Disukai
0
Dilihat
555
Dor!
Drama

“JANGAN banyak omong!”

Makiku pada pria paruh baya itu. Sorot mata keruhnya jatuh ke sepasang sepatu tenis. Air seni yang bau melumeri kedua paha hingga betis pucatnya. Orang seperti dirinya sesekali harus diberi pelajaran.

Tapi kau tak usah khawatir. Aku tak sungguh-sungguh bakal membunuh pria itu. Coba lihat, ia bahkan tak berani untuk sekedar berkedip, bahkan bernafas pun nampaknya segan. Akan kukatakan padanya, senapanku ini berisi peluru hampa yang tak akan mengirimnya ke surga atau ke neraka. Tak perlulah ia repot-repot berdoa dan berharap yang tidak-tidak.

Ia memang tak menyadari tingkahku ini. Ia bicara terus-menerus. Sampailah aku sedikit kesal, dan kutunjukkan senapanku padanya. Namun, sesaat sebelum kubidik, ia masih saja bersuara, berteriak-teriak seolah aku ini dilahirkan tuli. Kalimatnya menunjukkan ia lah yang paling benar, paling jitu. “Sampean harus menghormati orang berumur sepertiku, anak muda!” katanya. Nah, di situ kepalaku mendidih. Kuacungkan saja moncong senapan ke arahnya. Dan setelah kugertak, barulah ia diam.

“Dengar, orang tua, kau semestinya lebih paham ketimbang aku yang masih muda ini. Tapi nyatanya kau sama saja. Sama bodohnya!” kataku. Ia lantas diam. Entah ia setuju denganku, aku tak lagi peduli. Aku dan senapanku hanya bertugas memberi pelajaran. Hal-hal di luar itu tak lagi kupikirkan sebab akan menjadi beban saja. Toh, bisa bertindak demikian pun diriku sudah senang.

Mata pak tua mulai mencuri pandang sesekali. Kubalas lirikannya, dan ia pun menatap. Tatapan yang akan selalu kuingat, tatapan orang yang menyerah, yang kosong, yang kalah. Kedua mata itu mulai berair, lalu dengan punggung tangan yang keriput ia seka tepian matanya, “Silakan tembak aku. Aku mengaku salah. Sungguh, aku memang bersalah.”

Sombong nian kakek ini rupanya.

“Aku tak bisa memenuhi keinginanmu yang terakhir itu, pak tua. Kecuali kau benar-benar tahu letak kesalahanmu di mana.”

“Aku sudah menyadarinya. Mestinya aku tak melakukan itu. Sekarang silakan tembak aku.”

Angin malam mencakar-cakar, perlahan mengeringkan air mata putus asa sosok di hadapanku ini. “Pergilah pak tua. Tanpa kedatanganku, ajal tetap akan menjemputmu.”

Kuselipkan senapan ke belakang punggung. Daftarku belum selesai untuk malam ini, dan tak ada waktu membuang mayat orang tua itu ke selokan jika aku harus membunuhnya.

 

***

 

“Ampuuunnn, ommm!”

“Berisik kau, bocah! Duduklah!”

Terduduklah ia dengan posisi yang sungguh mengibakan. Hanya separuh dari pantatnya yang mendarat di semen trotoar. Sementara kedua kakinya tertekuk, dan kedua lengannya memeluk lutut. Sayang ia sama-sama banyak omong, dan aku benci, sangat membenci mereka yang sudah tahu salah tapi masih piawai berdalih.

Jika kata-kata cukup membuat orang-orang seperti mereka sadar akan ketololannya, maka senjataku ini tak kuperlukan sama sekali. Tapi sialnya, justru kata-kata semakin percuma seiring lusinan butir peluru dimuntahkan sepucuk revolver setiap hari, entah itu di Boston atau Papua; di pekarangan rumah atau di dalam kamar mandi.

“Apa yang terlintas di benakmu pada saat itu, hey bocah?” tanyaku, sembari kutegakkan kembali moncong senapan lurus ke kepalanya yang tertunduk lesu.

“Aku tak tahu, om, s—sungguh, aku tak tahu!”

Om dia bilang. Tengil sekali. Aku disamakan dengan om-om.

“Benar kan dugaanku. Kau memang pantas untuk kubinasakan. Dunia ini sudah terlalu banyak orang pelupa sepertimu, bahkan di umur yang masih muda sudah didera pikun yang akut. Kalian memang generasi menyedihkan! Cuah!”

Bercak ludahku menyambar rambutnya. Ia tak bergerak sedikitpun. Kukira, aku bisa memancingnya agar menatapku, menatap mukaku, menatap lubang dalam jiwaku. Tapi ternyata tidak; tak akan pernah. Rambut a-la John Travolta-nya itu kini harus dibilasnya dengan tangis jika tak cukup dengan shampo. Itu pun jika ia jadi aku. Ia hanya beruntung liurku bukan peluru, dan air liur itu tak akan membuatnya lumpuh.

Sebenarnya, jauh dalam lubuk hatiku, aku pun ingin melupakan masa laluku. Tapi tak sanggup. Masa lalu itu malah jadi mimpi buruk. Aku tak bisa melupakan separuh wajah dan pancaran matanya. Sesosok wanita yang mengaku sebagai ibuku. Aku menolaknya, meski saat ia ulurkan tangannya untuk bersalaman, 13 tahun lalu, aku merasakan rasa rindu yang tak terpermanai akan orang asing itu. Ada lubang, ada jurang yang tak bisa kuseberangi dalam diriku sendiri. Semakin keras kulupakan, semakin keras kukubur rasa rindu ini, semakin besar keinginanku untuk membunuhnya. Dan aku tak lagi sanggup. Aku hampir menyerah.

“Aku akan menghitung mundur. Pikirkanlah segala perbuatanmu sebelum hitunganku menginjak angka satu dan nyawamu terbang. Sepuluh; sembilan; delapan; tujuh; en—“

“Aku mengaku bersalah, om!”

“Jangan kau pura-pura.”

“Sungguh, om –dan demi belulang brontosaurus, berhentilah memanggilku om!—aku tidak berbohong, kini aku ingat. Aku betul-betul ingat. Jangan tembak aku, kumohon.”

Bocah kasihan itu menengadah ke arahku. Sepasang matanya lagi-lagi basah. Sorot mata yang kalah. Aku benci melihat bola mata yang memendarkan suasana pupus itu. Ia menyerah, padahal belum tentu aku akan membunuhnya. Apakah ini yang disebut-sebut penyerahan total? Apa bola mata Yesus ketika disalib memancarkan aura yang sama? Apakah permintaan bocah ini mengada-ada belaka?

Sebetulnyalah ia bisa melawanku. Badannya tegap dan kekar. Tingginya melebihi tubuhku. Mungkin aku akan kewalahan jika ia loncat dan menerkamku secara tiba-tiba.

“Sudahlah. Sebutkan kesalahanmu. Hitunganku masih berlanjut!”

 

***

 

Dua orang lagi dan setelahnya aku bisa tertidur pulas. Aku sudah menguntitnya, aku sudah menjadi bayangannya. Tak ada yang luput dari pengamatanku. Di malam hari, ia masih berada di dalam kantor. Pukul sebelas malam pun belum juga beranjak dari ruangannya. Sungguh ia seorang karyawan yang gigih, yang bekerja keras, tapi aku tak peduli akan semua itu. Ia kini ada dalam daftarku, dan daftarkulah yang akan membuatnya tersadar.

Pukul dua belas lewat sepuluh menit. Hari sudah berganti, dan ia keluar dari ruangannya. Tak tampak di wajahnya raut kelelahan. Kutangkap samar kedua matanya pun masih menampakkan sorot yang tegas, yang gagah, dan tampaknya malam ini tak ada sedikitpun keraguan dalam dirinya. Ya; simpanlah. Simpanlah itu hanya untuk malam ini, monsieur.

Ia berjalan melewati kubikal-kubikal yang telah ditinggali. Ia melewatinya dengan langkah yang tap-tap-tap seolah benda-benda tersebut menaruh hormat perwira padanya. Ia melangkah semantap derap para serdadu sebelum perang, tegas dan tak sabaran.

Lelaki ini memang betul cekatan. Tapi, boleh jadi timbunan kafein belum sepenuhnya hilang dalam aliran darahnya. Aku tahu ia menenggak tujuh bungkus kopi hitam dalam sehari. Dan tak bisa tidak, harus tujuh bungkus. Jika kurang, harinya bisa berantakan. Sebab yang membuatnya mampu bekerja segiat itu bukanlah kehendaknya, melainkan kafein. Adapun jika berlebih, ia akan terdengar seolah mempunyai tiga mulut yang berbicara di saat bersamaan.

Kau bertanya kenapa? Aku ini bayangannya sendiri.

Meski begitu, aku tak boleh lengah. Aku bersijingkat mengikutinya. Pelan sepatuku menginjak lantai, senyap kuayunkan kakiku, yang berada belasan langkah di belakang punggungnya.

Ia menuruni tangga, aku ikut menuruni tangga. Anak tangga itu seperti labirin, spiral, dan sudah sebagian gelap akibat lampu-lampu kantor separuhnya dimatikan. Aku bisa melancarkan aksiku di sini, tapi aku tak tahu apakah seorang dua satpam berada di tiap lantai ruangan atau tidak. Aku harus bersetia pada rencana.

