeri.
“Tau gak arti nama Hawa?” tanya Sasa kembali yang kubalasi dengan gelengan. Perasaanku berubah menjadi tidak nyaman saat melihat tangan Sasa buru-buru membuka laptop, dan mengetik sesuatu, sebelum menyodorkannya kepadaku.
“Kehidupan,” ucap Sasa penuh penekanan.
“Kehidupan,” ulangku dalam hati sambil membaca tulisan di leptop Sasa. Cubitan kecil di dada kiriku mulai berdenyut, membuatku buru-buru berdiri dan pergi. Mataku panas. Sia*. Sayup-sayup aku mendengar Sasa menggerutu kebingungan melihat reaksiku yang langsung pergi meninggalkannya.
Aku memilih tidak peduli dan tetap berjalan. Sibuk dengan pikiranku sendiri. Pembicaraanku dengan Sasa barusan membuatku menyadari sesuatu yang penting. Seolah semua tanda tanya dalam benakku mulai terbuka. Seolah apa yang sedari kemarin aku cari-cari, seolah sesuatu yang hilang dari hidupku, dan membuat segalanya berantakan, ternyata berasal dari satu sumber. Aku menemukannya.
“Dia orangnya Adam, Dari awal kamu tahu, dia orangnya” bisik hati kecilku. “Dan kamu telah membiarkan dia pergi.”
***
“Hal kerajaan surga, seumpama harta yang terpendam di ladang, yang ditemukan orang, lalu di pendamkannya lagi. Oleh sebab sukacitanya, pergilah ia menjual seluruh miliknya, lalu membeli ladang itu....”
Pernah dengar ayat kitab suci itu? Kalau belum, aku juga baru saja mendengarnya dari radio teman se-kantorku di bilik sebelah. Aku bukan orang religius, tapi, kali ini aku sepakat dengan isi ayat itu.
Orang bijak pernah berkata, jangan pernah berhubungan dengan wanita dan cinta, karena keduanya akan membuatmu seolah terjebak. Seperti permainan judi. Begitu kamu “terjatuh”, kamu akan mengambil semua yang kamu punya untuk di pertaruhkan padanya, dan kemudian kamu akan menyadari bahwa kamu akan kalah di ronde berikutnya.
Maaf orang bijak, kali ini aku tidak mendengarkanmu dan memilih percaya, Eva adalah yang Tuhan ciptakan untukku. Kamu, Eva. Kamu adalah bagianku, dan kamu seharusnya bersamaku. Kamu adalah “Kehidupan”-ku. Aku akan membawamu ke tempatmu seharusnya. Di sisiku.
“999!” seseorang berseru riang di sudut lain ruangan, seolah sedang menang lontre. Aku tersenyum lebar begitu melewatinya menuju pintu keluar.
“Dewi Fortuna sedang berpihak padaku.” Pikirku.
Entah untung dan malang, sakit atau sehat, kaya atau miskin, akan aku lalui bersamamu Eva. Terserah bila orang bijak berkata, tak akan ada yang tersisa daripadamu, kecuali luka dan sakit akan kehilangan. Aku rasa sakitnya kehilangan dan rindu setelah membiarkanmu pergi jauh lebih menyakitkan dari pada sakit menghabiskan hidup bersamamu.
“EVA!” teriakku begitu melihat sosokmu di kejauhan. langkah kakimu terhenti, wajahmu yang lesu di sore hari nampak kaget dan canggung. Seperti kelinci yang ingin menggali lubang dan buru-buru menghilang didalamnya.
Menyadari tidak ada lagi tempat untuk bersembunyi, kamu melangkah maju dengan ragu sementara aku tidak dapat mencegah diriku berlari. Setelah sekian lama, aku merasa seolah hidup kembali.
“Aku gadaikan semuanya,” bisikku kemudian saat jarak kami sudah dekat, tak peduli dengan sorot mata heranmu. Sambil berlutut aku membuka kotak perhiasan dengan cincin emas bertengger disana.
“menikahlah denganku,” Saat melihatmu terpongah terkejut seolah tidak percaya, dan perlahan tersenyum dengan hangat, aku tersadar, bahwa aku telah menemukan hartaku kembali.
Aku mendapatkan kembali kehidupanku.