Disukai
3
Dilihat
7,027
Dia yang Memandang dari Seberang
Drama

Dia yang Memandang dari Seberang

Cerpen Habel Rajavani

KEMBALI ke kampung, setelah sekian tahun, aku seperti kikuk. Sudah seberapa jauh aku tercerabut dari akarku ini? Rumah orangtuaku sudah lama kujual setelah ibu meninggal. Makam ayah dan ibuku semalam kuziarahi. Ada rasa sesal dan bersalah ketika melihat makam mereka tak terurus. Aku menyempatkan untuk membersihkannya. Lelah juga rasanya. Semalam aku menginap di rumah sepupuku. Terlalu malam untuk kembali ke kota. Lagi pula aku masih punya waktu cuti beberapa hari.

Aku sedang duduk di warung kopi di dekat jembatan yang menjadi semacam titik pusat kampung ketika seorang anak perempuan datang menjajakan kue.

“Kue, Paman…” katanya.

Melihat wajahnya aku teringat seseorang.

"Namamu siapa, Nak?"

"Umi..."

"Kamu anak siapa?"

"Anak Umi..."

"Ini yang bikin kue siapa?"

"Umi.."

Aku membeli lima potong kue amparan tatak. Terlalu banyak untuk kumakan sendiri. Aku membagi ke beberapa orang yang sama-sama duduk sarapan di warung. Tadi aku sudah sarapan sebungkus nasi kuning dengan ikan gabus masak pedas. Aku membeli sebanyak itu karena kasihan pada anak si penjual kue itu. Hari sudah terang, talamnya masih terisi lebih dari separo.

Aku membayar dengan uang seratus ribuan. "Tak ada angsulannya, ..." kata si anak penjual kue.

"Bawa saja dulu. Mungkin di rumahmu ada. Saya tunggu di sini... "

Seseorang berbicara perlahan, "kasihan, anak yatim..." 

Aku memandangi anak itu berjalan. Menjunjung talam kue. Sambil sesekali berseru, memikat orang kampung untuk membeli, lalu pulang menuju rumah di seberang sungai itu. Aku melihat dia sebagai sosok lain: sosok anak lelaki seusia dia. Menjunjung talam juga. Berseru, menyerukan nama kue yang sama.

Anak lelaki itu selalu gelisah setiap kali melewati rumah ke mana si anak perempuan itu pulang. Pak Jamal, selalu memanggilnya singgah. Membeli beberapa potong kue. Anak lelaki itu akan sibuk mencuri-curi pandang mencari anak perempuan, anak Pak Jamal, yang mengintip di balik pintu. Asal bertemu pandangan mata mereka, sekali saja, itu sudah cukup. Si anak perempuan akan menghilang dari balik pintu, dan si anak lelaki segera bergegas meninggalkan rumah itu. Meneruskan berkeliling kampung, menjajakan kue bikinan mamanya.

Si anak lelaki sudah kelas 3 SMP, ketika ibu si anak perempuan yang mengintip di balik pintu itu meninggal karena melahirkan. Itu tahun-tahun ketika tingkat kematian ibu dan anak masih tinggi di negeri ini. 

Karena kasihan, ibu si anak lelaki sering mengajak si anak perempuan untuk membantunya membuat kue. Banyak pekerjaan bisa ia bantu, memarut kelapa, memerah sari daun pandan, mencuci baskom dan talam, menjaga api ketika membakar roti, atau memasak hinti. Apa saja. Dengan upah sekadarnya. Si anak perempuan berhenti sekolah. Ia agak tak terurus. Ayahnya menikah lagi, membagi waktu tinggal di kampung lain, di rumah istri barunya, seorang janda beranak tiga.

Si anak lelaki senang punya teman di rumah. Ia anak tunggal. Ia menyayangi si anak perempuan. Mungkin seperti adiknya. Mungkin juga sebentuk rasa sayang yang lain. Ia tak bisa memastikan. Ia hanya merasakan berat ketika ia harus melanjutkan sekolah SMA ke kota. Hanya ada SD dan SMP di kampungnya. SMP swasta. SMP yang dikelola guru-guru SD-nya.

Ibu si anak lelaki juga sangat menyayangi si anak perempuan itu. Dia dan almarhum ibunya memang masih berkerabat jauh. Maka anak itu ia anggap seperti anaknya sendiri. Ketika anaknya sekolah ke kota, si anak perempuan lebih banyak tinggal di rumahnya.

Setiap bulan si anak lelaki pulang. Saat-saat kepulangan itu, baginya dan bagi si anak perempuan adalah saat yang sangat dinantikan. Keduanya sudah beranjak remaja. Telah merasakan ada yang berbeda dalam diri masing-masing, sebagai lelaki dan perempuan. Jika bertemu mereka tak banyak bicara. Hanya pandangan mata yang sesekali bertemu dan itu selalu membuat si anak perempuan lekas-lekas menunduk atau mengalihkan pandangan ke arah lain.

"Bagaimana sekolahmu?" ibunya selalu bertanya begitu. Dia pun senang bercerita tentang kawan-kawannya, guru-gurunya. Dia tak hanya bercerita untuk ibunya. Dia tahu si anak perempuan diam-diam menyimak ceritanya.

Setiap kali pulang, si anak lelaki selalu membawa buku-buku cerita untuk si anak perempuan. Cerita anak-anak, majalah cerita remaja, juga novel roman remaja.    

"Umi aja terus yang kamu belikan buku... ibu tidak pernah dibelikan apa-apa..." kata ibunya menggodanya. Justru si anak perempuan yang tersipu-sipu. Dia hanya tertawa, gundah. Dia tahu ibunya tak bisa membaca. Ibunya hanya bisa mengaji.

Ibunya memang tak tamat SD. Karena itu ibunya bekerja keras agar dia bisa sekolah, setinggi-tingginya. Meskipun ia harus bertahan dengan sepetak kebun peninggalan mendiang suaminya, dan membuat berbagai macam kue untuk dititipkan ke warung-warung, dan dijajakan keliling kampung. Lalampar. Putri salat. Pais. Bingka. Untukuntuk.... Ketika anaknya ke kota, si ibu sendiri yang menjajakannya. Untungnya sekarang ada si anak perempuan yang sangat meringankan pekerjaannya di dapur.

Ketika tamat SMA, si anak lelaki lulus dengan nilai tertinggi se- provinsi. Ia mendapatkan beasiswa untuk melanjutkan kuliah ke sebuah perguruan tinggi negeri di Yogyakarta.

"Ada asrama di sana, Ibu. Jadi ibu tak perlu jual kebun. Ibu tak perlu kirim uang bulanan untuk saya. Beasiswa pendidikan dari gubernur sudah cukup. Kalau pun kurang, nanti saya bisa cari uang sendiri di sana," kata si anak lelaki.

Si ibu senang dan bangga. Amanat mendiang suaminya agar anaknya bisa menjadi sarjana tampaknya sudah menemukan jalan untuk ia wujudkan.

Ketika berangkat kuliah, si ibu dan si anak perempuan mengantar si anak lelaki ke pelabuhan Pelni di kota. Si ibu menangis. Si anak perempuan pun menangis. Terlalu banyak hal yang ingin ia katakan tapi tak bisa ia ungkapkan. Si anak perempuan mencium tangan si anak lelaki. Tangan si anak lelaki hangat oleh airmata si anak perempuan.

Si anak perempuan bahkan tak sanggup menatap mata si anak lelaki.

Apa yang mau dibicarakan? Harapan? Janji? Apa yang akan terjadi setelah kepergian itu? Si anak lelaki pasti akan pulang. Tapi lima tahun bukan waktu yang singkat. Dan Yogyakarta adalah kota yang jauh, nun di seberang pulau sana. Si anak perempuan tahu diri dan sadar hati. Ia membayangkan di sana si anak lelaki akan bertemu dengan banyak perempuan lain, teman-teman kuliahnya yang jauh lebih baik dari dirinya, lebih pintar, dan lebih pantas.

Si anak perempuan itu kembali menemuiku di warung. Ia membawa uang kembalian. Dan seikat buku-buku lama. Buku cerita anak. Buku novel remaja. Buku-buku yang tersampul rapi.

"Kata Umi ini untuk Paman..." Aku terdiam memandangi buku-buku itu. Umi, anak perempuan itu menatapku. Ia persis ibunya.

"Umi bilang kapan Paman datang? Kapan paman kembali ke kota?"

Aku belum sempat menjawab. Anak perempuan itu lalu berlari ke arah rumahnya, di seberang sungai kampung. Rumah almarhum Pak Jamal. Rumah yang sudah berubah menjadi sedikit lebih baik. Aku melihat sekilas seseorang di balik pintu rumah itu. Memandang ke arahku, lalu menghilang, dan membiarkan pintu itu terbuka ketika anaknya masuk dan sekilas tadi sempat menoleh ke arahku juga.

© Habel Rajavani, Jakarta, 2020 - 2024

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi