Ia adalah sosok tinggi, berwajah menawan dengan perangai yang tak rupawan. Suaranya lantang, membangunkan pagi yang masih mengantuk. Ia pengganggu kelelawar yang hendak begadang di malam hari, ia sahabat para pemeluk lingkaran jalanan. Seringkali menghabiskan waktunya di emperan toko perempatan jalan di dekat kampung. Botol minuman terlarang dengan asap nikotin menjadi temannya berdebat sepanjang malam. Ia, pemuda yang mempunyai cekungan hitam di bawah kantung matanya, sering bergurau dengan mimpi-mimpi sepanjang kehidupan. Ia pemeluk wajah-wajah layu yang mengobralkan suara sumbang di pinggir-pinggir perkotaan. Ia, kau boleh memanggilnya, Dedi. Pemuda yang memeluk usia dua puluh lima, sedang menenggak es tehnya di angkringan. Duduk dengan mengangkat satu kakinya ke atas bangku panjang. Petikan gitar bersenandung. Kawannya sedang menyumbangkan lagu berintonasi datar sebagai penghibur siang. Langit memuntahkan teriknya yang dasyat, peluh-peluh penimbun kertas bercucuran, pemiliknya memasungkan wajah tergesa-gesa, dengan aura garang yang tidak bisa diganggu.
“Kau punya mimpi menjadi penyanyi terkenal?”
“Tidak, aku hanya m...