Malam itu di Zermatt, sebuah kota kecil di tepi Danau Stellisee, udara dingin pegunungan Alpen mulai merasuk. Lara duduk di salah satu kafe terbuka, menikmati secangkir cokelat panas sembari memandangi gunung Matterhorn yang menjulang megah. Suasana sunyi dan damai membuatnya tenggelam dalam pikirannya sendiri.
Suara denting lonceng dari gereja tua di kejauhan menambah keindahan malam. Namun, di tengah ketenangan itu, ada yang mengganggu hati Lara. Rafael. Pria misterius yang entah kenapa selalu berhasil membuatnya tak tenang.
“Lara?” Suara yang sangat dikenalnya menyentak lamunan. Rafael berdiri tak jauh darinya, mengenakan mantel tebal dengan syal yang melingkar rapi di leher. Matanya menatapnya lembut, namun ada sesuatu yang tersembunyi di balik tatapan itu.
“Rafael, kamu di sini?” Lara berusaha menyembunyikan kegugupan dalam suaranya. Meski hatinya masih bergejolak, ada sesuatu dari kehadiran Rafael yang selalu membuatnya merasa hangat.
“Aku harus bertemu denganmu,” jawab Rafael seraya menarik kursi dan duduk di hadapan Lara, “Kamu tahu, aku nggak bisa mengabaikan perasaan ini.”
Lara menghela napas panjang, menyandarkan tubuhnya ke kursi kayu yang dingin, “Berapa kali kita bicara soal ini, Rafael? Setiap kali kamu muncul, kamu hanya membawa masalah. Aku... Aku tidak bisa terus menunggu dalam ketidakpastian.”
“Kali ini beda, Lara,” Rafael menatapnya dengan serius, namun sorot matanya tak bisa menyembunyikan kegelisahan.
“Beda?” Lara tersenyum getir, “Setiap kali kamu datang, kamu selalu bilang begitu. Tapi akhirnya kamu pergi lagi. Lalu aku yang harus berurusan dengan kehancuran hati.”
Rafael meraih tangan Lara, menggenggamnya erat, “Aku serius kali ini. Aku sudah meninggalkan semuanya, semua urusan gelap yang pernah ada di belakangku. Aku kembali hanya untukmu.”
Lara tertegun mendengar pernyataan itu. Rafael bukanlah pria biasa. Ia terlibat dengan urusan yang jauh lebih rumit dari yang pernah Lara bayangkan. Sebelum ini, Rafael sering tiba-tiba menghilang dan kembali dengan alasan yang tak jelas. Lara seringkali dibiarkan menunggu dalam ketidakpastian.
“Semua urusan gelap?” Lara menatap Rafael penuh rasa curiga, “Kamu tahu, aku tidak pernah tahu siapa kamu sebenarnya. Aku tidak tahu siapa temanmu, atau siapa musuhmu, atau apa yang membuatmu hidup dalam bayang-bayang.”
“Karena aku tidak ingin kamu terlibat,” Rafael berbisik pelan, suaranya bergetar, “Tapi sekarang semuanya sudah selesai. Aku bebas, Lara. Aku ingin kita memulai dari awal.”
Sebelum Lara bisa merespon, sebuah suara datang dari arah belakang.
"Rafael?" Seorang pria berdiri di ambang pintu kafe, mengenakan jas tebal dengan tatapan tajam yang langsung mengarah pada Rafael.
Lara menoleh, merasa suasana berubah tegang. Pria ini bukanlah orang biasa—dari cara berjalannya, sorot matanya yang penuh waspada, hingga postur tubuhnya yang tegap, semuanya menunjukkan bahwa ia bukan seseorang yang seharusnya berada di tempat santai seperti ini.
"Siapa dia?" Tanya Lara, setengah berbisik.
Rafael tampak pucat, "Lara, aku harus pergi."
"Pergi?" Lara mendesak, "Kamu baru saja bilang ingin memulai dari awal!"
Rafael menatap pria itu dengan ketegangan yang kentara, "Percayalah padaku, aku akan kembali."
Pria itu mendekat dengan cepat. Rafael berdiri dengan cemas, namun sebelum bisa pergi, pria itu sudah berada di depan mereka.
"Jangan pikir kamu bisa lari, Rafael," kata pria itu dengan nada dingin.
Lara terpaku. Dia tidak mengerti apa yang sedang terjadi, tapi dia tahu situasinya semakin berbahaya.
“Lara, aku akan menjelaskan nanti. Percayalah padaku,” Rafael melangkah mundur, tatapannya memohon pengertian.
“Tidak ada nanti,” ujar pria itu tajam, “Kamu sudah bermain terlalu lama. Sekarang saatnya bayar harga.”
Rafael menoleh ke Lara, matanya penuh penyesalan, “Maafkan aku.”
Dan sebelum Lara sempat bereaksi, Rafael berlari meninggalkan kafe, diikuti oleh pria berjas hitam itu. Lara terdiam di tempat, hatinya berdebar kencang, bingung harus melakukan apa. Di depannya, amplop coklat yang telah terbuka tergeletak, isinya terbongkar, mengungkapkan semua rahasia gelap Rafael.
Ia memandang sekitar, merasa seluruh dunianya hancur dalam sekejap. Rafael, pria yang dulu ia percaya, ternyata adalah seseorang yang hidup dalam kebohongan. Setiap momen bersama Rafael sekarang terasa kosong, tanpa makna.
Tak lama kemudian, suara sirine terdengar dari kejauhan. Lara menyadari bahwa segalanya telah berubah terlalu cepat untuk ia pahami. Apakah ini akhirnya? Apakah ia baru saja kehilangan pria yang ia cintai, meskipun kenyataan menunjukkan bahwa pria itu bukanlah sosok yang sebenarnya?
Namun, sebelum dia bisa merenung lebih jauh, sebuah suara lagi terdengar dari belakangnya.
"Lara?" Sebuah suara wanita yang asing, tapi penuh keyakinan. Lara berbalik dan mendapati seorang wanita berdiri di sana, berpenampilan tegas dengan tatapan penuh arti.
"Kamu harus ikut aku. Sekarang," kata wanita itu tanpa basa-basi.
Lara terkejut, "Siapa kamu? Ada apa dengan ini semua?"
Wanita itu menatap langsung ke matanya, "Aku Sofia. Aku adalah pihak yang berusaha melindungi kamu. Rafael dalam bahaya, dan jika kamu tetap di sini, kamu juga akan terjebak di dalamnya."
"Sofia?" Lara mengernyit, merasa pernah mendengar nama itu sebelumnya, tetapi ia tidak bisa mengingat di mana.
"Percayalah, kamu tidak punya banyak waktu. Orang-orang yang mengejar Rafael tidak hanya akan berhenti pada dia. Kamu juga sudah terlibat terlalu dalam," lanjut Sofia sambil menatap amplop yang ada di meja.
Tanpa memberi Lara kesempatan untuk berpikir lebih jauh, Sofia meraih tangannya, "Kita harus pergi sekarang. Aku bisa menjelaskan semuanya di tempat yang aman."
Lara, meski bimbang dan masih dalam kekacauan pikirannya, memilih mengikuti Sofia. Suasana Zermatt yang sunyi terasa semakin menekan saat mereka berjalan cepat melalui jalanan berbatu menuju sebuah mobil yang diparkir di dekat alun-alun.
Di dalam mobil, Lara akhirnya memberanikan diri bertanya, "Siapa kamu sebenarnya? Dan kenapa kamu ingin melindungi aku?"
Sofia memandangnya sejenak, lalu berkata, "Aku adalah orang yang pernah bekerja dengan Rafael. Kami punya sejarah panjang, dan aku tahu betapa bahayanya orang-orang yang mengejarnya sekarang. Mereka tidak hanya akan menghancurkan Rafael, tetapi siapa pun yang dekat dengannya."
Lara terdiam, pikirannya dipenuhi berbagai pertanyaan yang belum terjawab. Apa yang sebenarnya terjadi? Dan mengapa ia menjadi bagian dari semua ini?
Mobil melaju cepat menuju jalan pegunungan yang sunyi, meninggalkan Zermatt di belakang mereka.
—
Sofia kini mengemudi dengan tenang, tetapi atmosfer di dalam mobil masih terasa tegang. Lara menatap keluar jendela, mencoba mencerna semua yang baru saja terjadi. Semuanya terasa begitu cepat, dan pertanyaan-pertanyaan di kepalanya terus berputar.
"Kamu bilang kamu pernah bekerja dengan Rafael," Lara akhirnya memecah keheningan, "Tapi kenapa kamu peduli padaku? Aku cuma seseorang yang terjebak dalam hidupnya."
Sofia melirik Lara sejenak, lalu menghela napas panjang, "Itu karena aku tahu betapa besarnya risiko yang kamu hadapi. Orang-orang yang mengejar Rafael.. Mereka tidak main-main, Lara. Begitu kamu terlibat, kamu tidak akan pernah bisa keluar dengan mudah. Aku ada di sini karena aku tidak ingin kamu menjadi korban."
Lara terdiam, tetapi kemudian ia bertanya lagi, suaranya gemetar, "Apa yang Rafael lakukan sebenarnya?"
Sofia mengerutkan dahi, ragu-ragu untuk menjawab, "Dia terlibat dalam jaringan perdagangan informasi gelap. Itu bukan hanya tentang uang, Lara. Rafael mencuri data sensitif dari organisasi yang sangat besar, dan sekarang mereka ingin balas dendam."
"Data apa yang dia curi?" Lara bertanya, meski sebagian dirinya takut mendengar jawabannya.
Sofia menatap jalan di depan mereka, lalu berkata pelan, "Informasi tentang pejabat tinggi, transaksi ilegal, dan... Daftar orang-orang yang menjadi target. Itu adalah informasi yang bisa menghancurkan beberapa orang yang sangat kuat jika sampai bocor."
Lara merasa mual mendengar penjelasan itu, "Jadi, aku... Aku hanya pion dalam permainan besar ini?"
Sofia menggeleng, "Bukan pion, Lara. Rafael mencintaimu, meskipun tindakannya tidak selalu menunjukkan itu. Dia tidak pernah bermaksud melibatkanmu. Tapi sekarang kamu tahu terlalu banyak, dan mereka akan menganggapmu ancaman."
Lara merasakan seluruh tubuhnya lemas, "Apa yang harus aku lakukan?"
Sofia melirik Lara lagi, "Kamu ikut aku, Lara. Aku bisa melindungi kamu, tapi kita harus pergi jauh dari sini. Rafael mungkin sudah tidak bisa diselamatkan, tapi kamu masih bisa."
Lara menelan ludah, mencoba menahan rasa paniknya, "Bagaimana dengan Rafael? Apa yang akan terjadi padanya?"
Sofia terdiam beberapa saat sebelum menjawab, "Jika mereka menemukannya, dia tidak akan selamat."
Mata Lara membesar, ketakutan semakin menghimpitnya, "Kita harus menyelamatkannya!"
Sofia menggeleng pelan, "Terlambat, Lara. Yang terbaik yang bisa kita lakukan adalah menyelamatkanmu."
Tiba-tiba, suara dering ponsel menginterupsi percakapan mereka. Sofia meraih ponselnya dan menjawab cepat. Suara di sisi lain terdengar tegas, namun Lara tidak bisa mendengar jelas.
Setelah beberapa saat berbicara, Sofia mematikan ponsel dan melirik Lara dengan ekspresi serius, "Mereka tahu di mana kita. Kita harus mempercepat."
Lara menggigit bibirnya, berusaha tetap tenang, "Kita akan ke mana?"
"Tempat aman di pegunungan, sebuah villa tua yang sudah lama tidak digunakan. Dari sana, kita bisa merencanakan langkah berikutnya," jawab Sofia sambil menambah kecepatan mobilnya.
Saat mobil mulai mendaki jalan sempit menuju pegunungan, rasa takut Lara semakin kuat. Dia tidak tahu apakah bisa mempercayai Sofia sepenuhnya, tetapi saat ini, dia tidak punya pilihan lain.
—
Setelah beberapa jam perjalanan yang menegangkan, akhirnya mereka tiba di sebuah villa terpencil di puncak gunung. Udara dingin pegunungan terasa semakin menusuk, dan villa itu tampak sepi, nyaris menyeramkan dengan bangunan tua berarsitektur abad ke-19.
Sofia mematikan mesin mobil dan memandang Lara, "Kita aman di sini untuk sementara waktu."
Lara keluar dari mobil dengan tubuh gemetar, baik karena dingin maupun ketakutan. Ia mengikuti Sofia masuk ke dalam vila yang tampak seperti sudah lama tidak dihuni. Debu tipis menutupi perabotan, dan suasana di dalamnya terasa sunyi.
Sofia menyalakan beberapa lampu, lalu mempersilakan Lara duduk di sofa tua yang terlihat nyaman, "Kamu harus istirahat. Aku akan berjaga di sini."
Lara duduk dengan tubuh lelah, tetapi pikirannya tidak bisa tenang. Ia mencoba mencerna segalanya, tetapi sulit baginya untuk memisahkan fakta dari kebohongan yang selama ini Rafael simpan. Apakah benar Rafael mencintainya? Atau dia hanya bagian kecil dari permainan yang lebih besar?
Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar dari pintu depan. Sofia berdiri seketika, meraih pistol kecil dari balik jaketnya, "Tetap di sini," bisiknya kepada Lara.
Sofia membuka pintu sedikit dan berbicara dengan seseorang di luar. Lara tidak bisa melihat siapa yang datang, tetapi setelah beberapa saat, Sofia menutup pintu kembali dan tampak lebih tegang.
"Mereka sudah dekat," kata Sofia dengan nada rendah, "Kita harus bergerak lagi. Tidak aman di sini lebih lama."
"Siapa yang mengetuk tadi?" Tanya Lara dengan rasa was-was.
"Seorang kurir. Dia membawa pesan dari salah satu kontakku. Mereka sudah menyusuri jalur kita," jawab Sofia, "Ayo, kita harus pergi sekarang."
Namun, sebelum mereka bisa bergerak, jendela depan villa itu tiba-tiba pecah. Sebuah batu besar dilempar ke dalam, diikuti suara ledakan keras di luar. Villa itu diserang.
Lara berteriak, tetapi Sofia dengan cepat menariknya ke belakang, melindunginya dari pecahan kaca, "Lari, Lara! Keluar dari pintu belakang!"
Sofia berusaha menahan serangan dari luar, sementara Lara berlari sekuat tenaga keluar melalui pintu belakang villa. Udara dingin menggigit kulitnya, tetapi ketakutan memaksanya untuk terus berlari menuruni bukit yang licin dan terjal. Langkahnya semakin berat, namun ia tidak berhenti. Suara ledakan dan pecahan kaca di belakangnya masih terngiang di telinga, mempercepat adrenalin yang mengalir di nadinya. Ia tidak tahu ke mana arahnya, tetapi satu hal pasti—dia harus menjauh dari villa itu, dari bahaya yang terus membuntutinya.
Saat dia tiba di tepi hutan yang gelap, nafasnya tersengal-sengal, jantungnya berdetak begitu keras hingga dia bisa mendengarnya sendiri. Di tengah rasa panik, dia mendengar suara langkah kaki yang mendekat. Lara berhenti sejenak, mengamati sekeliling dengan ketakutan. Suara itu semakin dekat, menembus malam yang sunyi.
Tiba-tiba, dari balik pepohonan, muncul sosok yang tidak asing—Rafael.
"Lara!" Rafael berteriak, nafasnya terdengar terengah-engah, "Cepat, ikut aku!"
Lara membeku. Rafael, yang tadi menghilang begitu saja, kini muncul lagi di depannya. Tatapannya penuh ketegangan, tetapi juga kekhawatiran yang mendalam. Lara tak tahu harus percaya atau lari darinya.
"Bagaimana kamu bisa di sini?" Tanya Lara dengan suara serak. Tubuhnya gemetar, bukan hanya karena dingin, tetapi juga ketidakpastian yang menguasainya.
"Aku tidak punya waktu menjelaskan. Sofia bukan di pihak kita!" Rafael mendekati Lara, mencoba meraih tangannya.
Lara mundur selangkah, menghindari genggamannya, "Aku tidak tahu siapa yang bisa aku percayai sekarang, Rafael. Kamu berbohong padaku selama ini!"
Rafael menggeleng dengan putus asa, "Aku tidak berbohong. Aku hanya mencoba melindungimu. Sofia bekerja untuk organisasi yang mengejarku. Dia berpura-pura membantumu untuk mengambil keuntungan darimu. Aku tidak bisa membiarkan itu terjadi."
Lara terdiam sejenak, hatinya berdebar. Di dalam kepalanya, pertarungan antara kepercayaan dan pengkhianatan berkecamuk. Rafael, yang pernah ia cintai, kini berdiri di depannya, mencoba mengembalikan kepercayaan yang sudah hancur. Tapi Sofia juga memberinya kesempatan untuk melarikan diri. Siapa yang benar? Siapa yang salah?
"Dengar, Lara," Rafael melanjutkan, suaranya lebih lembut, "Aku tahu ini sulit dipercaya, tapi aku bersumpah, aku tidak pernah bermaksud mencelakai kamu. Aku hanya ingin melindungi kita dari mereka."
Lara menggigit bibirnya, merasa bimbang. Namun sebelum dia bisa berkata apa-apa, sebuah ledakan terdengar lagi dari arah villa, disertai teriakan dan suara tembakan. Kedua mata mereka melebar, dan Rafael segera menarik Lara, menyuruhnya bersembunyi di balik pepohonan.
"Aku tidak bisa membiarkan mereka menemukanku. Kalau tidak, kita berdua selesai," bisik Rafael dengan nada panik.
Dari balik dedaunan, Lara bisa melihat sekelompok pria bersenjata muncul dari arah villa, beberapa dari mereka tampak mencari jejak di sekitar area. Satu dari mereka tampak berbicara melalui alat komunikasi di telinganya, memberi perintah dengan nada serius.
"Lara, tolong percayalah padaku," Rafael memohon pelan, "Kalau kita tetap di sini, mereka akan menemukan kita. Aku punya rencana untuk melarikan diri, tapi kamu harus ikut aku sekarang."
Lara menatap Rafael dalam-dalam, mencoba mencari kepastian di balik tatapan pria itu. Ketakutan dan kebingungan masih membelit hatinya, tetapi di saat itu, sebuah keputusan harus dibuat.
"Aku ikut," bisik Lara akhirnya, meski suaranya masih dipenuhi keraguan.
Rafael mengangguk, segera menarik tangan Lara dan memandu mereka berdua menjauh dari area berbahaya. Mereka bergerak dengan cepat dan hati-hati, menuruni jalan setapak yang gelap dan curam. Saat mereka semakin jauh dari villa, suara-suara dari pengejaran mulai menghilang, tetapi jantung Lara tidak berhenti berdetak kencang.
Setelah beberapa saat berlari, mereka akhirnya sampai di sebuah pondok kayu tua yang tersembunyi di tengah hutan. Rafael membuka pintu pondok itu dan menarik Lara masuk. Di dalamnya, pondok tampak sederhana tetapi cukup terlindung dari pandangan luar. Rafael segera menutup pintu dan memasang palang kayu di belakangnya.
"Lara," Rafael berbalik dan menatapnya dengan ekspresi penuh kesungguhan, "Aku tidak tahu apa yang terjadi besok, atau apa yang akan terjadi pada kita setelah ini. Tapi satu hal yang pasti—aku mencintaimu. Aku tahu aku sudah banyak membuat kesalahan, tapi kamu harus tahu bahwa aku tidak pernah main-main tentang perasaanku."
Lara berdiri terpaku, mendengarkan setiap kata yang keluar dari mulut Rafael. Apakah itu kebenaran? Atau hanya kebohongan yang lebih rumit? Sebelum ia sempat merespon, suara langkah kaki terdengar lagi dari luar pondok. Mereka berdua terdiam, menahan napas.
Seseorang ada di luar.
Rafael memberi isyarat kepada Lara untuk tetap tenang, lalu mengambil pistol kecil dari dalam jaketnya. Lara tidak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tetapi satu hal yang pasti: malam ini belum berakhir.
Lara membekap mulutnya, menahan napas. Jantungnya berdetak kencang, hampir menyamai irama langkah kaki di luar pondok. Suara itu semakin dekat, dan bayangan seseorang tampak melintasi jendela kecil. Rafael berdiri diam, pistol di tangannya terangkat, siap menghadapi apa pun yang datang.
Suara pintu berderit pelan, seolah angin sedang mempermainkannya, tetapi mereka berdua tahu—itu bukan angin.
Tiba-tiba, suara ketukan pelan terdengar.
Tok… Tok… Tok…
"Rafael, buka pintunya," sebuah suara tenang memecah keheningan malam. Itu suara Sofia.
Lara membeku. Rafael menoleh ke arah Lara, matanya penuh kecemasan, "Dia tidak di sini untuk membantu kita," bisik Rafael, "Kita tidak bisa mempercayainya."
Sofia mengetuk lagi, kali ini lebih keras, "Aku tahu kalian di dalam. Rafael, kamu tidak akan selamat tanpa bantuanku."
Rafael berbalik ke arah pintu, ragu-ragu, "Pergilah, Sofia! Aku tidak butuh bantuanmu!"
Sofia tertawa kecil dari luar, suaranya penuh kepercayaan diri, "Kamu pikir bisa melarikan diri dariku? Aku tahu semua tentangmu, Rafael. Tentang siapa kamu, apa yang kamu lakukan, dan lebih dari itu… Aku tahu rahasiamu yang paling dalam."
Lara menatap Rafael, merasa ada sesuatu yang aneh, "Rahasia apa?" Bisiknya, matanya memancarkan kecurigaan.
Rafael tidak menjawab. Dia tampak lebih gelisah sekarang. Sofia melanjutkan dari luar, "Lara, kamu pasti penasaran, kan? Kenapa Rafael terus menghilang dan muncul lagi dalam hidupmu? Apa dia pernah memberitahumu tentang semua itu?"
Lara merasa dadanya semakin sesak, "Rafael, apa yang dia maksud?" Tanyanya lagi, kali ini dengan lebih tegas.
Sebelum Rafael bisa menjawab, Sofia berbicara lagi, suaranya seperti pisau yang menoreh ketakutan, "Rafael tidak pernah mengatakan yang sebenarnya padamu. Dia tidak mencuri dari organisasi karena uang, Lara. Dia mengkhianati organisasi untuk menyelamatkan nyawanya sendiri, dan dia membawa serta data penting curian milik organisasi ke polisi sebagai jaminan keselamatan. Setelah dia berkhianat, hidupnya menjadi taruhan. Tapi yang lebih penting, dia tidak hanya melakukannya untuk dirinya sendiri—dia melakukannya untuk menyelamatkan seseorang yang lebih penting baginya."
Lara merasa seluruh tubuhnya dingin, "Siapa?" Suaranya bergetar, "Siapa yang lebih penting dariku?"
Rafael tetap diam, tapi dari tatapannya, Lara tahu Sofia tidak berbohong. Ada sesuatu yang besar, sesuatu yang selama ini disembunyikan Rafael darinya.
"Anaknya," jawab Sofia akhirnya, "Rafael punya seorang anak yang selama ini disembunyikannya darimu. Organisasi itu mengejarnya juga. Dia melakukan semua ini untuk melindungi anaknya dari bahaya yang sama, seperti dia mencoba melindungi dirinya sendiri."
Lara mundur, tubuhnya gemetar, "Apa?" Suaranya hampir tak terdengar.
Rafael menunduk, suaranya bergetar penuh penyesalan, "Itu benar, Lara. Aku punya anak. Organisasi itu mengancam nyawa kami berdua. Aku tahu aku seharusnya jujur dari awal, tapi aku takut. Bukan hanya karena aku takut kehilanganmu... Tapi karena aku tahu jika kamu tahu semuanya, kamu akan terlibat dalam bahaya ini juga. Semua ini dimulai dari kesalahanku di masa lalu. Aku dulu terlibat dengan mereka, bekerja untuk mereka, mengumpulkan informasi ilegal. Tapi ketika aku mencoba keluar—mencoba menyelamatkan diriku dan anakku—aku mencuri informasi penting dari mereka. Itulah yang membuat mereka mengejar kami sekarang. Mereka ingin aku mati karena aku tahu terlalu banyak."
Lara menatapnya, air mata mulai menggenang di matanya, "Kenapa kamu tidak mengatakan ini dari awal? Aku bisa mengerti jika kamu berusaha melindungi anakmu, tapi kenapa harus berbohong?"
Rafael mendesah dalam keputusasaan, "Aku takut, Lara. Takut kehilanganmu. Dan aku tahu, begitu kamu tahu semuanya, kamu mungkin tidak akan memaafkanku. Aku takut menyeretmu ke dalam bahaya ini. Jika kamu tahu, mereka mungkin akan mengejarmu juga."
Lara merasa dunianya runtuh seketika. Rafael, pria yang selama ini dia cintai dan percayai, menyembunyikan kenyataan yang paling penting darinya. Bukan hanya kebohongan kecil—ini adalah kebohongan besar yang menghancurkan segala hal yang mereka miliki. Jika Rafael bisa menyembunyikan sesuatu sebesar ini, apalagi yang dia sembunyikan?
Bukankah cinta dan kepercayaan seharusnya berjalan beriringan? Lara menatap Rafael dengan mata berair, merasa semua kata-kata Rafael, meskipun masuk akal, tetap menyakitinya.
Sofia, dari luar, berbicara lagi dengan nada penuh kemenangan, "Dia tidak pernah menceritakan hal ini, kan? Karena dia tahu begitu kamu tahu, semuanya akan berubah."
Rafael, dengan suara penuh rasa bersalah, berkata pelan, "Aku tahu aku salah, Lara. Tapi aku benar-benar mencintaimu. Itu tidak pernah bohong."
Lara menatap Rafael dengan air mata yang menggenang di matanya, "Kamu bilang kamu mencintaiku, tapi kamu menyembunyikan hidupmu yang lain dari aku. Bagaimana aku bisa percaya lagi?"
Sebelum Rafael bisa menjawab, pintu pondok terbuka dengan keras, dan Sofia berdiri di ambang pintu dengan senyum dingin, "Ini sudah berakhir, Rafael," ucapnya sambil mengangkat pistol yang diarahkan ke Rafael, "Kamu tidak bisa lari lagi."
Rafael mengangkat tangannya, perlahan mundur, "Sofia, aku tidak ingin berurusan dengan mereka lagi. Biarkan aku pergi."
Sofia menggeleng, "Sudah terlambat. Kamu tahu itu. Tidak ada yang bisa melarikan diri dari mereka."
Lara memandang antara Sofia dan Rafael, hatinya bergejolak, "Apa ini semua rencana? Kamu ingin menghabisi Rafael? Lalu kenapa kamu bawa aku ke sini?"
Sofia menatap Lara sejenak, "Kamu hanya collateral. Bagian dari permainan ini. Tapi kamu punya pilihan sekarang. Kamu bisa pergi dan melupakan semuanya, atau tetap di sini dan terjebak di kekacauan ini."
Lara merasa dadanya semakin sesak. Semua yang ia percayai hancur di depan matanya. Rafael, pria yang ia pikir akan selalu ada untuknya, ternyata menyembunyikan begitu banyak rahasia. Sofia, yang tampak ingin membantu, ternyata hanya menjalankan rencana lain.
Dengan tangan gemetar, Lara mundur beberapa langkah menuju pintu, sebelum akhirnya berlari keluar dari pondok itu. Udara dingin pegunungan menusuk kulitnya, tetapi dia terus berlari tanpa henti, mencoba melarikan diri dari kekacauan yang baru saja ia saksikan. Dari kejauhan, terdengar suara tembakan, menggema di malam yang sunyi.
–TAMAT–