[Terinspirasi dari kisah nyata]
EMPAT botol minuman keras sudah habis ditenggak oleh lelaki bule itu. Kini ocehannya sudah tidak keruan lagi. Kadang ia menyanyi lagu dengan nada dan lirik yang tidak jelas, kadang berdiri dan menari-nari heboh meski lagu yang diputar berirama slow. Matanya sudah dari tadi memerah. Setiap membuka mulut, aroma alkohol langsung meruak keluar dari mulutnya.
Sofia duduk di sampingnya memandang laki-laki itu sambil tersenyum senang. Sesekali ia ikut minum ketika si bule memintanya, atau ikut menari jika diajaknya.
“More drink—hik—please, My Dear…,” pinta si bule pada Sofia setelah sadar bahwa botol yang ia tuangkan isinya ke dalam gelas ternyata sudah kosong. “Kamu terlihat masih segar, Sweetie.”
Sofia tertawa mengejek lalu meninggalkan tamunya itu menuju bar dan memesan satu botol lagi bermerk sama.
“Dua lagi seperti yang tadi ya. Si bule menerima tantangan gue nih,” kata Sofia.
“Sudah dapat berapa lo dari botol ini?” tanya bartender.
“Kalau sama dua botol yang ini ya 200 ribu. Itu cuma dari dia saja,” jawab Sofia senang.
Sofia memang selalu merasa senang jika mendapatkan tamu pemabuk seperti si bule. Dompetnya pasti bakal terisi penuh. Setiap berhasil menjual satu botol minuman, Sofia—dan juga para pekerja seks komersial di kafe itu—mendapat komisi minimal 20 ribu. Dan dengan sedikit trik, Sofia bisa memancing tamunya untuk terus membeli berbotol-botol minuman keras. Ia tantang tamunya berlomba minum dengan minuman yang sama—atau yang lebih mahal—sebanyak-banyaknya. Kalau sang tamu mampu mengalahkannya maka ia berhak membawanya berkencan dengan jaminan special services. Tentu dengan tarif yang sudah ditentukan sebelumnya.
Dan Sofia tidak gampang dikalahkan dalam lomba minum itu. Hanya satu persen dari seluruh tamunya yang mampu menumbangkan Sofia dalam ajang tersebut. Bukan karena Sofia kebal dengan alkohol, tapi karena ia punya trik andalan. Sofia dan bartender sudah punya kesepakatan rahasia. Kongkalikong. Bartender akan mendapat bagian dari komisinya menjual minuman botol dengan satu syarat. Ia harus mencampur minuman milik Sofia dengan soft drink dalam porsi tertentu sehingga tidak membuatnya mabuk. Sementara minuman milik tamunya tetap murni tanpa oplosan.
“Memang dasar cewek nakal lo ya,” kata bartender setiap kali Sofia mengajukan permintaan minuman oplosan itu.
“Kan lo juga ikut nakal,” elak Sofia sambil terbahak-bahak lalu kembali ke mejanya dengan membawa dua botol minuman.
Dan lomba minum berat sebelah itu akhirnya dimenangkan oleh Sofia. Si bule mengibarkan bendera putih di botol kelimanya yang tidak mampu ia habiskan bahkan separuhnya. Ia mengempaskan tubuhnya di sofa tak lama setelah minum gelas terakhirnya, lalu bangkit dan berjalan sempoyongan menuju toilet. Di sana ia tidak tahan untuk tidak mengeluarkan isi perutnya.
Sementara Sofia? Tak tersisa setetes pun di botolnya.
Dan malam itu Sofia kembali merasakan kepuasan batin setelah mengalahkan satu lagi seorang laki-laki.
Menaklukkan superioritas laki-laki memang merupakan misi utama hidup Sofia, setidaknya setelah ia merasa dikhianati kekasihnya, Ben, tiga tahun lalu. Ben adalah cinta sejati Sofia, namun ternyata Ben tidak menganggap yang sama.
Enam tahun lalu Sofia yang berperawakan tinggi, rambut ikal, kulit kuning langsat, dan berlatar sosial dari keluarga berada, memang menjadi incaran banyak laki-laki. Tidak sedikit cowok yang mencoba merebut hatinya. Dari mantan teman SMA, teman kuliah, bahkan beberapa dosennya. Tapi cintanya jatuh pada Ben, adik dari teman kuliahnya yang usianya tiga tahun lebih muda.
Sebetulnya, orang tua Sofia tidak rela putri satu-satunya itu berhubungan asmara dengan Ben. Bukan karena dari keluarga kurang berada, tapi memang karena jiwa Ben yang dianggap belum matang. Mereka khawatir Ben hanya bersenang-senang saja menjalin cinta dengan Sofia. Pun begitu teman-teman Sofia, beberapa kali mereka memperingatkan soal Ben. Namun hati Sofia sudah dibutakan oleh sebuah rasa kuat di hati yang menurutnya itu adalah cinta.
Sofia pun menjadi budak cinta, hingga pada akhirnya membuat Sofia malas kuliah. Alih-alih menyelesaikan pendidikan akademiknya, Sofia memilih membuka usaha katering bersama Ben dan—untungnya—mampu mendulang sukses. Saat itu Sofia merasa punya hoki di dua dunia: dunia bisnis dan dunia cinta—setidaknya selama tiga tahun pertama masa-masa indah pacaran mereka.
Karena ternyata perjalanan biduk asmara mereka tidak melewati jalur yang lurus sesuai dengan yang diharapkan Sofia. Masa-masa bahagia yang mereka kayuh terhenti di tahun ketiga setelah Sofia memutuskan secara sepihak hubungan mereka karena masalah yang berlapis-lapis.
Ben harus mendekam dalam penjara setelah digerebek bersama beberapa temannya karena menggunakan narkoba suntik. Tidak cuma pengguna, Ben ternyata juga pemasok. Itu baru masalah lapis pertama. Akibat dari penggunaan jarum suntik yang berganti-gantian, Ben tertular virus penggerogot daya tahan tubuh, HIV. Itu lapis keduanya.
Lapis terakhir adalah yang paling menyesakkan dada Sofia. Salah satu teman Ben yang terciduk dalam pesta narkoba tersebut adalah Anti, sahabat Sofia. Celakanya, setelah ditelusuri, tak hanya berbagi jarum suntik, Ben juga berbagi cinta dengan Anti.
Sofia merasa hidup tidaklah adil baginya. Ia sudah menyerahkan segalanya untuk Ben. Hartanya, cintanya, tubuhnya, dan jiwanya, sepenuhnya untuk kekasihnya. Namun ternyata Ben hanya menganggap dirinya sebagai objek bersenang-senang belaka. Ia menyesal tidak menuruti apa kata orang tua dan teman-temannya dahulu.
Tapi di balik semua itu, Sofia merasa masih ada dua hal yang bisa ia syukuri. Ia tidak tertular HIV dari Ben dan ia masih memiliki semangat hidup. Dua hal dijadikan Sofia bekal untuk melanjutkan hidup dan—nantinya—untuk melampiaskan dendamnya.
‘Lulus’ dari lapas, Ben mengaku khilaf dan minta maaf pada Sofia. Ia memohon kepada Sofia untuk membangun lagi hubungan mereka dari nol. Namun hati Sofia sudah membatu. Ia tidak lagi punya cadangan ampun untuk Ben. Ia pun memutuskan cinta Ben.
“Sebutkan saja apa yang membuatmu bahagia, aku akan turuti,” rayu Ben kala itu.
Dan Sofia benar-benar menyebutkannya. “Kamu ingin tahu yang membuatku bahagia? Pergi saja kamu dari dunia ini!” sumpah Sofia.
Sejak saat itu ada yang berubah pada diri Sofia. Pintu hatinya benar-benar ia tutup rapat-rapat untuk cinta dari lelaki mana pun. Ia sudah merasa dikecewakan dan dikhianati oleh laki-laki. Ia merasa hanya menjadi sapi perah dan menjadi objek pemuas berahi mereka belaka. Sudah jelas baginya, cinta itu hanyalah omong kosong.
Kini sebuah tekad tertanam kuat di dalam hatinya. Ia harus membalik situasi. Kalau selama ini laki-laki selalu superior, mulai sekarang tidak akan lagi.
Mulai saat ini mereka harus tunduk padaku. Menjadi sapi perah dan sekaligus menjadi objek pemuas berahiku. Hanya itu bentuk balas dendam yang setimpal buat mereka.
Dan itulah Sofia sekarang. Memasang price tag di tubuh mulusnya, memancing gairah para lelaki pengumbar berahi untuk menjajal tubuhnya, dan menguras uang mereka untuk itu.