Akhirnya, sampai juga ia di lobi gedung. Ia berjalan menyusuri sofa-sofa yang mangkrak di bawah lampu gantung. Bunyi langkah sepatu pantofelnya mematuk-matuk dinginnya lantai marmer. Dalam hitungan kelima ia berhenti sejenak. Ia tarik gagang pintu kaca bertuliskan Exit, dan ia melangkah menuju lapangan parkir yang terletak di sebelah kiri gedung.

Ia lantas duduk di balik kemudi dan memasang sabuk pengaman. Aku mengendap di sisi pintu mobilnya, dan tepat di saat ia hendak memutar kunci kontak, kuketuk jendelanya. Bibirku merekah ramah, memberinya isyarat ada sesuatu yang tertinggal. Ia menurunkan jendela mobil, mencondongkan kepalanya, dan bertanya heran. Kujawab dengan membetot kerah bajunya. Di saat yang sama kugenggam tengkuk lehernya, kutekan ia sehingga kepalanya tergantung di luar pintu sementara tubuhnya terikat sabuk pengaman. Ia tersedak, terbatuk, dan suaranya parau. Tentu saja ia tak bisa berteriak, dan pekiknya cuma terdengar seperti suara orang muntah akibat alkohol murahan.

“Tingkahmu itu, kok ya petantang-petenteng, bos?” tanyaku. Kedua lengannya meronta, tetapi tetap tak bisa menggapai barang sejengkal lengan dan wajahku.

“Hoekkk.. hoeekkkk, jjoijnewriuyuxxux!”

“Ya, kalau sudah seperti itu, mau bagaimana lagi, bos?”

“iuoiuuxbcbcbxxxx, hoeekkk!”

“Menyerah?”

“Hmmiyya..nnxxx hoeekkk.. yyaxxee!”

Kulepaskan genggaman tanganku. Ia terbatuk memegang lehernya. Jakunnya mungkin tertelan.

“Masih ingat? Seminggu yang lalu? Coba, lihat mukaku sini,” di saat bersamaan kuhunuskan senapan dari balik punggung.

Sorot matanya terbelalak seketika. Cepat-cepat ia menjawab, “Iya. Iya maaf! Aduh! Maaf! Ampun-ampun, tolong, tolong, hoeeeelkkk, maaf, tak akan sekali-kali lagi saya u—u—ulangi.. hoeekkk!”

 

***

 

Aku datangi ia di kamar nomor 145. Kedua matanya terpejam, begitu pulas dengan sedikit dengkuran, dengan badan dan wajah menghadap ke tempatku berdiri. Di balik selimut putih yang menutupi sekujur tubuhnya hingga leher, ia memunggungi sesosok lelaki. Aku tahu lelaki itu bukan suaminya. Aku tahu lelaki itu memiliki tato yang sama dengan yang kupunya di bahuku. Aku tahu getar suaranya sama dengan getar suaraku.

Perempuan itu pun mendekap pemuda yang sama-sama terkulai. Dan yang aku tahu, pemuda itu bukan juga sanak familinya, dan bukan pula ia abangku, bukan ayahku, bukan teman atau musuhku. Aku hanya tahu pemuda itu memiliki air muka yang sama dengan mukaku. Ia memiliki potongan rambut yang sama, dan bentuk hidung yang sama dengan milikku. Mereka semua telanjang. Kulihat pakaian dan celana dalam berserakan di sekitar ranjang. Apa yang mereka lakukan sebelum kudatangi kamar ini, aku tak yakin ingin tahu.

Aku hanya akan datang atas apa yang perempuan itu lakukan. Bukan terhadap mereka, tetapi terhadap saudara kembarnya. Ah, apa pula hakku? Mestinya aku tak lagi menyebut diriku ini kembarannya. Aku ini cuma sampah belaka. Persisnya, dahulu sekali ia meninggalkanku, dahulu sekali ketika aku belum bisa mengokang senapan dan terlalu cengeng menghadapi dunia.

Aku ingin membunuhnya. Dan mengganti kulitku dengan kulitnya.

Seorang bidan pernah mengatakan –tolong redam ingatanku!—aku ditemukan meringkuk di dalam kardus kulkas, –jangan dilanjutkan, kumohon—berselimutkan kantung plastik merah muda, —kumohon!—dengan sisa sayur busuk berserakan, ya; berserakan, di sekitar kakiku.

Kumohon...

Kini aku tak mau menitikan air mata. Aku tak mau terisak saat ini hanya untuk mengingatnya. Tak perlu kuceritakan, sebab ceritanya akan berakhir kelak saat kutarik pelatuk ini. Tembaga mungil di ujung telunjukku sedari tadi sudah meminta untuk kupicu.

Tapi aku tak mau menangis. Ah, sungguh, aku tak ingin menangis. Tolong, jangan anggap aku sedang menangis. Mataku perih, tapi jangan kira aku menangis! Aku... aku hanya merindukannya, aku... aku hanya ingin mencintainya, untuk yang terakhir kalinya—Dor!

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi