Disukai
2
Dilihat
2,108
Ebony & Ivory
Drama

"Ed, meeting dengan produsen kopi Bali, remember?"

Farzan berhasil membuat Edward mengumpat.

Sial. Aku ketiduran. Well, semalam dia benar-benar hebat.

Pria 34 tahun itu memainkan sejumput rambut seorang wanita yang sedang tertidur pulas di balik selimut.

Dia membuatku lupa daratan dan kami benar-benar bersenang-senang, tapi kepalaku benar-benar sakit sekarang. Aku butuh obat pengar super manjur untuk menghilangkan efek alkohol semalam.

"Zan, lo bisa gantiin gue? I'm really in a bad shape right now." Kali ini si pria pengar memilih berkata jujur. Tangannya yang bebas sedang menjambak rambutnya di bagian kepala yang rasanya ingin meledak.

"Lo minum lagi? Party?" Edward bisa mendengar nada ofensif sahabatnya. "Ayolah. Lo masih punya tanggung jawab di perusahaan kita. Gue nggak akan marahin lo asal lo tahu tempat, tahu waktu, tahu diri, Ed."

"Sorry." Hanya itu yang bisa Edward katakan. Pembelaan dirinya tidak akan berguna kali ini.

"Gue pikir kita udah sepakat tentang kebiasaan minum lo yang mesti lo kontrol dan dengan jadwal yang udah disusun untuk sebulan ke depan. Dan hari ini gue sedang di sekolah Amar. Ini hari pertamanya di TK. Bukannya nggak mau gantiin lo, gue nggak mau melewatkan hari spesial anak gue, Eddy."

Pria yang dipanggil Eddy terpaksa mendesah kalah. Sepertinya ia tidak bisa bermain argumen pagi ini.

"Oke. Gue cuma butuh waktu sebentar buat ilangin pengar."

Edward mendengar desahan Farzan di seberang sana. "Fine. Gue mengandalkan lo, Ed. And, please, pull yourself together. Mau sampai kapan lo hedon dan cuma ingat dunia?"

Klik.

Edward diam sejuta bahasa.

Setelah mandi dan memakai kemeja semalam, dia meninggalkan kamar hotel tanpa repot-repot menoleh pada wanita yang sedang menggeliat di kasur berantakan itu dengan pikiran penuh dengan kata-kata terakhir Farzan.

***

Edward sampai satu jam lebih cepat di Kafe Ebony & Ivory sebelum meeting dimulai di sini dan memesan sup jamur-salah satu breakfast menu favoritnya di tempat ini.

Sup yang creamy itu diseruput selagi mengepul untuk menghangatkan perutnya dan semoga menghilangkan sakit kepalanya. Tubuhnya sudah protes karena kelebihan alkohol, tapi pikiran dan nafsu kadang mengalahkan logika. Edward terus-terusan mengucurkan cairan laknat itu ke tubuhnya yang malang semalaman.

Sudah beberapa bulan terakhir Edward selalu datang ke kafe ini. Entah untuk sarapan, melanjutkan pekerjaannya di kantor, sebagai tempat meeting dengan produsen kopi, atau hanya untuk duduk-duduk dan menghabiskan secangkir kopi, sepotong strawberry shortcake kesukaannya, dan sebatang rokok di bagian outdoor kafe.

Atau ... karena ada nama Ivory di Ebony & Ivory?

Sendok Edward menggantung di udara, kemudian dia memejam matanya dan mendesah kecil.

Aah, nama itu lagi-lagi menggetarkan hatinya. Padahal sudah empat tahun sejak terakhir bertemu dengan Ivory, gadis yang membuat beberapa malamnya menjadi tak terlupakan sampai kapan pun, dan tak tergantikan oleh malam-malamnya bersama entah wanita yang mana.

