Disukai
0
Dilihat
650
Don
Drama

KURANG BEGITU JELAS kapan dan di mana aku bertemu Don. Seketika ia terlintas, sekelebat, lalu mendekam lama dalam kepalaku di antara nama-nama yang pernah kukenal. Aku ingin mengenalnya lebih jauh, tapi tak ada yang tahu rimbanya. Ia sendiri tak pernah tahu, aku membenci “aku” dalam setiap pengungkapannya. Aku punya masalah untuk menuliskannya dengan gaya dan cara tutur yang personal. Demikian aku hanya menuliskannya sebagian, selebihnya mengisahkan Don apa adanya.

 

Dua hal memang betul-betul menyakitkan dan membuat Don patut dikasihani oleh kita semua. Jalinan asmaranya bubar begitu saja dan ini merupakan perkara pertama. Padahal, Don sudah merasa mantap dan pasti dengan Nae, dan kepastian itu membuatnya tak lagi bisa membayangkan perempuan lain selain Nae. Memang cuma seumur jagung, yakni setahun empat bulan kurang sedikit jika dihitung dari hari di mana Don menggenggam jemari Nae; setahun empat bulan pas, jika dihitung oleh Nae yang menerima ajakan Don melahap sate ayam di penghujan malam Minggu. Setahun empat bulan saja dan memang teramat singkat.

 

Nae memutuskan jalinan asmara mereka lewat telepon. Tak jelas betul awal mulanya mengapa. Sebelumnya mereka baik-baik saja, di langit pun tak memunculkan tanda apa-apa untuk sekedar menyiratkan bakalan ada kekasih yang bubar di sore itu. Kontan Don kaing-kaing, ia meraung-raung kesetanan, lantas mengiba, dan sesekali sok-sokan tegar. Namun, upaya apapun nyatanya tak kuasa mengubah keputusan Nae, “Kita memang harus jalan masing-masing,” kata Nae. Itu terdengar begitu lekas. Ia tutup pemberitahuannya pada Don dengan nada selamat tinggal khas operator seluler.

 

Hari-hari Don mendadak monokrom.

 

Hidup Don berangsur kelabu jika tidak melulu hitam. Ia dekaden. Bangun-kerja-tidur. Diulang selama lima hari, bahkan lembur di hari keenam. Tak ada yang menarik dari situ untuk diceritakan. Sedangkan hidup Nae, bekas kekasihnya itu, beruntung tak separah Don. Harinya tak pernah monoton, harinya selalu puspa warna; bagai pelangi, mejikuhibiniu, warna-warni. Esok bertandang ke si-A, lusa dikunjungi si-B, atau seringkali di hari yang sama mesti menghadiri beberapa acara berbeda. Jika dirasa luang ia pun akan menghadiri undangan kerabatnya untuk sekedar merayakan hari jadi temannya yang berpasangan. Meski jadwalnya padat, Nae bukan wanita karir. Ia hanya orang yang pandai menambah daftar teman yang tak sebatas nomor kontak di ponsel, tetapi teman, mereka yang bisa dan rela untuk ada pada suka, duka, dan ketika Nae sedang pongah sekalipun. Tapi, bagi Don, kualitas hidup Nae yang seperti itu tentu bakal memudahkannya melupakan sang mantan; mengubur Don di kedalaman kenangan, cepat atau lambat.

 

Memang tak ada yang mengetahui kedalaman hati perempuan. Meski Nae tetap sibuk, dinamis, dan selalu bergerak, bisa saja hatinya kosong. Parasnya masihlah lembut dengan senyum yang duhai menawan. Tapi bisa saja di balik itu semua tersimpan kegetiran. Siapa yang tahu? Nae memang pandai menyembunyikan perasaannya yang terdalam. Berbeda dengan Don yang langsung tenggelam di palung kegalauan dan menghilang begitu saja dengan alasan, “Buat apa hidup kalau sudah tak punya tujuan?” begitulah. Hanya saja, belakangan Don tarik sendiri ucapannya itu. Ia emoh jadi hippies yang nomaden. Sebab keong saja punya rumah, pikirnya.

 

Demikian juga dengan cita-citanya membangun rumah lalu mengisinya dengan cinta kasih bersama Nae. Cita-cita itulah yang membuat hubungan mereka terbilang serius. Serius hendak mengarahkan hubungan itu pada tujuan yang seperti apa, dan bukan sekedar jalan-jalan di malam Minggu atau bersayang-sayang via pesawat telepon. Namun, kembali, semua harapannya longsor. Maka wajar jika kuburan, yakni kesunyian yang bukan alang-kepalang, sempat dipilih Don sebagai laku hidup untuk beberapa saat.

 

Yang tak Don sangka-sangka, sepulang dari kuburan ia rajin menulis. Tepatnya, memaki-maki lewat tulisan alih-alih berpuisi dengan lirih. Ia mempelajari teknik-teknik gokil untuk mengubur kisahnya sendiri. Paling tidak, kelak orang-orang yang hampir mati kebosanan bakalan membacanya dan o, ada juga orang-orang menyedihkan dengan penderitaan yang tak kepalang; atau, menjadi bahan cerminan bagi siapa pun yang ingin bunuh diri, kemudian mengurungkan niatnya lalu pergi ke kuburan untuk menulis. Siapa tahu? Kata Don: “Kepujanggaan adalah cara ampuh. Aku ingin menulisnya seburuk mungkin dengan cara yang indah.” Begitulah, entah cara ini berhasil atau tidak, hanya dirinya yang mampu menjawab.

 

Namun demikian, tak bisa dipungkiri bahwa sebetulnyalah Don telah terbuang. Dirinya merasa tertipu dalam sebuah permainan bernama cinta. Ia kadang masih menaruh curiga akan semacam konspirasi atau takdir gaib, yang membikin relasinya berakhir begitu saja tanpa syak wasangka, pula tanpa prahara. Don berpikir, ia bisa saja menolak, artinya memaksakan kehendaknya pada Nae sambil meyakinkan bahwa hubungan mereka akan berjalan baik-baik saja. Tapi, yang namanya kecemasan, keinginan-keinginan yang obsesional, memang tak pernah betul-betul sirna atas nama cinta yang agung sekalipun. Nae memang telah lebih dulu memaksa Don untuk menyerah, “Karena cepat atau lambat, kita pun akan berpisah juga. Entah oleh sebab apa.”

 

Don sebenarnya bisa menangkis alasan Nae yang satu itu. Tapi rahangnya membeku. Ia sudah tersungkur bahkan sebelum Nae mengakhiri kata-katanya. Sungguh, jika kata tak bisa menyampaikan perasaan, ia ingin menyanyikan syair bikinannya saja. Pelan, syahdu, jika perlu meratapinya hingga air matanya benar-benar tak lagi tersisa untuk menangisi hal-hal yang tak lagi penting. Seperti angan-angannya yang dulu ia bangun bersama Nae; cita-citanya, harapannya, khayalannya, fantasinya, hidupnya. Semua tak lagi sepenting sosok yang menjadikan semuanya sepenting dirinya, sepenting Nae, dan hanya karena Nae semata.

 

Seumpama Don bisa menyanyi dengan betul; jika ia menggemari musik sebagaimana Nae menyukai musik, maka lelaki itu telah melaksanakan When a Man Loves a Women milik Otis Redding. Ia pun telah mengamini Elvis Costello dalam tembang berjudul She. Nae sendiri sanggup mengkhatamkan The Moon Song dari Karen O, dan sesekali keduanya sama-sama berikhtiar pada lirik Forever Love milik Gary Barlow. Tetapi, apa boleh buat, semuanya sudahlah kandas. Selesai begitu saja tanpa aba-aba terlebih dahulu, tanpa fade out, tanpa koor dan tepuk tangan.

 

 

SAMPAI DI SINI, aku bisa begitu fasih menggunakan karakter Don untuk menguliti alur dan benang yang teramat tipis. Bahkan tak lagi mampu merasakan barang secuil kehadirannya. Demikian aku akan meneruskannya, sampai mana Don bisa kukisahkan.

 

Dua hal yang betul-betul menyakitkan bagi Don. Dan yang kedua ini adalah sebuah harapan yang rupanya kosong belaka. Betapa tidak kosong jika tiap usaha buat mengisinya selalu gagal? Betapa tak melompong jika curah perhatiannya kadung membikin semuanya terasa menyayat-nyayat? Alangkah betul jika ia, walau hancur luluh-lantak tak berbentuk pun, mesti tetap tegar di hadapan Nae. Don tak harus membuat Nae kembali bersedih hanya karena melihat sosok di depannya itu begitu memilukan dan berhati batu. Nae pun tak perlu menyesali lagi pilihannya yang terlampau tak masuk di akal kerdil Don. Lagipula, Don memang masih ingin bercerita, berkasih-kasih, sedang Nae pun masih urung mengubur kenangan bersama Don yang memang tak tergantikan. Sesungguhnyalah, jika dewi amor merestui, mereka hanya perlu tetap berteman dan berlaku sebagaimana teman kebanyakan.

 

Di sinilah masalahnya. Untuk jenis pertemanan seperti itu, kepandaian masing-masing untuk menyimpan rasa perih adalah kunci guna membuatnya langgeng.

 

Dan memang cukup tragis. Mereka tak bisa beranjak ke manapun. Tiap kali Nae bercerita betapa senangnya hari-hari yang ia lalui bersama Don, lelaki kangkung itu hanya terpekur. Tak jarang ikut tersulut perasaannya lalu menolak mentah keputusan Nae mencampakkannya. Atau, ketika Don merasa ingin menjalin obrolan, pesan yang diterimanya tak lagi menggemaskan sebagaimana dahulu. Mungkin mereka sama-sama tahu, jika mengulang kebiasaan selayaknya kekasih, maka akan tetap berkubang pada roman yang sama. Hal itu memang menyakitkan. Tapi apa daya? Komunikasi dengan tutur cerita menyeret-menyerempet kenangan yang sudah lagi sungsang dan koyak-moyak, memang tak ada gunanya jika mereka betul-betul sadar bahwa hati mereka tak lagi saling tertambat seperti dahulu.

 

Sekarang, perasaannya memang tak karuan lagi. Ketika hendak begini, tetapi juga mesti begitu. Dan ketika harus begitu, sama sekali tak akan membuatnya sesuai dengan keinginan alias sia-sia. Don sempat berpikir soal gerangan apa lagi yang mesti dipertahankan dari hubungan “pertemanan”-nya dengan Nae, juga selepas ia bubar dengannya begitu saja. “Itu terserah kamu. Aku menuruti kemauanmu,” begitu jawab Nae tiap kali Don mengasongkan kebingungan. Kata-kata itu selalu meluncur dengan tenang, seolah tanpa beban emosi apapun. Atau, jangan-jangan Nae sendiri sudah muak dengan Don? Pertanyaan ini pun tak jarang terbersit di tiap pesan tak berbalas, atau panggilan telepon yang lebih banyak ‘tuuuuuuuuttt...’. Hal yang semakin menenggelamkan Don ke dasar palung, yang mungkin tak menunggu terlalu lama lagi bagi gempa besar melongsorkan dinding-dinding palung dan mengubur Don di kedalaman yang tak kan pernah terjamah.

 

 

AKHIRNYA, hal-hal yang menyakitkan Don itu mesti dituntaskan. Kata para motivator di televisi, tak baik terus-menerus dirongrong bayangan penyesalan, ragam nestapa, terlebih kenangan yang kelam. Manusia harus menatap ke depan, ke arah kemungkinan, dan yang paling utama adalah menciptakan kemungkinan baru di hari yang baru. Kalimat barusan terdengar mewah di telinga Don. Hatinya jadi agak berdegup dan pikirannya sedikit menyala. Jika Don menginginkan yang terbaik bagi Nae, artinya, ia pun mesti tetap tegar menjalani hidup. Don mesti siap menerima pahit-manis kenyataan. Nae tak lagi mengingini Don untuk menjalani hidup bersama; Nae mengingini yang-lain, bukan Don, karena Don adalah Don yang unik dan tiada yang lain; makanya Don hanya bisa berharap dalam temaram asmaranya bahwa kelak ada lelaki yang lebih mumpuni mengayomi Nae sepenuh hati, lebih berpenghasilan, lebih tampan, lebih pintar, dan tentunya ia lelaki yang menyembah Tuhan dan rajin melaksanakan ibadah, “Pokoknya sempurna,” seperti apa yang diidamkan Nae selama ini, yang memang tak ada pada diri seorang Don.

 

Kuakhiri di sini saja. Nasib Don lebih mirip nasibku, dan itu sungguh memalukan jika kelak dibaca orang banyak. Ketimbang karakter-karakter lain yang pernah kureka-reka, Don adalah yang paling mungkin sekaligus sukar. Padahal, aku mau saja membikin karakter Nae sesuai keinginan Don, “menulisnya seburuk mungkin dengan cara yang indah.” Mungkin, lain waktu aku akan menuliskannya demikian.

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi