Disukai
1
Dilihat
307
Distraksi
Drama

Aku, Claudia. Aku sedang menempuh studiku yang sempat tertunda selama tujuh tahun karena Aku sibuk bekerja untuk menstabilkan perekonomian keluarga.

Aku pun masih tidak bisa melupakan abang crush saat Aku duduk di bangku sekolah, tepatnya SMA. Kami teman sekelas sama-sama anak IPS bedanya Aku suka membaca sedangkan dia suka menghafal dan saat kelas tiga ia memilih pindah ke kelas IPA. Sejak itu hubungan kita agak renggang dan semakin renggang saat Aku tau ia sudah punya pacar. Sama-sama anak IPA, Aku hanya bisa menangis di pojokan kamar.

Kalau mengingat hal itu aku jadi ingin tertawa. Rasanya lucu sekali saat Aku jatuh cinta tapi tidak punya keberanian untuk menyatakan dan naasnya perasaanku itu hanyalah sepihak. Tak pernah terbalas dan bodohnya sampai sekarang Aku masih terperangkap dengan perasaanku itu.

***

Hari ini Aku akan pergi ke perpustakaan nasional dengan teman kampusku. Aku memilih masuk jurusan sastra Indonesia karena Aku sangat suka menulis dan membaca. Aku bahkan sedang menulis novel di salah satu aplikasi kepenulisan. Pembacanya memang belum banyak tapi Aku tetap menulis karena sangat suka hal itu.

Desi temanku berpesan agar Aku tidak pergi kemana-mana. Ia ingin beli minuman di kantin yang berada di lantai satu perpustakaan. Aku menyanggupinya karena berpikir tidak akan kemana-mana. Aku masih sibuk dengan sepotong buku yang lumayan tebal. Bahkan lumayan membuat kepala pusing kalau terlempar.

Hingga Aku ingin menghampiri salah satu rak yang ada di ujung. Aku berjalan perlahan, Aku kira hanya Aku yang berada di lantai ini ternyata tidak. Aku seakan mendengar suara aneh dari ujung rak itu. 

Seharusnya Aku tidak melangkahkan kaki ke sana. Aku jadi tau kalau dia, orang yang sejak lama ada di pikiranku sedang bercumbu dengan wanita lain. Wanita itu bukan pacarnya saat di SMA melainkan salah satu mahasiswi jurusan manajemen di kampusku. Aku mengenalnya karena kita berada di satu UKM yang sama Teater Cinta Kasih.

Saat itu Aku langsung menutup mulutku agar Aku tidak bersuara. Aku perlahan menjauh dari sana. Rasanya setelah ini Aku akan kesulitan untuk berkomunikasi dengan wanita itu, Nasya. Padahal kami cukup dekat dan Nasya pun sudah tau akan perasaanku terhadap laki-laki itu yang sedang bercumbu dengannya.

Aku menarik nafasku sebentar saja hanya untuk mengontrol pernafasan dan mood yang tiba-tiba saja memburuk. Aku seakan mengutuk kakiku sendiri yang melangkah ke sana dan mengutuk rasa ingin tahuku yang mendorong rasa penasaran yang besar. Aku rasa lebih baik Aku tidak melihat mereka. Tapi ya sudahlah mungkin memang ini jalannya.

Aku pun langsung membawa Desi yang baru saja sampai. Desi tentu terkejut dengan raut wajahku yang memang sangat sulit untuk dikondisikan. Desi cukup pengertian, ia tidak bertanya apa-apa selain menurut saja. Karena ia tahu kalau Aku akan menceritakannya nanti.

***

Aku baru saja cerita sangat panjang kepada Desi sampai Desi menginap di kamar kosku karena ia khawatir kalau meninggalkan Aku sendirian. Takut kalau Aku sampai melakukan hal yang konyol. Ahh anak itu terlalu khawatiran tapi... Kenapa ia sangat mengerti Aku. Aku memang sempat berpikiran yang aneh-aneh seperti menggores tangan atau sekedar mengikat leherku sendiri karena Aku benci. Aku benci dengan diriku sendiri. Aku benci hal ini. Sangat menyesakkan.

Aku sangat kacau bahkan tidak bisa berhenti menangis sampai kelelahan dan tertidur dalam dekapan Desi. Anak itu benar-benar menjagaku, semalaman. Bahkan pagi harinya ia yang menyiapkan sarapan untuk kita dan Desi juga mengajak untuk pergi jogging karena kebetulan akhir pekan, tidak ada kelas di akhir pekan.

Kami hanya berlari kecil di sekitar taman yang jaraknya dekat dengan lingkungan kosku. Taman ini memang biasa sangat ramai saat akhir pekan tiba. Bahkan ada penjual kaki lima yang menggelar lapak-lapak dengan aneka dagangan penggugah selera. Makanan berat hingga cemilan ringan ada disana.

