“Cinta adalah buta, oleh karena itu ia bisa hinggap di mana saja, tanpa memandang siapa orang yang dicintai”— (Tiwi Kasavela)
Bandung, 15 November 2009
Reza terduduk lemas di bangku seberang jalan. Dia lelah sekali setelah melakukan penelitian siang ini. Rasa lelah di tubuhnya yang bercampur dengan rasa kesalnya oleh beberapa hal yang menganggunya sejak kemarin.
Kepalanya mulai terasa pusing, masih terekam jelas di kepalanya bagaimana kemarin pagi, rancangan ujian proposalnya dikritik dosen pembimbing sehingga ia harus mengulangi lagi, selain itu saat ia pulang ke rumah, Mama juga marah-marah gara-gara semester ini dia gagal ujian skripsi lagi.
Ya, kelulusan yang selalu Mama persoalkan. Menurut Mama, Reza harus memprioritaskan studinya yang sudah mandeg dua tahun, mengesampingkan semua hobinya, termasuk balapan dan pergi mendaki gunung.
Reza harus fokus menyelesaikan studi, itu yang Mama inginkan.
“Mama single parent, nggak mikir apa Mama harus banting tulang buat biayain kuliah kamu!” Ucap Mama kesal.
Bosan! Tapi dia juga tidak berani banyak melawan, dia hanya diam. Ya beginilah kalau harus berkuliah di jurusan yang tidak diinginkan, Mama yang memaksanya masuk hukum, padahal dia ingin mendalami bidang teknik.
Hasilnya? Sudahlah! Reza bosan mengeluh!
Reza menghembuskan nafasnya peralahan, agak frustrasi. Mau mengerjakan apapun rasanya tidak mood, apalagi proposal skripsi yang membuatnya pusing tujuh keliling. Tapi setidaknya, dua minggu ini dia akan merasa lebih tenang, Mama pergi ke luar kota untuk mengurus penjualan pakaian, dan tidak akan ada omelan lagi yang membuatnya naik darah!
"Fokus aja kamu beresin skripsi, nggak usah mendaki gunung lagi, bikin Mama sering jantungan aja!” begitu pesan Mama sebelum pergi.
Ya, itulah Mama, Reza paham betul bahwa Mama menyayanginya, ingin yang terbaik untuknya, tapi Mama terlalu banyak mengatur, mengekang dan cerewet, membuat Reza tak betah berada di rumah.
Hidup berdua dengan Mama juga membuatnya kesepian, untuk itu dia lebih suka touring dan melihat alam, hanya melarikan kegelisahan, mengapa selalu salah?
Reza menghela nafasnya panjang. Setelah bertemu dosen, dan melamunkan omelan Mama, rasanya ia ingin beristirahat saja. Tak ingin kemana-mana, meski sebelumnya Bayu, Naufal dan Diki mengajaknya nongkrong di kantin.
Tapi sedang tidak ada mood!
Cepat Reza berjalan menuju parkiran, menaiki motornya dan langsung tancap gas, 50KM per/jam, diatas kecepatan rata-rata biasa, menyalip beberapa mobil di depannya, bahkan ia tak menghiraukan lampu merah yang menyala.
Nafasnya memburu, angin sore menembus kulitnya, malas bermacet-macetan, dia memutuskan melewati kompleks perumahan besar, jalan lain menuju pulang, yang bebas hambatan.
Meski seharusnya ia mengemudikan motor di 20KM saja, tapi rasa lelah membuatnya tetap mengebut.
Dan tanpa diduganya, sepuluh meter di depannya, ada seorang gadis yang hendak menyebrang jalan. Reza mendadak panik, ia mencoba membunyikan klakson, tapi percuma tanganya kaku sekali hampir tak bisa digerakkan.
Motor Reza hampir menyentuh sedikit bagian kanan tubuh gadis itu. Reza berusaha mengerem motornya dan motor itu pun berhenti namun terjerembab ke arah trotoar jalan.
Tubuh Reza terpelanting. Darah segar mengucur dari hidungnya. Ia merasa tulangnya hancur semua. Sakit sekali, tapi matanya masih terbuka Ia berusaha berdiri, tertatih dengan darah yang masih mengalir.
Dia melupakan tubuhnya yang sakit, karena teringat jika dia hampir menabrak seorang gadis dan ia takut terjadi apa-apa dengan gadis tersebut. Dengan sisa tenaga yang masih tersisa Reza berjalan meski berat. Sekilas, ia juga melihat gadis itu yang sedang berusaha berdiri.
Reza mengela nafasnya lega, karena melihat gadis itu baik-baik saja. Gadis itu menatap Reza, sayu dan tanpa mengeluarkan suara, gadis tersebut nampak mengeluarkan air mata.
Tak banyak lagi yang Reza ingat, karena ketika ia ingin kembali melangkah, tubuhnya terlanjur terasa kaku dan kepalanya pusing sekali, Reza pingsan.
***
Reza membuka matanya perlahan, dan melihat langit-langit kamar yang putih semua, ia juga menghirup bau obat khas rumah sakit yang cukup menyengat. Ia juga menyadari bahwa ada Infush di tangan kanannya juga selang di kedua hidungnya.
Reza mulai gelisah.
Ia berusaha untuk bangkit namun belum apa-apa, ia sudah merasa bahwa tangan kirinya terasa sangat sakit. Perban yang cukup tebal juga membungkus tangannya.
Reza berusaha melihat sekeliling dan ia baru sadar bahwa ada seorang gadis di sampingnya. Gadis asing, namun Reza masih ingat bahwa gadis itulah yang hampir ia tabrak, sesaat sebelum ia kecelakaan.
Wajah gadis itu pucat sekali, matanya agak membengkak, rambut panjangnya berantakan dan tatapan matanya mengamati Reza dengan rona yang penuh kegusaran.
Selama beberapa detik, mereka hanya mampu saling bertatapan tanpa mengatakan sesuatu. Sebenarnya Reza ingin mengatakan sesuatu, atau setidaknya bertanya kepada gadis itu tentang apa yang sebenarnya telah terjadi, tapi entah bagaimana lidahnya kelu. Dan ia juga semakin resah, karena gadis di sampingnya hanya diam tanpa berkata-kata, meskipun sudah tahu bahwa Reza sudah sadar.
***
Tiga hari berlalu, Reza hanya melihat gadis itu pulang pergi dari kamarnya. Tanpa sekali pun menyapanya, atau setidaknya memperkenalkan diri.
Reza juga mengerti bahwa rahangnya mengalami sedikit masalah, sehingga ia tidak dapat membuka percakapan dengan siapapun. Agak kesal sebenarnya karena gadis itu hanya diam.
Tapi Reza merasa bahwa gadis itu sama sekali tidak sombong, hanya ada sesuatu yang membuatnya tak berbicara sama sekali.
Pikirannya memang belum tenang, ia masih merasa bimbang dalam hati, jika Mama tidak tahu ia di rawat, karena memang Mamanya pergi dua minggu dari rumah. Lantas dari mana semua biaya rumah sakit ini.
“Apakah dari orang tua gadis itu?” Tanya hati Reza menebak, dan seketika ia merasa bersalah.
Reza sadar bahwa ia mengendarai motor kurang berhati-hati, sehingga pada akhirnya mengalami kecelakaan. Bukan hanya soal kejadian itu, tapi karena kecelakaan ini terjadi, tentu akan semakin berat usahanya untuk membuka lagi skripsinya dan ia juga membutuhkan perawatan untuk memulihkan diri.
Ketika sedang gusar-gusarnya, Reza berpikir, tiba-tiba pintu kamar terbuka, dan Reza melihat gadis itu lagi.
Gadis itu mendekatinya.
Reza berusaha menatap wajah gadis itu.
Gadis itu memberikan senyum ke arahnya.
Reza berusaha membalas senyuman itu.
“Senyuman yang manis, sepertinya orangnya baik,” bisik hati Reza.
Di lihatnya wajah gadis itu sekali lagi, cukup cantik dengan kulit putih dan mata yang bening. Dari caranya berpenampilan dengan dress dan rambut lurus dan tergerai biasa saja tanpa make up, Reza dapat memastikan bahwa gadis itu adalah gadis yang pendiam, penurut dan mungkin gadis rumahan yang tak terlalu banyak bergaul dengan banyak orang.
Namun belum selesai Reza mengamati gadis itu, sang gadis tiba-tiba beranjak dari sisi ranjang kemudian menuju pintu untuk pergi.
Seketika Reza gamang,
”Tunggu!” Ucap Reza pada akhirnya, ia sudah mulai dapat bicara dan gadis itu menoleh ke arahnya, sesaat sebelum ia memegang gagang pintu.
”Bolehkah aku tau siapa namamu?” lanjut Reza memberanikan diri.
Gadis itu terdiam, terpaku menatap Reza.
“Hai, bolehkah kita berkenalan?” ucap Reza lagi berusaha membuat gadis itu kembali berjalan ke arahnya.
Gadis itu mencoba mengucapkan sesuatu, tapi tak ada suara apapun yang ia dengar, hening.
“Maaf kamu,” belum sempat Reza menyelesaikan perkataanya, gadis itu sudah pergi dan menutup pintu.
Reza galau.
“Kenapa dengan gadis itu ? Kenapa ia diam dan tak mau berbicara denganku? Apa ada yang salah denganku?” Tanya hati Reza gelisah.
***
Lima hari di rawat di rumah sakit, Reza merasa bosan juga. Ia ingin pulang dan mengatakan sesuatu kepada Mamanya. Tapi ia khawatir akan membuat Mama kepikiran, terlebih dia tahu usaha konveksi Mama sedang gawat.
Sedangkan gadis itu, ia tidak pernah kelihatan lagi semenjak Reza menanyakan namanya. Gadis itu menghilang tiba-tiba, dan ia mulai kesal dengan dirinya sendiri, ia tak mampu berbuat apa-apa.
Seorang suster menghampiri Reza yang sedang terduduk galau.
“Reza perkembangan yang bagus, kamu sudah bisa duduk dan sedikit menggerakan tanganmu,” ucap suster Rita sambil memberikan senyuman pagi ini.
“Terimakasih suster,” jawab Reza sekenanya.
“Kamu, sudah boleh pulang sore ini juga. Tapi harus check up beberapa hari kedepan untuk melihat luka jahitan di tangan kiri kamu. Dan untuk membuka perbannya,” jelas Suster Rita.
Lagi, dan Reza hanya mengangguk pelan.
“Suster, anda tahu siapa orang yang membiayai perawatan saya?” Tanya Reza kemudian.
”Seorang pengusaha kaya dan anak gadisnya,yang sering menjenguk kamu.”
“Ah iya,”
Reza terdiam sejenak, ia merasa lebih lega sekarang.
“Kamu belum bercakap-cakap dengan gadis itu?”
Reza menggeleng,
“Sudah tiga hari saya tak melihat gadis itu datang ke kamar ini,” Reza menghembuskan nafasnya berat, agak kelabu.
Suster itu tersenyum sesaat.
“Saya sering melihat gadis itu duduk di lobi rumah sakit. Dan kadang saya memergokinya tengah melihat kamu di balik jendela. Saya sudah bilang kalau gadis itu boleh masuk ke dalam, tapi gadis itu hanya diam kemudian berlalu,” jawab suster itu santai.
Reza menghela nafasnya sekarang, dia menjadi lebih bingung lagi. Gadis itu misterius sekali.
“Gadis dan ayahnya itu akan menjemput kamu pulang dua jam lagi. Ayahnya yang mengatakan dia akan mengurus semua keperluan kamu, kamu tenang saja dulu,” terang Suster Rita berusaha membuat Reza tenang, kemudian pergi.
Reza terdiam lagi, agak melamun karena bosan dan resah berada dalam situasi yang tidak jelas seperti ini.
***
Laki-laki tua itu tersenyum lagi, Adiwirya Prawoto namanya.
“Kamu mungkin tau apa yang dia rasakan. Diana bisu sejak ia dilahirkan. Dia terkekang oleh keterbatasannya dan mengisolasi dirinya sendiri dari dunia luar. Dia hanya menghabiskan hidupnya di rumah. Diana tidak mau bersekolah, sehingga dia tidak bisa membaca dan metulis. Berkali-kali saya mendatangkan guru ke rumah. Tapi Diana selalu menolak, dia tenggelam oleh kesunyianya. Saya sering merasa bersalah, karena tidak bisa menjadi ayah yang baik untuk dia. Saya sibuk mengurus bisnis di luar kota dan pulang seminggu sekali. Ibunya meninggal setahun setelah ia dilahirkan karena kanker. Dia tersiksa sejak kecil. Harta yang saya peroleh rasanya sudah tidak berarti ketika melihat penderitaanya,” papar lelaki tua itu getir sambil meneteskan air mata yang tidak terasa sudah terjatuh dari pelupuk matanya.
Reza terdiam, dadanya sesak mendengar cerita lelaki tua itu.
”Sore itu, seperti biasa Diana sedang menunggu saya pulang di depan rumah setelah seminggu saya keluar kota. Dia melihat kamu kecelakaan dan hanya terpaku melihat kamu yang pingsan. Namun untungnya, tidak lama kemudian mobil saya sampai dan segera membawa kamu ke rumah sakit. Kata supir saya, Diana selalu ingin diantar ke rumah sakit untuk menjenguk kamu. Dan Diana sebelumnya belum pernah tertarik kepada siapapun , sampai dia bertemu kamu,” Jelas Om Adi, membuat Reza terdiam lagi.
Dia binggung harus berkata apa.
“Maaf ya saya jadi berbicara seperti ini.”
“Hm tidak apa-apa Om, seharusnya saya yang meminta maaf karena merepotkan Om. Om tidak bertanggung jawab atas biaya rumah sakit saya,” balas Reza.
“Sudahlah. Kamu sudah menghubungi orang tua kamu?” Reza menggeleng.
“Saya hanya tinggal berdua dengan Mama, kebetulan Mama sedang ada di luar kota, saya nggak mau membuat Mama kuatir Om,” jawab Reza apa adanya.
Lelaki tua itu mengangguk, seakan mengerti.
“Terima kasih Om, apa yang bisa saya lakukan untuk membalas budi baik Om?”
“Anakku, saya ikhlas, saya hanya hanya ingin kamu menjaga Diana.”
“Maksud Om?”Reza heran.
“Temani Diana, usir kesedihan dan kesepiannya. Saya yakin kamu bisa menjadi teman yang baik buat dia!”
“Tapi Om ?!” Reza masih ragu.
“Kamu satu -satunya orang yang bisa menarik perhatian Diana. Saya yakin kamu bisa membuka hati Diana yang sudah lama terpuruk,” ujar lelaki tua meyakinkan.
Reza hening, dia binggung dan tidak percaya atas apa yang dia alami.
Kecelakaan, gadis itu, ayah sang gadis, dan sekarang? Reza merasa sedang bermimpi. Entah semacam mimpi apa.
“Tolong saya nak, apapun yang kamu minta akan coba saya berikan. Saya hanya ingin melihat Diana bahagia, jadi teman yang baik untuk dia,” lanjut lelaki tua itu nampak sedih.
“Iya. Baiklah Om, saya akan menjadi teman Diana,” jawab
Reza tak kuasa menolak.
Lelaki tua itu pun tersenyum senang.
***
Matahari belum benar-benar tenggelam senja itu. cahaya menguning emas masih menapak di kaki langit. Reza menatap gadis di sampingnya.
“Gadis secantik dirimu Diana, mengapa Tuhan tega membiarkanmu terlahir bisu dan menjadi kesepian,” keluh Reza sambil kembali menerawang ke angkasa.
Dilihatnya Diana yang sedang duduk saja sambil menatapnya.
“Langit itu indah ya? Kalau kamu tau aku sangat suka duduk di atas genting dan menatap langit setiap senja. Aku suka senja," ucap Reza mulai bercerita, walaupun ia tahu sepanjang apapun ia berbicara, ia tak akan pernah mendapat tanggapan kecuali sebuah senyuman.
Dan ya, Diana hanya tersenyum.
Senyum adalah bahasa Diana. Senyum adalah jawaban dari setiap pertanyaan. Senyum adalah tanda keluguan dan satu-satunya cara ia mengekspresikan perasaan senangnya.
Senyum adalah Diana.
Sementara di balik jendela. Sang lelaki tua yang hampir rapuh itu tersenyum bahagia melihat putrinya bersama seorang lelaki.
***
Reza melihat luka jahitan di tangan kananya, untung tidak ada yang patah, tapi dia masih merasakan sakit sendi-sendinya, dan memang harus tetap beristirahat dari aktifitas berat.
Dilihatnya jam dinding sudah jam tiga sore. Rencananya Mama akan pulang siang tadi. Tapi sampai sekarang Mama belum memberinya kabar. Ia kembali merebahkan tubuhnya di kasur.
Indiana Prawoto, baru seminggu lebih empat hari Reza mengenalnya. Berbicara dengannya seperti berbicara sendiri.
Sepi juga. Tapi gadis itu cukup baik. Dan sepertinya akan punya suara yang indah kalau dia bisa bicara.
Diana sangat cantik dan Reza tau dia mulai mengagumi kecantikan Diana. Yaaa.. Hanya mengagumi kecantikanya saja tidak akan pernah lebih dari itu. Pikir Reza sambil berangan-angan, sampai suara telefon rumah mengagetkanya.
“Halo,” Reza sangat menghafal suara itu.
“Om Adi?! Ada apa om?”
“Diana.”
“Ada apa dengan Diana?”
“Dari tadi Diana kelihatan gelisah, sepertinya dia ingin bertemu kamu, Kamu bisa kan datang ke rumah Om sekarang?!”
“Tapi Om?!”
“Secepatnya ya,” telepon terputus.
Reza bimbang.
Seharusnya Reza menunggu Mama pulang, tapi Om Adi menyuruh pergi ke rumahnya. Reza masih di dera kebingunganya sampai telefon berdering lagi.
“Halo Reza?!”
“Iya Ma?!”
“Mama pulang dua hari lagi, maafkan Mama ya.
“Ma?”
“Ada hal yang harus Mama selesaikan.”
“Baiklah, Ma.”
Reza menutup teleponnya, ya sudahlah! Ingin sekali Reza menceritakan apa yang terjadi ke dalam hidupnya selama Mama pergi, Tentang Diana. Tapi belum saatnya.
Reza pun segera pergi menuju rumah Om Adi dengan memesan taksi, maklum dia belum benar-benar pulih untuk menyetir motor seperti biasa.
***
Reza baru saja keluar dari taksi, sesaat sebelum Diana menyambutnya dengan sebuah pelukan hangat. Reza jadi linglung sendiri. Pacar bukan, saudara bukan, tapi mengapa Diana sudah berani memeluknya.
Reza agak tak nyaman karena ia belum merasa benar-benar dekat dengan Diana.
Diana berusaha mengucapkan sesuatu dan Reza tau mungkin Diana ingin mengatakan kalau Diana merindukannya.
Hanya menebak. Padahal baru dua hari yang lalu Reza mengunjunginya.
Tak lama Om Adi menghampiri mereka berdua.
“Reza om senang kamu datang, ajak Diana jalan-jalan ya,” ucap Om Adi sambil meminta supir pribadinya untuk mengantarkan mereka.
Reza terkejut dia semakin binggung saja.
“Kamu masih harus memulihkan diri Reza, jalan-jalannya sambil diantar Mang Ical ya?” Tawar Om Adi, Reza hanya mengangguk.
Entah apa yang terjadi Reza dan Diana sudah ada di dalam mobil. Mobil bermerek Mercedes Benz itu sudah ada di jalan tol sekarang.
Reza melihat jalanan, alam pikirannya berpetualang. Dia sebenarnya masih bingung dengan semua yang terjadi. Bukan apa-apa, tapi Om Adi tidak memberi pilihan. Belum sebulan Reza mengenalnya tapi seakan-akan sudah mengenal lama.
Diana menepuk pundak kanan Reza.
Reza menoleh, wajah Diana cemberut. Mungkin merasa bosan karena selama hampir setegah jam berlalu dan Reza masih diam, tak berkata sepatah katapun kepada Diana.
“Lanjut ke pantai, Den?” Tanya Mang Ical.
”Iya Mang!”
Dua jam berlalu mereka tiba di Pantai Carita, Mang Ical lanjut bersantai di warung pinggir laut, sementara Reza dan Diana memutuskan berjalan di bibir pantai, menikmati indahnya deburan ombak yang terdengar saling bersahutan.
Diana berlonjak senang.
“Kamu suka tempat ini?” Tanya Reza.
Diana mengangguk.
Reza jadi teringat dengan perkataan Om Adi beberapa waktu lalu, kalau Diana mengisi hidupnya di rumah, dan tidak pernah mau berada di keramaian dan pergi kemanapun.
Ya, Reza membawa Diana ke tempat ini, agar Diana tahu bahwa rumah bukan segalanya, di luaran sana masih banyak tempat indah yang pantas untuk dikunjungi.
Reza berjalan berdampingan dengan Diana menyusuri pantai. Deru ombak terdengar nyaring memberikan nuansa tersendiri. Reza bercerita banyak dan Diana menjawabnya dengan senyuman dan senyuman lagi yang berulang. Reza menikmatinya sebagai anugerah, bisa berjalan-jalan ke pantai yang indah di temani oleh seorang gadis cantik.
Ombak lautan terdengar bergemuruh lagi.
Riak-riak air menyeruak kaki Reza dan Diana. Reza tertawa dengan riang dan Diana menyambutnya dengan sebuah pelukan hangat. Reza bingung bersikap, tapi lama-lama ia mulai terbiasa dan menyukainya juga.
Sebenarnya ia tidak pernah dekat dengan perempuan manapun sebelumnya. Belum ada wanita yang benar-benar ingin ia kejar, lagi pula Mama pasti akan banyak mengomel kalau ia punya pacar.
Pusing!
Sejak Mama dan Papa bercerai tujuh tahun lalu, karena Papa bercerai, sikap Mama memang jauh lebih tempramental, dan lagi-lagi Reza yang jadi sasarannya.
Reza terduduk di bibir pantai, hingga menjelang sore dan segera memutuskan pulang hingga sekitar pukul enam, setelah menikmati sunset.
Reza sampai di rumah Diana pukul sembilan malam, Reza meminta Mang Acil untuk mengantarkannya pulang ke rumah. Tapi Om Adi menahannya, mengajaknya berbincang-bincang, ngalor-ngidul, sampai dua jam berlalu dan ia hendak pulang, tiba-tiba Diana muncul dan memeluknya.
Erat, hangat, lama
Gusar Reza merasakannya, serasa ada getaran di dadanya, perasaan apa ini?
Reza jadi gelisah sendiri.
***
Reza sampai di gerbang rumah, Mang Ical berlalu dan dia masuk.
Cukup terkejut saat dia sudah melihat Mama berdiri sambil memasang wajah galak.
“Dari mana saja kamu? Tahu tidak sih sekarang sudah jam satu pagi,” ucap Mama nampak emosi.
Reza terdiam sesaat dan berkata,
“Reza tadi ke pantai, Ma.”
“Bagus! Tidak ada Mama, kamu berani main sesukanya. Tahu tidak sih Mama menunggu di sini selama tiga jam.”
“Bukan begitu Ma, tapi Reza tidak tahu kalau Mama akan pulang malam ini. Bukankah Mama yang bilang kalau Mama tidak jadi pulang?”
“Asalnya memang begitu, tapi Mama khawatir sama kamu, Mama jadi pulang duluan.”
“Maaf, Ma,”
“Ah sudahlah sekarang mana kuncinya? Mama lelah.”
***
Reza memainkan handphonenya sudah jam tiga pagi tapi matanya masih sulit untuk ditutup, masih memikirkan hal yang tadi, Pantai ya! di pantai itu, Diana! Wajahnya, senyuman manisnya, pelukan itu seolah masih terbayang jelas di kepalanya.
Dan Reza merindukanya lagi, rindu? Apa ini berarti dia mulai menyukai Diana? Bagaimana bisa? Tertarik kepada gadis bisu?
Rasanya sulit jika ia jatuh cinta kepada gadis yang di sepanjang waktu hanya diam, tidak akan bisa menghiburnya lewat kata-kata. Atau sekadar menyanyikan lagu untuknya? Gadis yang hanya bisa memberinya sebuah senyuman? apakah ini sebuah kebodohan?!
Ia ingin menelpon Diana tapi ia tau dia tidak akan mendengar jawaban apapun, ia ingin mengirimkan Diana pesan tapi Diana tidak bisa menulis dan membaca, ini mengesalkan,
Kenapa? Reza mengeluh!
“Kleeeerkkk….” Tiba-tiba pintu kamar Reza terbuka.
“Mama ??!” Reza terkaget.
“Kamu belum tidur, Za?” Reza menggeleng.
“Ada yang ingin Mama bicarakan,” ucap Mama tiba-tiba, wajah Mama tampak tak terlalu bersemangat.
“Tentang apa, Ma?”
“Menyangkut masa depan kamu.”
“Masa depan yang mana lagi Ma? Reza capek Ma! Skripsi nanti Reza segera selesaikan!” Bosan rasanya.
Mama menghela nafasnya panjang.
”Ma?”
”Bukan itu, Za!”
”Lalu?”
”Sepertinya kamu juga belum siap mendengarnya, mungkin sebulan lagi Mama akan bicara, sekarang tidurlah,” ucap Mama lalu pergi begitu saja dan menutup pintu kamar.
Reza merasa hatinya tidak nyaman.
“Masa depan?”
Reza bertanya di dalam hati, masa depan apalagi yang Mama maksud?perasaanya jadi tidak enak.
***
Usai bimbingan dengan dosen siang ini, Reza memutuskan untuk mengerjakan revisian di rumah Diana. Menyusun skripsi itu memang sangat melelahkan, data yang Reza peroleh masih belum lengkap juga, dan hari ini ia melanjutkan tugasnya di rumah Diana, nyaman berada di sini.
Rumah Diana tidak terlalu jauh dari kampus, apalagi halaman rumah Diana juga cukup luas dengan tata yang menarik membuatnya nyaman mengerjakan tugas di sini.
Dan sekarang tempat ini sudah menjadi tempat favorit Reza , hampir setiap hari Reza mampir sehabis pulang kuliah di temani Diana. Reza menikmatinya, Reza juga mengajari Diana membaca, menceritakan hal-hal menarik yang pernah ia lalui dalam hidup, pendakiannya ke Gunung Lawu dua bulan lalu hingga kondisi pasca kecelakaan yang sudah semakin membaik.
Sekarang Diana juga sudah belajar menulis. Yaaah walaupun belum bisa merangkai kata tapi setidaknya Diana sudah dapat menulis 26 huruf alphabeth secara benar. Dan Reza benar-benar bahagia melihat perkembangan Diana.
Reza menyayangi Diana dengan tulus dan sering mengajaknya bermain bersama ke berbagai tempat. Ke Mall, toko buku, restauran atau menonton film di bioskop. Bahkan Reza juga pernah membelikan Diana sebuah cincin.
Entah cincin macam apa itu, Reza hanya ingin membelikannya.
Mereka berdua sangat dekat, tapi kedekatan mereka masih belum bisa terdevinisikan secara jelas. Entah hanya teman biasa, bersahabat atau sepasang kekasih. Reza juga tak yakin seratus persen bahwa dia dapat menjadi kekasih yang baik untuk Diana.
***
Mama menatap wajah Reza lekat-lekat, di lihatnya anak satu-satunya yang ia sayang.
“Reza sudah saatnya,” Bibir Mama bergetar.
“Sudah saatnya apa, Ma?!” Reza kebingungan.
“Kamu menikah!” Reza terkaget hebat.
“Reza masih 21 tahun Ma, menyusun skripsi saja belum selesai.”
“Sebentar lagi kamu akan menjadi manager.”
”Hah, maksud Mama?”
“Kamu tau kan? Perusahaan konveksi Mama bangkrut, sudah tiga belas pegawai Mama sudah di PHK, tinggal dua pegawai lagi…”
“Iya lalu apa hubungannya Reza jadi manager?”
“Hutang Mama besar.”
“Lalu?” Jujur Reza masih bingung!
“Menikah ya sama Tante Lolly, dia bisa menyelamatkan kebangkrutan Mama dan dia menjanjikan akan mengangkat kamu di perusahaanya kalau kamu menikah dengan dia.”
“Apa? Menikah dengan seseorang yang usianya dua kali lipat dari usia Reza? Tidak mungkin! Tidak akan pernah!”
“Kalau tidak, seminggu lagi kita harus pergi dari rumah ini dan menggelandang!”
“Tidak Ma, Reza tidak mau menikah dengan Tante Lolly!”
“Kamu mau membunuh Mama?”
“Ma, please!”
“Mama tidak mau tau, kamu harus menikah dengan Lolly!”
Reza tak dapat berkata-kata ia bergegas meninggalkan Mama. Ia tak kuasa jika harus mendengar penjelasan Mama lagi. Muak rasanya! Sudah sejak lama Reza merasa terganggu dengan Tante Lolly, perempuan tua gatal yang menyukai laki-laki muda. Bukan sekali Reza melihat perempuan itu memandangnya tak sopan saat dia berkunjung ke rumah Mama, ternyata dia memang sudah lama dia jadi incaran.
Menggelikkan sekali! Tak mampu Reza memikirkannya!
Ia menuju motornya yang terparkir di halaman rumah, dan sesaat terdiam ketika handphonenya bergetar.
Ia segera mengangkatnya, nomor Mang Ical.
“Iya Mang!”
“Apa? Om Adi? meninggal?!”
Reza terdiam sejenak, dia shock! Berasa masih linglung, Ayah Diana meninggal karena kecelakaan mobil tadi siang.
***
Reza mengusap lembut, rambut hitam panjang milik Diana. Air mata gadis itu tak berhenti mengalir sejak tadi. Hari hampir malam dan Diana tetap diam di pinggir makam ayahnya. Reza tidak tega melihatnya, jujur ia juga sangat sedih. Om Adi sudah dianggap ayahnya sendiri. Om Adi adalah sosok ayah yang Reza rindukan, hatinya sakit. Terlebih Om Adi pernah berpesan untuk menjaga Diana.
Lalu sekarang bagaimana ia bisa menjaga Diana kalau ia pun akan segera menikah dengan perempuan lain. ia tak mampu melihat Diana sendirian. Diana pasti akan sangat tersiksa. Dan Reza tak dapat membayangkan masa depan, Ia takut menjalani hari yang akan datang. Sungguh ia takut.
***
Reza terduduk di samping Mama, dia pasrah, kalah, Mama mengancam akan bunuh diri jika Reza tak mau menikah dengan Tante Lolly. Kini dia seperti pesakitan duduk di samping wanita tua si banyak gaya. Restoran cantik dan mahal ini serasa neraka baginya, tak ada yang membuatnya bergairah, sekalipun steak mahal sudah tersaji di hadapannya.
“Jadi tanggal berapa kita akan menikah sayang?” Tanya Tante Lolly dengan genit.
“Terserah,” Reza muak.
***
Reza menatap Diana kelam, meskipun Diana tidak pernah mengatakan kalau ia mencintainya. Tapi lewat kebersamaan dan bahasa tubuhnya Reza tau seberapa besar arti dirinya untuk Diana. Reza tau Diana mencintai dirinya dan ia juga tanpa sadar mencintai Diana. Bukan sekadar cinta biasa tapi cinta ini cinta yang tulus. Bahkan Reza tidak melihat Diana sebagai gadis yang bisu. Di mata Reza, Diana adalah sosok perempuan sempurna.
Reza tidak tahu apa dia sanggup mengatakan kepada Diana apa yang sesungguhnya akan terjadi. Reza tak akan pernah sanggup terlebih setelah kepergian Om Adi. Hanya satu orang yang bisa menjaganya, yaitu dia.
Reza mengenggam erat tangan Diana untuk menguatkan perasaanya. Dan Diana membalas genggaman tangan Reza. Seolah kebersamaan indah ini tak akan pernah berakhir.
Reza mencintai Diana, tapi dia juga tidak ingin ibunya mati, meskipun Mama adalah ibu yang cerewet dan sering mengaturnya, Reza masih menyayangi Mama. Pilihan yang sangat sulit untuk dia putuskan. Lari dari pernikahan ini atau menjalani masa depan dengan perempuan gila.
Reza dapat membayangkan betapa suram kehidupannya, betapa tersiksa batinnya. Betapa ia tidak bisa meninggalkan gadis yang bernama Diana.
“Diana aku akan menikah, maafkan aku ya…..” Ingin sekali Reza mengatakannya, tapi pada akhirnya dia memilih diam. Dia tak kuasa mengatakannya kepada Diana.
***
Reza menatap wajahnya di cermin. dia sudah menggunakan pakaian pengantin pria. Perasaan ragu menghampirinya. Lari artinya menyakiti hati Mama, tapi bagaimana Diana? Bagaimana jika Diana tau? Bagaimana jika Diana terluka? Siapa yang akan menjaga Diana? Rasa bersalah ini tak juga hilang dari benaknya.
***
Waktu begitu cepet berlalu, tamu sudah berdatangan sejak pagi dan acara resepsi pernikahan ini akan segera berakhir.
Reza tak melihat Diana. Dengan baju pengantin yang masih dia pakai Reza keluar dari hotel berbintang itu meskipun Mama melarang. Reza tidak peduli, ia ingin menemui Diana. Tapi untuk apa?! Entahlah?! Sejak tadi pagi Diana memang selalu ada di pikirannya. Dia berjalan cepat sampai seseorang menepuk punggungnya, Reza menoleh.
“Diana?!” Dengan wajah di penuhi air mata, pancaran matanya jelas menyiratkan kepedihan yang begitu mendalam.
“Maafkan aku Diana, aku . . . "
“Plaaaak….” Diana menampar pipi Reza,
Reza diam, dia tahu dia salah. . .
Diana menangis, Reza berusaha merangkulnya tapi Diana menolak dan berlari pergi, Reza berusaha mengejarnya tapi sia- sia, Diana diantar Mang Ical dan sekarang mobil itu telah melaju kencang.
Air mata Reza jatuh . . . Deras dan semakin deras, belum pernah dia merasa sehina dan sebodoh ini.
***
Hari demi hari berlalu dengan sangat memuakkan, Reza dan Tante Lolly memang pergi jalan-jalan, mereka ke Singapura, Jepang dan Korea Selatan. dalih tengah bulan madu, tapi yang ada menjadi pemuas nafsu tante girang. Reza lebih merasa ini bukan pernikahan, tapi dia dijual jadi gigolo oleh Mama.
Sakit, tapi lagi-lagi dia sadar, akan lebih sakit kalau dia kehilangan Mama.
Ia pun tak dapat menjalani hari-hari dengan tenang, pikirannya selalu dibayangi Diana. Dia merindukan Diana, sangat merindukanya. Dia takut terjadi hal buruk kepada Diana. Berkali-kali Diana datang ke Mimpinya sambil menangis.
Apa kabar Diana? Apa kamu baik-baik saja? Masihkan mau Diana mengenalnya? Kekhawatiran demi kekhawatiran itu bertubi- tubi menghantui pikirannya.
“Maaf… Maafkan aku Diana”.
***
Dua minggu neraka bulan madu telah berakhir, sesampainya di Bandara Soekarno Hatta Jakarta, Reza segera memesan taksi ke rumah Diana.
Setengah jam kemudian taksi berhenti di depan gerbang rumah Diana. Reza tertegun sesaat, rumah ini kelihatan lebih sepi dari biasanya. Tidak ada satpam yang berjaga, dan gerbangnya pun tidak terkunci. Reza berjalan cepat, sepi! Sampai tiba-tiba Mang Ical menghampirinya dengan muka sendu.
“Di mana Diana, Mang?” Tanya Reza gusar.
“Berita buruk, Den…”
“Diana sakit?” Reza Khawatir.
“Lebih dari itu.”
“Hah, maksudnya bagaimana?” Ucap Reza lebih keras, perasaanya semakin gusar.
“Non Diana sudah nggak ada.”
“Apaaaa? "
“Non Diana gantung diri setelah menemui Den Reza malam itu. Mayatnya sudah di kuburkan keesokan harinya, dua minggu yang lalu.”
Reza merasa semua pergelangan kakinya lemas, dadanya penuh sesak. Air matanya mengalir begitu saja. Ia terjatuh ke lantai. Reza merasa dunia mau kiamat ketika mendengarnya.
“Sebelum Non Diana gantung diri dia menuliskan sesuatu di kertas dalam amplop ini. Mungkin untuk Den Reza.”
Lanjut Mang Ical yang terlihat sendu.
Reza segera mengambil amplop itu, membuka isinya, ada cincin, cincin yang pernah ia berikan dulu kepada Diana, dan selembar kertas berwarna putih dengan tulisan merah dari darah, tulisan itu merangkai kata.
“Reza, aku mencintaimu!”
***
Bandung, 31 Juli 2012