Pada pengalaman pertamanya menjajakan diri, Sofia merasa sangat puas. Ia merasa menjadi pemenang, bukan lagi pecundang. Sudahlah hasratku terpuaskan, mereka aku paksa untuk membayarnya pula. Bukankah itu adalah sebuah kemenangan untukku?
Maka, hidup Sofia pun ia jalani dengan penuh ‘warna’. Loncat dari hotel satu ke hotel lainnya, hinggap dari tubuh lelaki satu ke lelaki lainnya hanya untuk melampiaskan balas dendam tersebut. Hingga akhirnya pengejarannya membawanya ke kafe tempat ia bekerja sekarang—sebagai lady escort.
Kini, tiga tahun sudah perjalanan dendam Sofia terhadap makhluk yang mengaku paling superior dibanding lawan jenisnya itu. Pengakuan yang menurutnya sudah berhasil terjungkirkan.
Lalu, sebersit rasa bosan menyelip di dalam hati Sofia suatu ketika. Bosan dengan semua yang ia lakukan. Bosan dengan rutinitas yang ia jalankan. Meski semua itu berhasil membuat pundi-pundinya tak lagi mampu menampung tetesan keping demi keping uang yang seolah tak pernah mau berhenti mengisi.
Di saat kejenuhan itu makin lama makin menyesak di dadanya, hadirlah sosok yang mampu membalikkan rasa jenuh itu menjadi sebuah harapan untuk membuka hidup baru. Dialah Peter, pria asal London, yang saat ini sedang berbaring di sampingnya, di atas ranjang dalam apartemennya. Pria yang mengaku duda itu adalah seorang manajer sebuah perusahaan multinasional yang sedang melaksanakan tugas di Jakarta.
Peter adalah salah satu pelanggannya yang paling setia dan paling mengalah. Pertama kali menggunakan jasa Sofia, Peter langsung mengaku jatuh hati. Ia tidak pernah mau menerima tawaran lady escort lain kecuali dengan Sofia. Bahkan ia rela menunggu berjam-jam ketika Sofia sedang menerima pelanggan lainnya. Meski ketika berdua dengan Sofia di dalam kamar, ia lebih banyak mengajak ngobrol. Peter tidak pernah mengajak Sofia bercinta. Sofialah yang selalu berinisiatif—dan itu pun kalau ia sedang in the mood.
Usia pria itu 20 tahun di atas Sofia—yang baru setengah tahun menyentuh kepala tiga. Mungkin karena kematangan usianya itu Peter berbeda dengan semua ‘korban’-nya. Dengan Peter, Sofia selalu ingin melayaninya dengan sepenuh hati. Ia tidak mau menjadikan Peter korban dendamnya. Malah sebaliknya, ia rela menjadi ‘korban’ cinta Peter.
“Morning, Honey,” sapa Sofia begitu melihat Peter membuka matanya. “Nyenyak tidurnya?”
Peter membalas salam Sofia sambil tersenyum, lalu mencium bibirnya. “Sure, berkat kamu yang selalu di sisiku.”
“Ah, bisa aja, Ayang.”
“Ayang?”
“Ha ha ha… itu sapaan mesra seperti halnya ‘honey’ atau ‘sayang’.”
“Oh, ha ha ha… baiklah, Ayang. So, hari ini kau ada acara ke mana?”
“Tidak ada acara. Today is a special day I dedicated for you, Hon. Mumpung kamu libur kerja.”
“Wah, terima kasih. Kalau begitu aku akan mengajak kamu bersenang-senang dan makan-makan. Okay?”
“Honey, walaupun kita hanya nonton Netflix di kamar seharian, aku juga mau, kok. Yang penting berdua denganmu.” Sofia mengucap kalimat itu dengan mendekap tubuh Peter.
Kadang Sofia merasa heran dengan dirinya sendiri, mengapa ia kini kembali seperti dirinya yang dulu, menjadi budak cinta. Hanya, bedanya, kini ia merasa yakin kalau Peter tidak seperti Ben.
“Oh ya, kita sarapan apa pagi ini?” tanya Peter.
Tepat begitu Peter menyelesaikan kalimatnya, terdengar ketukan di pintu depan.
“Nah, itu dia jawabnya. Aku sudah memesan bubur ayam kesukaanmu ke sekuriti. Itu pasti dia.”
“Wow, baik sekali kamu, Sayang. Biar aku yang membukanya.”
Acara santai menyantap sarapan di meja makan pagi itu dimanfaatkan Peter untuk bertanya pada Sofia. “So, bagaimana keputusanmu, Sayang?”
“Well, aku harus katakan kalau aku menerima lamaranmu, Pete,” jawab Sofia.
“Dan persyaratan yang aku ajukan?”
“Ya, aku terima. Karena sesungguhnya aku memang sudah ingin menyudahi petualangan ini. Apa yang aku kejar ternyata tidak pernah membuat hatiku nyaman. Begitu dendamku terlampiaskan, lalu dendam yang lain menuntut untuk dilampiaskan juga. Tapi sampai kapan? Itulah yang membuat jiwaku lelah. Karena itu kalau kamu mensyaratkan aku untuk menghentikan profesiku demi menikah denganmu, aku dengan menerimanya dengan penuh sadar. Bahkan kalaupun kamu tidak memberiku syarat itu, aku tetap akan mengakhiri petualanganku ini demi hidup bersamamu.
“Kamu berhasil membuka kesadaranku bahwa dalam hubungan cinta itu tidak ada menang dan kalah, tidak ada superior dan inferior, dan tidak ada pelaku dan korban. Di mata cinta semua itu setara. Di dalam cinta semua pihak saling berbagi, hanya ada memberi, tidak ada meminta.”
“Syukurlah kalau begitu. Aku sungguh senang mendengarnya.”
“Tapi aku masih ragu, apakah Tuhan membukakan pintu maaf untukku?”
“Aku berani yakinkan itu karena Tuhan sudah jelas memastikannya. Bukankah Dia Maha Pengasih dan Maha Penyayang?”
Sofia mengangguk-angguk.
“Jadi, kamu punya syarat apa untukku biar bisa menikahimu?” tanya Peter.
Sofia tersenyum. “Peter, aku sungguh mencintaimu. Jadi, aku tidak akan memberikan syarat apa pun. Syarat justru akan menodai makna cinta sejati, karena seharusnya cinta itu tanpa syarat.”
“Hmm, you’re really my inspiration. Yes you do,” kata Peter lalu memegang kedua tangan Sofia. “Kalau begitu secepatnya kenalkan aku dengan kedua orang tuamu untuk minta restu. Kamu juga akan aku kenalkan dengan keluargaku di London. Dan setelah itu kita akan menikah dan tinggal di Bali. What do you think?”
“Perfecto! I love it.”
“Oh ya, ada lagi yang aku mau bicarakan denganmu,” cetus Sofia.
“Ya, apa itu, Sayang?”
“Kamu tahu benar bagaimana riwayat hidupku, kan? Bagaimana dulu aku punya dendam terhadap kaum laki-laki dan melampiaskannya dengan cara yang keliru.”
“Lalu?”
“Aku ingin menebus dosaku.”
“Hmm, interesting. Bagaimana kamu akan menebusnya?”
“Membantu mereka yang terjerumus ke dalam dunia yang aku jalani dulu. Aku tahu kehidupan mereka begitu menyedihkan dan memilukan. Banyak yang tidak paham dengan dunia yang mereka geluti, apa dampak dari profesi mereka, baik secara fisik, mental, maupun spiritual. Banyak yang ingin kembali ke kehidupan normal tapi tidak yakin mampu melakukannya karena takut pada hukuman sosial yang mungkin mereka terima. Dan masih banyak masalah lain.
“Mereka sebetulnya sangat membutuhkan bantuan, terutama motivasi untuk melanjutkan hidup seperti yang mereka harapkan. Nah, terlintas sebuah ide di kepalaku untuk membuat sebuah yayasan atau setidaknya support group untuk memfasilitasi semua itu.”
“Wow, menurutku itu sangat bagus, Sayang. Tentu aku akan mendukungmu. Aku akan minta beberapa kenalanku yang aku yakin mau membantumu mewujudkan keinginanmu itu. Aku sungguh merasa menjadi laki-laki paling beruntung karena mendapatkanmu.”
“Jadi, kita menikah?”
“Kita menikah,” jawab Peter mantap lalu memeluk Sofia.
Yayasan itu diberi nama Yayasan Sofia, berlokasi di Denpasar, Bali. Resmi berdiri satu tahun kemudian setelah mereka menikah.
Suatu sore, ketika semua stafnya sudah pulang, Sofia kedatangan tamu, seorang pria berwajah pucat dan layu dengan keriput di sana sini. Sebuah topi bisbol berwarna krem membungkus rambutnya yang sedikit gondrong. Tubuhnya tampak kurus tak terurus. Kaus polo yang ia kenakan terlihat terlalu besar di badannya.
“Ben?”
“Syukurlah kamu masih mengenaliku, Sof,” sahut tamunya.
“Apa kabar? Kamu tampak….”
“Tidak baik-baik saja. Ya, tidak baik.”
“Bagaimana kamu menemukan aku?”
Ben mendesah. “Ada hal yang lebih penting daripada itu, Sof. Aku datang ke sini untuk minta maaf. Demi Tuhan.”
Sofia terkejut. Baru kali ini ia mendengar Ben menyebut Tuhan. Dan ia tahu, seperti ketika dirinya menyebut Tuhan dengan penekanan yang kuat, itu artinya ia sudah benar-benar insyaf.
“Aku jujur, maafku ini berbeda dengan maaf-maafku yang dulu. Maaf yang sekarang datang dari sini,” kata Ben sambil menunjuk dadanya. “Aku sungguh butuh kamu menerima permintaan maafku, karena aku sudah di ujung ajal.”
Ben terdiam sebentar lalu melanjutkan lagi. “Aku terkena AIDS, Sof.”
Ben lalu bercerita, setelah didiagnosa terinfeksi HIV, dirinya merasa putus asa dan tidak disiplin minum obat. Apalagi semua orang menjauhinya, termasuk Anti kekasihnya. Semangat hidupnya pun meredup dan membuat jiwanya terus melemah.
“Ben, jujur, aku sudah memaafkanmu jauh-jauh hari. Kamu tidak perlu berkecil hati dengan apa yang kamu alami. Kamu masih punya teman. Aku. Apa yang bisa aku bantu untukmu?”
Ben tersenyum. “Terima kasih, Sof. Kejujuranmu itu sudah sangat cukup membantuku. Aku lega sekarang.”
“Oh ya, kamu mau minum apa?”
“Apa saja.”
Sofia pamit ke pantry, membuatkan air teh untuk Ben, mengambil beberapa snack, lalu kembali ke ruang depan.
“Nah, sebelum lanjut ngobrolnya, kamu min….” Sofia berdiri terpaku. Tamunya sudah tidak ada di tempat. Ia meletakkan sajiannya di atas meja lalu mencari Ben di beberapa ruangan sambil memanggil namanya. Tidak menemukan di mana pun, Sofia keluar kantor dan melihat ke sekeliling.
Tak ada jejak sama sekali.
Sofia mendekati tukang parkir di depan kantornya. “Pak, Bapak lihat tamu saya keluar dari kantor?”
“Tamu? Saya dari tadi di sini tidak melihat ada orang keluar-masuk kantor Ibu.”
“Bapak yakin?”
“Sore hari begini kan kawasan sini sepi, Bu. Kalau ada orang lewat pasti saya tahu. Dan saya nggak ke mana-mana dari tadi, nungguin mobil Ibu.”
Sofia mengernyitkan dahinya, mengucap terima kasih, lalu kembali masuk kantor.
Pulang dari kantor malam harinya, ketika baru saja Sofia melangkahkan kaki masuk ke dalam rumah, ponselnya berdering. Sebuah panggilan telepon dari ibunya.
“Ya, Bu.”
“Sofia, kamu sudah dengar kabar? Ben, mantanmu itu—masih ingat kan? Dia meninggal dunia dua jam yang lalu.”
Sofia tercekat. “Meninggal di mana?”
“Di rumah sakit di Jakarta. Dia memang sudah lama dirawat karena AIDS.”
Jadi, Ben yang berkunjung sore tadi ke kantor…?
Sofia termenung, teringat masa-masa sulitnya bersama Ben hingga ia memutuskan hubungan cinta mereka. Ia kini bersyukur sudah memaafkannya sehingga perjalanan kembalinya Ben ke kediaman abadinya akan lancar. Sofia mendoakan Ben agar diampuni segala dosanya oleh Sang Pencipta.
Tiba-tiba Sofia tercekat. Ia ingat pernah menyumpahi Ben untuk ‘pergi dari dunia ini’.
Ya Tuhan, ini bukan karena sumpahku itu, kan?
***
karya sy yg lain selalu ada twist bro, cek dan komen juga yak.