Hanggini melangkah memasuki taman rekreasi, disambut aroma manis gula kapas dan suara riuh pengunjung. Hari itu, ia datang bersama teman-temannya—Risna, Yuda, dan Andre. Risna dan Yuda adalah pasangan kekasih, sementara Andre… mantan pacarnya. Meski hubungan mereka telah berakhir, mereka tetap berteman baik.
Ia berjalan santai, membiarkan obrolan teman-temannya mengalun di latar. Matanya menyapu sekitar, menikmati suasana taman yang penuh warna. Namun, langkahnya terhenti saat melihat seseorang di kejauhan.
Seorang pria berdiri di tepi danau, tampak seperti sedang menunggu seseorang. Penampilannya sederhana, tetapi menarik perhatian—celana hitam, kaus putih, dan kemeja biru dongker yang lengannya digulung hingga siku. Topi hitam bertengger di kepalanya, sementara jam tangan hitam melingkar di pergelangan tangan kiri. Sepasang sepatu kasual putih melengkapi gayanya yang santai, tetapi tetap berkelas.
Tanpa sadar, Hanggini tersenyum kecil. Ada sesuatu tentang pria itu yang membuatnya ingin memperhatikan lebih lama. Namun, lamunannya buyar saat Risna menarik tangannya.
“Hanggini, ayo!” panggilnya.
Mereka berjalan melewati deretan stan makanan ringan. Tiba-tiba, Andre melambai penuh semangat lalu berlari kecil menghampiri seseorang. Hanggini mengikuti arah pandangnya dan melihat seorang perempuan bergaun biru muda dengan rambut terurai lembut. Shilla—pacar baru Andre—tersenyum sebelum akhirnya bergabung dengan mereka.
Sesampainya di tepi danau, mereka melihat wahana perahu dayung. Karena satu perahu hanya bisa menampung empat orang, Hanggini memutuskan menunggu di pinggir danau, membiarkan yang lain menikmati permainan.
Ia duduk di bangku kayu, membiarkan semilir angin sore menyapu wajahnya. Matanya kembali tertuju pada pria tadi. Kali ini, ia sedang berbincang dengan dua temannya, sesekali mengangkat kamera, mengabadikan momen di taman.
Seorang petugas yang berdiri tak jauh darinya ikut menoleh, mengikuti arah pandangannya. “Oh, itu Frans, Damar, sama Reza, Mbak. Saya kenal mereka, sering ke sini,” ujarnya santai.
Hanggini mengangguk kecil, tersenyum malu karena tanpa sadar memperhatikan orang lain terlalu lama.
Sekilas, tatapannya kembali mengarah ke mereka. Frans tampak fokus mengatur kameranya, sementara Damar—pria berjaket hitam—mengamati sekitar dengan sorot mata tajam, seakan mencari sesuatu. Di samping mereka, Reza yang mengenakan hoodie abu-abu sesekali bercanda, mencairkan suasana.
Hanggini tak benar-benar mendengar percakapan mereka, hanya menangkap sekilas tawa kecil dan gerakan tangan yang menunjukkan keakraban. Namun, ada sesuatu dalam ekspresi Frans yang membuatnya terpaku lebih lama. Seolah pria itu bukan sekadar pengunjung biasa yang datang untuk memotret suasana taman rekreasi. Ada kesan bahwa tempat ini memiliki arti lebih baginya—sebuah keterikatan yang sulit dijelaskan.
Namun, sesuatu menarik perhatiannya. Di kejauhan, di bagian danau yang lebih sepi, seseorang tampak melambaikan tangan panik di dalam air.
Awalnya, Hanggini mengira itu hanya bayangannya. Tetapi semakin diperhatikan, semakin jelas—seseorang sedang berjuang agar tidak tenggelam.
Refleks, ia berdiri dan berteriak, “Tolong! Ada yang tenggelam!”
Beberapa pengunjung menoleh dan berlari mendekat, termasuk petugas taman rekreasi. Namun, meskipun banyak yang melihat, tak ada yang segera bertindak.
Wanita itu semakin tenggelam.
Hanggini tak bisa menunggu lebih lama. Tanpa pikir panjang, ia melompat ke dalam air.
Sebagai perenang terlatih, ia tak gentar menghadapi dinginnya danau. Dengan gerakan cepat, ia meluncur menuju wanita itu, meraih lengannya, dan menariknya ke permukaan.
Tubuh lemas itu terasa berat, memaksanya mengerahkan seluruh tenaga agar tak ikut terseret. Riak gelombang menghambat gerakannya, sementara gelembung udara melesat ke atas—napas wanita itu semakin menipis.
Dengan sisa tenaga, Hanggini mendorongnya ke permukaan. Kekasihnya segera menariknya ke perahu. Napasnya tersengal, tapi lega melihatnya selamat.
Namun, saat hendak naik ke perahu, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Air di sekelilingnya tiba-tiba menjadi lebih dingin.
Sebuah cengkeraman kuat melilit pergelangan kakinya, menyeretnya ke dalam. Ia menendang sekuat tenaga, tetapi genggaman itu semakin erat, seakan menolak melepaskannya.
Lalu, sebuah bisikan menggema di dalam air—nyaring, asing, dan menyesakkan. Kata-katanya samar, antara rintihan atau ancaman.
"Jangan pergi…"
Dada Hanggini semakin sesak, napasnya hampir habis. Ia menggapai ke atas, tetapi permukaan terasa makin jauh.
Di dasar danau, bayangan samar mulai bergerak. Sosok kurus dan pucat berdiri di sana, menatapnya dengan mata kosong.
Tangan-tangan lain muncul dari kegelapan, mencengkeram tubuhnya, menariknya lebih dalam.
Hanggini menjerit, tetapi hanya gelembung udara yang keluar. Pandangannya kabur, tubuhnya melemah.
Tepat sebelum segalanya menggelap, bisikan itu terdengar lagi, kali ini lebih dekat.
"Tinggallah di sini…"
Di atas perahu, Risna, Yuda, dan Andre berteriak panik, memanggil namanya. Namun, tubuh Hanggini terus tenggelam ke dasar danau.
Byur!
Seseorang melompat ke dalam air, berenang cepat menuju titik terakhir Hanggini terlihat. Frans. Tanpa ragu, ia menyelam, berusaha mencapainya sebelum terlambat.
Frans menyapu pandangannya ke dalam air. Begitu menemukan Hanggini, ia segera menarik tubuhnya ke permukaan. Napasnya memburu saat ia berusaha membawanya ke perahu.
Saat akhirnya berhasil mengangkatnya naik, Frans tiba-tiba merasakan sesuatu—sesuatu yang lebih mengerikan.
Petugas dan beberapa pengunjung segera menarik Hanggini ke daratan. Napasnya lemah, tetapi ia masih hidup. Frans dengan sigap memeriksa kondisinya, memastikan ia dalam keadaan stabil.
“Hanggini!” Risna berlari mendekat, wajahnya dipenuhi kecemasan.
Meskipun petugas telah berusaha memberikan pertolongan, Hanggini tetap tak menunjukkan respons. Tanpa menunda waktu, mereka segera membawanya ke rumah sakit.
“Kita harus ikut mereka. Ada sesuatu yang nggak beres,” kata Frans, sebelum langsung melangkah mengikuti ambulans. Damar dan Reza menyusul di belakangnya, ekspresi mereka tak kalah serius.
Setibanya di rumah sakit, dokter segera menangani Hanggini. Kondisinya stabil, tetapi ia tetap tak kunjung sadar.
Dari balik jendela ICU, Risna dan teman-temannya menatap penuh cemas. Suara monitor jantung berdetak monoton, menggema di ruangan yang sunyi. Lampu di atas kepala berkedip singkat—cukup untuk membuat bayangan di sudut ruangan tampak bergerak.
Frans mendorong pintu rumah sakit dan melangkah cepat menuju lorong ICU. Rahangnya mengeras, matanya fokus ke depan. Di belakangnya, Damar dan Reza mengikuti, merasakan ketegangan yang sama.
Begitu tiba di depan ICU, mereka melihat empat orang berdiri dengan wajah cemas. Seorang perempuan berambut sebahu menggenggam tangannya erat, sementara perempuan berambut panjang menatap ke dalam ruangan. Seorang pria berkaus hitam duduk menunduk, sementara pria lainnya berdiri dengan tangan bersedekap, sorot matanya tajam.
Frans menatap mereka sejenak sebelum melangkah mendekat. “Kalian teman perempuan yang tenggelam tadi?” tanyanya.
Perempuan berambut sebahu menoleh dan mengangguk. “Iya. Aku Risna, ini Yuda, Andre, dan dia Shilla.”
Frans mengangguk kecil. “Gue Frans. Mereka Damar dan Reza. Kami yang nolong Hanggini tadi.”
Risna menarik napas dalam, lalu melirik ke dalam ICU, menatap Hanggini yang masih terbaring diam. “Makasih udah nolong dia. Dia Hanggini.” suaranya terdengar lemah.
Frans mengangguk. “Gimana keadaannya?” tanyanya, nada suaranya penuh kekhawatiran.
Risna menghela napas. “Dokter bilang dia stabil,” ucapnya ragu. “Tapi dia belum sadar juga.”
Frans menatap Hanggini serius. “Ada yang tidak beres…”
“Maksudnya?” tanya Andre, mencoba terdengar tenang, meski suaranya sedikit bergetar.
Frans menarik napas dalam. “Tubuhnya memang di sini.” Tatapannya tak lepas dari Hanggini. “Tapi ada sesuatu yang menahannya di sana.”
Udara di lorong tiba-tiba terasa lebih berat.
Risna meremas jemarinya. "Lo… lo bilang ‘di sana’…” suara Risna gemetar. “Di mana?”
Frans perlahan menoleh ke kaca jendela ICU. Refleksi mereka terlihat samar, namun ada sesuatu yang lain di sana. Sebuah siluet.
Lalu, suara itu terdengar.
"Tolong…"
Suara lirih, seperti hembusan angin, namun cukup jelas untuk membuat Frans merasakan bahaya.
Frans mengepalkan tangan. “Kita masih punya waktu buat menjemput jiwanya.”
Namun, di kaca… Siluet itu tersenyum.
"Tapi kita nggak tahu siapa yang menginginkan jiwanya tetap di sana."
Damar berdiri sedikit menjauh dari yang lain, matanya menatap kosong ke lantai. Napasnya terdengar berat, seakan ada sesuatu yang menghantui pikirannya.
"Frans…" panggilnya pelan.
Frans menoleh. "Gue tahu," katanya dengan suara datar. "Danau itu."
Andre mengernyit. "Maksud lo apa?"
Damar menghela napas panjang sebelum akhirnya berbicara. "Danau itu punya legenda. Dulu ada seorang gadis yang bunuh diri di sana karena ditinggal kekasihnya. Tapi katanya, dia nggak benar-benar pergi. Arwahnya terus mencari seseorang untuk menemaninya di dalam danau… seseorang yang mirip dengannya."
Semua terdiam. Risna menggenggam tangan Yuda erat, sementara Shilla bergidik ngeri.
Damar melanjutkan, "Gue pernah dengar cerita… sepuluh tahun lalu ada anak kecil tenggelam di danau itu. Orangtuanya cari ke mana-mana, tapi jasadnya nggak pernah ketemu."
Risna menelan ludah. "Terus… apa hubungannya sama Frans?"
Damar menatap sahabatnya dengan ragu. Frans tidak berkata apa-apa, hanya menatap ke dalam ICU dengan sorot mata kelam.
"Sepuluh tahun lalu," suara Damar hampir berbisik, "Frans kehilangan adiknya di danau itu."
Andre dan Yuda menoleh cepat. "Apa?"
Frans mengepalkan tangan. Rahangnya mengeras, seolah sedang menahan sesuatu. "Gue ada di sana waktu itu. Adik gue tenggelam di tempat yang sama. Gue lihat dia berusaha berenang ke permukaan… tapi ada sesuatu yang menariknya ke bawah. Gue lompat buat nyelamatin dia, sama kayak tadi. Tapi gue terlambat."
Hening.
"Sepuluh tahun lalu, kehilangan adik gue." Frans menatap Hanggini yang masih terbaring tak sadarkan diri. "Sekarang gue nggak akan kehilangan orang lain lagi."
Damar mengangguk pelan. "Berarti kita harus cepat."
“Kali ini, gue bakal turun ke sana dan bawa dia kembali.” jawab Frans
Di kaca ICU, siluet itu masih tersenyum. Tapi kali ini, matanya menatap langsung ke Frans.
Lalu Frans melangkah masuk ke kamar ICU. Masker dan pakaian steril rumah sakit membungkus tubuhnya, tetapi itu tidak cukup menutupi kegelisahan di wajahnya. Tatapannya jatuh pada Hanggini yang terbaring lemah dengan bantuan alat medis.
Dari balik kaca ICU, Risna dan yang lain memperhatikan dengan serius. Mereka tahu, ini bukan sekadar usaha medis—ini pertaruhan antara hidup dan mati di dunia yang berbeda.
Frans meraih tangan Hanggini, menggenggamnya erat, lalu memejamkan mata.
Penjemputan jiwa dimulai. Ia menelusuri jalan menuju danau dari dunia lain, langkahnya mantap meski udara di sekitarnya begitu dingin. Sesampainya di tepian, ia berdiri memandang air yang tenang, tapi kesunyian itu terasa salah. Kabut tipis menggantung di permukaan, samar-samar memperlihatkan sesuatu yang bergerak di bawah sana.
Jantung Frans berdetak lebih cepat. Ini bukan perjalanan sukma biasa—ini tentang Hanggini.
Ia melangkah lebih dekat. "Hanggini..." suaranya menggema, seolah terserap oleh keheningan danau.
Tiba-tiba, air mulai bergelombang. Dari kejauhan, sebuah tangan muncul, melambai panik, berusaha menyelamatkan diri.
Tanpa pikir panjang, Frans bergegas masuk ke dalam air. Dingin menusuk tubuhnya, tapi ia berenang sekuat tenaga menuju titik di mana gelombang berpusar. Ia menyelam, matanya mencari sosok yang dikenalnya.
Di sana. Hanggini berada di dasar air, tubuhnya berusaha naik ke permukaan, tetapi kakinya terikat. Sebuah genggaman besar melilit pergelangan kakinya, menahannya di bawah sana.
Frans segera menariknya, mencoba melepaskan cengkeraman itu. Semakin kuat ia menarik, semakin erat genggaman itu seolah menolak melepaskan Hanggini. Dengan sekuat tenaga, Frans akhirnya berhasil membebaskannya dan mengangkat tubuhnya ke permukaan.
Hanggini tersedak, terengah-engah, air mengalir dari bibirnya. Ia mengusap wajahnya, salah satu tangannya berpegangan erat di pundak Frans.
Mereka berenang menuju tepian, terengah-engah saat akhirnya bisa beristirahat sejenak. Frans menatap khawatir, lalu menyibakkan rambut basah yang menutupi wajah Hanggini.
"Terima kasih..." suara Hanggini lirih, hampir tak terdengar.
Frans menggenggam tangannya erat. "Kita harus segera keluar dari sini."
Dengan tertatih-tatih, mereka berjalan menjauhi danau. Tapi sebelum benar-benar pergi, Frans menoleh sekali lagi.
Di sana. Di tengah danau yang kembali tenang, muncul sebuah kepala. Wajah pucat, mata kosong, dan senyuman menyeringai yang membuat bulu kuduk Frans bergidik.
Tanpa berpikir lebih lama, ia menarik Hanggini menjauh, berjalan lebih cepat menuju cahaya yang bersinar di kejauhan.
Di dunia nyata, Frans menghela napas panjang. Matanya terbuka, jiwanya telah kembali ke tubuhnya. Dan saat ia menoleh, sesuatu membuatnya tersenyum lega.
Jari-jari Hanggini bergerak.
Frans segera menggenggam tangannya. "Hanggini... ayo bangun."
Perlahan, kelopak mata Hanggini bergetar, lalu terbuka.
Ia kembali. Penjemputan jiwa itu berhasil dilakukan, mereka tersenyum lega sekaligus bahagia bahwa Hanggini telah kembali seutuhnya.
***