“Aku ingin kita bercerai.”
Banda menghentikan gerakan mengunyahnya, ia tertegun, meletakkan pisau dan garpu yang ia pegang untuk memotong-motong steik yang masih hangat di atas piringnya. Ia menatapku tanpa bersuara apa pun, mungkin saat ini banyak hal bermunculan dari sudut-sudut ruang pikirnya.
“Kita selesaikan makan malam ini, dan membicarakannya setelah kita di rumah nanti,” jawabnya. Banda yang selalu hangat, bersuara rendah namun tetap tegas, kini seperti singa lapar yang berjalan linglung tak tahu arah. Ia hening sejenak, tak langsung melanjutkan makannya. Oh, Banda, sungguh aku juga terluka jika melihatmu sedih seperti saat ini.
Makan malam yang seharusnya menjadi momen spesial sebagai perayaan ulang tahun pernikahan kedelapan kami menjadi canggung dan makanan apa pun yang masuk ke dalam mulutku semua terasa lebih hambar dari sebelumnya. Meski aku sudah memikirkan semuanya dengan baik sebelum memutuskan untuk mengajukan perceraian ini, semuanya seperti sia-sia jika melihat Banda hancur hanya dalam hitungan detik seperti ini. Sisa perayaan ulang tahun pernikahan kami berlangsung dengan dingin, kehangatan yang biasa kami berikan satu sama lain hilang begitu saja, seperti aroma masakan yang tertelan angin sore yang kering, lenyap tak berbekas, hanya meyisakan sebuah kerinduan yang kami tahu tak akan bisa lagi kami miliki.
Tak banyak yang kami bicarakan sampai perjalanan pulang. Di dalam mobil yang biasa kami habiskan dengan bercerita hal-hal ringan seperti mendialogkan segala hal yang kami lihat di jalan pun kini seperti hal yang begitu asing. Musik dari radio pun tak berhasil menelan sepi dan canggung, padahal jika ini adalah makan malam perayaan ulang tahun pernikahan di tahun-tahun sebelumnya, sudah pasti kami akan menyanyikan banyak lagu-lagu kenangan kami berdua, menyanyi sembari mengingat kembali hal-hal bodoh yang kami lakukan ketika kami masih muda, sungguh sebuah nostalgia yang akan menjadi cerita yang siap tersimpan rapat dalam peti kenangan dan akan selalu terkunci dalam hidup kami.
Aku tak menyangka bisa melalui perjalanan yang begitu asing ini dengan cukup baik. Sesampainya di rumah, kami pun menuju kamar dan berganti baju. Biasanya kami akan meminum segelas anggur dan bertukar kecupan-kecupan kecil sembari membisikkan kata-kata sayang, namun tidak untuk malam ini. Banda langsung menuju ranjang tempat tidur kami, ia mematikan lampu di atas nakas yang berada tepat di samping sisi ranjangnya, dan memunggungiku. Aku terdiam beberapa saat sebelum akhirnya aku menyusul dan merebahkan tubuhku tepat di sampingnya. Awalnya aku ingin sekali membuka pembicaraan, entah apa pun itu, namun kurasa ini bukan waktu yang tepat. Kumatikan lampu di sisi ranjangku, memutuskan untuk munutup mata, dan tentu saja juga memunggunginya. Di dalam hati aku berdoa semoga malam ini akan berlalu dengan cepat.
*
Aku terbangun ketika jarum jam tepat menunjukkan pukul enam. Saat aku membuka mata, Banda sudah tidak ada di sampingku, nampaknya ia bergegas bangun pagi ini. Aku mengamati seisi kamar dan menajamkan pendengaranku, tak ada sama sekali tanda-tanda keberadaannya di kamar ini. Sebuah pagi yang asing bagi kami.
Hari ini aku tidak ada rencana pergi ke mana-mana, sengaja mengosongkan jadwalku, tak ada kunjungan teman atau pun keluarga. Banda sudah berada di ruang keluarga ketika aku turun untuk membuat sarapan, ia terlihat sedang menonton berita pagi ditemani secangkir kopi. Ia menoleh ke arahku sembari tersenyum ketika menyadari keberadaanku, “Temani aku sarapan di sini saja sambil menonton berita,” ucapnya. Aku mengambil segelas jus jeruk dan kemudian duduk di sampingnya. Entah sejak kapan sofa di ruang keluarga ini terasa lebih empuk dan nyaman, kenapa hal konyol seperti ini malah terlintas di pikiranku pada saat-saat seperti ini?
Banda mengecilkan suara televisi, menyesap kopinya, dan mengganti posisi duduknya agar lebih nyaman. Ia menyandarkan punggungnya ke sofa dan menyilangkan kaki ke arahku, sembari memegang tanganku ia nampak ingin mengucapkan sesuatu namun tetap saja bisu, mungkin ia sedang memilih kata-kata yang pas.
“Aku mendengarkanmu,” ucapku akhirnya sembari memegang erat balik tangannya.
Banda menatapku dengan tatapan yang masih sama dengan hari-hari sebelumnya, tatapan yang mengisyaratkan bahwa ia siap menjadi tempat berpulang untuk semua cerita dan keluh-kesahku. Ia terdiam sejenak, berdehem beberapa kali dan terlihat gelisah, “Aku ingin kamu memikirkan lagi dengan baik-baik permintaan yang kamu ucapkan semalam. Aku sudah memikirkannya, nampaknya perpisahan bukanlah jalan keluar terbaik apa pun masalah kita, kita berdua bisa membicarakannya lagi dengan baik-baik, tanpa harus berpisah dan kehilangan satu sama lain.”
Banda terdengar gamblang mengucapkannya, mungkin ia sudah menyiapkannya sedari pagi agar ia tak kehilangan kata-kata. Aku tak langsung menjawabnya, hanya tersenyum tipis sebagai tanda bahwa aku mendengarkan apa yang ia ucapkan.
“Aku tahu kalau aku selama ini masih kurang baik menjagamu, tapi apakah benar ini jalan keluar terbaik untuk kita berdua? Kita sudah mempertahankan semuanya, dan berjuang bersama selama delapan tahun. Kamu pun tahu bahwa aku tidak pernah menyerah dengan keadaan kita, seperti yang sering kita katakan, bahwa kita akan tetap melewati semua ini bersama-sama, apa pun yang terjadi. Iya, kan?”
“Tapi kamu tidak pernah membelaku tiap kali ibumu menanyakan cucu kepadaku, Mas,” jawabku tanpa basa-basi dan tepat sasaran. Banda merenggangkan genggamannya ketika mendengar apa yang aku ucapkan.
“Ibu? Jadi, semua ini karena ibuku?”
Aku mengangguk sebagai jawaban atas pertanyaan yang ia lontarkan, “Iya, ibumu.”
“Tapi … kamu tau, kan, ibu menanyakan hal itu hanya karena ia perhatian saja kepada kita. Lagipula—”
“Perhatian?” potongku yang hampir saja meledak karena hal ini mulai dianggap sepele olehnya, “Perhatian macam apa yang selalu menanyakan cucu kepada menantunya yang ia tahu sendiri kalau hal itu hanya akan membuat menantunya sakit? Perhatian macam apa itu? Ibumu tahu, bahwa keadaan kita bukan karena aku atau pun kamu mandul, Mas, semua ini juga di luar kemampuanku. Apa menurutmu aku mau kehilangan calon anakku di tiap kehamilanku? Apa kamu dan ibumu kira aku mau kehilangan anakku satu-satunya yang sudah aku jaga dengan baik dan berhasil aku lahirkan dengan selamat tapi tetap saja meninggal? Kamu kira siapa yang paling kehilangan atas hal ini? Kamu? Ibumu? Kakak-kakakmu?”
Dadaku mulai sesak, air mata yang sedari tadi kutahan tak lama pasti akan jatuh juga. Tidak, aku tidak boleh lengah kali ini. “Delapan tahun kukira adalah waktu yang cukup untuk semua ini. Dan kita juga sudah sering membicarakan hal ini, tiap aku dipojokkan dengan pertanyaan-pertanyaan konyol itu kamu berjanji akan selalu membelaku, namun sekali pun kamu tidak pernah menepatinya. Coba aku tanya, apa yang kamu lakukan ketika semua keluargamu menyudutkanku atas perkara keturunan ini?”
Banda, ya, ia hanya tediam namun tetap menggenggam erat tanganku. Ia mulai gemetar, aku tahu sekali kalau ia juga sedang meredakan emosi yang tengah bergejolak di dalam dirinya.
“Maafkan aku, kumohon. Aku akan bilang ke ibuku untuk berhenti menanyakan hal-hal konyol itu kepadamu, aku juga akan bilang ke saudara-saudaraku kalau mereka tak perlu mencampuri urusan rumah tangga kita lagi. Beri aku kesempatan sekali lagi, kumohon.”
Apakah sebuah kesempatan akan mampu memperbaiki semuanya? Atau akan berakhir sama saja dengan kesempatan-kesempatan yang telah diberikan sebelumnya? Aku hanya bergeming dan menatap Banda—dingin.
*
Hari ini aku dan Banda menginap di rumah orang tua Banda, sebuah tradisi yang selalu dilakukan pada tiap ulang tahun ibunya. Aku tidak pernah keberatan dengan tradisi keluarga Banda, meski aku tak begitu suka berkumpul dengan orang banyak, namun, aku harus memberikan maklumku untuk hal yang satu ini. Aku tidak mau dianggap sebagai menantu kurang ajar yang mendominasi suami dan melarang suami tetap dekat dengan keluarganya, tidak, aku bukan istri seperti itu.
Lima tahun aku lalui dengan baik-baik saja, meski tak terlalu baik juga karena tiap saat aku akan selalu menjadi sasaran dikte ibu dan saudara-saudara Banda atas kondisi pernikahan kami. Kadang aku protes kepada Banda, kenapa hanya aku yang menjawab pertanyaan-pertanyaan yang sangat mengganggu itu, kenapa ia tak pernah sekali pun membantu atau menyelamatkanku dari kondisi menyeramkan ini? Namun, Banda hanya tertawa ketika mendengar aku protes, ia menganggap apa yang dilakukan oleh ibu dan saudara-saudaranya itu hanya sebuah bentuk kepedulian saja, tak lebih.
Tak lebih? Aku pernah ingin sekali melempar gelas ke muka kakak iparku ketika ia membandingkanku dengan teman arisannya yang tak lain adalah mantan Banda ketika SMA dulu, ia berkata si mantan Banda ini sudah mempunyai 3 anak, sepasang kembar yang baru lahir dan seorang anak laki-laki yang berusia 4 tahun, ia menambahkan bahwa si teman itu sangat subur dan tahu sekali bagaimana membuat bahagia suami dan keluarganya. Ya, tolok ukur kebahagiaan dalam pernikahan bagi mereka adalah ada atau tidaknya seorang anak di dalam pernikahan itu—sebuah pemikiran picik dan juga dangkal tentu saja.
“Ih, pasti kalau Banda jadi nikah sama dia, Ibu sudah punya cucu banyak, ya. Pasti rumah juga ramai terus kalau ada anak kecil. Iya, kan, Banda?”
Sebutkan satu nama perempuan yang tak ingin meledak ketika mendengar pernyataan serupa itu berkali-kali. Aku berusaha setenang mungkin, hanya memberikan senyum terbaik yang sudah kulatih selama lima tahun ini untuk menghadapi pertanyaan-pertanyaan yang tiada ujung, sedangkan Banda hanya akan menjawab, “Ah, Ibu.” Apakah kalian bisa membayangkan bagaimana perasaanku ketika mendengar jawaban singkat yang penuh dengan kebodohan itu?
Ibu dan saudara-saudara iparku bisa dibilang cukup kreatif dalam mencampuri urusan rumah tangga kami, tak hanya cukup menanyakan perkara momongan, kadang mereka juga usil menanyakan apakah kami masih cukup bergairah ketika di ranjang, meski diucapkan sebagai lelucon namun hal itu membawa sakit dan malu yang berkali-kali lipat. Dan sekali lagi, Banda hanya akan menjawab, “Ah, Ibu.”
Sebenarnya Banda bukanlah lelaki yang payah atau bodoh, ia adalah lelaki berotak cemerlang dengan pembawaan yang selalu tenang dan tutur katanya sangat halus. Namun, jika dihadapkan dengan ibu dan saudara-saudaranya, Banda berubah menjadi bocah berumur lima tahun yang masih menginginkan permen dari kakak perempuan dan tak tahu apa-apa mengenai dunia orang dewasa. Dan ketika itulah, aku yang merupakan istrinya ini akan dinomor kesekiankan olehnya, meski ia selalu bersikap lembut dan baik kepadaku ketika kami hanya berdua, ia akan berubah menjadi orang yang benar-benar asing jika sudah berkumpul dengan keluarganya seperti ini.
*
“Akhirnya, ya, meski kamu sudah 34 tahun, paling nggak kamu akhirnya bisa ngasih Banda keturunan. Nggak apa-apa tua dikit, yang penting bisa punya anak dan kasih ibu cucu.”
Kalimat menohok itu diucapkan oleh seorang perempuan berusia 61 tahun bernama Wirasti—yang tak lain adalah ibu mertuaku. Saat itu usia pernikahanku dan Banda memasuki tahun keenam, dan kami berdua adalah orang yang paling bahagia karena akhirnya kami bisa mempunyai anak, ya, saat ini kami berada di sebuah ruang rumah sakit dan menunggu waktu kelahiran anak pertama kami.
“Sudahlah, Bu, berilah ruang dan waktu untuk kami berdua saja. Kami juga butuh ketenangan.” Banda sedikit protes kepada ibunya. Setelah kehamilanku yang entah ke berapa ini, Banda akhirnya mempunyai sedikit keberanian untuk membelaku jika ibu dan saudara-saudaranya mulai meracau hal-hal konyol. Mendengar perkataan Banda, ibu mertuaku hanya terdiam dan menyibukkan diri dengan kipas tangannya yang selalu ia bawa ke mana pun ia pergi. Padahal aku cukup yakin AC di ruangan masih berfungsi dengan baik, tapi entah kenapa ia selalu saja merasa kegerahan,
Semalaman penuh kami lewati tanpa tidur. Pukul empat pagi akhirnya bayi yang sudah lama dinanti lahir, aku mendengar banyak suara tawa kebahagiaan ketika menyambutnya. Namun, hal itu tak berlangsung lama, aku tak sadarkan diri, yang kutahu hanya gelap dan suara-suara orang mulai menjauh, apakah aku tertidur karena kelelahan?
Siang hari ketika aku membuka mata, Banda berada di sampingku sambil membaca sebuah buku tebal, aku tidak terlalu ingat buku apa yang sedang ia baca saat itu. Lirih aku memanggilnya, tak lama dokter diikuti perawat datang menghampiriku, dan mereka terlihat sibuk memeriksa ini-itu yang sama sekali aku tak mengerti.
“Hai,” ucap Banda sembari memegang tanganku setelah rombongan dokter itu pergi meninggalkan ruangan untuk kami berdua.
“Hai,” jawabku masih dengan suara lemah, aku merasa tenagaku hilang sama sekali, bahkan untuk mengedipkan mata saja terasa sangat berat.
“Akhirnya kamu bangun,” sambung Banda. Melihat raut mukaku yang mungkin menunjukkan ekspresi bingung, Banda kemudian menjelaskan bahwa aku tak sadarkan diri selama hampir satu minggu, dan hal itu membuat semua orang panik, tak terkecuali dia.
“Anak kita?” Ya, anak kami. Semangat yang mungkin menjadi satu-satunya penyebab aku berhasil sadar dari keadaan kritis ini tak lain adalah anakku, tentu saja aku sangat ingin merasakan dia di dalam dekapanku. Namun, Banda mengisyaratkan agar aku tetap beristirahat.
Empat hari setelah sadarkan diri, aku akhirnya benar-benar pulih. Aku merasa mempunyai cukup tenaga untuk melakukan banyak hal, entah suntikan dari mana semangat macam itu. Pada sore harinya, Banda mengajakku berjalan-jalan di taman rumah sakit, padahal aku sudah tak sabar ingin bertemu dengan anak kami. Ia mengatakan bahwa hal itu bisa menunggu. Aku sempat heran dengan jawaban yang ia berikan, namun aku tak memprotes, aku mengikuti langkahnya menuju taman yang saat itu dipenuhi dengan bunga melati yang mulai bermekaran.
“Aku sudah cukup bahagia hidup berdua denganmu,” ucap Banda ketika kami sudah duduk di sebuah bangku taman berwarna hitam yang nampaknya baru saja dicat ulang. Aku hanya terdiam mendengar kata-kata yang diucapkan Banda, sambil menunggu apa yang ingin ia katakan selanjutnya, aku hanya tersenyum sebagai tanda bahwa aku mendengarkannya.
“Mungkin selama ini aku kurang memperhatikanmu atau menjagamu, namun, aku berjanji di hari-hari yang akan datang, aku akan lebih berusaha lagi untuk membuatmu bahagia. Selama ini kita berdua sudah hidup dengan baik dan bahagia, dan aku kira, untuk beberapa saat yang akan datang pun kita akan baik-baik saja dengan hal itu.”
“Aku mulai tidak mengerti arah bicaramu.”
Banda menggenggam tanganku, ia mengelus punggung tanganku lembut sembari berusaha keras untuk terlihat tenang. “Anak kita saat ini sudah lebih bahagia. Tuhan nampaknya punya rencana yang lebih baik untuknya.” Suaranya gemetar, ia menatap mataku dengan tenang dan tetap berusaha menggenggam tanganku. Aku tahu bahwa ada luka yang ia simpan dan coba sembunyikan, aku cukup sadar bahwa kehilangan ini tidak hanya milikku, Banda pasti merasakan kehilangan yang sama besarnya. Tapi aku tak sekuat dirinya untuk tidak menumpahkan air mata ini, tubuhku terasa lunglai dan semuanya menjadi seperti tak masuk akal bagiku.
“Kumohon, tenanglah. Aku berjanji akan melewati semua ini bersamamu. Tenanglah.”
“Lalu, di mana ia sekarang? Di mana anak kita?”
Banda menjelaskan bahwa tak lama setelah aku melahirkan, kondisiku kritis. Hal inilah yang membuatku tak sadarkan diri untuk beberapa hari, aku tak terlalu mengerti apa yang menyebabkan kondisiku seperti itu, semua penjelasan Banda kabur dan hanya sepotong-sepotong saja yang berhasil tertangkap telingaku. Banda melanjutkan penjelasannya mengenai kondisi anak kami yang juga terus menurun, semua upaya telah dilakukan untuk menyelamatkannya, namun ia harus pergi meninggalkan kami ketika usianya baru satu hari.
Anakku meninggal. Meninggalkanku. Sekarang ia telah dikubur, di bawah tanah yang masih merah dan basah. Dan aku sedetik pun tidak mempunyai kesempatan untuk melihat wajah atau mendekapnya dalam pelukanku. Sore itu, di sebuah bangku taman bercat hitam duniaku runtuh.
*
Apakah aku harus memberikan kesempatan sekali lagi untuk Banda dan pernikahan kami? Banda menunduk dengan sesekali mengusap punggung tanganku, dan aku tetap saja bergeming atas permintaannya. Delapan tahun yang sudah kami perjuangkan bersama-sama memang bukanlah waktu yang singkat, namun kenyataannya kami berdua di pagi ini sedang berada di ruang keluarga untuk membicarakan nasibnya.
Semenjak kematian anak kami dua tahun lalu, suasana rumah kami menjadi berbeda. Kami hanya tinggal berdua, rumah yang sebelumnya selalu terasa hangat, kini setelah kepergian anak kami semuanya menjadi terasa dingin dan hampa, usaha apa pun yang kami lakukan untuk menghidupkan kembali rasa hangat itu nampak seperti sia-sia belaka. Kami memang berusaha bersama untuk melewati kehilangan ini, Banda juga hampir tidak pernah menyinggung sama sekali mengenai anak kami—namun hal itu tak berlaku bagi keluarga Banda. Dua tahun bukanlah waktu yang singkat jika kita melewatinya dengan bersusah payah, berusaha untuk tetap baik-baik saja, berusaha tidak pernah terjadi apa-apa, atau berusaha tetap menerima perlakuan tak menyenangkan dari ibu mertua yang hampir seminggu sekali datang ke rumah dengan membawakan obat-obatan herbal yang menurutnya bagus untuk kuminum agar aku segera kembali mempunyai anak—sungguh suatu hal yang sangat melelahkan.
Pada masa-masa itu, aku menjadi lebih emosional daripada biasanya, rasa ingin menyerah pada kehidupan selalu membayangiku setiap saat. Kadang pikiran-pikiran irasional juga menjadi teman yang baik bagiku. Pernah sekali waktu aku memberhentikan mobil yang sedang aku kendarai di sebuah jembatan, jika tidak ada seorang pejalan kaki yang sedang mencari kunci rumahnya yang hilang saat itu mungkin aku sudah meloncat dari jembatan dan mengakhiri semua penderitaan ini. Bukan berarti aku merasa paling menderita, namun, rasa lelah dan kadang bercampur rasa bersalah kepada Banda menjadi momok yang tidak bisa aku hindari. Diriku yang menakutkan inilah yang menjadi salah satu pertimbanganku untuk mengakhiri pernikahanku dengan Banda, aku sudah terlalu lelah dengan tuntutan dari keluarganya, dan aku juga ingin Banda mempunyai kebahagiaan yang ia inginkan, yakni menjadi seorang ayah.
“Aku terlalu lelah, Mas,” ucapku pada akhirnya yang memecah keheningan pagi ini. Gambar di televisi tetap bergerak, kopi di dalam cangkir Banda tetap mengepul, suara jam tetap berdetik, namun mereka tidak akan memberikan saran terbaik jika aku hanya diam saja. “Aku sadar bahwa kadang aku terlalu egois, tapi aku juga tidak tahu lagi harus dengan cara seperti apa aku mesti bertahan dengan kondisi kita saat ini. Kamu memberikan kebahagiaan selama pernikahan kita, atau tepatnya mungkin kita sudah saling berusaha memberikan bahagia kepada yang lainnya, tapi kamu tahu sendiri bahagia kita berdua tak cukup menjadi sumber kebahagiaan orang-orang di sekitar kita.” Aku berusaha setenang mungkin ketika mengatakan ini, karena sebenernya memang sudah tak ada tangis jika aku dan Banda akhirnya benar-benar berpisah. “Dua tahun ini kita sudah berusaha sebaik yang kita bisa, aku sudah mengikuti begitu banyak program kehamilan yang tak kusangka akan sangat melelahkan dan menggerogotiku dari dalam, setiap usaha yang kita tempuh makin lama hanya memberikan rasa kosong dan hampa, dan aku kira hal ini tidak akan baik untuk kita berdua.”
“Tapi, aku masih ingin kita berusaha, aku tidak ingin kita menyerah secepat ini.”
“Bukannya aku tidak mau berjuang lebih lama lagi, tapi—” ucapanku terputus, aku seperti kehilangan kata-kata yang sebelumnya sudah berada di ujung lidah dan siap terucap. “Ini untuk kebahagiaan kita semua, Mas. Aku rasa ini adalah cara terbaik yang bisa kita tempuh. Kita berdua bisa melanjutkan perjuangan kita untuk mencari kebahagiaan di masing-masing jalan yang nantinya kita pilih.”
Banda memelukku, air matanya terasa hangat ketika menetes mengenai bahuku. Kita akan baik-baik saja, Banda, percayalah.