Aku melihat ke sekelilingku. Tembok - tembok besar yang didominasi warna putih, serta bau obat yang menyengat membuatku menghela nafas. Aku berdiri dengan setelan blouse putih dan celana warna hitam yang kuambil sembarang dari lemari. Nomor urut yang kugenggam sedang menunggu giliran. Antrian yang semakin sesak ini membuatku tersadar, bahwa yang menderita di dunia ini bukan hanya aku. Setiap manusia memperjuangkan hidupnya dengan mempertaruhkan segalanya.
✨✨✨
Akhirnya aku keluar dari antrian obat yang semakin siang semakin padat. Aku menjauh dari kerumunan tersebut dan menemukan kursi tunggu yang kosong. Kubuka kantong plastik berisi obat resep dokter ini, ada beberapa macam obat dengan sediaan kaplet disertai anjuran minumnya. Setelah puas melihat obat - obat tersebut, segera kumasukkan ke dalam tas. Aku memutuskan untuk mencari makan terlebih dahulu sebelum kembali ke kos.
Namun tanpa diduga, mataku berpapasan dengan sepasang mata seorang lelaki yang sedang berdiri beberapa langkah di seberangku. Aku mengenalnya, ia adalah teman masa SMA ku. Bahkan aku sekelas dengannya. Ia seringkali tak masuk sekolah, beruntungnya kami bisa lulus bersama.
Ia adalah Rafandra Yudhistira, atau yang biasa dipanggil Raf. Seorang siswa yang terlihat tenang dan tertutup tapi entah mengapa ia memiliki daya tarik tersendiri. Matanya yang terlihat sayu terasa teduh bagiku. Rahang tegasnya memberi kesan kuat pada wajahnya. Kutebak tingginya sekitar 175an, dan seperti hal yang lumrah, pesona laki-laki tinggi memang memikat.
Ia dahulu biasa menggunakan sepeda motornya yang akan mati jika bagian depannya dipukul. Lalu sebuah umpatan akan keluar dari mulutnya. Baginya menyalakan kembali sepeda motornya adalah suatu hal yang menguras tenaga.
Aku menarik paksa diriku dari ingatan masa SMA ku, dan kini Raf sudah di depanku.
"Hai? Distya kan?" Raf langsung mengenaliku.
"Oh, Hai. Gimana kabar lo Raf?" Jantung ini berdetak sangat kencang. Apa ini reaksi karena bertemu kawan lama?
"Baik. Kalau lo gimana? Kok ada di Rumah Sakit?" Raf dengan kaos putih dan kemeja hitam polos itu terlihat khawatir.
"Habis antri obat. biasalah anak muda zaman sekarang kan jompo, hehehe. Kalau lo ngapain disini?" Aku balik bertanya.
"Jaga ayah opname, kebetulan ayah lagi istirahat jadi gue tinggal nyari makan sebentar di luar. Lo udah makan?"
Baru saja aku ingin menolak, namun perut yang tak bisa diajak kompromi ini langsung mengeluarkan suaranya. Aku menatap Raf sambil tertawa canggung.
"Ayo ikut gue makan ke warteg langganan gue. Yang jualan pernah juara lomba masak sekecamatan." Ucap Raf sambil tersenyum.
Aku menjawab dengan sebuah anggukan, kemudian kami berjalan keluar dari rumah sakit. Ada banyak pedagang yang berjualan di dekat rumah sakit. Mulai dari makanan berat seperti lauk pauk, sampai makanan ringan ala jajanan anak sekolah. Selama berjalan, kami mengobrol banyak hal, termasuk nostalgia semasa SMA dulu.
Rasanya memang sebuah keharusan jika bertemu teman lama sambil mengingat dahulu kala. Apalagi masa SMA adalah masa yang rasanya tak boleh selesai, inginnya kekal dalam usia 16 tahun.
✨✨✨
Akhirnya sampailah di sebuah warteg yang cukup besar dan cukup ramai. Maklum, jam makan siang belum sepenuhnya selesai. Apalagi bagi orang - orang yang menjaga keluarganya yang sedang sakit. Mereka akan mencari makan jika sudah selesai mengurus keluarganya yang sakit.
Dan ternyata benar ucapan Rafandra mengenai pemilik warung yang juara lomba memasak. Karena di salah satu sisi dinding terdapat beberapa piagam dan sertifikat juara lomba memasak. Kukira Rafandra hanya membual. Aku tersenyum karena celetukan Rafandra yang ternyata kenyataan.
"Bu, kayak biasa ya. 2 porsi."
"Waahh, mas Raf udah punya pacar sekarang." Ledek seorang wanita paruh baya yang kutebak adalah pemilik warung tersebut.
"Bukan bu, ini teman SMA saya namanya Distya. Tapi kalau ternyata jodoh, saya kan ngga bisa nolak juga, hehehe." Raf memberi jawaban jahil sambil menggaruk garuk rambutnya.
Lagi - lagi aku hanya bisa melontarkan senyuman canggung. Walaupun tenang dan tertutup, Raf adalah orang yang supel dan mudah akrab. Banyak yang mengagumi dirinya yang terlihat tak pernah kehabisan energi, namun selama ini aku tak pernah mendengar perihal kehidupan pribadinya. Itulah mengapa ia merupakan orang yang tertutup walau kenalannya dimana - mana.
Kami duduk bersebelahan, Rafandra mempersilahkanku duduk terlebih dahulu bersebelahan dengan tembok. Ia seperti benteng yang mencoba melindungiku dari para pembeli di warteg itu yang dominan adalah laki - laki. Setidaknya itu yang aku bayangkan.
Sembari menunggu, kami bercerita mengenai kehidupan setelah lulus SMA. Rafandra Yudhistira, seorang anak pertama yang menghidupi kedua adiknya juga sang ayah yang ternyata menderita sakit parah sudah cukup lama. Komplikasi sebutnya. Sedangkan Ibunya sudah lama tak membersamainya, sehingga semua beban ia pikul sendiri.
Ia memutuskan untuk bekerja setelah mendapatkan ijazahnya. Menanggung biaya sekolah kedua adiknya dan biaya pengobatan ayahnya. Belum lagi tentang biaya hidup yang semakin melejit. Dan tak kusangka, ternyata ia dahulu seringkali tidak masuk sekolah karena izin merawat ayahnya ketika kondisinya sedang tidak stabil.
Aku berulang kali terkagum, setiap cerita cerita hebat yang Rafandra bagikan padaku membuat jantungku tak beraturan. Seorang anak yang pertama kali hidup di dunia, bertarung memberi perlawanan; pada dunia yang tak seindah katanya.
✨✨✨
Pesanan tiba, benar - benar menggugah selera. Tentu saja aku yang kelaparan tidak pikir panjang langsung melahapnya setelah memfotonya terlebih dahulu. Bagiku, mengabadikan setiap hal terasa sangat penting setelah tahu rasanya meninggalkan masa - masa yang tak bisa diulang kembali. Saat kulihat hasil fotoku, ternyata tangan milik Rafandra ikut masuk ke dalam frame. Urat tangan yang menunjukkan usaha kerasnya terlihat jelas di layar HP ku. Aku tersenyum sekaligus terkagum.
✨✨✨
Pilihan lauk Rafandra benar - benar pas, ditambah rasanya yang juara membuat makan siangku sempurna. Saat akan membayar, aku dan Rafandra rebutan. Kami berdua merasa harus membayar makanan tersebut, seperti sudah kebiasaan jika bertemu seorang teman.
Setelah perdebatan yang cukup alot, akhirnya Rafandra menang. Selembar uang lima puluh ribu itu ia berikan. Beberapa pecahan rupiah Rafandra terima sebagai kembalian.
"Gue ngerasa punya utang, Raf."
"Harga diri, Dis. Lo simpan aja uangnya buat keperluan yang lain."
"Tetap aja gue ngga enak sama lo. Kapan - kapan gantian gue yang traktir lo gimana?"
"Hmm, gimana kalau besok temenin gue ke suatu tempat. Gue jemput habis dzuhur, oke?"
Baru saja aku ingin membuka mulut, tapi Rafandra langsung menyela.
"Ngga nerima penolakan"
Aku seketika diam, akhirnya mengangguk pasrah. Menyetujui ide bayar utang ala Rafandra. Tiba - tiba ia tertawa, manisnya pikirku. Namun aku tetap tak mengerti mengapa ia tertawa. Mungkin ia mengerti raut wajahku yang terlihat kebingungan.
"Lo lucu kalau lagi pasrah gitu." Ucap Rafandra masih sambil tersenyum.
Rafandra Yudhistira, kamu ngga tau ya gimana rasanya nahan salting? Aku rasanya mau salto jungkir balik. Tapi untungnya akal sehat ini masih mendominasi. Aku tersenyum sambil menunduk, memberi kesan malu - malu kucing setelah mendapat pujian dari seorang Rafandra.
✨✨✨
Sampailah kami di depan halaman rumah sakit. Aku memesan ojek online ditemani Raf yang berdiri di sebelahku. Ia berkali - kali menawarkan diri untuk mengantarku. Namun, aku menolaknya. Selain karena tak enak hati aku juga berusaha agar jantung ini memiliki ritme yang normal. Aku takut jika diantar Raf, jantungku berdetak tak beraturan saking groginya.
Ojek online pesananku sudah datang. Aku segera berpamitan kepada Raf. Namun, Raf menahan pergelangan tanganku.
"Nomor HP Lo, Dis. Tapi handphone gue ketinggalan di kamar rawat inap ayah."
Seketika aku ingat kalau aku membawa pulpen. Aku selalu membawa sebuah pulpen kemana - mana karena barangkali diperlukan. Dan terbukti, pulpen ini dibutuhkan disaat seperti ini.
Aku langsung meraih telapak tangan milik Rafandra. Mulai menuliskan nomor handphone ku di sana sambil memikirkan akan kuberi nama apa ya kontaknya? Raf atau sayang?
"Selesai. Ini nomornya."
Rafandra menatap telapak tangannya sambil bibirnya merapalkan angka - angka tersebut. Setelah itu ia menatapku, tangannya terangkat dan mendarat di puncak kepalaku.
"Makasih ya, Distya. Hati - hati di jalan. Sampai ketemu besok." Ucap Rafandra sambil mengelus lembut puncak kepalaku.
Aku tersenyum dan mengangguk. Membiarkan telapak tangan Rafandra disana untuk beberapa saat. Hingga akhirnya aku benar - benar berpamitan dengannya. Lambaian tangan menjadi penutup terakhir antara aku dan Rafandra. Motor ini melaju perlahan dengan tampilan google maps yang memusatkan alamat kos ku. Aku pulang.
✨✨✨
Rafandra segera memasuki lift untuk kembali ke kamar rawat inap di mana ayahnya dirawat. Ia masih menatap lekat deretan nomor di telapak tangannya itu. Sambil berusaha menghafalnya, takut - takut kalau ia tak sengaja menghapusnya.
Setibanya ia di kamar rawat inap itu, terlihat ayahnya sedang tertidur pulas. Wajah keriput dengan napas yang teratur dan tenang itu melegakan hati Rafandra. Segera ia mengambil handphonenya di laci meja sebelah ranjang ayahnya dan mulai mengetikkan nomor handphone milik Distya. Setelah tersimpan, ia mengirimkan pesan lewat whatsapp. Mengabari bahwa ini adalah nomor miliknya.
"Hai, Distya. Ini nomor mas - mas ganteng yang tadi ngajak kamu makan di warteg dekat rumah sakit."
"Kabarin ya kalau udah sampai kos. Obat anak muda jomponya jangan lupa diminum, biar besok segera fit dan siap menjelajah dunia bersama."
"Besok misi kita menumpas kejahatan. Kita nangkap adudu dulu ya, soalnya kepala kotaknya kayak nantangin gitu."
"Kayaknya ini udah terlalu berisik. Hati - hati di jalan ya, Dis."
Rafandra sudah menahan untuk tidak bersikap konyol sedari tadi. Akhirnya kekonyolan itu meledak lewat chat Whatsapp. Bertemu teman lama rasanya seperti memunculkan perasaan muda di kala itu. Ia jarang sekali berbicara dengan Distya. Namun saat pertama kali melihat Distya di rumah sakit, Rafandra merasa perlu berlari ke arahnya.
Saat sedang tersenyum menatap layar handphonenya, tiba - tiba pintu kamar tersebut terbuka, menampilkan dua anak perempuan yang mengenakan seragam sekolah. Mereka menghampiri Rafandra dan mencium tangannya. Kedua adik Rafandra tak kalah rupawannya. Tertulis nama Yura dan Abelya di seragam mereka masing - masing.
"Udah makan?" Tanya Rafandra kepada kedua adiknya.
"Udah,mas. Tadi kita berdua mampir warung makan dekat sekolah. Mas udah makan?" Adiknya yang bernama Yura balik bertanya.
"Udah, tadi mas ketemu sama temen SMA."Jawab Rafandra mengingat Distya yang makan cukup lahap di sampingnya.
Kedua adik Rafandra mengangguk kompak sebagai sebuah jawaban. Biasanya untuk mengusir kejenuhan mereka akan bercerita satu sama lain. Mengusir beban yang membuat sesak dada mereka dan sejenak melupakan hal - hal berat yang tak kunjung ringan.
"Oh iya mas, tadi ada kecelakaan di pertigaan dekat rumah sakit. Kita ngga berani lihat, cuma kayaknya di bawa ke rumah sakit ini." Sebuah permulaan cerita dari Abel, si bungsu.
"Motor ditabrak minibus mas. Minibusnya rem blong. Darahnya banyak banget tadi, makanya kita ngga berani lihat lebih dekat lagi."Kali ini Yura melanjutkan.
Rafandra serius mendengarkan, entah mengapa perasaannya tak tenang.
"Korbannya satu orang?" Rafandra penasaran.
"Dua mas, boncengan. Kayaknya driver ojol mau nganterin penumpangnya, perempuan. Tadi lihat sekilas, bajunya warna putih, celananya warna hitam kalau ngga salah lihat." Jelas adiknya.
Jantung Rafandra mencelos, ciri - ciri umum itu mirip sekali dengan Distya yang baru saja berpamitan dengannya. Tatapan Rafandra kosong, ia segera berdiri dari tempat duduknya. Berjalan cepat meninggalkan ruangan itu. Ia tak mendengar panggilan dari kedua adiknya. Meninggalkan tanda tanya bagi mereka, apa yang sedang terjadi kepada kakak laki - laki mereka itu.
✨✨✨
Rafandra melangkah terburu - buru. Ia ingin sekali berlari, namun ia ingat bahwa ini rumah sakit. Ia takut mengganggu kenyamanan yang lain. Perasaannya kacau, bibirnya kering dan pikirannya melayang kemana - mana.
"Itu bukan Disty. Ngga mungkin." Kalimat itu yang terus keluar dari bibirnya, meyakinkan diri sendiri bahwa itu bukanlah Distya yang baru saja berpamitan dengannya.
Ia hanya ingin memastikan, bahwa perempuan yang kecelakaan di pertigaan itu bukanlah Distya. Rumah sakit saat itu sudah cukup longgar, walau masih ada yang berlalu lalang. Jantungnya semakin berdebar, Rafandra segera mempercepat langkahnya. Ia melewati lorong - lorong rumah sakit yang menambah kecemasannya; sepi, gelap, dan sempit.
Ruang IGD ada di belokan sebelah kanan ujung lorong ini. Namun Rafandra mengumpat karena lorong ini rasanya panjang sekali dan tak berujung. Akhirnya ia sedikit berlari untuk mempercepat langkahnya. Agar segera memperoleh kepastiannya, bahwa itu bukan Distya.
Tiba di ujung lorong, ia seketika berhenti. IGD di sebelah kanan, sehingga ia dapat mendengar perbincangan yang terjadi disana.
"Maaf Bu, kami sudah berusaha semaksimal mungkin. Namun anak ibu yang bernama Distya Areesha telah berpulang kepada sang Pencipta."
Rafandra lemas, jantungnya berhenti berdetak sekian detik. Ia langsung bersandar di dinding sebelahnya kemudian duduk terjatuh. Ia masih tak percaya, namun kakinya tak bisa bergerak. Ia tak bisa menghampiri ruangan itu. Dan melihat sendiri wajah perempuan yang dokter katakan telah berpulang itu. Mungkin saja namanya sama, kan?
Saat Rafandra berusaha bangkit, mengumpulkan sisa - sisa harapannya, handphonennya bergetar. Sebuah pesan pop up dari grup whatsapp alumni kelasnya.
"Teman - teman, ada kabar duka dari teman sekelas kita.
-Telah berpulang teman tercinta kita, Distya Areesha siang hari ini. Semoga amal dan ibadahnya selama ini diterima di sisiNya dan keluarga yang ditinggalkan diberi kelapangan hati. Al-Fatihah..."
"Buat yang ada waktu, InshaAllah kita ngelayat kesana. Kita temenin Distya sampai ke tempat peristirahatan terakhir ya, teman - teman. Terimakasih."
Air matanya tak terbendung. Pecah begitu saja setelah mendengar nama Distya yang benar - benar telah kembali kepada Sang Pencipta; memeluk keabadian. Dilihatnya kembali tulisan tangan milik Distya di telapak tangannya. Barisan angka yang tak dapat ia hubungi. Yang bahkan belum sempat mendapat balasan sejak pertama kali.
Rafandra memukul kepalanya, menyalahkan dirinya karena membiarkan Distya pulang tanpa diantar olehnya. Mungkin jika ia yang mengantar, Distya tak harus berpulang pada Sang Pencipta. Ia berkali - kali mengutuk dirinya sendiri. Menyalahkan diri sambil berandai bahwa ia bisa merubah takdir jika dirinya yang mengantar Distya. Tapi mungkin saja, ini adalah skenario semesta. Apapun langkah yang dilakukan Rafandra akan berakhir pada takdir yang sama. Distya tetap abadi; setelah menghabiskan waktu bersama Rafandra. Menciptakan kenangan untuk terakhir kalinya.
✨✨✨
Keesokan harinya, halaman rumah Distya ramai. Bendera kuning dan suasana berduka begitu terasa. Tangisan ibu Distya tak ada henti - hentinya. Kecuali saat ibunya pingsan, suara tangisnya akan berhenti. Namun saat sadar, tangis itu pecah lagi. Teman - teman dan kerabat pun ramai berkumpul disana. Isak tangis dan perasaan tak menyangka terlihat dari raut wajah mereka.
Rafandra terlihat hadir disana, dengan mata sembab karena tak henti - hentinya menangis semalam. Saat jenazah tiba dari rumah sakit ke kediamannya, tangisan pecah di sudut manapun. Distya, seorang gadis cerdas dan memiliki senyum yang manis harus berpulang di usia yang berisi mimpi - mimpi dan harapan.
Ternyata obat jompo yang ia katakan pada Rafandra adalah obat untuk pengobatan jantungnya. Ia didiagnosa menderita kardiomiopati atau lemah jantung. Ibunya terkejut saat melihat tas Distya yang berisi obat - obatan dari rumah sakit. Distya tak pernah mengabarinya, ia selalu mengatakan bahwa semua aman terkendali selama ngekos di dekat kampusnya. Setiap berkunjung ke kos putrinya pun semua terlihat baik - baik saja. Karena itulah, ibu Distya merasa gagal menjaga putrinya. Ia gagal menjadi seorang ibu yang baik bagi Distya. Distya melewati segalanya sendirian.
✨✨✨
Prosesi pemakaman berjalan dengan lancar dan tenang dari awal sampai akhir. Semua yang hadir menundukkan kepalanya, memberi penghormatan terakhir untuk Distya. Distya telah dikebumikan, beberapa sudah meninggalkan pemakaman dan beberapa lainnya masih disana, menatap batu nisan dengan nama Distya Areesha.
Rafandra berada di barisan depan, menatap lekat batu nisan itu. Ibu Distya yang masih bersimpuh sambil mencoba tersenyum karena tak ingin kesedihan mendekap anaknya di bawah sana. Rafandra sudah tak kuasa, air matanya akan segera menetes. Ia segera pergi dari sekumpulan orang yang masih berdiri disana. Menjauh mencari udara segar, ia juga tak ingin mengantar Distya dengan kesedihan.
✨✨✨
Beberapa teman Distya masih berkumpul di kediamannya. Mereka ingin tinggal sedikit lebih lama untuk memberi dukungan kepada keluarga yang ditinggalkan. Rafandra juga masih disana. Terlihat lemas dan kehilangan energinya. Ia berdiri cukup jauh dari teman - temannya, termenung sendiri.
Tiba - tiba, pundaknya ditepuk oleh seseorang. Rafandra sedikit terkejut dan menoleh.
"Rafandra, kan? Gue Kila, sepupu Distya." Ucap seorang perempuan yang menepuk pundak Rafandra.
"Oh iya, gue Rafandra. Salam kenal. Ada apa ya?" Rafandra bingung.
"Semalam pas gue beres - beres kamarnya Disty, gue nemuin kotak ini. Gue yakin kalau lo harus tau isinya, makanya gue kasih ke lo." Kila memberikan sebuah kotak yang ia bawa kepada Rafandra.
Rafandra menatap kotak berwarna putih itu, diatasnya ada tulisan yang ditulis dengan spidol hitam.
- Tentang Rafandra Yudhistira, Si Pandawa yang teguh -
Rafandra menerimanya.
"Apapun isinya, semoga bukan penyesalan ya, Raf. Tolong jaga baik - baik kotaknya, gue titipin ke lo." Kila tersenyum, kemudian berpamitan dan meninggalkan Rafandra seorang diri lagi.
✨✨✨
Rafandra duduk di sebuah bangku yang cukup panjang. Menarik nafas dalam - dalam sembari mempersiapkan diri dengan apa yang ada di dalam kotak ini. Penutup kotak terbuka, menampilkan sebuah kertas kecil yang ditempel di tutup kotak itu dengan solatip warna - warni.
-Rafandra Yudhistira-
"Seorang yang mudah bergaul dan... Tampan? Aku jatuh cinta pada setiap hal yang dia lakukan dan yang mungkin dia rahasiakan. Walau jarang masuk sekolah dan dianggap anak ngga beres sama segelintir orang, aku percaya perjalananmu indah kan, Raf?"
Paragraf ini seakan pembuka bagi hal - hal yang ada di kotak ini. Kotak itu ditutupi kertas putih yang diatasnya ada sebuah amplop surat. Rafandra membukanya.
"Walau aku jatuh pada ketampanan Arjuna, namun cintaku untuk sang Yudhistira, Rafandra Yudhistira."
"Aku jatuh cinta pada diam, ia tak mudah dipahami namun ia benar adanya. Karena itulah, aku diam - diam mencintaimu, Rafandra. Aku tak punya keberanian untuk menunjukkannya. Aku takut penolakan, aku takut ditertawakan karena tak pantas jatuh cinta padamu yang dipuja - puja.
Mari terus seperti ini dan izinkan aku merangkai sebuah cerita tentang mengagumi teman sekelas. Kisah ku dan Rafandra terhenti disana, di sebuah sekat yang gelap dan terbatas. Kami, sebatas teman sekelas."
-Distya Areesha-
Sebulir air mata jatuh ke surat itu. Rafandra jadi cengeng jika menyangkut Distya. Ternyata di dalam amplop itu terdapat sebuah foto bersama teman - teman sekelasnya. Ia tak asing dengan foto itu. Itu adalah foto yang diambil saat kelas mereka menyapu bersih perlombaan di acara class meeting. Rafandra kemudian berfokus pada lingkaran dari spidol permanen yang ternyata melingkari dirinya dan Distya. Rafandra duduk di bawah sambil memegang piala, sedangkan Distya berdiri sejajar tepat di belakangnya. Di samping lingkaran tersebut ada tulisan, "Red string teori kah ini?"
Rafandra lagi - lagi menangis. Ternyata Distya menyukainya sejak masa SMA. Ia tak pernah menyadari hal itu. Mereka jarang sekali berinteraksi. Namun Rafandra akui mereka sering melakukan kontak mata, namun Distya seringkali langsung membuang muka. Ia pikir ada yang salah dengan wajahnya atau mungkin ia mengganggu pembelajaran di kelas. Karena yang ia tahu, Distya adalah anak rajin yang selalu masuk tiga besar. Bahkan di pohon harapan, Distya menuliskan cita - citanya untuk menempuh pendidikan dokter di salah satu universitas ternama. Karena itulah Rafandra berfikir untuk menjaga jarak dengan Distya, takut - takut ia mengusik ketenangan perempuan itu.
Rafandra membuka kertas putih tersebut, menampilkan lebih banyak foto yang tercetak. Ada foto - fotonya saat bermain basket, candid di dalam kelas, dan lainnya. Ada beberapa screenshoot dari instagram milik Rafandra yang diprint oleh Distya. Playlist lagu, film yang dibagikan Rafandra, dan quotes yang dikutip oleh dirinya.
Ada DM pertama dari Rafandra yang juga diprint oleh Distya. Ia me-reply instastory milik Distya. Bunyinya, "Dis, buku catatan kimia lo ngga sengaja kebawa sama gue. Besok gue bawain ya. Btw, itu filmnya seru kah? Gue maju mundur mau nonton."
Rafandra tersenyum sambil terisak mengingat kenangan - kenangan itu. Kalau boleh jujur, buku catatan kimia milik Distya bisa saja ia kembalikan lebih awal saat ia menemukannya tergeletak di atas mejanya. Namun, Rafandra malah meletakkannya di loker meja, bersama dengan tumpukan buku lainnya. Sepanjang hari itu Distya juga tidak mencarinya. Hingga buku itu benar - benar masuk ke dalam tas dan terbawa olehnya.
"Dulu kamu sering buat coretan di belakang buku, Dis. Kamu tulis mimpi - mimpi kamu disana. Atau kadang menuliskan suasana hati kamu saat itu. 'Hari selasa mapelnya banyak banget, sampai gumoh #semangatDisty'. Kamu lucu, dan selalu lucu. Buku kimia itu juga jadi alasan aku biar bisa nge-reply instastory kamu, Dis." Rafandra menunduk, air matanya semakin menetes deras.
Saat bayangannya sedikit kabur karena bola matanya penuh dengan air mata, ia melihat gelang wristband yang di custom dengan barcode spotify. Segera ia ambil handphone yang ia letakkan di sebelahnya, kemudian ia scan barcode tersebut. Layar handphonenya menampilkan sebuah lagu di spotify, 10,000 hours - Dan + Shay, Justin Bieber. Lagu yang sering ia request di kelas saat jam istirahat. 10,000 hours lagu favorit Rafandra. Ia bisa memutar lagu itu seharian. Bahkan teman - teman sekelas sampai bosan mendengar Rafandra menyanyikan lagu itu di kelas. Lagi - lagi Rafandra kagum akan detail yang disimpan oleh Distya di kotak itu.
Rafandra sudah tak kuasa, tangisnya benar - benar pecah. Ia sesegukan sambil memeluk erat kotak itu. Kotak yang berisi perasaan Distya untuknya. Andai ia berani mengutarakan perasaannya pada Distya kala dulu. Mungkin ia bisa menemani segala perjalanan hidup seorang Distya. Dahulu, ia terlalu takut bahwa dirinya tak pantas untuk Distya, murid rajin yang selalu hadir dan juga cerdas. Distya selalu rapih dan cantik. Hidupnya tersusun sempurna; cita - citanya, masa depannya. Sedangkan dirinya harus mengurus ayah dan kedua adiknya. Ia tak punya waktu menyusun langkah - langkah untuk masa depannya. Ia hidup untuk bisa makan hari ini.
Makanya saat melihat Distya di rumah sakit, ia memberanikan diri untuk menyapanya. Ia pikir kondisinya saat ini cukup stabil walau masih pas - pasan. Ia tak mau melewatkan kesempatan.
"Distya Areesha, aku mencintaimu. Dengan segala kesunyian yang kau simpan, dan dalam rasa takut yang kugenggam. Selamat abadi, Distya." Kalimat itu keluar dari bibir Rafandra. Walau terlambat; sangat terlambat setidaknya ia mengutarakannya.
Ditengah perasaan jatuh cinta yang berkabung, handphone milik Rafandra bergetar sambil memperlihatkan sebuah notifikasi alarm. Keteranganya, "Waktunya menjemput Distya dan mengutarakan perasaan". Terlihat foto yang sama seperti foto cetak yang ada di dalam amplop di awal tadi sebagai lockscreen milik Rafandra. Bedanya ia melakukan zoom dibagian dirinya dan Distya. Makanya ia merasa tak asing dengan foto di amplop itu.
Karena sebenarnya, ia lebih dulu memasang foto itu sebagai lockscreennya. Ternyata Rafandra juga sudah lama jatuh cinta pada Distya. Ia sudah lama mengaguminya dan menyimpan perasaannya rapat-rapat. Bahkan ia tak pernah mengizinkan seorangpun memegang handphonenya, takut - takut lockscreennya itu dilihar oleh teman - temannya.
Sepertinya benar, ini adalah Red string theory yang dikalahkan oleh takdir kematian. Mereka terhubung, mereka terikat namun kematian lebih dahulu menyapa, kematianlah pemenangnya. Dia mengabadikan perasaan yang tak pernah tersampaikan diantara Rafandra Yudhistira dan Distya Areesha.
Namun tak apa, nama mereka memiliki makna yang mirip; teguh dan kuat. Perjalanan ini tak berhenti disini. Rafandra masih harus berjalan di dunia. Namun izinkan dia berhenti sejenak, menangisi ketidakhadiran Distya yang ia cintai dalam diam (juga).
End -
"Mereka jatuh cinta terlalu rumit. Padahal tak masalah sedikit berisik. Mengutarakan lewat keindahan kata, dan udara siap menyampaikannya. Namun itulah adanya, mereka pikir segala hal siap menunggu. Hingga pada akhirnya, rasa itu menggantung; terhanyut dalam ketenangan dan abadi."
-Difaoktap-