Menjadi sarjana, menikah, punya banyak anak, lalu menua dengan sejahtera, secara tidak resmi, menjadi standar hidup yang ideal dalam masyarakat. Namun, semua itu tentu tidak berlaku bagi setiap orang. Di antara pemenuhan standar itu, setiap orang pasti menghadapi hambatan yang tidak semua orang mampu melaluinya. Selain itu, ada pula orang-orang dengan pemikiran berbeda, yang justru merasa terkungkung oleh standar hidup tidak resmi itu. Salah satunya adalah Alice, wanita cantik paripurna yang sedang menaiki mobil mewah berwarna merah. Mobil edisi terbatas berjenis hatchback itu, melintas dengan cukup kencang di atas kubangan air kotor bekas hujan deras beberapa jam lalu. Alhasil, air berwarna cokelat pekat dari jalanan itu, menyiprat ke arahku yang sedang berjalan kaki di atas trotoar.
Sebelumnya, aku sedang menikmati perjalananku yang sederhana tapi menyenangkan. Di bawah rintik hujan yang sudah tak lagi deras, aku menyusuri trotoar dengan payung biru kesayanganku. Sebuah perjalanan dari toko roti menuju rumah. Meskipun hujan, aku tetap bersemangat menyusuri jalanku menuju tempat terbaik dan ternyaman di dunia. Aku selalu berusaha melihat hal-hal indah di balik perjalananku itu. Lalu kutemukan satu wujud keindahan itu, yakni rintik-rintik hujan di bawah sinar lampu jalan. Pemandangan menentramkan yang hanya bisa disaksikan oleh para pejalan kaki di bawah hujan yang sudah tak lagi deras.
Aku bahagia, andai saja mobil merah Alice tidak melintas saat aku sedang memandangi rintik hujan di bawah lampu jalan itu. Perasaan damai seketika musnah, saat tubuhku dipenuhi air kotor. Aku terkejut, melihat bajuku kini memiliki corak abstrak kecoklatan di atasnya. Sementara itu, mobil Alice berhenti dan kacanya dibuka.
“Aduh ... maaf Rara, gue kira bukan kamu. Barusan gue nggak sengaja, kok.” Alice muncul dari balik kaca dan berbicara padaku.
“Ah, iya, nggak apa-apa, kok. Bajunya tinggal dicuci aja.”
“Iya, deh, kalau gitu. Tapi ... gue mau minta maaf lagi, nih. Gue bukannya nggak mau pulang bareng, gue cuma nggak mau mobil bagian dalem gue kotor,” ucap Alice, sembari mengamatiku dari kepala sampai kaki.
“Nggak masalah. Aku juga lebih suka jalan kaki, kok.”
“Ok, deh. Kalau gitu, gue duluan, ya!”
Mobil merah nan elegan itu, segera melaju dengan angkuh bersama Alice yang memesona. Seperti itulah Alice, sepupuku yang sebaya. Usia kami sudah kepala tiga, dan sama-sama belum menikah. Namun, meskipun dengan status yang sama, tingkat sosial kami jauh berbeda. Alice adalah gambaran seseorang dengan status Gold Miss, yakni wanita single yang mandiri dengan status pendidikan tinggi, pekerjaan yang mapan, serta tampilan fisik yang rupawan. Gold Miss adalah istilah masa kini untuk menggambarkan sosok wanita seperti Alice.
Lalu, untukku yang juga berstatus single, tapi tanpa pendidikan tinggi dan pekerjaan mapan, serta tampilan standar, tak ada istilahnya dalam masyarakat. Namun, jika boleh aku membuat julukan untuk itu, aku bisa menyebutnya Copper Miss. Kedua unsur logam itu dapat menjadi gambaran yang mewakili status kami dalam masyarakat. Sama-sama unsur logam, tapi memiliki nilai yang jauh berbeda. Berkat perbedaan level itu pula, aku dan Alice tidak mungkin bisa akrab meskipun kami sepupu, dan bahkan tinggal bersebelahan.
Aku pun melanjutkan perjalananku, sembari mengusap beberapa titik air kubangan yang menempel di wajah. Suasana hatiku kini sedikit memburuk. Saat sampai rumah, aku membuka pintu dengan ekspresi muram. Namun, senyum hangat ayah dan ibu yang menyambutku pulang, seketika mencerahkan hariku lagi.
Ibu menghampiriku dengan secangkir teh manis hangat di tangannya. “Anakku kedinginan, ya. Nih, cepet minum dulu!” Ibu lalu mengamati bajuku. "Loh, kok, kotor begini?”
“Kena cipratan mobil, Bu.”
“Keterlaluan! Mentang-mentang punya mobil, jadi seenaknya sama yang jalan kaki. Nggak takut sama hukum karma apa? Coba aja kalau dia yang jalan kaki, terus diguyur air comberan, gimana rasanya? Pasti kesel, kan. Dasar nggak tahu adat!”
Aku hanya tersenyum kecut. Ibu tidak tahu, kalau orang yang baru saja dimaki adalah keponakannya sendiri.
Sementara itu, ayah yang sedang menonton tivi, ikut membela dan membesarkan hatiku. “Roda kehidupan itu berputar, siapa tahu nanti kamu juga punya mobil.”
Ibu mengangguk setuju. “Iya. Tapi kamu jangan kayak orang itu, ya! Hargai pejalan kaki, perlambat laju kalau ada orang yang jalan di trotoar biar nggak nyiprat!”
Aku tersenyum geli. “Iya, iya. Sekarang, Rara mau mandi dulu, keburu gatel-gatel, nih.”
“Gih, sana! Ibu mau siapin makan dulu,” ucap ibu, seraya mengusap punggungku.
Hariku memang melelahkan, tapi berkat senyum yang menyambutku pulang setiap hari, serta masakan ibu yang selalu enak, mampu mengobati rasa lelah itu. Meskipun kami hanya bertiga dan hidup sangat sederhana, hari-hari kami cukup bahagia. Ayah dan ibu pun tidak pernah mencampuri urusanku dalam membuat pilihan hidup. Tidak seperti orang tua lain yang biasanya menuntut anaknya menikah sebelum mencapai usia tiga puluh, ayah dan ibu membebaskanku untuk memilih kapan saja aku siap. Bahkan, jika aku tidak menikah pun, sepertinya mereka tidak akan keberatan.
Selain ayah dan ibu yang selalu menjadi sumber kekuatan dan semangatku, menulis adalah kebahagiaan dan mimpiku. Pegangan hidup yang menjadikan seseorang mampu bertahan dalam kesulitan dan wujud dari sebuah harapan akan masa depan yang lebih baik, aku pun berhak memilikinya. Meskipun aku hanya seorang Copper Miss, aku tetap ingin memiliki satu impian yang akan membuatku bisa bertahan dalam melawan rasa rendah diri, sedih dan lelah.
Setiap kali punya waktu luang, aku akan menulis artikel, cerpen, novel sampai curhatan kekesalan, di laptop usangku. Berkat hobi itu, aku pernah mendapatkan honor dari artikelku yang dimuat di halaman depan portal berita daring. Aku juga pernah mendapat hadiah uang dari cerpen yang kutulis untuk sebuah kompetisi. Tapi sayangnya hanya sampai situ, kompetisi-kompetisi besar yang kemudian aku ikuti, tak pernah sekalipun memberiku kemenangan. Namun, meskipun begitu, aku tidak pernah merasa bosan dan terus menulis.
Aku merasa hidupku sebagai Copper Miss sudah cukup baik, jika saja tidak ada pandangan kasihan atau kritik dari orang lain, yang justru memicu ketidakbahagiaan yang kadang datang menghampiri. Jika saja semua orang tidak menetapkan hidup ideal dalam sebuah standar, dunia pasti akan jadi lebih indah, dan setiap orang bisa hidup bahagia dengan cara mereka masing-masing.
***
Hari pun berganti. Aku menjalani rutinitasku bekerja sebagai penjaga toko roti. Sementara itu, ibu membantu mengerjakan pekerjaan rumah di tetangga sebelahku, yang tak lain adalah rumah Alice. Atau dengan kata lain, ibuku adalah pembantu di rumah kakak iparnya sendiri. Hal itu sebagai bentuk simbiosis yang saling menguntungkan, setelah kami tinggal menumpang di rumah paman. Rumah sangat sederhana di samping rumah mewah itu, merupakan gudang yang telah dipugar. Selain ibu, ayah pun memiliki tugas penting, yakni mengantar keluarga paman bepergian. Keahlian ayah dalam mengemudi, membuatnya memegang peran sebagai supir keluarga kakaknya sendiri.
Aku dan ibu sebenarnya keberatan untuk tinggal menumpang dan bekerja untuk keluarga paman, tapi karena ayah merasa jika itu adalah pilihan yang paling efisien, kami pun menjalaninya. Dengan tinggal dan bekerja untuk keluarga paman, maka kami tidak perlu membayar uang sewa rumah dan bisa menabung untuk uang muka rumah kami nantinya. Itu alasan yang cukup masuk akal untuk kami bertahan, sekalipun harus menghadapi satu mulut beracun milik bibiku.
Saking beracunnya mulut bibiku, aku pernah dikuntit gara-gara mengikuti sarannya untuk kencan buta. Suatu hari, karena tidak tahan melihatku men-jomlo, Bibi menyuruhku untuk berkenalan dengan anak temannya yang seorang pegawai negeri golongan dua. Awalnya lelaki itu tampak normal, sampai akhirnya ia membeberkan kriterianya dalam memilih istri. Menurutnya, seorang istri harus ikut berkontribusi dalam memenuhi kebutuhan hidup, yang artinya ia menuntut istrinya untuk bekerja. Selain itu, seorang istri juga wajib bisa memasak dan mengerjakan tugas rumah tangga. Aku sempat berpikir kalau lelaki itu sebenarnya mencari pegawai, bukan istri.
Jelas saja aku menolak untuk melanjutkan hubungan lebih jauh dengan lelaki itu. Bukan karena aku tidak mau bekerja, memasak atau beres-beres rumah, tapi karena pemikiran lelaki itu membuatku takut. Bekerja dan melakukan tugas rumah tangga, harusnya menjadi bagian dari pilihan seorang istri, bukan perintah apalagi paksaan. Sama seperti suami, istri juga memiliki hak yang setara dalam sebuah pernikahan. Aku ingin memiliki pasangan yang bersikap demokratis, meminta pendapat kedua belah pihak dalam menentukan apa pun. Jelas saja aku memilih mundur. Tapi rupanya, lelaki itu memang senang memaksakan kehendaknya. Ia memilihku dan menginginkan agar aku menuruti semua keinginannya.
“Kamu, kan, sekarang sudah bekerja, tinggal diteruskan. Kalau soal masak, kamu bisa belajar nanti. Pekerjaan rumah, bisa dilatih juga sedikit demi sedikit,” kata lelaki itu.
Aku sudah tak ingin mendengar apa pun lagi, dan menutup pintu untuknya. Tapi dia terus datang dan datang lagi, sampai ayah mengancam akan melaporkannya ke polisi. Barulah lelaki itu menghilang bak ditelan bumi. Sejak saat itu, aku tidak mau lagi dijodohkan, apalagi oleh bibiku.
Sebenarnya aku juga belum berniat untuk menikah. Sama seperti para Gold Miss, aku pun punya impian dan prioritas. Meskipun sudah memasuki usia lebih dari cukup untuk menikah, aku memilih fokus membahagiakan orang tua dan mengejar mimpiku. Ayah dan ibu yang demokratis, selalu setuju pada pilihan hidupku. Meskipun aku anak satu-satunya, mereka tidak pernah menuntut apa pun dan memberiku kebebasan dalam menentukan jalan hidup. Aku bahagia karena memiliki orang tua seperti mereka. Namun, kebahagiaan itu seringkali dirusak oleh mulut-mulut jahil para tetangga, dan tentu saja, bibiku adalah yang terburuk di antara mereka.
Selain Alice, bibi punya seorang putri lain yang sudah tak tinggal serumah bernama Arine. Arine adalah saudara kembar Alice dengan kepribadian yang bertolak belakang. Saat Alice memilih menjadi seorang lajang yang mandiri dan bernilai tinggi, Arine memilih untuk hidup layaknya seorang tuan putri. Arine memutuskan untuk menikah, tidak lama setelah lulus kuliah. Hidupnya sangat memenuhi standar kehidupan ideal yang diidamkan banyak orang. Suaminya seorang pegawai negeri golongan empat. Arine juga dianugerahi putra-putri kembar yang kini berusia tujuh tahun. Kehidupan Arine sudah cukup untuk membuat mulut-mulut tetangga memujinya setinggi langit. Hanya satu pertanyaan saja yang terkadang muncul dari mulut jahil tetangga, yaitu kapan punya anak ketiga?
Suatu hari, aku pernah jadi bulan-bulanan bibi, akibat kesempurnaan hidup kedua putrinya. Saat itu, aku sedang menganggur karena toko roti tutup akibat pandemi. Aku menghabiskan waktu dengan menulis novel untuk sebuah kompetisi bergengsi dengan hadiah yang tidak sedikit. Namun, di tengah semangat menulisku yang sedang menggebu-gebu, ditambah dengan kejaran deadline, ibu sakit dan aku harus menggantikannya beres-beres di rumah bibi.
Aku sempat menolak dengan alasan kompetisi itu, tapi bibi malah mengejekku. “Nulis? Nulis apaan? Diary? Atau catatan belanja?” Begitu tanggapannya saat kuberi tahu apa yang sedang kukerjakan. “Udahlah ... jangan muluk-muluk! Lagian, nulis, kan, butuh ilmu juga. Kamu kuliah aja enggak, kan.”
Aku mengepalkan kedua tangan kuat-kuat, agar amarahku tidak meledak. Bisa-bisanya orang tua yang terhormat justru mengolok-olok impian seorang anak muda. Untung saja, bibi mengatakan semua itu tanpa sepengetahuan ayah dan ibu. Karena jika mereka mendengarnya, bisa terjadi pertengkaran besar. Aku berusaha untuk menahan diri dan mengubur dalam-dalam hinaan bibi. Akhirnya, kuputuskan untuk membantu bibi dan meninggalkan naskahku. Ide cerita yang sudah kususun pun seketika buyar.
“Sebenernya bibi nggak enak lihat kamu kerja begini. Tapi mau gimana lagi, bibi nggak percaya sama orang lain. Maklum ... di sini, kan, banyak barang berharga, jadi bibi takut kecurian,” aku bibi sembari mengamatiku yang sedang mencuci piring.
“Iya. Nggak apa-apa, kok, Bi.”
“Coba aja kamu nggak terlalu pilih-pilih, kamu pasti udah nikah sekarang. Kamu harusnya belajar dari Arine. Atau ... kalau memang nggak mau nikah muda, kamu harusnya kuliah kayak Alice, supaya bisa dapet karir yang bagus.”
Aku mendengarkan nasihat bijak bibi, sembari menyanyikan lagu Sucat Pelay Boog versi koplo, dalam hati. Meskipun liriknya mungkin tidak tepat, aku tetap menyanyikannya agar hatiku merasa tenang.
Tak lama kemudian, tuan putri datang bersama putra-putri kembarnya, tanpa ditemani sang suami. Bibi menyambut kedatangannya dengan riang gembira. Namun, berbeda dengan sang ibu, Arine tampak lesu.
“Loh, suamimu nggak ikut?” tanya bibi.
“Sibuk,” jawab Arine singkat.
Aku mengamati ekspresi wajah Arine yang tampak sedang sedih. Sesekali, aku juga mendengarnya menghela napas panjang. Namun, Bibi tampaknya tidak menyadari atau tidak peduli, dan tetap bersikap riang seperti sebelumnya.
Di hari lain, aku mendapati sang tuan putri sedang menangis sendirian di bangku taman. Aku menghampirinya.
“Kamu kenapa, Rin?”
Arine buru-buru mengusap air matanya. “Nggak apa-apa, kok, Ra.”
Aku lalu mendapati memar-memar di lengan Arine.
“Ini kenapa?”
“Oh ... ini ... jatuh di kamar mandi.” Arine beranjak dari bangku. “Aku duluan, ya. Takut anak-anak nyariin.”
Arine melangkah cepat meninggalkanku. Aku curiga telah terjadi sesuatu, tapi percuma saja bertanya, jika Arine memang tidak mau menceritakannya padaku.
Hingga suatu hari, aku melihat dengan mata kepalaku sendiri. Penyebab Arine menangis, serta memar-memar di lengannya. Saat itu, bibi dan paman sedang tidak berada di rumah. Arine dan sang suami datang ke rumah itu, lalu bertengkar hebat. Aku yang hendak mengetuk pintu rumah bibi, tidak sengaja menyaksikan Arine didorong suaminya hingga tersungkur. Aku melihat kejadian itu melalui jendela depan rumah. Dua orang yang sedang bertengkar hebat itu, tampaknya tidak menyadari kehadiranku di sana. Aku terkejut dan buru-buru mengetuk pintu. Namun, saat mereka membuka pintu, mereka berpura-pura tidak terjadi apa-apa.
“Apa itu tadi?” tanyaku pada Arine dan suaminya, yang kini berdiri berdampingan dengan damai.
“Apa maksud kamu?” tanya suami Arine.
“Aku tadi lihat semuanya.”
“Itu bukan urusan kamu. Jangan ikut campur!” nada bicara suami Arine mulai terdengar ketus.
Arine maju dan menghampiriku. “Ra ... kita berdua akan selesaikan masalah ini. Jadi, kamu pulang aja, ya! Nggak perlu dibesar-besarkan, dan nggak perlu diceritakan pada yang lain.”
“Tapi Rin, ini udah sering terjadi, kan?”
Beberapa tetangga yang sedang melintas, tampak mulai melirik curiga. Radar jahil mereka mulai aktif, setelah mendengar beberapa kata mencurigakan yang mengisyaratkan ada perselisihan dari perbincangan kami. Hingga tak lama kemudian, beberapa di antara mereka sudah membuat perkumpulan.
“Enggak, kok, Ra. Aku nggak apa-apa. Jadi kamu pulang aja, ya!”
Akhirnya aku pergi dengan perasaan gelisah yang menggelayut di dada. Aku tak menyangka, jika kehidupan sempurna sang tuan putri yang selama ini tampak dari luar, ternyata menyimpan rahasia suram. Aku tak bisa tinggal diam, karena ini menyangkut keselamatan sepupuku.
Pertama-tama, aku menceritakan kejadian itu pada Alice. Namun, ternyata tanggapan Alice sungguh di luar dugaan.
“Ah ... paling-paling itu cuma pertengkaran rumah tangga biasa. Nggak perlu dibesar-besarkan, lah! Mereka udah dewasa dan bisa selesaikan masalah mereka sendiri.”
“Pertengkaran yang sudah melibatkan fisik, itu udah masuk ranah kriminal. Kita wajib ikut campur.”
“Kamu jangan sok tahu. Kalau mereka bilang nggak apa-apa, ya, udah!”
Aku mendengus kesal. “Bisa-bisanya kamu sebagai saudara kembarnya nggak peduli. Arine sampai memar-memar dan jatuh tersungkur, tapi kamu anggap itu wajar.”
“Ok, ok. Gue bakal konfirmasi ini ke mereka dan laporan ke ayah sama ibu. Udah puas, kan?” ujar Alice dengan nada tinggi.
“Kalau kalian diem aja, aku nggak punya pilihan, selain laporin ini ke polisi.”
Beberapa hari kemudian, Bibi menerobos rumahku sembari berteriak-teriak murka.
“Pergi kalian dari sini!” kata bibi, pada kami yang sedang makan malam.
“Ada apa ini, Kak?” tanya ayah.
“Anak kamu ini sudah memfitnah menantu saya. Dia mau merusak rumah tangga anak saya.”
“Maksud Kakak apa? Merusak rumah tangga bagaimana?” tanya ibu yang tampak panik.
“Dia bilang menantu saya pukulin anak saya. Dan dia mengancam bakal lapor polisi. Apa-apaan itu? Kalau kamu iri sama kehidupan anak saya, nggak perlu sampai memfitnah segala. Gara-gara keributan yang kamu buat, tetangga jadi bergunjing tentang keluarga kami.”
“Bener begitu, Ra?” tanya ayah.
“Itu bukan fitnah. Aku lihat kejadiannya dengan mata kepala sendiri.
Bibi mendorong pundakku. “Heh ... bibi tahu kamu iri sama anak-anak bibi, kan? Makanya kamu mau merusak nama baik keluarga kami, kan.”
“Bibi ini ngomong apa, sih? Udah cukup, ya, aku bersabar dengan sikap Bibi selama ini. Bibi harus tahu, kalau hidup setiap orang itu nggak harus mengikuti standar Bibi. Aku nggak pernah iri, tuh, dengan anak-anak Bibi. Bibi pikir hidup aku sengsara, sampai harus iri sama hidup sempurna mereka. Silakan kalau Bibi menetapkan standar hidup buat keluarga Bibi, tapi jangan sampai Bibi mengorbankan keselamatan anak Bibi hanya demi itu.
Aku berani menegur mereka bukan untuk merusak nama baik keluarga kalian yang terhormat, tapi aku khawatir dengan keselamatan Arine. Tapi Bibi sebagai ibunya, dan sebagai sesama perempuan, bisa-bisanya Bibi menutup mata dan pura-pura nggak terjadi apa-apa hanya demi menjaga nama baik. Apa Bibi takut kalau citra keluarga kalian yang sempurna itu, rusak karena kelakuan menantu Bibi sendiri.”
Bibi berteriak marah. “Cukup! Pergi kalian dari rumah saya sekarang juga!”
Aku tak bisa membela diri lagi dan memilih untuk mundur. Kami sekeluarga akhirnya pindah ke rumah kontrakan. Paman yang sejatinya memiliki hak untuk memutuskan nasib kami di rumah itu, hanya diam tak berdaya karena ancaman dari bibi. Bibi mengancam akan pergi dari rumah jika kami tidak diusir.
Setelah pindah, aku sudah tidak bertukar kabar lagi dengan keluarga bibi. Aku tidak tahu bagaimana nasib Arine setelah kejadian itu. Aku fokus bekerja dan masih terus menulis untuk kompetisi. Sementara itu, ibu dan ayah bekerja serabutan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Ibu kadang berjualan makanan keliling, jika sedang tidak ada yang meminta bantuannya beres-beres rumah. Sedangkan ayah, membuka jasa layanan supir, dan sesekali jadi tukang ojek di area pasar terdekat. Hidup kami memang sederhana dan harus berjuang keras untuk memenuhi kebutuhan hidup, tapi saat kami berkumpul, kami masih bisa bercanda dan tertawa, saling berbagi kasih sayang, serta saling menguatkan. Kami bersyukur karena memiliki satu sama lain, dan kami bahagia untuk itu.
Beberapa bulan berlalu, aku melewati rumah bibi dan diam-diam mengamati sekitar. Aku mendapati tiga pria bertubuh besar yang menggedor-gedor gerbang rumah bibi sembari berteriak-teriak memanggil nama Alice.
“Bu Alice, saya tahu anda di dalam. Kami mau bicara sebentar,” ujar salah seorang pria.
“Rumah mewah begini mana mungkin nggak mampu bayar hutang. Iya, kan, Bu?” ucap yang lain.
Dari kata-kata itu sudah jelas, bahwa Alice sedang ada masalah keuangan. Aku tidak menyangka, jika Alice yang selalu hidup mewah berkat harta melimpah dari kemahirannya dalam berbisnis itu, ternyata memiliki hutang, dan dilihat dari wujud para penagih tadi, sepertinya itu bukan hutang yang sedikit.
Beberapa hari setelah itu, Arine menghubungiku. Ia mengajakku bertemu. Kami duduk berhadapan sembari minun kopi di sebuah kedai.
“Gimana kabar kamu, Ra?”
“Aku baik, Rin. Kamu sendiri gimana?” tanyaku ragu-ragu.
Arine tampak menunduk, lalu tersenyum getir. “Aku nggak baik, Ra. Aku mau cerai dengan suamiku.”
“Cerai?”
“Iya, Ra. Aku ajak kamu ketemu, karena aku mau minta maaf. Maaf karena waktu itu aku pura-pura nggak terjadi apa-apa. Gara-gara itu juga, kalian diusir ibu dan dimaki-maki. Atas nama ibu, aku juga minta maaf ke kamu, paman dan juga bibi.”
Aku menggenggam tangan Arine. “Aku maafkan, Rin. Aku ngerti, kok, kenapa kamu bersikap seperti itu. Kamu juga pasti terjebak di situasi yang sulit. Kamu yang kuat, ya!”
Arine mengangguk, lalu balas menggenggam tanganku. “Kalau aku boleh jujur, sebenernya aku selalu iri dengan sikap kamu. Kamu adalah orang yang tidak peduli atau terpengaruh dengan penilaian orang lain. Berbeda sama aku dan Alice yang terus hidup mengikuti standar orang lain, terutama standar orang tua kami. Kami sekeluarga, terutama ibu, memang terlalu mengagungkan kesempurnaan, harga diri dan reputasi.
Dan bodohnya aku, meskipun udah lama mengalami kekerasan, tapi demi menjaga reputasi sebagai anak yang memenuhi standar orang tua, aku bertahan dengan berbagai cara sekalipun nggak bahagia. Yah ... tapi, beginilah akhirnya."
Air mata Arine berlinang. Segala kesedihan dan amarah yang terpendam itu, ia tumpahkan sepenuhnya. Setelah itu Arine tampak lega. Ia juga menceritakan segala kejadian yang menimpa keluarganya setelah kami pindah. Menurut Arine, Alice tengah terjebak dalam lingkaran hutang yang besar. Penyebabnya adalah bisnis Alice yang tidak berjalan lancar, hingga terjerat kasus penipuan dan penggelapan. Alice rela melakukan itu, demi menjaga reputasi dan gaya hidupnya yang glamor. Alice harus mengembalikan banyak uang atas kerugian dari penipuan dan penggelapan dana yang dilakukannya.
Paman dan bibi tidak tahan dengan gangguan yang datang dari para penagih hutang. Ditambah lagi dengan gunjingan tetangga tentang perceraian Arine yang sudah tersebar, membuat paman dan bibi memutuskan untuk pergi menyepi ke desa.
“Terus, sekarang kamu dan Alice tinggal di mana?” tanyaku.
“Aku, Alice dan anak-anak, mengontrak rumah yang agak jauh dari sana. Rumah itu mau kami jual untuk bayar hutang-hutang Alice. Aku dan Alice lagi sibuk cari kerja sekarang.”
“Yang tabah, ya, Rin. Ini semua bagian dari ujian hidup yang harus kalian lalui. Nanti, kalian pasti bisa bahagia lagi.”
“Makasih, ya, Ra. Sekali lagi, maaf untuk semua hal buruk yang kami lakukan selama ini.”
Setelah menghela napas lega, Arine mengakhiri kisahnya. Namun, sebelum pergi, Arine juga menceritakan satu rahasia mengenai bibi padaku.
“Sebenernya, selama ini ibu bersikap buruk dan selalu menghina kamu bukan untuk membanggakan hidup keluarganya yang sempurna. Ibu justru bersikap begitu karena iri,” aku Arine.
“Iri bagaimana?” tanyaku heran.
“Ibu tahu kalau hidup keluarganya jauh dari sempurna, dan hanya pura-pura sempurna di hadapan orang lain. Ibu sebenarnya tahu kalau sejak lama, aku dan suamiku nggak akur. Ibu juga tahu kalau Alice hidup dengan cara yang salah. Ibu juga kesepian karena suami dan anak-anaknya sibuk dengan urusan dan masalah masing-masing. Di sisi lain, ibu melihat kamu, paman dan bibi selalu terlihat bahagia dan rukun, sekalipun kalian hidup sederhana. Ibu selalu memperhatikan kalian, dan tanpa sadar, ibu mulai merasa iri.”
Aku terdiam sejenak. Aku mulai mengingat beberapa kejadian saat bibi memperhatikan kami dengan ekspresi janggal. Apa mungkin, itu adalah wujud rasa iri bibi pada keluarga kami?
Setelah Arine beranjak pergi, aku masih duduk di sana dan memperhatikan langkah demi langkah Arine. Arine tampak menunduk lesu. Aku tak menyangka, jika tuan putri yang kukira hidup sempurna, ternyata selama ini membangun kastil indahnya dengan air mata kepedihan.
Aku menyusul Arine dan beranjak dari sana. Aku lalu teringat sesuatu yang penting hari ini. Hari pengumuman kompetisi menulis novel yang sedang kutunggu-tunggu. Aku menepi untuk melihat ponselku, dan dengan jantung berdebar aku membaca pengumuman itu. Seketika aku bersorak, saat mendapati namaku ada di urutan nomor dua dari daftar juara.
Akhirnya, aku merasakan kemenangan dari sebuah kompetisi besar yang kuperjuangkan selama ini. Pengakuan atas sebuah cinta yang selama ini hanya dijadikan bahan cibiran orang lain. Satu langkah lebih dekat dengan impianku untuk menjadi seorang penulis, baru saja kutapaki.
Aku melangkah dengan ringan menyusuri jalanku. Lalu, di ujung jalan aku bertemu dengan sesosok takdir yang tak terduga. Sosok lelaki yang telah menghilang sekian lama itu, kini berdiri di hadapanku dan menyapa dengan suara yang hangat.
“Hai ... Ra, lama nggak ketemu, ya!”
Sosok cinta pertama yang sudah kulupakan itu, muncul tiba-tiba dengan sebuah senyum riang. Bunga-bunga seolah bermekaran di sekelilingku, dan aku pun balas tersenyum.