Disukai
2
Dilihat
2,618
DIVISI
Slice of Life

Ah. Bosan.

Sudah jam setengah sebelas. Aku sudah berada di kantor. Duduk di mejaku. Layar komputer menyala, memperlihatkan tabel-tabel di microsoft excel. Laporan untuk bulan ini. Keuangan perusahaan sedang dalam kondisi yang kurang baik. Hal itu lumayan memengaruhi pikiranku hari ini. Menurut pendapat para ahli, tahun depan akan terjadi kelesuan di ekonomi dunia. Mau tidak mau Indonesia pun akan terkena dampak dari permasalahan tersebut. Sudah banyak perusahaan yang memutuskan untuk memangkas besar-besaran biaya mereka, terutama untuk perusahaan rintisan.

Di saat kondisi seperti ini sangat sulit untuk mengharapkan ada gelontoran dana yang besar dari para investor. Ketika tingkat suku bunga dinaikkan drastis, para investor lebih memilih untuk menahan aset mereka ke alam instrumen yang lebih aman. Perusahaan rintisan pun harus berhenti ‘membakar’ uang seperti kebiasaan mereka beberapa tahun belakangan.

Biaya promosi ditekan. Biaya operasional diperketat. Efisiensi dimana-mana. Tentu saja yang paling tidak diinginkan oleh banyak orang adalah pemangkasan jumlah karyawan. Di luar sana, sebagian besar dari perusahaan rintisan sudah melakukan efisiensi hampir setengah dari jumlah pekerja mereka. Biaya dari investor yang sangat besar membuat mereka melakukan perekrutan besar-besaran, meski sebenarnya tidak diperlukan. Demi melonjaknya nama perusahaan di media sosial.

Ah. Aku sudah terlalu lama meracau. Kembali ke awal, aku sempat merasakan kebosanan. Sejujurnya aku pun sudah lelah untuk melakukan pekerjaan ini. Di perusahaan rintisan ternama ini, kalian harus mengucapkan selamat tinggal kepada prinsip work life balance yang kalian sanjung sebelum terjun ke dunia kerja. Disini adalah lingkungan pekerjaan yang kompetitif, sehingga saling sikut antar para employee disini sangat mudah terjadi.

Jika kau tidak cukup baik. Jika kau tidak cukup menunjukkan ‘niat’ untuk bekerja, maka selamat tinggallah. Pintu keluar terbuka lebar-lebar. Ada banyak sekali orang di luar sana yang menunggu untuk menggantikan posisimu sekarang. Bukan tanpa alasan. Perusahaan rintisan memang berat dalam porsi bekerja dan sebagainya, tapi ada beberapa benefit yang sebenarnya layak untuk diperjuangkan.

Kecenderungan untuk mendapatkan income yang jauh lebih tinggi jadi salah satu faktor. Fasilitas-fasilitas yang memadai dan sarana-prasarana yang baik juga menjai pertimbangan. Nama perusahaan yang bagus pun akan membuat track record di riwayat kerjamu jadi jauh lebih bernilai. Makanya banyak yang rela berdarah-darah untuk beberapa saat disini agar kelaknya mereka bisa mendapatkan pekerjaan yang lebih nyaman dan bergengsi. Itu bisa meningkatkan value kita, sehingga daya tawar di pasar kerja jauh lebih besar.

Oke. Itulah alasan kenapa aku masih bertahan. Aku suntuk dengan pekerjaan yang terus-menerus datang. Tak ada hentinya. Apalagi di periode-periode sibuk seperti ini. Kalau aku melihat daftar pekerjaan yang harus kuselesaikan…. Hmmm. Aku langsung kehilangan mood saat melihat setumpuk to do list yang kutulis di cloud notes. Oh, Tuhan. Aku lelah, tapi aku takut sekali jika aku kehilangan fokus… aku juga bisa kehilangan pekerjaan ini.

Maka dari itu, aku berusaha untuk melawan kebosanan. Melawan kesuntukan. Melawan rasa malas.

Di era pemecatan yang sedang panas-panasnya, perusahaan tentu sangat sensitif dengan performa yang para karyawannya berikan. Kesalahan kecil saja bisa diungkit jadi permasalahan yang besar. Jika di hari biasa itu hanya akan berakhir jadi secuil masalah yang dilupakan, maka akan lain ceritanya jika itu sudah berada di periode panas ini. Satu kesalahan kecil bisa menendang bokongmu dengan keras, membuatmu keluar dari pintu perusahaan.

Jemariku perlahan bergerak kembali ke atas keyboard. Angka demi angka mulai berjejeran di tabel. Belum lama aku memulai aktivitasku itu, aku sudah mendapat beberapa pesan.

Rina

ROY. TOLONG POSTING DAFTAR HUTANG KITA DI PROGRAM.

Haduh. Kenapa lagi ini sampai pakai huruf besar semua?

SORRY. CAPSLOCK JEBOL.

Bagus sekali. Langsung dijawab.

Oke. Tunggu sebentar.

Aku menutup excel. Kini beralih ke program keuangan. Aku lupa menyelesaikan daftar hutang di program. Ah, pikiranku entah berjalan kemana-mana. Buru-buru aku menyelesaikan semuanya, memastikan daftar tagihan sudah sesuai dengan invoice fisik. Rina bisa mengamuk kalau aku berlama-lama. Dia adalah singa pemarah di kantor ini.

Usai mengabari bahwa pekerjaanku sudah selesai, aku kembali lagi ke tabel laporan keuangan. Kali ini, Ridho yang menginterupsi. Ia adalah teman seruanganku.

Oh, ya. Aku belum bercerita tentang orang-orang di divisi keuangan, ya?

Baiklah. Kita abaikan dulu perkataan Ridho barusan. Aku akan memperkenalkan kalian satu per satu ke orang-orang di divisi keuangan.

Oke. Pertama mari kita mulai dengan seorang wanita muda, lulusan universitas ternama, berpredikat salah satu lulusan terbaik pula. Duduk di pojok kiri ruangan. Namanya adalah Donita. Selalu berpakaian cerah, minum segelas ice americano setiap harinya, dan membara-bara dalam berbagai hal. Aktif di berbagai kegiatan sosial dan komunitas. Idaman banyak orang di luar sana karena punya paras rupawan dan juga kecerdasan. Dia adalah yang termuda di ruangan ini.

Donita belum lama bergabung ke perusahaan. Sejujurnya, itu bahkan belum genap satu tahun. Ia direkrut karena sudah melewati berbagai macam program internship di perusahaan ternama. Ia juga punya nilai rata-rata yang sangat baik yang juga ia dapatkan di universitas yang dikenal banyak orang. Keaktifannya sebagai pemimpin di komunitas-komunitas anak muda penggerak revolusi, hingga organisasi-organisasi di kampus jadi penyebab ia dengan mulusnya bisa bergabung dengan kami.

Oke. Sudah cukup membahas tentang Donita. Kali ini giliran Pak Syahir. Dia bisa dibilang adalah manajer dari divisi keuangan. Sudah puluhan tahun bekerja di industri keuangan. Itu sebabnya ia sangat teliti, cekatan, dan selalu mengingatkan kami untuk tetap fokus agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan. Salah satu orang yang mungkin kurang disenangi oleh pegawai-pegawai di divisi lain dikarenakan Pak Syahir adalah orang yang sangat ketat terhadap keuangan di kantor. Reimbursement karyawan yang berlebihan sering kali ia batalkan dan berbagai hal yang di luar budget perusahaan sangat diperhatikan olehnya.

Di luar dari itu, sebagai seorang pribadi biasa ia adalah orang yang sangat baik. Seminggu sekali biasanya ia mentaktir kami semua untuk makan siang di luar kantor. Ia juga sering memberi saran-saran kehidupan di luar pekerjaan. Tentu bisa dibilang beliaulah yang paling berpengalaman mengenai hal tersebut. Usianya sudah lewat setengah abad. Ia adalah personil tertua disini.

Selanjutnya. Kita beranjak ke Raisa.

Bukan penyanyi. Dia anggota divisi keuangan. Usianya sudah hampir tiga puluh. Ia masih lajang. Kutu buku, dan selalu bicara tentang filosofi kehidupan di kala ada kesempatan. Mungkin itu juga sebabnya jarang ada lelaki yang ingin mendekatinya. Raisa sangat mandiri. Ia bisa melakukan berbagai hal sendiri, termasuk beberapa hal yang terkadang dikerjakan lelaki. Tanpa disuruh, ia pernah mengganti beberapa set lampu kantor yang sudah mati. Ia juga sering jadi orang yang mengangkat galon, mengangkat barang-barang berat, dan beberapa pekerjaan kasar lainnya.

Dia juga hanya berbicara seperlunya saja. Namun, jika dia sudah angkat bicara terhadap satu hal, maka hal itu pastilah benar-benar penting. Raisa adalah orang yang selalu kami perhatikan dengan sungguh-sungguh ketika ia mulai bicara panjang lebar. Dari situ biasanya ia mengeluarkan kata-kata yang tidak kami duga. Pemikirannya sangat bagus. Ia sangat kritis terhadap kondisi-kondisi terkini, terhadap isu-isu sosial, masalah-masalah kemanusiaan di luar sana. Sebenarnya dulu ia ingin berkuliah di jurusan Sosiologi. Passion, itu katanya. Ia begitu tertarik dengan bidang tersebut. Sayang, demi keluarganya ia terpaksa mengambil jalur aman. Berkarir di bidang keuangan yang jauh lebih pasti bisa memberi makan ibu dan adik-adiknya.

Kita beralih lagi ke orang yang berada di sebelahku ini. Ya. Ini Rico. Mungkin bisa dibilang partner yang paling dekat di kantor ini. Kami sering dipasangkan untuk melakukan tugas bersama-sama. Kami sering bepergian hanya berdua di waktu-waktu tertentu. Di makan siang kantor sampai sekadar mampir ke café seberang jalan ketika pulang kerja. Dia memiliki banyak hobi dan kesamaan denganku. Aku dan Rico masuk di perusahaan ini dalam waktu hampir bersamaan. Kami masih sama-sama lulusan baru waktu itu. Hampir setiap hariku di perusahaan ini sudah pasti melihat wajahnya. Apalagi, ketika ada perjalanan dinas ke beberapa kota luar pun, kami yang sering dipasangkan bersama. Anak muda dan lelaki katanya. Jadi, perusahaan lebih memprioritaskan.

Rico ini adalah tulang punggung keluarganya. Ia harus memberi nafkah ayahnya yang sudah sakit-sakitan, serta dua adiknya yang masih bersekolah. Di luar pekerjaan kantor yang super sibuk, ia juga sering melakukan kegiatan freelance menjadi editor, kameraman, atau apapun yang berkaitan dengan video dan foto. Katanya untuk mengisi waktu luang dan menyalurkan hobi saja. Padahal, semua orang pun tahu seberapa keras Rico berusaha agar keluarganya tidak kekurangan. Ia adalah salah satu teladan di kantor ini.

Oke. Terakhir adalah Ridho. Anaknya sangat aktif. Jangan pernah takut kehabisan topik bicara saat berkumpul dengannya. Ia adalah orang yang bisa berbicara tentang hal apa saja. Politik, otomotif, bisnis, olahraga, kesenian, hingga topik-topik receh seperti berapa lama waktu yang diperlukan burung untuk mengeluarkan kotorannya. Itulah alasan kenapa Ridho kurang begitu cocok denganku dan Rico yang cenderung introvert. Kami berdua adalah orang yang akan lebih memilih untuk diam dan menyimak di kala ada perkumpulan. Sementara Ridho adalah orang yang selalu mengambil inisiatif pembicaraan.

Seperti saat ini. Sebelum aku mengenalkan anggota dari divisi keuangan, Ridho baru saja ingin memulai pembicaraan.

“Udah baca kabar terbaru belum guys?” Ridho bertanya. Saat aku menoleh, ia sedang fokus menatap monitor. Kelihatannya sedang membuka portal berita ternama. Aku menggeser kursiku beberapa langkah, mendekat agar bisa membaca judul artikel yang ia baca.

BAHAYA KEUANGAN TAHUN 2023 – BERSIAP-SIAP BADAI PEMECATAN DAN EKONOMI LESU!

“Ini beritanya?” aku mengerutkan alis. Judulnya tidak memenuhi syarat penulisan yang baku. Memangnya ada judul berita yang menggunakan huruf kapital semua? Ini bukan chat dari seseorang yang sedang marah besar.

 

Judul artikel itu pun disertai juga dengan gambar orang-orang yang kelaparan. Anak-anak yang busung lapar dan grafik-grafik yang menunjukkan kemerosotan ekonomi negara-negara besar di luar sana.

“Iya. Gimana menurutmu, Roy?”

Aku mengangkat bahu. “Benar sih tahun depan ada potensi kemerosotan ekonomi.. tapi kalau judulnya sampai kayak gini sih mungkin lebay ya…”

Exactly.”

“Lagi ngomongin apa sih?” pak bos turut nimbrung. Ia bangkit dari kursinya, berjalan ke meja di tengah ruangan. Ada termos berisi air panas. Beberapa gelas dan beberapa toples. Ia sepertinya akan membuat teh tawar panas. Minuman kesukaannya.

“Ini pak. Ada berita yang judulnya lebay,” jawab Ridho.

“Lebay gimana?”

“BAHAYA KEUANGAN TAHUN 2023. BERSIAP-SIAP BADAI PEMECATAN DAN EKONOMI LESU!!” Ridho menyuarakannya bagai orang yang sedang berkampanye. Suaranya lantang sekali. Seisi ruangan langsung memperhatikan dirinya. Ridho cengengesan sendiri. Ia sadar suaranya sudah menganggu fokus teman-teman yang lain.

“Cocok lu jadi pembawa berita,” komen Rico. “Lu baca beritanya dari mana?”

“Nih. Gua kirim aja link beritanya,’ kata Ridho.

Ada nada dering menandakan pesan masuk. Rico meraih ponsel yang ada di meja. “Wih. Portal berita oke punya nih.”

Ridho mengangguk puas. “Lihat jurnalisnya. Salah satu yang punya nama juga, loh. Kupikir ini pekerjaan jurnalis baru yang cuman mau cari perhatian lewat beritanya. Eh ternyata orang yang cukup punya reputasi juga.”

Aku melirik nama orang yang menulis artikel tersebut. Aku mengangguk-angguk sendiri. Nama itu familiar… aku tahu siapa penulis artikel tersebut. Hebat juga dia berani menulis artikel kontroversial seperti ini. Nama baiknya di kancah jurnalisme bisa tumbang. Portal beritanya pun bisa saja mengalami hal yang sama. Di era dimana media sosial sudah berkembang sangat jauh ini.. isu-isu sensitif seperti ini sangat mudah digoreng.

Satu orang panik yang membaca berita ini akan terpengaruh. Bisa jadi ia akan mengirim berita ini ke orang-orang terdekatnya. Atau lebih parah lagi ia akan menyebarnya kemana-mana. Ke grup-grup di facebook atau komunitas-komunitas besar di twitter. Ketakutan seperti ini bisa menyebar dimana-mana. Apalagi, orang-orang zaman sekarang di Indonesia ini memiliki tingkat literasi yang cukup minim untuk hal-hal seperti ini. Mereka jauh lebih senang membaca thread di twitter yang berisi skandal perselingkuhan atau cerita-cerita horror terbaru.

Untuk hal seperti ini, biasanya mereka akan panik hanya dari membaca judulnya saja. Mereka hanya capture judul artikel tersebut, mengirimnya ke berbagai sosial media yang mereka miliki. Hal ini akan menyebar dengan begitu cepat. Artikel itu baru saja diluncurkan beberapa menit yang lalu di portal berita tersebut. Jadi, mungkin efeknya belum terlalu berasa untuk saat ini.

“Kalau jurnalis sudah nulis berita kayak gitu jangan ditelan mentah-mentah,” kali ini pak bos angkat bicara. Ia diam dari tadi karena fokus untuk menyelesaikan teh tawarnya. “Kalian tahu kan tidak semua yang diberitakan di media itu benar?”

Kami semua paham dengan yang dimaksud. Sudah dari dulu media itu bisa melakukan hal-hal yang sebenarnya jauh dari kenyataan. Menggiring isu-isu yang sebenarnya tidak separah yang mereka beritakan. Oleh karena itu, orang-orang harus lebih cermat dan tidak percaya begitu saja dengan apa yang mereka sampaikan. Sayang, sepertinya negara ini masih perlu waktu lagi untuk tahu mengenai hal tersebut. Masih banyak orang-orang di luar sana yang percaya akan hal-hal remeh.

Banyak salah kaprah yang terjadi di luar sana. Era sekarang sudah sangat sulit untuk membedakan mana berita yang asli dan mana yang palsu. Kebohongan ada dimana-mana.

“Iya. Jurnalis itu kan juga sudah cukup sering dikritik akhir-akhir ini. Coba lihat pesan yang aku kirim,” sambung pak bos.

Aku membuka halaman chat group divisi kami. Disana, aku melihat sebuah tautan yang dikirim. Di suatu sosial media, ada postingan di base – semacam akun umum untuk membicarakan topik-topik hangat melalui kolom komentar, dengan postingan yang dikirim oleh anonim – yang membicarakan tentang kontroversi berita-berita terbaru yang dibawakan oleh si jurnalis tersebut. Kolom komen penuh dengan kericuhan. Baru kali ini aku tidak melihat ada yang curi-curi kesempatan dengan mengirim promosi barang jualannya. Sepertinya semua pihak sudah mulai kesal dengan jurnalis ini. Reputasinya yang dulu cukup bagus mulai runtuh karena omong-kosong penyebar ketakutan yang ia buat.

“Gini amat ni orang nyari duit,” komen Ridho. “Enggak baik ya kan, pak?”

Pak Syahir tertawa kecil. “Ya begitulah.”

“Berita kayak gini kan lebih menjual buat mereka,” kataku. “Yah tuntutan redaksi kali. Siapa tau sebenarnya jurnalis itu enggak pengen buat berita kaya gini. Kalau udah punya nama, barangkali berita apapun yang dia buat kesannya jadi valid.”

Aku berusaha berpikir positif. Roy geleng-geleng kepala dari mejanya. Ia tahu aku akan berpikiran seperti itu. Yang tentu saja akan bertentangan dengan ideologi Ridho.

“Ah. Yang bener aja. Masa disuruh begitu langsung mau.” Sudah aku duga dia tidak akan terima dengan jawabanku barusan. “Kita itu sebagai manusia harus punya integritas. Enggak boleh sembarangan main iyain aja perintah siapapun, meski itu atasan kita.”

“Oohh… jadi kalau disuruh sama pak syahir kamu juga enggak mau, Dho?” goda Raisa.

“Yah tergantung disuruhnya ngapain dulu.”

“Kalau saya suruh manipulasi laporan keuangan dan korupsi uang perusahaan, gimana?” gurau Pak Syahir.

“Enggak mau dong pak,” tolak Ridho. “Kalau permintaanya enggak sesuai dengan prinsip saya… mohon maaf saya enggak bisa menuruti.”

“Iya tau. Bercanda aja kali pak Syahir,” aku menegaskan. Aku tahu Ridho pun seharusnya tidak menanggapi dengan serius perkataan Pak Syahir barusan.

“Iya gua tau kok. Bawel lu,” ia mendengus kesal. Mungkin ia merasa diremehkan.

“EH… tapi gimana nih… perusahaan kita. Aman gak kira-kira?” Donita tiba-tiba angkat bicara. Akhirnya ia ikut bergabung ke dalam percakapan kami.

“Yah… sejauh ini sih belum ada masalah ya. Operasional perusahaan masih lancar. Belum ada pemangkasan dana. Belum ada rencana untuk efisiensi karyawan juga,” kata pak Syahir.

“Nah itu tuh yang penting. Jangan ada efisiensi,” tukas Ridho. “Cicilan masih banyak nih.”

“Iya. Jangan sampai lah,” Rico ikut menanggapi. Ia tentu mengkhawatirkan nasib keluarga yang berada di tangannya. Jika sampai terjadi pemutusan kerja, ini bukan hanya tentang dirinya saja. Ada orang-orang yang ia sayangi. Orang-orang yang bahkan lebih ia prioritaskan dibanding dirinya sendiri.

“Betul.” Aku ikut menanggapi. Biar terdengar kompak saja.

“Namun… kalau misalnya beneran terjadi… bakal ngapain ya?” Raisa terlihat kebingungan.

“Yah… mungkin kalau saya mah udah tua ya. Susah kayaknya untuk nyari kerja lain di luar. Tahun depan anak saya udah mau lulus. Jadi, kalau sampai ada pemangkasan mungkin bakal lebih fokus buka usaha tambak atau pemancingan aja. Udah kepikiran dari dulu.”

Menurutku, orang seperti Pak Syahir yang memegang peranan penting di divisi keuangan adalah orang yang paling tidak mungkin untuk dipecat begitu saja. Jika sampai hal itu terjadi, maka perusahaan rintisan ini sudah pasti bangkrut. Pilar terakhir yang mengerti seluk-beluk keuangan di perusahaan adalah Pak Syahir. Makanya, dari nada bicara tadi ia terdengar sangat santai. Optimis. Ia tentu tahu betul ia adalah orang dengan kemungkinan pemecatan yang paling rendah.

“Sama sih,” timpal Donita. “Mungkin enggak akan cari kerja lagi… ada rencana untuk kuliah ke luar negeri… lanjut di Australia sana.”

Siapa yang dipecat malah pergi ke luar negeri? Donita adalah orang tersebut. Aku tidak heran karena ia memang dari kalangan yang berada. Masuk ke perusahaan ini hanya karena ingin membuktikan bahwa ia tidak bergantung kepada koneksi yang dipunyai orang tuanya. Sekadar informasi untuk kalian, papanya Donita itu punya beberapa kebun dan pabrik sawit yang luas di daerah Kalimantan. Jadi, sebenarnya ia tidak perlu khawatir jika dipecat dari sini. Tingkat keamanan finansialnya sangat tinggi.

“Raisa gimana?” pak Syahir bertanya kepada Raisa.

“Belum kepikiran pak. Hehehe.”

“Bisa mulai dipikin tu Sa. Prepare for the worst.” Doni ikut-ikutan menimpali. “Gua terpaksa deh harus coba cari-cari sampingan dulu biar ada pemasukan lain. Jadi, kalau tiba-tiba dipecat kan setidaknya masih ada sumber penghasilan. Kalau masa-masa susah, kita nyari kerjanya juga pasti susah kan ya pak?”

Pak Syahir mengangguk. “Iya. Kurang lebih lah kayak waktu pandemi tahun-tahun kemarin itu. Semoga aja perusahaan kita juga bisa tetap sustain dan lewatin tahap-tahap ‘goyang’ ini. Saya mah masih mau kerja sama kalian.”

Aku tersenyum tipis mendengar itu. Kata-kata yang sedikitnya bisa membuat kami lega sejenak. Sekarang ini kami hanya bisa berharap bahwa kondisi bisa membaik. Atau jikalau kondisi tidak membaik, perusahaan yang masih bisa bertahan. Jujur, aku sendiri tidak tahu juga ingin melakukan hal-hal apa di saat seperti ini. Makanya aku memilih untuk diam, mendengarkan obrolan dari pak Syahir yang jelas jauh lebih berpengalaman. Aku tidak bisa membayangkan badai pemutusan kontrak kerja itu jika benar-benar terjadi. Entah apa yang akan kulakukan nanti.

Sebenarnya. Aku pun tidak terlalu menyenangi pekerjaan yang sekarang ini aku lakukan. Jujur saja sering kali terbesit dalam benakku untuk meninggalkan pekerjaan ini. Ada beberapa hal yang ingin kulakukan. Ada hobi-hobi lainnya. Ada kesenangan-kesenangan lain yang kuharap bisa jadi hal yang kulakukan seumur hidupku. Namun, kenyataan berkata lain. Hal-hal yang aku senangi itu tidak menjadi hal-hal yang bisa menghasilkan nilai bagiku. Aku memang suka, tapi aku tidak cukup baik agar orang lain bisa membayarku.

Aku suka menggambar. Namun, gambarku sebenarnya tidak jauh berbeda kualitasnya dengan rata-rata kualitas gambar anak sekolah dasar. Aku senang menulis cerita fiksi. Namun, aku jijik sendiri membaca hasil kalimat-kalimat yang kutulis. Aku suka sepakbola, tapi di klub sepakbola sekolah aku selalu menjadi orang yang duduk di bangku cadangan.

Itulah mungkin yang harus kuterima.. bahwa tidak semua yang kita suka itu pasti berakhir menjadi pekerjaan kita. Dari situasi ini, aku mulai mensyukuri apa yang diberikan kepadaku. Semoga badai pemecatan ini tidak sampai menerpaku. Karena kalau sudah kehilangan, barulah terkadang suatu hal itu menjadi berharga. 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
keren, realitas hidup banget ini, terima kasih insight nya Kak Terry Tiovaldo, maju terus penuh semangat di bidang keuangan juga literasi, semoga sukses 22nya. Lupain main bolanya, U20 kan batal tanding di RI.