Memasuki musim kawin, barulah menetas keinginan di dalam dirinya untuk naik ke pelaminan. Namun, bolehkah idiot sepertinya tersenyum ayu dengan bibir yang dipoles oleh pewarna mirip jambul ayam seperti adiknya itu? Pantaskah seorang idiot menyanggul rambutnya layaknya seorang dewi dari kahyangan kemudian mengenakan gaun kebaya kelap-kelip yang mencetak tubuh? Ia menginginkan siger yang dipakai oleh sang adik juga membelenggu kepalanya. Rantaian bunga sedap malam itu selain memperindah juga akan menguarkan aroma khas pengantin yang membuat siapapun bahagia. Bolehkah ia mencobanya sambil menyalami tamu-tamu yang hadir membawa ucapan selamat berikut amplop berisi selebaran kertas bernilai itu?
Ketika hari Rabu bulan lalu putri Bu Grosir juga menggelar hajatan, gadis berusia dua puluh tahun itu membikin punggung tangannya menjadi cantik dengan ukiran bunga yang dilukis oleh Ibu Rias. Seketika saja ia juga menginginkan punggung tangannya yang burik serta mirip ceker ayam itu disulap menjadi secantik punggung tangan milik putri Bu Grosir. Namun, bolehkah? Bolehkah orang idiot seperti dirinya merasakan itu semua?
Pertanyaan-pertanyaan itu tak henti berdengungan dalam tempurung kepalanya.
Eroh namanya. Ia adalah seorang wanita seumuran wanita-wanita lainnya yang telah memiliki satu hingga dua bocah. Ia seorang idiot—begitulah klaim dari para manusia yang merasa diri mereka normal serta cerdas.
Eroh juga ingin kawin, ratapnya dalam hati kala menengok sang adik tengah bergaya memamerkan buku kawin bersama lelaki tukang kuli bangunan yang beberapa menit lalu telah sah menjadi suaminya. Suasana riuh nan menggembirakan ini tak mampu menyentuh hati Eroh. Tiba-tiba saja dirinya benci terlahir sebagai idiot. Akan tetapi, siapa pula yang ingin menjadi idiot? Ia tak bisa memilih harus menjadi apa sebelum melesat keluar dari dalam rahim emaknya. Lalu, mengapa seorang idiot tak boleh kawin? Siapa pencetus utama yang melarangnya? Tiba-tiba saja Eroh bingung apakah ia benci karena terlahir sebagai idiot atau benci pada sosok yang melarang idiot untuk kawin.
***
Tidaklah begitu penting siapa yang pertama kali menyadari bahwa sejak orok Eroh sudah berbeda. Secara fisik memang tampak baik-baik saja. Timbangannya sama dengan orok-orok lain yang tak bikin pusing kepala buat beli susu tambahan. Dukun beranak pun tak menyatakan adanya suatu penyakit serius apalagi guna-guna. Eroh sehat layaknya ke lima kakak-kakaknya. Akan tetapi, perkembangannya terbilang lambat bila dibandingkan dengan anak-anak lain seusianya. Eroh baru bisa meracau ketika teman-teman sebayanya sudah mampu menopang tubuh mereka sendiri. Ketika teman-teman sebayanya itu sudah bisa bilang jika ingin buang hajat, Eroh hanya bisa menangis jika popoknya sudah penuh oleh tahi. Walau begitu, tak ada yang mencemaskan perkembangan Eroh. Semuanya dianggap normal. Emak serta bapaknya lebih cemas kalau yang lambat berkembang itu adalah anak-anak dombanya.
Di sekolah pun guru-guru lebih banyak menimbun gerutu dalam hati. Tiga kali tidak naik kelas, jangankan lancar membaca, menghafal abjad serta angka saja Eroh tak mampu. Tak satupun guru bisa menaklukan kebodohan Eroh. Teman-teman banyak memanggilnya Si Idiot. Dijahili, diolok-olok, hingga dipalak sudah menjadi fungsi Eroh berada di sekolah. Mengadu pada Emak atau Bapak pun tak ada gunanya. Eroh malah mendapat serangan balik. Orang tuanya yang selalu sibuk mengurusi domba, tak pernah mau repot-repot mengadili mereka yang jahil pada Eroh. Buang-buang waktu, pikiran, juga tenaga.
"Makanya jadi anak tuh yang pintar. Kalau bodoh, ya, pasti diolok-olok. Belajar sana! Jangan manja. Dikit-dikit nangis. Tak lihat apa Bapak lagi repot?!" Eroh meninggalkan bapaknya yang sibuk memandikan domba. Ia pun mengadu pada Emak yang sedang mengarit rumput. "Tidak salah kata bapakmu, Roh. Kalau orang bodoh, ya, pasti banyak yang senang mengolok-olok. Makanya kamu belajar. Minta kakak-kakakmu buat ajarin kamu baca sama ngitung. Awas saja kalau taun depan masih tak naik kelas. Rugi Emak nyekolahin kamu."
Kalau sudah begini, Eroh tak bisa merengek lagi. Ia hanya bisa menahan tangisnya di balik selimut. Tak seorang pun dari kakak-kakaknya datang menorehkan peduli. Mereka malah ikut mengata-ngatai Eroh sebagai Si Idiot, kadang sambil tertawa sebagaimana teman-temannya di sekolah. Sebenarnya apa idiot itu? Eroh bertanya-tanya dalam hati.
Memasuki musim ke empat, para guru pun sepakat untuk mengeluarkan Eroh dari sekolah—yang langsung disetujui oleh Emak serta Bapak Eroh. Bu Ela selaku wali kelas menyarankan supaya Emak dan Bapak Eroh mempertimbangkan sekolah khusus bagi anak-anak yang memiliki keterbelakangan, tapi Emak dan Bapak Eroh kompak menolak. Menurut hemat mereka, Eroh lebih berguna membantu pekerjaan rumah atau mengurus domba.
Semuanya seperti berjalan pada tempatnya yang benar. Bagai colokkan DVD yang dipasang dengan tepat sehingga bisa menyala. Kehidupan Eroh pun menyala. Ia lebih suka tidak bersekolah. Tak ada angka atau huruf yang mesti dihafalnya. Melakukan pekerjaan rumah jauh lebih menyenangkan, tak ada rumus-rumus yang menyakiti kepala. Mengarit rumput lebih asyik lagi, Eroh bisa bermain-main bersama belalang, cacing, kupu-kupu, bahkan terkadang tikus sawah. Hewan-hewan itu tak ada yang pernah mengolok-olok atau menjahilinya. Semuanya tampak lebih bersahabat. Inilah dunia Eroh yang sesungguhnya.
Namun, baru kali ini ada keinginan kuat menancap dalam dirinya. Setelah dua puluh tahun berlalu sejak kehidupan barunya itu menyala. Eroh sekarang memiliki keinginan besar. Eroh kepingin kawin kayak orang-orang.
Eroh tak pernah mengerti apa itu cinta. Mengapa perempuan dan laki-laki itu jatuh cinta? Apa yang terjadi jika mereka jatuh cinta? Eroh beneran tak paham. Ia hanya tahu kalau perempuan dan laki-laki sudah jatuh cinta, mereka akan melakukan pernikahan. Ya. Menikah. Memakai gaun kebaya, menghias kepala serta wajah, kemudian bersalam-salaman dengan banyak orang. Difoto lalu dibuatkan album. Dinyanyikan lagu dangdut yang membuat beberapa orang berjoget. Bahkan sebelum hari pernikahan dimulai pun orang-orang hanya akan membicarakan sang pengantin. Semuanya terasa begitu spesial. Eroh ingin menikah, ingin merasakan menjadi orang yang spesial, ingin menjadi cantik seperti dewi kahyangan. Tak apa kalau tak ada pengantin laki-lakinya. Yang penting Eroh ingin memakai gaun kebaya, dirias secantik mungkin, kemudian bersalam-salaman dengan orang-orang. Lalu, Eroh akan membuka amplop-amplop berisi uang dengan gembira. Memajang album pernikahannya di dinding kamarnya. Ah, menyenangkan sekali!
Akan tetapi, ketika Eroh menyampaikan keinginannya ini pada Emak, Bapak, serta saudara-saudaranya, meletus sudah tawa-tawa mereka. Eroh bengong tak paham. Namun, ia tahu betul kalau itu adalah tawa yang tak mengenakkan.
"Roh, kamu itu bodohnya kebangetan. Mana ada menikah tanpa pengantin laki-laki. Yang ada orang-orang malah mengira kamu kawin sama jurig!" cemooh Kakak tertuanya.
"Iya, Roh, kamu ini bodoh dipelihara. Lagian, siapa yang mau ngawinin kamu. Sadar diri, Roh, kamu kan idiot," sambung adik perempuannya.
"Sudah, sudah, jangan diperpanjang." Bapak mencoba menghentikan anak-anaknya yang mulai melempar meriam hinaan pada Eroh—walau dirinya pun tampak menahan tawa akibat keinginan Eroh yang terasa menggelitik di dada. "Roh, kamu itu tak akan paham menikah. Lagi pula menikah itu harus punya pasangannya," ucap Bapak mencoba bijaksana.
"Iya, Roh. Sudah ganti saja keinginanmu itu. Nanti kalau Pak Lurah jadi beli domba, Emak ajak kamu ke pasar buat jajan." Emak menambahkan.
Eroh hanya bisa menahan tangis di balik selimut. Tak seorang pun mau mewujudkan keinginannya. Mengapa ia tak boleh menikah sementara semua saudaranya boleh? Mengapa pula ia harus memiliki pasangan laki-laki untuk menikah?
Eroh boleh idiot, tapi tak boleh ada yang melarang Eroh menikah, protesnya dalam hati.
Keinginannya itu makin mengental hingga mengeras bagaikan lem super yang dibiarkan terbuka.
Eroh harus cari pasangan!
***
Masih tertanam dalam kepala Eroh ketika adik perempuannya itu hendak menikah. Bapak mengatakan kalau cari pasangan itu harus pria yang benar-benar menyayangi serta bertanggung jawab. Sebenarnya Eroh tak paham apa itu bertanggung jawab. Namun, kalau soal menyayangi Eroh tahu siapa orangnya.
Begitu matahari melambung, Eroh menyerahkan tubuhnya pada udara yang terasa gerah, menyusuri jalan setapak pesawahan yang hijau mengilat diterpa cahaya. Sewaktu masih sekolah dulu, Eroh sering mengikuti burung pipit yang mengepakkan sayapnya dengan malas karena terik matahari. Hingga suatu hari burung pipit itu hinggap di sebuah pohon jambu. Di sanalah Eroh bertemu dengan Ki Jali beserta cucunya, Si Jalu. Eroh tahu siapa Si Jalu, ia adalah bocah yang pernah sekelas dengannya, tapi tak lanjut karena masalah biaya. Mereka sama-sama punya otak tumpul, hanya saja Si Jalu tak pernah disebut idiot barang satu kecap saja.
Mulanya Si Jalu enggan berteman dengan Eroh. Takut ketularan idiot katanya. Namun, Ki Jali menasihatinya supaya berteman dengan siapa saja. Eroh dan Si Jalu pun menjadi akrab. Sering Si Jalu menemani Eroh mengarit rumput untuk domba. Mereka juga kerap kali berlomba menangkap belalang atau tikus sawah. Namun, persahabatan itu tak selama tanggal kadaluwarsa pada kaleng sarden atau seawet baterai pada remot TV. Si Jalu sering ikut bapaknya berburu burung ke pelosok hutan nun jauh entah di mana. Eroh pun jarang bersua lagi dengan Si Jalu.
Namun, kali ini Eroh pasti bertemu dengan teman berburu tikus sawahnya itu di rumah kayu Ki Jali.
Belum juga tangannya mengetuk gubuk usang milik Ki Jali, Eroh memutar haluan menuju halaman belakang gubuk tersebut. Kepulan asap yang dilihatnya pasti berasal dari tungku yang sedang menyala. Betapa senangnya Eroh ketika melihat Si Jalu, Ki Jali, serta Nyi Ratna—istri Ki Jali—sedang berkumpul menanti singkong rebus. Kedua lelaki itu menyambut kedatangan Eroh dengan hangat. Berbeda dengan Nyi Ratna yang kecut raut wajahnya. Memang sudah seperti itu perangai wanita tua ini. Semua orang juga tahu.
Eroh yang dikuasai oleh keinginan besar pun segera bercerita pada Ki Jali serta Si Jalu. Tentang keinginannya untuk kawin, gaun kebaya, dewi kahyangan, berikut salam-salaman. Mereka bertiga sengaja menghiraukan Nyi Ratna yang tengah berusaha meniup-niup tungku menggunakan songsong supaya api tetap menyala. Lagipula wanita berkeriput itu tak pernah peduli pada keberadaan Eroh.
"Jadi kamu mau menikah, Roh?" tanya Ki Jali yang mencoba menahan suatu lonjakan dalam air mukanya, begitu pula Si Jalu.
"Iya, Ki. Eroh ingin pakai gaun kebaya, didandani, terus diselamatin sama orang-orang. Tapi, Bapak bilang kalau kawin itu harus ada pasangan. Makanya Eroh lagi cari pasangan supaya bisa kawin," terang Eroh.
"Ya iyalah, Roh. Kamu ini gimana, sih? Masa iya menikah tapi gak ada pasangan. Lagi pula, apa iya kamu mau menikah? Paham maknanya saja pasti tidak," seru Si Jalu mencoba menyadarkan temannya yang dungu itu.
Eroh terdiam. Mengapa semua orang mengklaimnya tidak tahu arti menikah? Eroh paham, kok. Menikah itu memakai gaun kebaya, dirias secantik dewi kahyangan, bersalam-salaman, dan menjadi orang spesial.
"Memangnya kamu sudah punya pasangan, Roh?" tanya Ki Jali mencoba menghentikan mulut Si Jalu yang hendak mencibir lagi.
Eroh tersenyum kemudian mengangguk. Saatnya ia menyampaikan apa yang tersembunyi dalam hatinya.
"Kalau boleh sih sama Ki Jali, hehe." Eroh menjawab dengan mantap. Sejak dulu Ki Jali adalah orang yang menyayanginya. Eroh tahu itu dari perlakuan Ki Jali yang lembut serta tak pernah mengata-ngatainya idiot.
"APA?!"
Nyi Ratna yang sedari tadi lebih tertarik memasukkan kayu ke dalam tungku pun bergegas menghampiri Eroh. Bara api dalam dada wanita itu sekonyong-konyong berkobar lebih dahsyat dibanding dengan bara api pada tungku. Si Jalu menjatuhkan dagunya; menganga lebar seperti sedang menguap. Sementara Ki Jali hanya bisa diam, ekspresinya tak terbaca.
"Dasar kamu idiot! Berani-beraninya merebut suami batur. Pergi sana! Kepalamu itu isinya memang otak ayam. Sana minggat otak ayam!"
Sebelum songsong Nyi Ratna menghajar kepalanya, Eroh pun melompat keluar dari gubuk Ki Jali. Kecewa. Padahal Eroh belum dapat jawaban dari kakek tua itu. Ia merasa ada yang merobek suatu lapisan paling dalam jantungnya. Eroh terseok-seok menyusuri jalan setapak dengan hati kosong, pikiran kosong, juga perut kosong. Pipa-pipa dalam matanya bocor. Eroh merasakan sesak di dada seperti ketika penyakit asmanya kambuh. Apa benar otaknya itu adalah otak ayam seperti yang dikatakan oleh Nyi Ratna? Eroh sedih. Otak ayam adalah hal yang disukainya. Rasanya gurih dan lembut.
"Eroh tak mau makan otak ayam lagi. Eroh tak mau makan otak sendiri."
***
Pada penghujung tahun ketika buah rambutan sedang lebat-lebatnya, ada dua berita yang menggemparkan. Berita pertama datang dari Nyi Ratna yang ditemukan terbujur kaku di dalam kolam milik suaminya sendiri. Kondisinya lebih buruk dari seonggok daging busuk. Sehingga lalat-lalat hijau pun serasa dipanggil keberadaanya. Bahkan berita kematian ini sampai pada televisi-televisi nasional serta swasta. Diduga, Nyi Ratna terpeleset ketika hendak menyair ikan mas. Tak ada yang tahu kebenarannya. Namun, para dukun memiliki persepsi mereka masing-masing.
Tak lama setelah kabar mengenaskan tersebut, muncullah kabar yang lebih menghebohkan dari kematian Nyi Ratna. Kejadian tersebut membuat mulut-mulut tetangga tak henti berbuat dosa.
Ki Jali dan Eroh menikah!
Tamat.