Aku beruntung punya sahabat seperti Desi. Ia selalu menjagaku saat Aku sempat oleng saat sedang berjoging. Aku nyaris menabrak pohon jika kerah bajuku tidak Desi tarik. Aku tidak akan tersandung dan terjerembab ke dalam genangan air kalau Desi tidak mengambil tindakan itu.

Aku benar-benar kacau saat terpuruk begini. Desi pikir dengan mengajakku jogging akan membuat Aku merasa baik tetapi usahanya tidak sepenuhnya berhasil. Aku masih suka melamun. Memikirkan hal itu lagi.

Hingga Roni datang. Laki-laki itu menghampiri kami dan menyapa, tidak biasanya. Roni bekerja di perpustakaan yang kemarin Aku datangi. Ia kutu buku yang jarang membuka obrolan dan lebih sering berdiam di kamar kosnya saat libur kerja. Entah apa yang membawanya sampai kesini.

“Ada apa Ron?” Tanyaku. Aku cukup penasaran dengan eksistensinya. Aku bisa melihat Roni gelisah bagai ada yang ingin disampaikan. 

Roni pun memberikan Aku sepotong buku katanya buku itu untukku dan belum sempat Aku mengucapkan terima kasih Roni telah undur diri. Ia pergi bahkan setengah berlari.

“Buku itu bukannya yang kemarin ingin kamu pinjam? Kebetulan sekali kamu malah memilikinya,” ucapan Desi jadi menyadarkanku. Kini perhatianku pun jadi terfokus dengan buku berwarna kuning yang memiliki judul Indistractable by Nir Eyal buku yang kemarin belum sempat aku pinjam itu. Kini berada di tanganku. 

Entah Sebuah kebetulan atau tanpa Aku sadari saat itu memang ada Roni dan Aku tidak mengetahui akan kehadirannya itu. Aku jadi tersenyum rasanya senang saja walaupun Aku tidak tahu Aku tersenyum karena senang dapat melanjutkan membaca buku ini atau karena ada seorang lagi yang jelas memperhatikanku.

***

Pagi ini Aku ada kuliah pagi jadi sengaja berangkat pagi-pagi sekali namun masih sempat membuat dua bekal makan siang. Rencananya Aku ingin memberikan yang satu untuk Roni sebagai bentuk terima kasihku akan buku pemberiannya dan kata-kata penyemangat yang disematkan di salah satu halaman buku itu. 

Aku melangkahkan kaki dengan semangat dan sesekali tersenyum ramah kepada orang-orang yang Aku jumpai semasa dalam perjalanan ke kampus. Aku juga teringat beberapa bait kata yang semalam Aku baca dari surat yang Roni selipkan itu.

“Claudia. Saya tahu kalau kamu belum selesai membaca buku ini. Maka dari itu silahkan lanjutkan bacaanmu. Anggap saja buku ini hadiah dari saya atas ulang tahunmu…”

“.... Claudia maaf. Kemarin saya melihatmu menangis. Maaf saya hanya bisa terdiam di tempat tanpa usaha menenangkanmu. Kau pasti sangat terkejut.”

“.... Claudia kalau boleh saya memberi saran. Berusahalah untuk melupakan laki-laki itu. Laki-laki itu tidak baik untuk mu. Dia sering melakukannya di sana dengan wanita yang berbeda setiap hari Rabu dan Sabtu. Saya tidak asal bicara. Kamu bisa membuktikannya. Akan tetapi lebih baik jangan. Saya tidak mau melihat kamu menangis lagi seperti kemarin.”

“.... Claudia boleh tidak saya melamar jadi pacar kamu. Maaf kalau terdengar lancang. Tapi memang beginilah yang saya rasakan. Jika berkenan tolong persilahkan saya masuk dalam kehidupanmu Claudia.”

***

Sesuai rencana di awal. Aku sungguh mendatangi Roni dan sekarang kita sedang makan siang dengan bekal yang Aku buat. Hanya roti isi kami cukup canggung. Aku tidak bisa mengartikan apakah Roni menyukai roti isinya atau tidak. Tapi Roni makan dengan lahap. Aku lihat, sesekali ia melirikku. Membuatku merasa malu saja.

“Ada apa? Apa ada sesuatu yang salah pada wajah ku?” Ucapku karena penasaran. Roni tersenyum dan ia pun menjawab, “Tidak ada. Saya hanya tak menyangka kamu datang.”

Aku hanya terdiam. Karena bingung juga ingin menjawab apa. Hingga Roni kembali berbicara setelah ia menelan habis potongan terakhir roti isinya.

“Kamu sudah melanjutkan bacaanmu?” Ucapnya dengan nada yang serius tetapi dengan senyuman yang ramah.

Aku pun berkata, “Masih proses. Bukunya memang bagus tapi Aku ingin membacanya perlahan agar pesan yang ada di dalam buku itu dapat terserap dengan baik.” Aku menjeda sebentar dan kembali mengucapkan terima kasih. Entah untuk yang keberapa kalinya.

Roni tersenyum lagi lalu ia kembali berkata, “Sudah menerima pesan saya?” Roni terlihat penasaran dan senyumnya itu bagai gula yang mulai membuat ku terpanah. Apa secepat itu Aku menyukainya?

“Sudah,” ucap ku dengan malu-malu. Lalu ia pun bertanya lagi, “Jadi bagaimana?”

“Bagaimana?” Aku seakan ingin mendapatkan penjelasan lebih lanjut padahal tanpa dijelaskan pun Aku sudah tau arahnya kemana.

“Baris terakhir dari surat saya. Apa balasan dari kamu untuk saya?” Roni terlihat bersikap tenang tetapi kakinya seakan tidak ingin diam ia juga sesekali berganti posisi bagai sedang grogi. Entahlah.

“Boleh bertanya?” Ucap ku yang langsung direspon oleh Roni.

“Boleh. Tanyakan saja.”

“Sejak kapan? Sejak kapan kamu menyukai saya? Apa kamu tidak salah orang? Kenapa saya?” Aku memang penasaran akan ini. Maka dari itu Aku pertanyakan selagi ada kesempatan untuk bertanya. 

“Jujur saya bingung jawabnya. Tidak ada sejak kapan rasa saya tumbuh berkembang. Tapi sejak pertemuan pertama kita di kosan. Saya rasa cukup meninggalkan kesan yang tak biasa. Setelah itu mengalir begitu saja.”

Ucapan Roni membuat ku mengingat kembali momen itu. Hari dimana Aku tiba di rumah kos dan tak sengaja salah kamar. Aku malah masuk ke kamar kos Roni yang saat itu pintunya tidak ditutup sempurna. Aku ingat saat itu Aku langsung mengira kamar Roni adalah kamarku. 

Ruangan itu terdapat dua ruang yang disekat dengan dinding dan kamar mandi terdapat di dalam. Aku dengan santainya langsung masuk dan menumpang mandi Aku tidak sadar akan kehadiran Roni yang tengah tertidur pulas di atas sofa karena sedang sakit. Roni terbungkus dengan selimut cukup tebal dan tampak tak terlihat yang Aku pikir di atas sofa hanya ada tumpukan kain saja tidak dengan orangnya. Aku cukup lelah dan sangat gerah.

Hingga Aku selesai mandi dan telah berpakaian rapi akan tetapi rambut ku masih basah dan Aku hendak mengeringkannya dengan hair dryer. Suara yang ditimbulkan oleh hair dryer cukup keras sehingga membangunkan Roni. Roni tentu penasaran dengan suara itu dan mencarinya hingga Roni terkejut setelah menemukan Aku berada di kamarnya. 

Lebih tepatnya kami sama-sama terkejut dan cukup menimbulkan keributan. Untungnya saat itu di rumah kos hanya ada kita berdua. Penghuni yang lain sedang ada di luar dengan kegiatan mereka masing-masing.

Aku pun menggelengkan kepala ku agar ingatan yang cukup memalukan itu segera pergi akan tetapi sepertinya bukan hanya Aku yang jadi teringat akan momen itu. Roni juga mengingatnya. Ia tertawa membuat Aku curiga dan salah paham.

“Kamu ingat apa. Sudahlah jangan diingat lagi. Aku yang salah. Kenapa kamu ingat momen itu? Aku sangat malu. Bisa-bisanya Aku salah kamar,” rasanya Aku ingin menghilang saking malunya.

Tapi Roni bersuara, “Setelah itu kamu membuatkan saya bubur. Membelikan obat untuk saya. Saya sangat berterima kasih akan itu.”

Aku tersipu, kala itu Aku beralasan begitulah caraku meminta maaf. Roni hanya tersenyum lalu ia pun meraih tangan ku ia menggenggamnya dan Aku tidak keberatan. Seharusnya ia tau jawaban ku apa. 

Setelah itu Roni mengajakku membeli coffee yang berada di cafe dekat dengan perpustakaan. Aku ikut saja. Kata Roni itu adalah cafe terbaik disana.

Langkah kami ringan dan Kami tersenyum saat menuju cafe itu. Tidak ada salahnya merayakan hari jadi dengan secangkir coffee apa lagi ada beberapa menu baru yang ingin Roni tunjukan kepadaku.

Tamat

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Komentar (0)
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi