Perjalanan darat dari Trentemoller menuju Royksopp memakan waktu satu hari. Harusnya bisa lebih cepat dengan menyeberangi teluk menggunakan perahu. Hanya saja, laut di Bulan Desember ini sebagian telah membeku. Kami harus memutar jalan, melewati hutan, kemudian dilanjutkan jalan kaki meniti jembatan rotan panjang di antara tebing curam.
Aku sudah menyewa jeep untuk mempersiapkan perjalanan ini. Krum, penjaga hostel berambut merah bersedia menjadi penunjuk jalan. Meskipun sebenarnya dia sudah berulang kali mengingatkanku. Tak ada yang tersisa di sana. Kota itu sudah hancur karena pembalasan dendam. Usahaku akan sia-sia. Tapi sepertinya rasa penasaran ini terlalu kuat untuk dikalahkan. Rasa penasaran selalu mendesak untuk menemukan sebuah jawaban.
Bagaimanapun juga manusia hanya bisa berencana. Aku belum sempat melakukan perjalanan menuju Royksopp saat serangan itu datang. Hari telah petang begitu aku kembali ke kamar hostel. Seharian sudah aku menyusuri Trentemoller yang sepi. Salju menutupi jalanan. Hanya beberapa orang berjaket tebal yang terlihat di jalanan. Barangkali orang-orang lebih memilih berlindung dari hawa dingin di dalam gedung-gedung tua berdinding kusam. Royksopp seperti kota mati.
Kudapati pintu kamar terbuka. Kupikir salah satu pegawai hostel sedang melakukan pelayanan kebersihan, namun ternyata tidak. Kamarku berantakan. Koperku terbuka dan semua isinya berserakan. Ini bukan pencurian. Tak ada barang yang hilang. Firasatku tak baik.
Aku tak sempat untuk menerka-nerka. Rentetan tembakan terdengar. Kaca jendela pecah. Serpihannya berterbangan menggores kulitku. Aku berlindung di bawah meja. Aku harus pergi untuk menyelamatkan diri. Bukan karena takut mati tapi aku tak ingin sia-sia mati di sini. Krum muncul di balik dinding memberi kode padaku. Tembakan masih memberondong kamarku. Dengan setengah menunduk kami berlari menuju garasi melalui pintu belakang hostel. Sebuah jeep telah siap untuk membawaku pergi.
Krum mengemudikan mobilnya zig zag. Di belakang kami dua mobil mengejar. Mereka tak henti-hentinya memberondong kami dengan tembakan. Posisi kami terdesak. Sadar kalau tak memiliki apapun untuk melawan, Krum melemparkan sebuah bungkusan hitam padaku. Sebuah senapan laras panjang kini di tanganku.
Satu tembakan tepat mengenai sasaran. Menembus kaca mobil. Aku yakin ada sebuah lubang tepat di dahi sang pengemudi. Mobil di belakangku hilang arah. Kemudian menabrak pohon besar. Terbakar.
Sesaat aku tertegun. Aku takjub. Bagaimana bisa kedua tanganku terampil memegang senapan. Mantap dan tanpa keraguan. Sementara selama ini aku hanya memegang dayung dan jala dalam keseharianku. Rasa-rasanya jari-jariku familiar dengan senjata mematikan ini.
Sayangnya kemenangan ini tak bertahan lama. Rentetan tembakan dari mobil yang lain kembali menyerang. Mereka membalasnya. Bukan aku atau Krum yang dituju. Ban mobil kami meledak. Mobil oleng. Krum hilang kendali. Yang aku ingat hanya suara derit panjang sebelum akhirnya dentuman hebat terdengar. Aku terlempar.
Sebuah gamparan keras di pipiku. Rasa-rasanya tulang rahangku patah. Pandanganku mulai kabur. Seseorang kembali menghajarkan punggung senapan ke mukaku. Aku berharap Krum segera menolongku. Namun seketika harapan itu pupus. Krum terkulai tak berdaya di depan setir.
Kurasakan darah mengucur dari hidung dan mulutku. Asin. Anyir. Ada bau yang membawaku pada sebuah ingatan yang sama. Bertahun-tahun aroma ini yang selalu kubaui. Aroma anyir yang menguar dari kedua tanganku. Kupikir ini bau amis karena tiap hari harus berurusan dengan ikan. Sudah sering kubasuh tangan, namun tetap saja aroma itu tak pernah hilang. Aku baru sadar ini bukan bau amis melainkan anyir darah. Bersamaan dengan pening di kapalaku, ingatan-ingatan itu mulai muncul.
***
Jam sepuluh lebih lima menit ketika aku keluar dari kamar nomor 27. Betapa waktu sangat berharga. Hanya telat lima menit saja dan aku kehilangan sarapanku. Kuputuskan untuk mencari makan di luar sambil berjalan-jalan di sekitar hostel.
Gelap. Sama seperti kemarin. Namun kali ini aku tidak kaget. Aku tak perlu lagi mengecek jam tanganku beberapa kali sambil melihat ke sekeliling seperti kemarin saat keluar dari pesawat. Sekarang masih jam sepuluhan. Hari masih pagi tapi langit memang seperti malam. Sudah menjadi hal yang biasa di kota ini, tak ada matahari di bulan Desember.
Sepertinya aku datang ke kota yang tepat. Meskipun samar, aku bisa melihat keremangan yang sama seperti yang sering muncul di kepalaku. Hidungku bisa membaui udara laut yang asin. Aku harus melangkah hati-hati di atas tanah berlapis es ini. Semua adalah hal yang sepertinya pernah kualami. Barangkali di sinilah potongan-potongan adegan yang kerap mengganggu tidurku bisa kurangkai menjadi sebuah cerita yang utuh. Barangkali di kota ini akan kutemukan jawaban atas semua pertanyaanku.
Satu pertanyaan besar dalam hidupku. Siapa aku? Namaku Darius. Darius Stefenson begitu yang tertulis di lembaran surat identitasku. Namun aku sendiri merasa asing dengan nama itu. Satu-satunya hal yang membuatku yakin kalau itu adalah namaku adalah pas foto yang tertempel dengan muka yang sama denganku. Hanya saja di foto itu aku terlihat muda dan tak memiliki bekas luka di pelipis kepala.
Paloma. Wanita dengan rambut ikal keemasan dan kulit seputih susu. Aku tidak akan keberatan jika sepasang sayap disematkan di punggungnya. Aku nyaris tak percaya kalau ada manusia sepertinya. Dia seperti malaikat ketika pertama kali ku melihatnya. Mungkin aku yang berlebihan atau barangkali efek setelah bangun dari siuman, tapi hari itu wajahnya terlihat bersinar.
“Kau sudah bangun?” tanyanya.
Sayup-sayup kudengar suara lembut seorang wanita di antara riuhnya deburan ombak dan empasan angin. Samar-samar kulihat wajahnya yang serupa malaikat. Matanya jernih.Rasanya baru pertama kali itu kulihat seseorang bermata hijau. Ternyata yang di hadapanku seorang wanita yang kemudian kuketahui bernama Paloma.
Hampir sebulan aku tak berdaya di atas ranjang. Sekujur tubuhku luka-luka. Sampai sekarang nyeri di pelipisku masih sering menyiksa. Aku tak tahu apa yang telah terjadi padaku. Aku tidak ingat. Seperti juga aku tidak punya petunjuk dengan tato jangkar di punggung jari tengah tangan kananku. Yang jelas lima tahun berselang, kakiku pun masih terpincang-pincang untuk berjalan.
“Aku akan pulang.” Kataku kepada Paloma pagi itu setelah pulang dari melaut.
“Ke mana?”
“Royksopp.”
Royksopp. Pulang. Entahlah. Bahkan aku sendiri saja tidak yakin apakah aku mengucapkan nama kota itu dengan benar. Yang aku tahu, aku lahir di kota itu. Begitu yang tertulis di kartu tanda pengenalku. Setelah lima tahun, Paloma baru menyerahkan sebuah dompet yang berisi selembar tanda pengenalku.
“Kenapa?” tanyanya sambil memunguti ikan-ikan yang terperangkap di jaring.
“Aku sudah terlalu lama berada di sini. Keluargaku membutuhkanku.”
“Dari mana kamu tahu? Bukankah kamu tidak ingat apapun?”
Aku memang tidak ingat apapun. Namun aku sangat yakin keluargaku sedang dalam bahaya. Aku harus bertemu mereka. Bayangan-bayangan itu makin sering muncul belakangan ini tiap kali nyeri di pelipisku kambuh. Seorang wanita menangis sambil memeluk anak laki-lakinya yang sekarat. Bajunya bersimbah darah. Seorang anak perempuan berteriak memanggil-manggil ibunya. Beberapa tubuh tak bernyawa terkapar. Darah menggenang. Aku tak mengenal mereka. Aku tak ingat siapa mereka. Bisa jadi mereka adalah keluargaku. Bisa jadi.
“Ku mohon jangan pergi.” Katanya, tanpa melihat ke arahku.
“Maafkan aku. Aku harus pergi.” Keputusanku sudah bulat.
Paloma memang telah menyelamatkan nyawaku. Dia yang menolongku ketika terdampar di pantai. Dia juga yang telah merawat luka-lukaku. Namun dia tak punya kuasa untuk menahanku. Sebelum aku pergi, Paloma sempat melingkarkan sebuah kalung dengan leontin berbentuk burung merpati ke leherku. “Berjanjilah untuk kembali ke mari.” Pintanya. Aku hanya mengangguk kemudian mencium bibir merahnya. Dan dia membalasnya.
Aku tidak yakin apakah makanan ini akan mengenyangkanku. Mungkin karena jam sarapan sudah habis. Hanya tersedia bubur gandum yang dicampur dengan susu dan ditaburi kacang dan buah-buahan. Wanita penjaga restoran berkulit pucat ini memandangku heran ketika kupesan lagi satu porsi berikutnya. Sama herannya ketika kutanyakan nama kota itu, Royksopp. Ekspresi mukanya langsung berubah. Dia tak menjawab. Matanya menyelidik. Ada yang dicarinya dariku. Dia mendapatinya. Tato jangkar di punggung jari tengahku membuat matanya terlihat cemas. Dia buru-buru bilang kalau restorannya akan segera tutup.
“Tak ada yang tersisa di sana. Kota itu sudah mati.” Begitu penjaga hostel berambut merah memberitahuku tentang Royksopp. Laki-laki berambut merah itu bernama Krum.
Sayangnya hanya itu informasi yang bisa kudapat dari Krum. Laki-laki penjaga hostel itu juga tidak mau banyak bicara. Seperti halnya wanita penjual sarapan. Ada yang disembunyikannya. Barangkali aku memang harus mencari jawabannya sendiri.
***
Royksopp hanyalah sebuah kota pesisir kecil berisikan para nelayan. Namun tak banyak yang tahu, Royksopp adalah tempat persembunyian bagi sekelompok orang dengan tato jangkar di punggung jari tengahnya. Mereka adalah sisa-sisa dari keberadaan bangsa Viking. Orang-orang penting datang ke Royksopp dengan sebuah permintaan rahasia. Dengan bayaran tinggi mereka meminta kelompok rahasia itu untuk merampok. Terkadang merampok barang, namun tak jarang juga merampok nyawa.
Keserakahan akan selalu menghancurkan. Seharusnya misi itu cukup mudah meskipun berbeda dari biasanya. Aku, Lars, dan Marteen harus mencuri di daratan dan bukan di lautan. Hanya mencuri sebuah kalung dengan leontin berbentuk merpati. Tentang apa dan mengapa kalung itu menjadi begitu penting, aku tidak mau tahu alasannya. Terlalu banyak alasan seringkali menjauhkan dari tujuan.
Namun semua menjadi sulit ketika mengetahui seperti apa wujud pemilik leontin merpati itu. Tugas bayaran itu gagal ketika dua temanku berselisih. Mereka masing-masing merasa berhak untuk menjadi yang pertama menyetubuhi wanita yang semula tertidur itu. Teriakan minta tolong membangunkan seisi rumah. Aku membungkam mulutnya. Seorang bocah laki-laki yang pertama muncul di pintu langsung menjadi sasaran peluru panas dari pistol Lars. Disusul seorang wanita yang menangis memeluk anak laki-lakinya itu. Dia memohon padaku untuk melepaskan anak perempuannya.
Para penjaga mulai berdatangan. Perkelahian dan baku tembak tak bisa dihindarkan. Aku panik. Lars dan Marteen berhasil dilumpuhkan. Mereka berdua mati oleh tebasan parang.
Kepanikan membuatku tak bisa berpikir jernih. Kuserang semua orang dengan membabi buta. Beberapa sayatan kurasakan menyobek kulitku. Posisiku terdesak. Kutarik wanita berkalung leontin merpati. Kujadikan dia sandera untuk melarikan diri.
***
Napasku semakin sesak. Pandangan mataku semakin kabur. Sebelum semuanya menjadi gelap, masih bisa kurasakan seseorang menarik paksa kalung berleontin merpati dari leherku. Mataku terpejam. Wajah Paloma yang terbayang.