Mentari merangkak naik perlahan di ufuk timur Desa Pembeliangan. Sebuah desa di pelosok hutan hujan tropis. Kalimantan Timur dan kini memisahkan diri menjadi Kalimantan Utara.
Sinarnya mulai menghangatkan desa. Embun seakan sirna. Suara riuh orang di dermaga ramai. Air pasang datang ke hulu. Para induk ayam dan anak-anaknya bergegas naik ke daratan yang lebih tinggi.
Beberapa menit kemudian rumahku sudah hampir tenggelam. Air sungai sudah menggenang halaman depan rumah. 30 Cm lagi rumah panggung yang kutempati ini pasti akan tenggelam.
Aku melangkah keluar karena sangat amat gerah di dalam. Rumah yang jarak antara lantai dengan langit-langitnya hanya dua meter. Dan seng bergelombang menutupi atap tanpa ada bahan penyerap panas lainnya. Sehingga jika di tengah siang, panasnya bukan main. Jika kau duduk di bawahnya, itu sama saja kau masuk oven raksasa dan setengah jam kemudian saat kau keluar, maka berbedalah bentukmu dari semula. Kupastikan kau tampak lebih merah dan matang.
Di tempat ini, penduduknya kebanyakan adalah pendatang. Ada Sunda, Jawa, Batak, Lombok, Bugis, Madura dan sebagian kecil lagi orang Papua dan Flores. Aku sendiri Jawa yang lahir di tanah Dayak. Maka orang sering memanggil aku anak pribumi.
Setelah sekian lama tak menginjakkn kaki di tanah Kalimantan sejak 1996, pada 2007 aku kembali lagi. Dengan cuacanya yang begitu panas, tapi gadis Kalimantan cukup cantik di lihat mata.
Cerita ini dimulai ketika aku masuk sekolah di Sebuku. Sekolah yang telah berdiri setahun sebelumnya, 2006 itu, menjadi sekolah baruku.
Hari pertama masuk sekolah, aku begitu canggung. Maklum saja, baru kali itu aku merasakan pindah sekolah. Sebelumnya belum pernah kulakukan.
Anak-anak seusiaku masuk ke dalam kelas bersama. Duduk di sebuah ruang kelas yang dibangun dengan ukuran sekitar 6×5 meter. Kursinya terbuat dari plastik. Tiada kayu membentuk kursi. Padahal tanah Kalimantan adalah surganya beragam kayu. Hanya meja saja yang terbuat dari kayu.
Aku mulai mengenal beberapa teman baru di sana. Kehidupan pun berjalan biasa saja hingga aku mendengar kekacauan besar yang menjadi rahasia umum di luar sana.
Truk milik Satpol PP membawa kami pulang ke rumah masing-masing dari sekolah. Debu jalanan bertaburan berwarna cokelat. Menempel di seragam putih, jangan coba-coba untuk membersihkannya dengan jari atau warna cokelat itu hanya semakin kuat menempel.
Matahari sudah agak tergelincir di barat. Suara hewan bersahutan di seberang sungai yang mulai gelap. Malam itu, Momon, teman baru di tanah rantau, menemui aku di dermaga sebelah rumahku. Dia memulai cerita tentang asal mula ia sampai ke tanah Sebuku.
“Aku dulu kerja serabutan di Sulawesi. Ketika ada informasi lowongan di sebuah perusahaan, aku langsung melamar,” cerita Momon padaku dengan gemeretak suara rokok yang dihisapnya.
“Kau tak merokok, Ben?”
“Aku sudah lama tak merokok lagi. Aku pensiunan perokok. Jangan kau suruh aku kerja lagi. Aku sudah pensiun!” jawabku tegas.
Momon lantas melanjutkan cerita. Aku ceritakan di sini sebagai sebuah paragraf yang memang betul menggambarkan apa yang dikatakan Momon.
Momon bukan tanpa alasan memasukkan lamaran kerja ke sebuah perusahan di Sebuku. Itu adalah perusahaan kelapa sawit milik Malaysia. Janji awalnya, pekerjaan di situ akan digaji Rp. 60.000 per hari.
Harga itu dianggap tinggi oleh Momon jika dibandingkan dengan kerja srabutan di Sulawesi. Dengan iming-iming itulah Momon mau meninggalkan kampung halaman demi mencari uang untuk penghidupannya.
Ya, betul saja. Di tanah perantauan ini, uang adalah titik akhir dari segala jerih upaya. Orang berbondong-bondong datang karena menganggap pohon uang bisa ditebang begitu saja.
Setelah sebulan kerja di perusahaan sawit asal Malaysia itu. Momon menghadapi kenyataan yang jauh dari harapannya. Ternyata ia hanya digaji Rp. 40.000 saja. Ia berang, ia juga marah kepada orang yang mengantarkannya pada perusahaan itu. Tapi Momon tidak bisa melarikan diri. Ia telah terikat perjanjian kontrak dengan perusahaan selama lima tahun.
“Bangsat! Orang-orang Malaysia itu menipu aku. Mereka juga mengancam akan memenjarakan aku jika melarikan diri dari perusahaan,” kelakar Momon dalam emosinya.
Bibirnya bergetar meniupkan hembusan napas yang cukup panjang. Sambil da gelengkan kepala, mencoba untuk melanjutkan cerita.
Aku geleng-gelengkan kepalaku juga. Tak habis pikir. Orang Indonesia diancam oleh orang dari negeri lain di tanah Indonesia. Tak hanya itu, orang negeri lain itu juga menipu orang Indonesia di tanah pertiwi Indonesia. Kebodohan macam apa ini?
Tapi semangat Momon tak pernah pudar. Sambil menunggu waktu lima tahun berlalu, Momon tetap menjalani kehidupan yang licik.
Sekilas kemudian arah cerita kembali belok. Kini Momon bercerita tentang sungai, hutan dan kapal-kapal besar yang hilir mudik di sungai Sebuku.
“Ini tanah perbatasan, tapi orang di sini menggunakan bahasa Melayu Malaysia. Kau tahu kenapa, Ben?
“Kenapa, Mon?”
“Itu karena mereka lebih dekat dengan Malaysia dari pada Indonesia!”
“Maksudmu apa?”
“Ya, sekalipun kepala mereka adalah Indonesia, tapi perutnya berisi makanan dari Malaysia. Itulah kehidupan di sini.”
Penduduk lokal lebih sering berdagang ke Malaysia. Faktor transportasi, akses dan biaya yang relatif terjangkau ke Malaysia menjadi alasan utama.
Maka tak heran, jika mereka lebih dekat dengan negeri sebelah, maka logat bahasanya pun lebih mirip ke arah negeri sebelah.
“Kenapa tidak ke Indonesia saja?” tanyaku dengan nada heran.
“Di Indonesia, mereka akan ditangkap!”
“Loh, ditangkap kenapa?”
“Itu kayu ilegal. Mereka menebang kayu sembarangan. Lalu dihanyutkan di sungai. Dibawa lari ke Malaysia.”
“Tapi kok lolos kalau dilarikan ke Malaysia, Mon? Kan perbatasan ada yang menjaga?” aku semakin heran.
“Kau mesti paham. Mereka bisa lolos ke Malaysia karena para petugas yang terlibat diberi uang pelicin. Dan itu tidak sedikit. Bupati yang sekarang memimpin kabupaten ini dulunya juga bekerja seperti itu!” Momon menjelaskan padaku dengan gerakan tangannya yang naik turun.
Segitunya!
Betapa hebat pengkhianatan atas bangsa dan negara. Semua karena uang. Kayu dari hutan hujan tropis Kalimantan berguguran. Lari ke tanah seberang. Dibiarkan begitu saja berkeliaran para cukong karena ternyata, ya ternyata uang. Harga diri negeri dan bangsa habis di mata orang seberang karena uang!
“Apa betul yang kau ceritakan ini, Mon?” aku terperanjat heran karena tak pernah mendengar yang seperti ini sebelumnya.
“Kau meragukan ceritaku? Aku melihat sendiri dengan mata kepalaku, Ben,” Momon mendekatkan kepalanya ke tubuhku. Jari telunjuknya menunjuk ke dadanya. Matanya terbuka agak lebar mengisyaratkan bahwa ia betul-betul melihatnya.
“Sudi kiranya kau ajak aku untuk bisa melihat langsung apa yang pernah kau lihat?”
“Kenapa tidak? Aku akan antar kamu.” Momon menyanggupi permohonanku.
Malam itu udara dingin di tepian sungai nampak terasa. Menabrak wajah kami yang sedang tegang bercerita. Air berkilauan oleh pantulan sinar rembulan. Di seberang sana terdengar suara primata dan hewan liar lainnya. Lampu rumah beberapa warga telah padam.
Listrik yang dihasilkan dari tenaga genset hanya digunakan sekitar enam jam saja. Di Sebuku, aku hidup tanpa listrik, tanpa air bersih, dan hanya Telkomsel yang bersedia memberikan sinyal.
“Baiklah kapan kita ke sana?” tanyaku tentang kepastian ajakan Momon.
“Besok lusa. Aku tunggu kau di pertigaan dekat pohon Menggaris. Pukul 7 malam. Jangan ajak siapa-siapa. Kita berdua saja”
“Malam dan berdua saja. Apa kamu serius, Mon?”
“Kalau kau tidak bisa, kau cari orang lain saja yang lebih bisa kau andalkan.”
“Ah, kau ini. Bisa bah aku ngikuti maumu. Baiklah jam 7 malam. Di tempat yang kau katakan,” aku menyanggupi.
Bulan semakin meninggi. Jam di tangan kulihat telah menunjukkan pukul 22.26 wita. Air sungai mulai pasang. Malam itu, kami pulang ke tempat masing-masing…
***
Dua hari berikutnya. Seperti yang telah kami sepakati. Kami bertemu di pertigaan sebelah pohon besar. Sangat gelap! Di hutan belantara yang terlihat hanya cahaya rokoknya Momon.
“Ayo lekas berangkat. Ini senter kau pegang. Terangi jalan!” perintah Momon padaku.
“Kenapa tidak pakai lampu motor saja?”
“Kita akan masuk ke tempat yang bahaya. Jadi jangan sampai ketahuan. Dengan menggunakan senter ini, kita akan sedikit aman.”
“Sedikit?”
“Ya sedikit saja. Makannya hati-hati, Ben!”
“Kenapa kau seret aku ke dalam keadaan seperti ini, Mon?”
“Kau sendiri yang meminta. Aku hanya mengantarkan kamu. Kita berangkat atau tidak?”
Terlanjur basah. Tak bisa kuberbuat banyak.
Malam itu aku menyanggupi dan berangkat dengan sepeda motor Fiz R. Kuterangi jalan dengn lampu senter. Hutan sangat pekat. Melihat tangan sendiri pun tak bisa. Suara hewan malam terdengar bersahutan. Sedang aku tak terbiasa dalam keadaan seperti itu. Sesuatu yang menakutkan dan menyeramkan. Aku hanya berharap Momon bisa mengantarkan aku kembali pulang.
Setelah sekitar sejam perjalanan, Momon berhenti dan mematikan motor. Disembunyikannya motor di balik semak belukar. Lalu kami jalan kaki masuk ke dalam hutan.
“Mon, Momon! Asu! Mau ke mana lagi kita?” Aku menarik lengan Momon sambil bertanya dengan suara lirih dan gerakan yang mengendap-endap.
“Kita akan memasuki kandang macan! Jangan berisik!”
“Aku tidak ikut!”
“Terserah, aku akan pergi sendiri.” katanya sembari meneruskan langkah menjauhiku.
Aku masih berdiri tertegun. Berhenti dari langkah-langkah semula. Kupikirkan lagi apa yang sedang kulakukan di tempat ini. Sempat bingung karena tak mungkin juga aku sendirian dalam kegelapan hutan. Akhirnya, kuputuskan untuk menemani Momon.
“Baiklah, aku akan mengikutimu.” masih dengan suara yang pelan.
Kami mengendap-endap memasuki hutan. Suara nyamuk berkeliaran di dekat telingaku. Aku tak bisa jauh dari langkahnya Momon. Di mana ia berpijak, di situ juga kakiku menginjak.
Lantas ketakutanku di tengah kegelapan pudar saat aku lihat setitik cahaya lampu di kejauhan sana.
Tapi Momon justru berhenti. Ia memberi tahukan kepadaku kalau posisi kami telah dekat dengan sebuah tempat di mana terjadi transaksi jual beli kayu ilegal.
“Jangan bersuara. Jangan berisik. Lihat saja yang kau lihat. Jangan banyak bertanya!”
Kami merebahkan diri di punggung bukit. Di balik bukit itu, terdengar suara mesin dan orang yang sedang bekerja. Deru mesin pemotong bersahutan.
“Ini tempat apa?”
“Lihat saja!”
Di sebuah rumah kayu kecil nampak seperti kantor. Keluar seorang petugas berseragam kepolisian. Tangannya dimasukkan ke dalam saku. Pada tangan kirinya, jemarinya menjepit sebatang rokok. Mulutnya mulai mengeluarkan asap.
Kemudian Polisi itu pergi berjalan kaki. Hilang di balik kegelapan. Beberapa saat kemudian, petugas TNI datang. Berseragam dinas lapang. Loreng. Pakai topi rimba. Dua orang saja, tapi bersenjata lengkap yang dibawa.
Sama seperti Polisi tadi, kedua TNI itu keluar dan hilang di jalan yang sama. Keadaan semakin malam semakin ramai dengan pasokan kayu yang datang di pinggiran sungai.
Kami mundur perlahan ke tempat yang lebih tertutup. Momon menyuruh aku tetap diam. Tapi tiba-tiba ia malah bersuara. Bercerita. Rokoknya tak dinyalakan seperti biasa.
Dua petugas negara tadi memang betul Polisi dan TNI. Mereka datang ke situ untuk mengambil ‘jatah’. Polisi mengurus surat izin, sementata para personil TNI memastikan keamanan menuju Malaysia terpenuhi.
Jadi begitulah yang mereka lakukan. Para penebang pohon menjual kayu ke Malaysia dengan harga miliyaran. Jadi aku tahu kenapa mereka tak menjual ke Indonesia.
“Kau sudah lihat sendiri. Sekarang kita pulang, Ben,” ajak Momon yang mulai kehabisan batang rokok.
“Ayo kita pulang.” serayaku.
Namun saat kembali ke tempat semula, di mana Momon menyembunyikan sepedanya, kondisinya berbeda.
Sepeda itu hilang!
Kami tegang dan heran. Saling bertanya ke mana hilangnya motor. Kami coba mencari tapi lain yang kami temui.
“Kalau ada sesuatu yang terjadi, lari. Kita hatus lari, Ben. Kalau kita terpisah, jangan teriak memanggil namaku. Ingat itu!” sarannya padaku.
Tiba-tiba ada cahaya yang menyentor ke arah kami.
“Woy, siapa di sana?” teriak orang dari sumber cahaya.
Kami langsung berlari menjauh. Momon berada di depan. Kami dikejar oleh tiga orang di belakang. Dengan cahaya yang mereka nyalakan, mereka berupaya mengarahkannya ke wajah kami. Tapi kami terus berlari kencang menjauhi.
Ternyata tak bisa jauh, mereka juga berlari kencang. Kaki kupaksakan lebih cepat. Jantung semakin sibuk menyelaraskan nafas dan pompa darah. Momon terus meyakinkanku untuk tidak berhenti berlari. Dari belakang, tiga orang juga tidak berhenti mengikuti. Semakin cepat, semakin mendekat.
“Berhenti!” teriak orang itu.
“Doooor!!!” suara tembakan mulai terdengar.
Momon berhenti seketika. Aku menabrak Momon yang tiba-tiba berhenti itu.
“Kita dalam masalah, Ben! Jangan sampai tertangkap!” lalu Momon lari lagi tanpa mau mendengar pertanyaan yang ingin aku katakan.
Aku juga ikut lari. Kami tak lagi mengikuti jalan. Belok ke kanan masuk ke dalam semak-semak hutan. menerabas semak. Menikung di balik pepohonan. Sesekali kutengok belakang. Tiga orang di belakang kami tak terlihat. Cahaya senter tak muncul lagi.
Dalam keadaan itu. Aku tak bisa berpikir banyak. Yang ada hanya lari kembali ke rumah secepat mungkin. Nafas tersengal. Pikiran tak tenang, apakah bakal selamat atau mati di tengah-tengah hutan.
Bangsat Momon mengantarkan aku pada kadaan kacau semacam ini. Tapi sekali lagi, aku tak dapat berbuat banyak.
“Dor, dooor!” dua tembakan melesat lagi dari moncong pucuk senjata api. Tak tahu ke mana arahnya.
Brak! Momon tiba-tiba terjatuh. Aku hampiri dia. Kupegang lengannya. Terasa basah dan berwarna merah. Ia tertembak. Lengannya berdarah.
“Mon!” teriak aku dengan kekhawatiran.
“Tolong aku, Ben. Jangan sampai darah terus menetes. Itu bisa jadi jejak yang mengantarkan pada kita,”
Aku lantas mengikat luka Momon dengan bajuku. Suara kaki berlari dari belakang terdengar semakin mendekat. Kami terus menyelamatkan diri. Badan basah oleh keringat. Jantung mengkerut ciut. Napas tersengal di ujung bibir.
Kami menuju rawa. Kami bersembunyi di balik sebuah pohon roboh.
Menenggelamkan diri ke dalam rawa. tak ada suara. Kami tak bergerak.
“Ketemu ra?” terdengar suara orang bertanya.
“Negatif, bos” jawab orang lainnya.
Kami tetap diam. Momon lebih parah. Ia menahan luka yang panas.
Beberapa saat kemudian, suara hentakan sepatu dari kaki-kaki yang mengejar kami berlalu. Sekitar sejam kemudian, kami telah pastikan lolos dari pengejaran.
Butuh waktu berjam-jam sampai bisa menemukan kembali jalan pulang. Setelah kami dekat dengan pedesaan, udara dingin di waktu subuh mulai terasa.
Momon ku antar ke puskesmas. Maksudku untuk mengeluarkan proyektil yang menancap di lengan kanannya. Tapi ia menolak.
Kalau ia masuk puskesmas, petugas akan tahu ada orang terluka tembak. Lalu pihak kepolisian dan TNI juga akan tahu. Kalau mereka tahu, Momon dalam ancaman. Jadi Momon memilih untuk tidak ke puskesmas. Ia lantas menuju ke pinggiran sungai yang disinggahi banyak kapal.
“Bawa aku ke kapal itu. Aku tahu pemiliknya,” ajak Momon sembari kubopong ke arah kapal berlabuh.
“Dok dok dok dok dok!” aku menggedor pintu.
Keluar seorang bapak paruh baya berbadan besar di hadapanku.
“Siapa kamu?”
“Momon sakit, pak!” jawabku cepat.
“Ha, Momon? Kenapa dia? Masukkan ke dalam”.
Dan Momon kumasukkan ke dalam. Dia lantas mendapat perawatan apa adanya.
“Terima kasih, Ben. Pulanglah!”
“Apa?” aku heran.
Momon memutuskan untuk meninggalkan Sebuku dengan lukanya. Kapal itu akan membawanya ke dermaga Nunukan. Lalu dengan uang seadanya, ia akan pulang ke Sulawesi.
Momon bersikeras agar aku pulang. Tapi berat bagiku meninggalkan Momon dalam keadaan seperti itu. Dengan langkah gontai yang berat, aku meninggalkan Momon. Kapal langsung pergi menjauhi dermaga.
Di situ juga aku mandi membersihkan diri dari darah dan hisapan lintah. Setelah itu aku pulang menuju rumah. Tak kusangka-sangka, ternyata petualangan malam itu berakhir bencana dan perpisahan dengan Momon.
***
Sekitar setahun setengah kemudian, aku dinyatakan lulus dari sekolah. Pemerintahan mulai berganti. Pasukan perbatasan juga berganti. Pun peraturan berganti. Kini tiada lagi orang bisa menjual kayu seenaknya ke tanah seberang.
Hutan Kalimantan menggundul. Bukit telanjang berdiri. Masyarakat lokal mulai menyadari dampaknya. Longsor dan banjir sering datang mengahampiri.
Para hewan liar mulai berani datang dan merusak tanaman warga. Pertikaian antara manusia dan gajah kerap terjadi. Para monyet mencuri makanan dan merusak dapur. Perlahan, reboisasi kembali digalakkan.
Tapi aku tak tahu lagi bagaimana nasib Momon. Di mana ia sekarang berada tak pernah kutahu. Hingga detik ini bergulir, aku hanya berharap ia dalam keadaan sehat dan sukses.
Pasca lulus dari SMA tahun 2009, aku kembali lagi ke Jawa dan melanjutkan pendidikan perguruan tinggi di Kota Malang. Menimba ilmu memperdalam pengetahuan dan rasa. Itulah sebabnya aku bisa bercerita kembali melalui tulisan seperti ini.