Edward bahkan tidak repot-repot mengingat nama atau wajah mereka lagi setelah mendapatkan apa yang diinginkannya. Namun, tidak dengan Iv, begitu nama panggilan spesial yang Edward buat untuknya.

Iv telah meninggalkan bekas yang tak mampu Edward hapus dalam ingatannya.

Iv sangat profesional ketika menjadi sekretaris. Namun, dia menjadi dirinya sendiri bila sedang berdua dengannya di peraduan hangat.

Iv tidak memujanya seperti wanita yang haus belaian dan hanya membutuhkan uangnya saja, lalu setelahnya ia ditinggalkan dalam keadaan terlelap pulas, dan akan kembali lagi bila mereka 'membutuhkan' dirinya.

Hanya dalam beberapa kali pillow talk, Iv memujanya seakan Edward memang pantas untuk dipuja dan dicinta.

Dengan jalan pikirannya yang unik dan tak tertebak, dengan kata-katanya yang cerdas, dengan senyumnya yang tulus, dan dengan tawanya yang renyah, seakan Iv membuatnya menjadi pria paling beruntung sedunia.

Dengan sentuhannya yang lembut dan desahannya yang merdu membuat Edward merasa menjadi lelaki paling jantan sedunia.

Semua berkat Iv.

Padahal, sejak bertemu Ivory, Edward tak lagi menemukan keasyikan berpetualang dengan sembarang wanita. Tiba-tiba saja Edward ingin menjadi seorang monogamist dan menghentikan petualangannya itu. Sayang, Edward tak bisa lama-lama dalam euforia dipuja dan dielu-elukan bak raja dengan prinsip barunya. Sebab, Ivory tiba-tiba resign dari perusahaannya dan menghilang bagai hembusan debu.

Sejak saat itu, hidupnya kosong, dan Edward kembali memilih mengisinya dengan kenikmatan semu dengan sembarang wanita yang lalu.

Ironisnya, tidak ada ikatan di antara mereka. Bahkan setipis jaring laba-laba pun tidak. Dia, hanyalah satu di antara banyak wanita yang mengisi malamnya yang dingin dengan syarat awal: tanpa ikatan, tanpa perasaan.

Edward tak sadar, ikatan itu bahkan sudah ada sebelum ia menyadarinya. Dan perasaannya? Jangan ditanya. Edward merindukan Iv setengah mati.

Ikatan? Cih, bantahnya dalam kepala. Apa wujud ikatan itu? Dia bahkan tak dapat ditemukan di mana pun di muka bumi ini, kesalnya. Aku tidak rindu! Batinnya teriak tak terima. Aku tidak rindu.

"Haaah."

Pria itu memilih melicinkan mangkuk sup jamur dengan roti panggang bawang putih daripada mengingat Ivory.

"Abhi sayang, jangan lari-larian," teriak seorang wanita muda berpakaian khas baby sitter ketika masuk ke dalam area kafe. Namun, si anak tidak mau mendengar dan terus berlarian.

Edward mendongak dari piringnya, bukan hanya karena suara melengking wanita muda itu yang menarik perhatian Edward, tapi karena nama anak yang sedang berlarian itu.

Nama Abhi mengingatkannya dengan namanya sendiri. Abhimanyu adalah nama belakang Edward, by the way.

"Bhi! Kamu kenapa?!"

Teriakan si sitter yang berubah histeris membuat Edward spontan keluar dari mejanya dan berjalan cepat menuju Abhi dan si wanita muda.

"Buk! Ibuuuk. Abhi, Buk," sorak si sitter ke arah pintu yang bertanda Selain Karyawan Dilarang Masuk.

Edward menatap horor bocah laki-laki itu. Abhi bersandar ke kaki meja, sedangkan kepalanya terkulai lemas dan kesulitan bernapas. Kulitnya memerah, matanya mulai sayu. Edward sangat mengenali gejala yang sedang dialami Abhi.

Tidak, tidak. Jangan anak ini, Tuhan, mohonnya. Edward ikut berlutut di sebelah Abhi.

Baru kali ini iaa bersungguh-sungguh memohon pada Tuhannya setelah sekian lama. Tuhan yang sudah lama ia tinggalkan meski hanya butuh sekali dalam seminggu ia bertemu muka untuk berdoa dan memohon ampunan dosa.

"Kamu sitter-nya! Kenapa kamu nggak tahu dia udah kayak gini?"

Si wanita muda memucat.

"Dia makan apa, tadi?!" bentak Edward. Nadanya sangat menuntut.

Edward menggerutu karena wanita itu berpikir terlalu lama. "Dia alergi apa?! Ada obat anti alerginya??" desaknya.

"A-Abhi alergi kacang, Pak. Astaga!" Matanya melotot horor. Si sitter nampaknya telah mengingat sesuatu. "Mungkin diam-diam Abhi makan coklat saya di tas. Ada kacang almondnya!" Wanita itu menepuk jidatnya. "Saya nggak punya obatnya. Ibuk yang punya, Pak."

"Mana orang tuanya?!" tuntut Edward.

Baru saja wanita muda tadi akan berteriak, seseorang dari pintu bertanda Selain Karyawan Dilarang Masuk dengan coat chef berjalan tergopoh-gopoh ke arah mereka.

"Iv," bisiknya lemah.

Dadanya berdebar tak tahu diri, tak tahu situasi. Edward merasakan debar yang hanya bisa ia rasakan bila Iv terlibat di dalamnya. Kini, debar itu justru membuat Edward tak mampu menatap Ivory lama-lama. Apakah Edward gagal dengan peraturan rekaannya sendiri? Tak ada perasaan, tak ada ikatan?

Sedetik kemudian Edward baru sadar dan cepat melirik ke jam tangannya. Sial! Meeting sebentar lagi.

"Abhi!" Tangannya gemetar panik membelai kepala sang anak. "Bagaimana ini? Obat kamu habis."

"Kita ke rumah sakit. Saya antar."

Saat mendongak, betapa terkejutnya Ivory. "Pak ... Edward?"

"Kita berkejaran dengan waktu, Iv. Simpan kekagetanmu setelah Abhi ditangani dokter!"

Dan persetan dengan meeting sialan itu.

***

Abhi terlelap dalam pelukan Ivory di kursi penumpang belakang. Wanita itu sedang dirundung perasaan bersalah karena membuat anaknya merasakan kesakitan, merasakan kesulitan bernapas karena pembengkakan saluran pernapasan.

"Namanya Abhimanyu?" tanya Edward di sela tangannya memutar setir. Mobil Edward memasuki sebuah komplek perumahan.

Ivory memutar bola matanya samar. "Ya. Memang kenapa?!"

Apa barusan Iv bicara ketus padaku? Kenapa?

"Aku hanya bertanya, Iv. Rileks, oke? Berapa umurnya?"

"Tiga tahun." Edward mengangguk.

"Sudah lama tinggal di Jakarta?"

"Dari dulu aku nggak ke mana-mana."

Tapi mengapa aku kesulitan mencarimu, Iv?

Si sitter dari tadi duduk diam di sebelah Ivory, takut dimarahi.

"Rumah kamu nomor?"

"Dua puluh A. Yang itu." Ivory menunjuk sebuah rumah sederhana berpagar hitam dan cat rumah putih.

Edward mematikan mesin. "Jangan ke mana-mana," perintahnya. Lalu lelaki itu keluar mobil dan membuka pintu Ivory. Edward menggendong Abhi hati-hati.

Bergetar hati wanita itu ketika melihat Edward memeluk anaknya dengan protektif.

Ivory pasrah membiarkan pria dari masa lalunya ini memasuki wilayah pribadinya. Namun, dia juga takut pria itu bisa saja merengsek masuk ke dalam kehidupannya lagi setelah semua yang dialaminya. Sungguh empat tahun yang sulit bagi Ivory.

Selagi menggendong Abhi, Edward menggunakan kesempatan ini untuk mencuri informasi dari rumah mantan sekretarisnya.

Mengapa hanya ada foto Iv, Abhi, dan sepasang orang tua?

Mana foto suami Iv?

Usia Abhi tiga tahun?

Iv menghilang empat tahun yang lalu...

Edward meletakkan Abhi di ranjang dengan sangat hati-hati, seolah-olah Abhi adalah darah dagingnya sendiri. Tanpa dipersilakan duduk, Edward menghenyakkan pantatnya pelan-pelan di pinggir kasur, membandingkan paras Abhi dengan ibunya.

Seingatnya, Ivory berambut ikal, sedangkan rambut Abhi lurus, hitam, dan legam, sama dengannya.

Mata Ivory sebulat rembulan dengan iris selegam malam. Sedangkan Abhi bermata sipit dengan irisnya yang coklat terang persis seperti matanya. Sebab, Edward mendapatkannya dari sang mami yang memang keturunan Tionghoa Kalimantan.

Ivory berkulit eksotis menawan yang dulu membuatnya tergila-gila (sampai sekarang). Sedangkan Abi berkulit putih, terang, dan bersih seperti Edward.

Terakhir, Abhi menderita alergi kacang, sama seperti dirinya.

Edward mengerahkan semua kemampuan analitisnya sebagai wakil direktur perusahaan ekspor impor dalam waktu singkat untuk menganalisa dan menghubungkan semua benang merah yang bisa ia tarik.

Apa anak ini ... Ah tidak mungkin. Masalahnya, Iv satu-satunya wanita yang membolehkanku melakukannya tanpa pengaman. Sh*t.

Ivory berlutut di samping Abhi dan berbisik, "Maafin Ibu ya, Bhi? Ibu lupa nebus obat kemarin."

Setelah Abhi mendapatkan kecupan lembut di kening, Ivory mengajak Edward ke ruang tamu.

"Terima kasih atas bantuannya, Pak Edward."

Pak Edward? ejeknya dalam hati. "Kamu bukan sekretarisku lagi, Iv. Panggil namaku."

Ivory memutar matanya. "Mas Eddy. Puas?" ketusnya.

Sejujurnya Mas terdengar lebih baik. Edward tersenyum tipis.

Diam mengisi ruang tamu kecil itu beberapa saat.

"Mas ...."

"Iv ...." ucap mereka bersamaan.

"Mas ... Eddy duluan," ucap Ivory ragu.

"Kamu ... berhijab sekarang."

Spontan Ivory menyentuh hijabnya di pipi dan leher. "Oh. Ya, begitulah," balasnya kikuk.

"Kamu ... berubah. Makin anggun," puji Edward tulus.

"Terima kasih." Dalam sedetik, Ivory tiba-tiba berubah serius. "Dengar, Mas! Dulu aku memang bukan wanita baik-baik, tapi sekarang aku bukan lagi gadis 22 tahun yang Mas temui empat tahun lalu. Aku nggak mau lagi melihat ke belakang. Aku nggak mau ngungkit masa lalu. Dan aku nggak mau Mas membicarakan kelakuanku dulu. We're over long time ago." Suara Ivory bergetar, sangat defensif, membuat Edward terdiam dan terpesona di saat yang sama, seperti biasa.

"Aku bahkan nggak bicara apa-apa, Iv!"

"Aku nggak akan menyuguhkan minum, hanya ucapan terima kasih." Ivory tidak repot-repot menanggapi mantan bosnya. "Malu sama tetangga karena bawa pria asing ke rumah."

"Karena kamu sudah menikah?"

"We don't talk about my personal life too, Mas."

Telak dan tak bisa Edward balas.

Edward kalah. Tapi hanya hari ini. Sebab besok atau lusa, atau kapan pun, Ivory harus menerima kehadirannya lagi, mau wanita itu sudi atau tidak.

***

"Sebentar aja, Zan. Lo harus tunggu bentar lagi." Edward mengedarkan pandangannya ke seantero kafe untuk ke sekian kalinya. "Gue sering ketemu dia jam segini."

"Kita udah duduk lebih dari sejam di sini. Mending gue pulang ketemu anak bini, Ed," keluh Farzan. "Udah pukul delapan malam."

"One more minute, okay? Gue pengen lo lihat dan lo nilai sendiri."

"Oke. Tapi lihat apa?"

Farzan dibuat gila karena Edward tidak mau memberi tahu mengapa dia harus nongkrong di Kafe Ebony & Ivory.

Edward mencengkeram lengan sahabatnya. "Itu!"

"Holy moly!" seru Farzan seketika.

"I know, right!"

"Astagfirullah." Kali ini istigfarnya Farzan membuat Edward memutar bola matanya dramatis. "Siapa anak itu?

"Abhi. Hai," sapa Edward. Ia melambai menyuruh Abhi mendekat.

Abhi setengah berlari sambil tersenyum menghampiri meja Edward dan Farzan. "Om Eddy." Suara melengking Abhi membuat Edward dan Farzan spontan tersenyum.

Edward menjulurkan tangannya dan Abhi otomatis menyambut dan mencium punggung tangan si Om.

Pria itu menciumi puncak kepala Abhi dengan penuh sayang. Tak cukup dengan itu, Edward memangku Abhi dan membelai rambutnya yang lurus dan lembut.

Farzan diam, menilai, mengamati, dan terpaku melihat interaksi dua lelaki ini. Keningnya berkerut dalam.

"Kami sering bertemu beberapa kali di kafe ini," terang Edward tanpa ditanya. "What do you think?"

"About?"

"Us."

"Siapa ibunya?" todong Farzan.

Edward mendesah. "Dia pemilik Kafe Ebony & Ivory."

Farzan menghempaskan punggungnya. Syok.

"Entah kenapa gue yakin gue adalah ayahnya. Look! Abhi ngejiplak gue banget, kan?"

Farzan mengangguk spontan. "Dia mirip lo waktu TK, Eddy."

"Exactly. Tapi hasil tes DNA baru keluar besok. Tanpa sepengetahuan ibunya, kalau boleh gue tambahkan," Edward berbisik dengan perasaan bersalah. Pria itu memeluk Abhi lebih erat, mengukungnya lembut memberi keamanan.

"Man! Siapa ibunya?" tanya Farzan lagi.

"Kafe ini bernama Ebony & Ivory, kalau lo ingat lagi."

"Ya Allah!"

***

Ivory duduk sendirian di salah satu meja pelanggan, merekap transaksi hari ini dengan gawainya. Saking tenggelam dalam kegiatannya, ia tak sadar suara pintu kafe yang dibuka dan ditutup. Sampai muncul suara kaki kursi bergesekan dengan lantai, barulah Ivory mendongakkan kepalanya.

"Mas Eddy?!"

"Hai."

"Untuk apa-,"

"Mana Abhi?" potong Edward.

"Tidur di ruanganku." Ivory memperhatikan pria itu duduk dengan tenang, Namun, rasanya ada yang berbeda dengan raut wajah Edward. "Mas ... baik-baik aja?"

"Kenapa kamu nggak bilang, Iv?" suaranya parau.

"Maksud Mas?"

"Kamu pasti kesulitan mengandung dan membesarkan Abhi sendirian. Kenapa nggak bilang aku, Iv?"

Ivory terkesiap, membekap mulut dengan kedua tangannya. Ia tak berharap sama sekali siapa pun tahu. Bahkan ayah Abhi sendiri!

"Bi-bilang apa?"

Playing dumb, Iv? batinnya.

"Aku akan bertanggung jawab."

"Hah!" Ivory tersenyum mengejek pada semesta. Padahal dadanya bergemuruh pedih mengingat perjuangannya selama empat tahun terakhir. Ia dicemooh, dihina, hingga dibuang keluarga demi membesarkan Abhimanyu sendirian. "Mengapa Mas yang harus bertanggung jawab?"

Edward mengeluarkan sebuah kertas dari sebuah rumah sakit dan menyodorkannya pada wanita berjilbab hitam itu.

Dibaca sekilas saja, Ivory sudah tahu isinya apa.

Ya Allah, cepat atau lambat, ayah Abhi pasti akan tahu. Tapi, ini begitu sulit. Kami ... sangat berbeda.

"Lalu?"

"Aku sudah mulai belajar jadi ayah untuk Abhi. Farzan yang mengajariku. Dia sangat family man. Kamu tahu itu, kan?"

Ivory mendengkus pelan.

"Aku juga membaca buku-buku parenting," tambah Edward cepat.

"Mas ...."

"Kalau perlu aku ikut workshop bagaimana cara menjadi orang tua yang baik."

"Mana bisa aku serahkan anakku pada lelaki yang kerjaannya minum dan main wanita?!"

Kenyataan itu menghantam Edward bagai digebuk palu godam. Tapi ia tak mau menyerah.

"Asal kamu tahu, sejak bertemu Abhi, aku tidak lagi mendekati kebiasaan buruk itu. Sudah dua bulan, Iv."

"Nggak cukup dengan berubah, Mas."

"Aku sedang berusaha. Sungguh, Iv." Bergetar suara Edward. Matanya sudah memerah berkaca-kaca. Abhi dan Ivory benar-benar membuatnya emosional dan memporakporandakan hatinya.

"Mas," ucapnya lembut.

"Iv, aku mau menjadi ayah yang baik bagi Abhi."

"Aku minta maaf membuat Mas terpaksa menjadi ayah instan untuk anakku."

"Anak kita," ralat Edward. "Aku nggak terpaksa. Aku justru bahagia kamu dan Abhi muncul di hadapanku, Iv, believe me. Dan jangan minta maaf. Aku ... ikut andil. Dulu kita terlalu bebas, terlalu melewati batas. Dan hari ini saatnya menebus dosa."

"Tobat ke Tuhanmu, Mas," tutur Ivory lembut.

Edward menutup matanya, menangisi bukti cinta sekaligus dosa masa lalunya: Ivory dan Abhimanyu.

Tangis Edward membuat Ivory ikut tersedu.

"Menikah dengaku, Iv."

Ivory menggeleng pelan. Ia tersenyum getir, memandang nanar pekerjaannya yang terbengkalai di meja. Bukankah ini keinginannya selama membesarkan Abhi sendirian? Memiliki keluarga lengkap, apalagi dengan kehadiran Edward, pria yang ia cintai segenap hati dan karena itu ia ikhlas menyerahkan kehormatannya sebagai wanita? Doa-doanya terwujud, kan?

Tapi ia tahu, betapa banyak konsekuensi untuk menikah. Orang tuanya, orang tua Edward, dan Tuhan mereka.

"Mas, bagaimana mau menikah kalau ... kalau Tuhan kita berbeda?"

Edward malah tersenyum, membuat Ivory bertanya-tanya.

"Dengan Farzan, aku nggak hanya belajar bagaimana cara menjadi ayah, Iv. Aku juga belajar tentang ... Tuhanmu."[]

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
@carsun18106 : Hi Kak Riri. Terima kasih udah mampir dan terima kasih juga untuk ulasannya. Wkwkwk, ternyata Ivory eksotis ᕕ( ᐛ )ᕗ
Baguuus singkat dan padat, ngga bertele2, tp td saya salah sangka, dlm bayangan saya, ivory berkulit putih sesuai namanya 😊
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi