Semua berawal dari OSPEK. Shirly merupakan salah satu mahasiswi baru di Universitas Negeri Malang Jurusan Tata Boga, fakultas teknik. Sebagai mahasiswa baru mau tidak mau Shirly harus mengikuti Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus (OSPEK). Waktu itu tepat seorang panitia OSPEK berteriak nyaring di sampingnya.
“Oh My God, very noisy... !!!” hanya kata itu yang Shirly ucapkan dalam hati.
Spontanitas Shirly membelokkan kepalanya kurang lebih berbelok 90 derajat. Terlihat seorang pemuda bertubuh tidak terlalu tinggi, berhidung mancung dan kalau Shirly bandingkan dengan laki-laki kebanyakan, dia termasuk pemuda yang berkulit putih bersih, wajahnya tampan dan religius.
Dan tanpa diduga, dia berteriak keras,”Hei, kamu! Mengapa kamu menoleh ke kanan ke kiri? Konsentrasi!!”
“Baik Kak!” jawab Shirly.
“Apa!? Aku tidak dengar!!”
“Baik Kak!!!” teriak Shirly.
Dan semenjak itu ada kebencian yang tertanam di hatinya. Shirly hanya kurang suka dengan sikapnya itu, dia tidak suka ada orang yang berteriak keras padanya. Hingga waktu terus berjalan, dari OSPEK hari pertama, hari kedua, hari ketiga, dan Shirly merasa ada yang aneh dengannya. Diam-diam dia suka memperhatikan seniornya itu, bahkan dengan berbagai alasan Shirly berusaha mendekatinya, tidak bisa disebut mendekatinya juga, karena dia hanya ingin melihatnya lebih dekat, paling tidak dari jarak yang tidak lebih dari satu meter.
Sampah, ya hanya itu yang bisa Shirly jadikan alasan. Dia berdiri tidak jauh dari tong sampah berukuran sedang, dua kali mondar-mandir memungut kertas yang tidak terpakai, jelas memang Shirly seperti orang yang kurang kerjaan, tapi seakan dia tidak peduli. Shirly hanya ingin melihat kakak seniornya itu, just it.
Tiba waktunya para mahasiswa baru, peserta OSPEK, termasuk Shirly harus meminta tandatangan panitia-panitia OSPEK. Banyak panitia yang baik hati memberikan tanda tangannya tanpa si mahasiswa harus bersusah payah menuruti satu persatu perintah dari panitia. Tapi sepertinya hanya Shirly yang aneh, dia sibuk mencari di mana keberadaan salah satu panitia di sana. Pucuk di cinta ulampun tiba, Shirly melihatnya,
“Thanks God,” kata Shirly dalam hati.
Shirly langsung mendekati kerumunan mahasiswa baru yang sedang asyik meminta tanda tangan dari seorang panitia. Dan kini bukan satu meter lagi jarak Shirly dengan panitia itu. Kini Shirly bisa melihat jelas wajahnya, dia berada tepat dihadapannya, Shirly melihatnya bertandatangan atas nama Rangga. Itu dia namanya, sekarang Shirly tahu siapa namanya. Nama yang indah seperti keindahan yang terpancar dari wajahnya. Dan otomatis, Shirly tidak mau melewatkan kesempatan itu, setelah mendapat tanda tangannya, dia masih tetap berdiri tegap di sana, memandangnya dengan kekaguman yang luar biasa, mengagumi ciptaan Tuhan dengan jantung yang terus berdetak kencang.
OSPEK hari keempat, sekaligus OSPEK terakhir, Shirly dan mahasiswa baru lainnya, senang, sedih bercampur seperti gado-gado yang tidak enak di benak mereka. Pukul dua siang, seorang dosen memberikan materi terakhirnya. Shirly berusaha mendengarkan dengan seksama, tetapi otaknya terhenti saat dia menyadari jika Rangga berdiri di samping kursi yang sedang dia duduki.
“Astaga, Kak Rangga..!” Shirly terpekik pelan.
Shirly terlalu senang dengan detik ini, detik yang memporak-porandakan otak dan hatinya. Dan bukan lagi seperti gado-gado yang bercampur aduk, melainkan seperti tomat yang diblender, bercampur dengan gula, air, es batu yang teraduk dalam satu tempat.
“Huuuhhhh.. ... “ Shirly menarik pelan nafasnya dan mulai mencari inspirasi untuk memunculkan ide-ide konyol sesion 2, selain ide sampah kemarin.
“Oh.. inspirasi.. datanglah.. datanglah..!” kata Shirly dalam hati.
Sesaat kemudian Shirly menjatuhkan pensil miliknya, bertujuan agar Rangga bersedia mengambilkan untuknya, dan sial.. pensil itu tidak bisa diajak kolaborasi dengan baik. Entah apanya yang salah, tangannya yang terlalu berdosa atau memang pensilnya yang sedang tidak mau bekerjasama dengannya. Pensil itu meluncur dengan tidak terkontrol. Alhasil, seorang pria bertubuh besar yang duduk di depannya berbaik hati mengambil pulpen itu untuknya.
“Terimakasih.. ” ucap Shirly dengan imbuhan senyum kecut yang sok manis.
Berhubung hari terakhir, jadi malamnya diadakan acara malam penutupan OSPEK atau malam inaugurasi. Dan di penghujung acara, di malam itu, diadakan malam renungan dan jabat talih asih atau saling bermaaf-maafan. Dan malam itu sungguh malam tak terlupakan dalam memori Shirly. Malam itu dia dapat bertatap muka langsung dan mendapat ucapan selamat dan permohonan maaf dari Rangga. Dan untuk pertama kalinya dia melihat senyum manis Rangga untuknya hingga membuat jantungnya berdebar dan keringat dingin membasahi keningnya.
So sweet, entah kata-kata apa yang bisa menggambarkan perasaannya saat itu. Dan malam itu menjadi kenangan terindah dan sekuntum mawar dia berikan untuk sang pujaan hati. Akhirnya acara malam itu ditutup dengan lantunan lagu milik Bon Jovi yang berjudul Never Say Goodbye yang semakin membuat suasana malam itu menjadi mengharukan dan Shirly juga tak luput dari mahasiswa baru yang hanyut terbawa suasana, tangis haru mengakhiri jabat tangan dengan Rangga, seolah dia tak mau melepas kepergian sang pujaan hati dari hadapannya.
Kenangan malam inaugurasi masih terus membekas, dan sulit untuk ia lupakan. Karena semakin tak kuasa membendung kerinduan untuk bertemu, Shirly berusaha untuk mengadakan pendekatan dengan Rangga. Panjang ceritanya dia bisa dapat nomor ponselnya Rangga, yang pasti tetap dengan berbagai alasan konyol, yang intinya, seusai OSPEK, Shirly masih menjalin komunikasi lewat ponsel dengannya. Waktu pun terus berjalan, yang dia tahu sekarang, Rangga pemuda yang cukup pendiam itu, ternyata kaku seperti robot, atau memang karena Shirly yang belum mengenalnya lebih dekat. Tapi sikap Rangga yang seperti itu tidak lantas mematahkan semangatnya.
Suatu saat kampus mengadakan kemah mahasiswa di sebuah pedesaan selama empat hari. Selama kemah mahasiswa itu, Shirly semakin menambah pengalaman dan wawasannya. Berbaur dengan warga sekitar, sangat menyenangkan. Terlebih lagi dengan adanya Rangga, meski ada dia, tidak setiap saat Shirly bisa bertemu dengannya. Mereka memang bersms-an, tapi bukan berarti mereka jadi dekat, Rangga seperti robot, tidak asyik, kalaupun tidak sengaja Shirly bertemu dengannya, tidak ada tegur sapa sama sekali.
Lambat laun, masih melalui sms, Shirly mulai tidak canggung lagi, obrolannya juga agak menjurus ke arah rayuan, namun ia tidak peduli, Shirly bukan orang yang gengsi untuk merayu lawan jenisnya, yang jelas bukan rayuan seperti perempuan genit, nakal atau sebagainya.
Dari situ Rangga mulai merespon, Shirly tidak tahu itu harapan atau hanya sekedar formalitas saja. Rangga juga mulai tidak canggung membalas kata-katanya, mereka bisa lebih saling mengenal satu sama lain, dengan berbagai pertanyaan yang bertujuan memancing sang idolapun dia kerahkan satu persatu, hingga Shirly tahu banyak tentang Rangga, mulai dari makanan favorit, minuman favoritnya sampai hal terkecil Shirly berusaha untuk mengetahuinya. Terdengar samar-samar lagu Barat dari ponsel milik Shirly.
And all my love. I am holding on forever. Reaching for the love that seem. So far..So I say a little prayer. And hope my dream will take me. There where the skies are blue. To see you once again my love Over sees from coast to coast. To find the place I love the most. Where the fields are green. To see you once again my love.
Lirik lagu favoritnya, Westlife, My love, persis menggambarkan perasaannya saat ini. Empat hari berlalu, kemah mahasiswa pun hanya tinggal kenangan. Akhirnya Shirly kembali di rumah. Dia masih bingung dengan perasaannya kepada Rangga. Gadis berparas cantik itu terus memikirkannya dan itu membuat hatinya tidak tenang.
Seusai menunaikan shalat maghrib, Shirly menengadahkan tangannya pada-Nya, ”Ya Allah, mengapa nama Rangga sungguh semakin melekat di hati ini? Kebencian yang pernah tertanam pada diri hamba padanya dulu sudah tidak ada di hati hamba, kebencian itu lantas menjadi jembatan untuk hamba masuk ke dalam hati Kak Rangga, tentu hamba hanya ingin selalu melihat Kak Rangga dalam keadaan yang baik, berikanlah yang terbaik untuknya, amin.”
Di dalam bait doanya, Shirly selalu melampirkan nama Rangga, perasaannya akhir-akhir ini gelisah tidak melihat Rangga. Ini pertama kali dia merasakan hal aneh seumur hidupnya. Apa dia sedang jatuh cinta? Apakah ini yang dinamakan cinta? Entahlah, sepertinya begitu. Semakin hari Shirly semakin tersiksa dengan perasaan ini. Dia menangis dalam keheningan malam-malamnya. Dadanya terasa sesak bila terus menerus sepeti ini, cinta pertama yang dia alami terasa menyesakkan. Bukan hanya perasaannya, tapi semua yang dia punya untuk mencintai Rangga, semuanya terasa sakit.
Kembali Shirly berdoa, ”Maha Suci Allah.. Engkau yang tahu perasaan hamba, sungguh sampai detik ini, hamba tidak bisa berhenti memikirkan Kak Rangga (tanpa dia sadari air mata jatuh tepat di mukena putih yang dia kenakan). Apa hamba salah jika hamba mengharapkan Kak Rangga mempunyai perasaan yang sama? Apa hamba terlalu egois jika hamba berpikir seperti itu? Tunjukkan jalanmu Ya Allah. Tidak bisa memiliki orang yang kusayang, terlebih lagi ini cinta pertamaku, itu sangat menyedihkan.”
Apa yang harus dia lakukan agar Rangga bisa sedikit membuka hatinya untuk dirinya? Kurang lebih beberapa hari ini Shirly mencari tahu informasi tentang Rangga melalui teman-teman seangkatannya. Kini dia tahu, perempuan seperti apa yang bisa menarik hatinya. Shirly memulai dengan merubah penampilannya menjadi lebih feminim, semua orang tahu dia bukan perempuan yang bisa dikatakan feminim, bahkan sangat jauh dari itu. Shirly lebih sering memakai rok sekarang. Walaupun itu tidak nyaman baginya, tapi kalau dipikir dengan akal sehat, memang bagus merubah diri menjadi yang lebih baik, karena kodrat seorang perempuan harus seperti itu, pikir Shirly.
Hingga malam ini Shirly memberanikan diri untuk menanyakan suatu pada Rangga melalui sms yang dia kirimkan padanya, Shirly juga bukan perempuan yang suka berlama-lama untuk sekedar berbasa-basi. Ini sms yang dia kirimkan, Kak, apa kakak udah punya pacar? Seketika Shirly merasa bodoh menanyakan hal itu, tapi inilah tujuan utamanya.
“Shirly kamu bodoh, apa kamu siap dengan jawaban Kak Rangga nantinya? Bagaimana kalau jawabannya hanya membuat kamu semakin sakit? Apa yang akan kamu lakukan? Menangis dan terus menerus mengadu pada sang pemberi hidup?” bisiknya dalam hati.
Dengan perasaaan kacau dia harap-harap cemas menunggu balasan dari Rangga. Hingga getar ponselnya menghentikan segala pertanyaan aneh yang meraung-raung meminta jawaban di otaknya. Shirly membuka sms itu, Iya, kakak sudah punya tambatan hati dik.
Degggg.... kali ini bukan lagi sakit yang dia rasa, tapi rasa nyeri yang tidak terkendali, Shirly merasa berdosa telah menyukai dan berharap pada orang yang notabene sudah menjadi pacar perempuan lain. Air matanya sekejap bercucuran menolak kenyataan ini.
"Apa aku menyesal bertanya seperti ini? Kenapa aku harus menanyakan hal ini? Kenapa Kak Rangga tidak mengerti perasaanku? Kenapa semuanya tidak berpihak padaku?” ucap Shirly dalam hati.
Berbagai kata kenapa memenuhi otaknya kini. Sms ini tidak dia lanjutkan, Shirly tidak mau mendengar pernyataan selanjutnya yang akan Rangga ucapkan. Shirly hanya ingin tidur, yah.. dengan tidur mungkin dia bisa melupakan semuanya, sakit hati, air mata, semuanya. Saat terbangun dari tidurnya, tepat setengah empat pagi Shirly mengambil air wudhu. Shalat tahajudnya kali ini terasa berbeda, karena matanya sedikit terjanggal, matanya terlihat sangat sembab, efek dari tangisan semalam. Tiba saatnya dia memanjatkan doa seusai shalat.
“Ya Allah, Engkaulah tempat terbaik untuk mengadu, hanya Engkau penenang hati dan jiwaku saat ini, Ya Allah kenyataan ini sungguh sangat menyakitkan, hamba mencintai Kak Rangga sebesar yang Engkau ketahui, atas dasar keridhoanmu, hamba bisa mencintainya seperti ini. Sepenuhnya hamba titipkan cintaku pada-Mu, lindungilah Kak Rangga...” doa terucap dari bibirnya.
******
Suatu siang, Shirly pulang dari kampus dengan wajah masam. Tanpa salam, seperti yang biasa dia ucapkan ketika pulang dan masuki rumah, Shirly, langsung menuju kamarnya, melemparkan tasnya begitu saja di pojok kamar. Lalu segera masuk ke kamar mandi. Suara shower yang menyala dan kecipak air. Setelah beberapa menit, dia keluar kamar mandi dan bergegas masuk ke dalam kamar. Sudah satu jam lebih Shirly di kamar. Karena Shirly tak kunjung keluar kamar, membuat hati Bu Yanti mulai gelisah. Dia ketuk pintu itu pelan-pelan. Tak ada jawaban dari dalam.
"Shirly, boleh mama, masuk?" tanya Bu Yanti lembut.
Hening. Biasanya tak menunggu lama pintu itu langsung dibukakan. Bu Yanti pun memutuskan membuka pintu kamarnya. Ketika pintu sudah terbuka, Bu Yanti arahkan pandangannya ke tempat tidur. Tak ada. Dia amati ruang kamarnya, Shirly tak ditemukan juga. Pintu ke arah taman belakang terbuka. Bu Yanti mendapati Shirly sedang memainkan kakinya di tepi kolam renang. Memandangi bayangannya di air. Sesekali, dia menghembuskan nafas begitu berat.
Benar, Bu Yanti tak pernah mendapatinya seperti ini. Perlahan Bu Yanti mendekati dan duduk di sampingnya, mencelupkan kakinya ke tempat yang sama. Lalu Bu Yanti masukkan tangannya ke dalam air. Kemudian dia jatuhkan beberapa tetes air tepat di atas bayangan wajah Shirly. Dan bayangan itu pun pecah, membentuk gelombang yang semakin menjauh. Bu Yanti pun tertawa, mencoba menghiburnya. Shirly menatap mamanya, lalu kembali menatap langit. Wajahnya tetap mendung.
"Langit hari ini biru sekali. Mama yakin, hari ini hujan tidak akan turun.." ucap Bu Yanti sambil tersenyum memandangi langit yang sama.
Masih tak kudengar suara dari bibirnya. Biasanya, Shirly akan mengajukan banyak pertanyaan atau komentar. Tapi kali ini, segalanya terasa hanya angin yang berbisik tenang.
Mamapun jadi terbawa suasana. Shirly melihat bayangan mereka berdua pada air di kolam renang.
"Ma, apa aku ini cantik? Benar, nggak Ma..?" desah Shirly pelan.
Bu Yanti pun tersenyum, "Ya, kamu ini anak mama yang paling cantik. Lho, memangnya kenapa ? Memang ada yang bilang kamu ini jelek ya?"
"Ah Mama, Shirly serius Ma..." ucap Shirly dengan mimik serius.
"Benar Shirly. Kamu ini cantik lho.. kalau tidak percaya lihat wajahmu di air, cantik kan?” jawab Bu Yanti dengan mimik serius namun tetap tersenyum. Shirly tersipu malu, dia menggaruk-garuk kepalanya.
"Ma, apa salah jika Shirly suka pada seorang laki-laki?" tanya Shirly tersipu malu. Mendengar itu Bu Yanti hanya tertawa.
"Mama ini bagaimana? Bukannya dijawab, justru ditertawakan!" omel Shirly.
"Ooo… jadi anak mama sedang jatuh cinta nih ceritanya..he..he...." sahut Bu Yanti dengan senyum masih menghiasi bibirnya.
"Salah apa nggak ya.. hm.. hm…" ucap Bu Yanti sambil mengkerutkan dahinya, mencoba menggoda Shirly.
"Shirly, Mama tahu kamu ini sudah beranjak dewasa dan perasaan suka sama lawan jenis adalah naluri semua makhluk, jadi tidak salah jika kamu menyukai seseorang namun juga harus dalam batasan tertentu. Shirly, siapa pria yang sudah mencuri hatimu?" tanya Bu Yanti.
"Hm.. dia kakak tingkat Shirly di kampus, Rangga namanya. Tapi Ma..?" Shirly tiba-tiba menghentikan ucapannya, sesekali matanya memandang langit.
"Ada apa Shirly?" tanya Bu Yanti penasaran.
"Ma.., tapi Rangga sudah mencintai wanita lain…Shirly jadi sedih Ma. Ma… Shirly sangat mencintainya, dia orang baik banget dan.. ” lagi-lagi Shirly menghentikan ucapannya namun kali ini ada senyuman di bibirnya.
“E.. kok diam, senyum-senyum lagi, dan apa..?” goda Bu Yanti.
“Ma, Rangga tuh ganteng banget.. gadis manapun pasti akan terkesima bila berjumpa dengannya… hmm.. pokoknya keren abis deh Ma.” Kata Shirly dengan sumringah, seakan dia lupa dengan kesedihannya beberapa saat yang lalu.
“O iya.. kira-kira sama papamu ganteng mana? Mama jadi penasaran deh.. mama akan tergoda nggak ya… ?” lagi-lagi Bu Yanti bercanda yang membuat cemberut wajah Shirly.
“Ih.. Mama dibilangin nggak percaya… ya sudah,” Shirly sewot.
“Maafkan Mama hanya bercanda kok, oh iya.. kapan-kapan Mama ingin berkenalan dengannya.. boleh nggak?” Bu Yanti masih saja menggoda Shirly.
“Ya itu tadi masalahnya Ma, dia kan sudah punya tambatan hati, apa mau Shirly ajak ke rumah?” ucap Shirly dengan wajah muram.
“Sudah.. sudah kamu mau.. mama kasih solusi?” tanya Bu Yanti menghibur Shirly.
“Mau Ma, gimana?” jawab Shirly antusias.
Sesaat kemudian Bu Yanti membisikkan sesuatu ke telinga Shirly, dan dia pun tersenyum sambil menggangguk.
Shirly terdiam, lalu menatap wajah mamanya lekat. Kemudian Bu Yanti mengajaknya masuk dan berganti pakaian.
"Harus mandi lagi, nih Ma..." ucap Shirly sambil tersenyum nakal.
Shirly berlari menuju kamarnya. Dan Bu Yanti menunggunya di meja makan.
Malam ini, Shirly tak makan banyak. Selesai makan, dia pamit dengan alasan ingin belajar. Wajah itu masih tampak menyimpan sejuta rahasia. Ada luka, namun tak terlihat ketika mata tak ingin lebih dalam melihat hatinya.
Bu Yanti menghampiri kamarnya. Bu Yanti mendapati Shirly sedang asyik memandangi langit-langit kamar.
"Geser dikit dong…" desak Bu Yanti sambil menidurkan tubuhnya di samping Shirly.
"Mama kok tidur di sini, kenapa tidak di kamar sendiri saja. Maaf Ma, hari ini, Shirly sedang tak ingin ditemani," ucapnya.
"Betapa menyenangkan hari ini. Lebih menyenangkan dari hari-hari sebelumnya.." ucap Bu Yanti.
"Kenapa Ma.. ?" tanya Shirly penasaran.
"Karena hari ini langit benar-benar cerah penuh bintang, " jawab Bu Yanti sambil tersenyum bahagia. Kemudian, ruang itu hening kembali.
"Maaf Ma, hari ini kubuat langit itu mendung," jawabnya pelan.
"Nggak apa-apa, mama ngerti kok perasaanmu saat ini, mama kan dulu juga pernah muda,” kata Bu Yanti sambil menatapnya lekat-lekat.
Shirly pun tersipu malu. Bu Yanti segera berdiri dan berlalu menuju pintu kamar. Sebelum keluar, dia pesankan sesuatu untuk Shirly.
"Nanti malam, setelah Isya’, jangan lupa pakai sweatermu ya. Kita jalan-jalan sebentar lihat langit malam kota Malang... " Bu Yanti mengedipkan mata dan tersenyum, tanda salam sayang untuk Shirly.
Malam, jam tujuh, Shirly sudah menanti Bu Yanti di bangku taman. Dia memandangi bintang lebih dulu daripada mamanya.
"Malam sayang. Sudahkah engkau melihat bintang jatuh?" canda Bu Yanti.
"Bintang jatuh? Benarkah malam ini ada bintang jatuh?" tanyanya antusias.
"Tidak, mama hanya bercanda," jawab Bu Yanti sambil tertawa.
Lalu Bu Yanti menyandarkan punggungnya di bangku taman. Shirly merebahkan kepalanya di bahu mama. Bu Yanti membelai lembut rambutnya. Dia menarik nafas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan.
"Kamu tahu, Shirly. Di atas sana, bintang-bintang itu selalu bahagia. Mereka tak pernah mengeluh apalagi menangis. Walau ketidakadilan itu bisa kita katakan terjadi pada mereka," ucap Bu Yanti dengan mimik wajah sedih.
"Kenapa begitu, Ma?" tanyanya penasaran.
"Karena mereka hanya bisa kita lihat pada malam hari. Padahal bisa jadi, mereka ingin juga bisa terlihat pada siang hari," jawab Bu Yanti tersenyum.
"Lantas mengapa pada siang hari mereka tidak muncul? Apakah itu juga atas kuasa Tuhan?" tanyanya ingin tahu.
"Benar, itu atas kuasa Tuhan. Karena jika tidak demikian, maka mereka tidak akan bisa mengkerlipkan cahayanya," jawab Bu Yanti sambil membelai rambutnya.
"Mengapa demikian Ma? Wah, Mama membuatku jadi semakin penasaran?" tanyanya sambil memeluk lututnya.
Malam semakin dingin. Angin berhembus semakin kencang.
"Kau tahu, cahaya apa yang paling terang di siang hari?" tanya Bu Yanti padanya.
"Matahari!" jawabnya singkat.
"Nah, jikalau bintang-bintang itu hadir di siang hari, mungkinkah kerlipnya akan tampak?" tanya Bu Yanti kembali.
Shirly menggelengkan kepalanya.
"Mengapa bisa demikian, karena terangnya matahari akan membuat kerlipnya jauh tak terlihat. Mungkin itulah sebabnya Tuhan menciptakan malam. Agar mereka bisa terlihat indah…" jawab Bu Yanti dengan penuh percaya diri.
"Lantas…" tanya Shirly mengambang agar kalimat mamanya diteruskan.
"Tuhan itu Maha Kuasa ya Ma..." Shirly meneruskan sambil tersenyum bahagia.
"Benar, Tuhan menciptakan dan menetapkan sesuatu sesuai dengan kebutuhan. Jikalau sudah sesuai dengan kebutuhan, maka ketika itu bisa diterima dengan penuh ketulusan akan tampak lebih indah dan berarti. Begitu juga Tuhan menciptakan manusia berpasang-pasangan agar mereka bahagia, cinta itu anugerah dan ingat jodoh itu ada di tangan Tuhan. Shirly, jika sudah jodoh tak akan ke mana," tambah Bu Yanti.
Lalu Bu Yanti memandangi wajah Shirly. Dia lihat Shirly seperti mencari-cari sesuatu dalam angan-angannya. Kadang wajah itu begitu terlihat serius, seperti lipatan kertas. Ditekuk kuat. Kemudian menghembuskan nafas dan tersenyum pada mamanya begitu ringan.
“Shirly, cinta yang datangnya dari hati pasti akan mendambakan hati yang lain, yang sama-sama menerima apapun keadaannya,” sambung Bu Yanti.
"Terima kasih, Ma," ucap Shirly cepat sambil mengecupkan bibirnya di pipi mamanya. Lalu bergegas pergi untuk pamit tidur.
*******
Satu minggu setelah itu, Shirly mendapati kabar bahwa ayahnya harus berpindah kerja di Melbourne, Australia sehingga Shirly dan keluarganya terpaksa harus ikut pindah, dan kuliahnya juga harus terhenti, mungkin Shirly memang harus memulainya di kota lain, karena ayahnya akan menetap kerja di Melbourne, jadi ia tidak takut lagi memulainya dari nol. Masih ada waktu untuk Shirly menulis surat untuk Rangga, karena hanya dia yang pertama kali kuingat sebelum perpindahannya.
Entah untuk yang ke berapa kalinya Shirly membolak-balikkan tubuhnya di atas ranjang. Nyanyian jangkrik terdengar makin lantang, seiring dengan terhentinya suara riuh manusia yang rutin terdengar di pagi hari. Dari balik jendela, cahaya bulan telah memberi warna perak pada pepohonan di luar sana. Ia melempar pandangan pada jam dinding yang menggantung di seberang ranjangnya. Pukul 02.00 WIB. Hingga saat ini kedua matanya enggan terpejam, walau perihnya mata sudah terasa. Kata-kata sms dari Rangga di ponselnya, masih nampak jelas dalam angannya.
“Ah, aku tak boleh seperti ini. Pun tak ada guna aku mementingkan hatiku sendiri. Toh, Kak Rangga tak memiliki perasaan apapun padaku. Bukankah cinta tak harus memiliki?” batinnya lirih.
Cinta. Inikah rasanya? Sesuatu yang selalu terdengar indah, magis, dan luar biasa, telah menjangkit dirinya.Sesuatu yang selalu dibuat istimewa oleh para pengarang maupun penyair. Tapi mengapa semua jadi seperti ini? Terasa sakit, berat, dan memilukan. Makin meracuni alam pikirannya yang kalut.
Sungguh buruk kenyataan cinta yang sesungguhnya. Namun semua kembali pada satu pertanyaan singkat, “Pantaskah aku merasakan cinta saat ini?”
Tersenyumlah Shirly! Kala mentari sudah mulai menampakan dirinya, pancaran sinarnya pun mulai terasa hangat. Tubuhnya sudah siap untuk menyambut pagi ini, meskipun hatinya sedang bersedih. Pukul tujuh pagi, Shinta teman dekatnya di kampus ke rumah, seperti halnya seorang sahabat, dia menemuinya mengucapkan salam perpisahan sebelum ia pergi kuliah. Tidak lupa Shirly menitipkan surat untuk Rangga pada Shinta.
Shinta yang mengerti benar bagaimana awal cerita saat dia membenci hingga menyukai Rangga sekaligus sahabat terbaik yang dia miliki. Mobil sedan berwarna hitam milik pamannya sudah datang, Pamannya yang akan mengantarkan ia dan keluarganya menuju bandara Juanda, Surabaya. Pelukan hangat dari Shinta membuatnya tenang.
“Hati-hati ya, jaga dirimu baik-baik!” ucap Shinta pada Shirly dengan mata berkaca-kaca.
“Iya Shin, jangan nangis dong.. makin jelek tahu!” balas Shirly dengan tetap terlihat cool.
”Sakit ya Sir.. ?” tanya Shinta kepada Shirly.
“Aku baik-baik saja, makanya selalu doakan aku supaya selalu sehat agar kita bisa bertemu lagi!” katanya dengan sedikit menahan tangis, meski Shirly tahu yang Shinta maksud memang bukan fisiknya, melainkan sakit hatinya.
Tepat setengah delapan Shirly dan keluarganya berangkat.
"Shinta pasti sudah bertemu dengan Kak Rangga dan memberikan suratnya," gumam Shirly.
Assalamualaikum Kak Rangga...
Memori otakku seolah tidak berhenti memutar setiap kenangan tentang Kak Rangga. Sewaktu aku menulis surat ini, Rangga Satria Aditama, mungkin ini kali pertama aku menyebut nama kakak, dan aku tidak pernah berharap menjadi yang terakhir kalinya, karena aku berkeinginan suatu saat nanti tepat dihadapan kakak, aku bisa menyebutkan nama kakak dengan lengkap, walaupun hal itu kurasa sulit, karena bahkan aku tidak tahu bisa bertemu kakak lagi atau tidak. Kakak tentu ingat pertama kali aku meminta izin ingin memanggil kakak “bintang”..? Pada saat itulah aku merasakan perasaan itu, perasaan yang mungkin orang biasa menyebutnya dengan cinta.. . aku cukup senang bisa mengenal kakak, tidak ada sedikitpun penyesalan yang aku rasa. Sampai akhirnya aku tahu sudah ada perempuan beruntung yang mengisi hati Kakak. Sumpah, demi tiap tetes air mataku, aku berat menerima kenyataan itu, kenyataan yang menghancurkan hati dan jiwaku. Satu detik di mana aku rasa, aku telah benar-benar mencintai Kakak.
Tapi ada hal yang paling rendah dan berdosa, yaitu kalau aku iri dengan perempuan yang sudah memiliki hati Kakak. Aku sadar, hidup itu pilihan, sama seperti cinta, aku bisa memilih melupakan Kakak atau tidak sama sekali, dan dua-duanya tetap ada resiko. Aku hanya ingin melupakan hal yang bisa aku lupakan dan tidak ingin memaksakan diri untuk melupakan hal yang sulit untuk kulupakan, dan itu Kak Rangga. Jangan timbulkan pertanyaan kenapa aku menyukai Kakak, karena sampai nafasku berhenti berhembus, aku tidak akan pernah mengetahui alasan kenapa aku menyukai Kakak, aku hanya tahu sebuah rasa yang tulus yaitu seonggok rasa yang tidak beralasan.
Kakak sepeti malaikat untukku, malaikat yang sedikit banyak sudah mengajarkan arti kedewasaan, mengikhlaskan sesuatu yang belum berpihak padaku, berubah menjadi yang lebih baik, dan semuanya. Terimakasih dan maaf.
Wassalam... .
Dering nada ponsel menghentikan lamunan Shirly, ”Shinta! Ada apa dia meneleponku?”
“Halo, assalamualaikum!” ucap Shirly.
“Wa'laikumsalam. Shirly, aku mohon kamu tunggu di lobi bandara Juanda, Kak Rangga saat ini sedang menuju bandara Juanda, ingin menemuimu.” kata Shinta dengan suara yang terdengar tergesa-gesa.
“Tapi...” sahut Shirly.
“Please.. hanya kali ini, aku yakin keluargamu akan mengerti,” ucap Shinta.
Setelah kurang lebih dua jam setengah mereka sampai di bandara Juanda, Surabaya. Setelah cukup lama menunggu, tapi Rangga juga tak kunjung tiba, sedangkan jadwal keberangkatan pesawatnya kurang setengah jam lagi. Gelisah bercampur harap menguasai hati dan pikiran Shirly.
“Shirly, ayo cepat!”
Waktunya tiba, perempuan paruh baya itu sudah memanggil Shirly. Sepertinya dia tak punya alasan lagi untuk berkata ‘tidak’.
Dia pandangi pintu lobi itu, entah untuk yang keberapa kali. Di sana ada seorang penjaga, masih dengan kesibukan yang sama. Perempuan paruh baya yang memanggil Shirly tadi, yang tak lain adalah mamanya sendiri, dia nampak sedang mengecek barang yang dibawa. Bu Yanti menenteng satu koper besar, bersiap menggeretnya.
“Shirly, kamu bawa yang ini!” perintahnya.
Mamanya menyisakan sebuah tas besar penuh isi. Shirly tak tahu apa isinya. Bukankah sejak awal dia tak tahu barang apa saja yang mereka bawa. Bukan Shirly, Bu Yanti tepatnya. Shirly tak sedikitpun andil dalam mengemasi barang-barang, karena sejak awal pula, dia enggan pergi. Shirly meraih tas besar yang dimaksud sebelum mamanya berteriak lagi. Suara yang berusaha keras untuk dia abaikan.
Sudah dia bilang pada mamanya tak perlu membawa barang banyak-banyak. Tapi tetap saja, mamanya yang menang, apalagi alasan yang sungguh masuk akal. Mereka akan pergi untuk waktu yang cukup lama. Jadi wajar bukan jika membawa seluruh barang yang ada. Baginya tetap saja berlebihan.
“Jangan sampai ada yang tertinggal! Itu, koper kecil itu dibawa sekalian! Isinya surat-surat untuk keperluan sekolah kamu di sana!” ujarnya lagi.
“Ayoo!” mama sudah melangkah lebih dulu.
Sekali lagi, Shirly menatap pintu lobi bandara Juanda, berharap di sana ada seorang pemuda yang berdebat dengan petugas penjaga karena memaksa masuk seperti di film-film. Tapi matanya tak melihat apa-apa. Shirly bahkan bisa menyebut tak melihat siapapun. Karena tak ada yang diharapkan saat ini kecuali seorang pemuda yang telah membuatnya gila akan cinta.
“Shirly… ” erang Bu Yanti.
Mama sudah berjarak 7 meter darinya. Shirly bisa melihatnya kesal. Bisa saja mamanya kembali ke sini dan menjewer salah satu telinganya agar dia ikut berjalan dengannya. Tapi Bu Yanti tak mungkin melakukan itu, Shirly bukanlah anak kecil lagi, dia sudah dewasa. Apalagi mereka sedang di bandara. Dan satu lagi kenapa mamanya tidak akan meluapkan kekesalannya dalam bentuk lain, karena Shirly sudah mau ikut pergi.
Kemudian Shirly mengecek sekitar tempat duduknya. Sebenarnya dia juga tidak begitu peduli kalaupun ada yang tertinggal. Shirly hanya sedang tidak ingin menambah situasi menjadi rumit.
“Shirly, ayo! Nanti kita ketinggalan pesawat!” kata Bu Yanti lagi.
Shirly menatapnya pasrah. Tak tega juga terus-terusan membuat mamanya kesal begitu.
“Baiklah, aku pergi. Selamat Ma, karena sekarang aku berada penuh dalam kendalimu!” ujar Shirly dalam hati dengan perasaan sedikit kesal.
Shirly melangkahkan kaki menuju di mana Bu Yanti berdiri namun belum sempat Shirly sampai padanya, mamanya sudah berjalan lagi. Sepertinya mama tak tahan lagi menunggu langkahnya. Yang penting dalam penglihatannya Shirly sudah mau berjalan. Langkahnya terasa berat. Seperti ada rantai dengan bola besi yang mengikat kakinya. Dan benda-benda itu tak kasat mata. Shirly hanya bisa menghembuskan nafas panjang. Kepalanya tertunduk seolah merasakan dirinya telah kalah, harapannya telah sirna. Membuat ubin-ubin penyusun lantai ruangan ini terlihat jelas oleh matanya yang berkaca-kaca.
Shirly juga bisa menangkap kedua tangannya yang menenteng tas besar di sebelah kanan serta koper berukuran sedang di sebelah kiri. Pearasaan malasnya semakin muncul, rasanya ingin sekali Shirly berbalik arah kemudian berlari kencang, melempar dua benda di tangannya ini tanpa memperdulikannya dan kabur dari tempat ini. Tapi tidak, Shirly tak mungkin melakukannya. Bahkan semua telah berbalik, mungkin sebaiknya memang ia harus pergi. Dia ingin pergi. Bukannya dia tak ingin, tapi dia harus. Akhh.. entahlah Shirly sudah tak tahu lagi apa yang harus dia lakukan.
“Shirly!” teriak seorang pemuda, cukup samar. Tapi suara itu tak asing bagi dirinya.
Sejenak Shirly tertegun, seakan tak percaya dengan apa yang baru saja di dengarnya. Tapi sedetik kemudian dia tersadar, itu suara Rangga. Shirly mendongak, di depan sana dia dapati mamanya masih berjalan, tampaknya mamanya tak mendengar ada yang menyebut nama Shirly. Dia berusaha untuk mencari sumber suara itu, hatinya berdebar, jantungnya berdetak kencang, mungkinkah itu Rangga.
“Shirly!”
Lagi. Suara itu?
Shirly menoleh cepat. Matanya bertemu pada dua buah kornea hitam di depan sana. Dia menatapnya tajam, gerahamnya yang kuat seolah berperang dengan kendalinya sendiri. Detik berikutnya matanya berkedip, tatapannya berubah tak setajam tadi. Nafasnya berhembus kasar. Pemuda itu berdiri seolah memberi jarak. Tentu saja dia menunggu di sana, di hadapannya sekitar 5 meter.
Dua membiarkan lalu lalang orang menghalangi pandangannya. Selanjutnya dia melangkah perlahan menghampirinya, semakin dekat membuat hati Shirly semakin berdebar. Belum sempat pemuda itu melempar pandangan, Shirly menubruk tubuhnya dan melingkarkan kedua tangannya, memeluknya erat.
Pemuda itu hampir saja jatuh ke belakang, tapi tubuh Shirly tidak cukup kuat untuk merobohkan pertahanannya. Dengan tidak menghiraukan tatapan orang-orang di sekelilingnya, spontanitas dia membalas pelukan Shirly. Membiarkan rindunya bersemayam detik ini dan dia berharap waktu berhenti sekarang juga.
Siapapun, hentikan waktu sekarang juga!
Shirly membenamkan wajahnya di dada pemuda itu dan dia merasa nyaman dalam pelukannya. Biarkan saja orang-orang melihatnya dengan tatapan aneh. Biarkan saja, mamanya kesal lagi karena dia tak kunjung menyusulnya. Biarkan saja detak jantungnya beradu dengan aliran darahnya yang deras. Biarkan saja keringatnya mengucur karena rasa gugupnya yang terlalu hebat. Dan dia mohon biarkan saja, pemuda ini tetap memeluknya seperti ini.
“Shirly, kenapa kamu harus pergi tanpa memberitahuku, apa kamu marah kepadaku?” tanya pemuda itu.
Shirly menggeleng keras.
“Bukan. Bukan itu. Aku sangat menghargai dan salut padamu, Kak Rangga. Sungguh aku kagum pada Kak Rangga, andaisaja belum ada wanita yang mengisi hatimu... Kak Rangga, siapapun yang bisa memilikimu pastilah dia wanita yang beruntung. Bagiku bisa mencintai Kak Rangga saja itu sudah cukup membuatku bahagia,” ucap Shirly tersenyum.
“Shirly.. maafkan aku, aku tidak bisa menjadi seperti yang kamu inginkan. Aku mengerti perasaanmu padaku, tapi saat ini juga tidak mungkin untuk menerima cintamu. Mungkin kita bukanlah jodoh, Tuhan sudah punya rencana lain dari pertemuan kita ini, kuharap kamu pun mengerti. Aku telah memahami waktu dan takdir, bahwa waktu dan takdir tak mengijinkan kita menjalin sebuah perasaan yang semakin jauh. You are special someone for me... everyday..nice to meet you and I hope to see you next time. Good luck for you!” kata pemuda itu yang tak lain adalah Rangga, yang cukup menghujam ke dalam hati Shirly yang paling dalam.
“Ya aku mengerti. Aku sadar bahwa cinta adalakalanya tidak bisa memilih dan tidak harus memiliki. Biarlah aku akan kembali pada kehidupanku yang dulu. Bukan begitu, Kak Rangga?" kata Shirly.
“Shirly, aku hanya ingin hubungan baik kita tidak terputus sampai di sini, aku ingin hubungan kita sebagai sahabat tetap terjalin,” sambung Rangga.
“Kak Rangga, tahukah kamu, aku masih berharap kita akan berjodoh, apakah salah jika aku mencintaimu? Tapi aku sadar bahwa semua itu tidak mungkin. Kak Rangga sudah saatnya aku harus pergi. Aku akan ke Australia, masih banyak yang harus aku lakukan di sana. Entah kapan lagi kita akan berjumpa,” kata Shirly.
Rangga memasang wajah pasrah lagi. Pemuda ini. Ya Tuhan andai pemuda ini tahu, setiap ekspresi wajahnya itu semakin memunculkan rasa cinta Shirly dan mengeruknya semakin dalam.
Rangga mengangguk mengerti. Shirly menghembuskan nafas berat.
“Kamu harus raih cita-cita kamu di sana seperti harapan mama papamu. Dan kamu harus janji akan buka hati kamu untuk orang lain. Hey gadis cantik sepertimu banyak yang naksir... ” goda Rangga.
“Haha aku suka pemuda Indonesia, seperti Kak Rangga!” ucap Shirly balas menggoda.
“Oh di sana kan juga banyak pelajar Indonesia sepertiku, ” timpal Rangga, “janji yah?” tagihnya.
Shirly berfikir sejenak. “Mm.. okay. Dan aku berharap itu adalah Kak Rangga!” kata Shirly sambil menatap lembut kedua bola mata pemuda di hadapannya itu.
“Shirly!” teriak mamanya lagi.
“Kak Rangga, sudah saatnya aku pergi. Bye. Semoga kalian bahagia, sampaikan salamku untuk dia!” kata Shirly dengan mata berkaca-kaca lalu meninggalkan Rangga sendirian.
“Shirly, jaga dirimu baik-baik, bye!” sahut Rangga.
Samar-samar Rangga mendengar saat langkah Shirly semakin menjauh. Dia mengiringi kepergian dengan pandangan dan senyum yang semakin membuat hati Shirly semakin sedih dengan perpisahan ini. Hanya air mata di pipinya yang dapat menggambarkan suasana hatinya saat itu.
And I……..,I want to share
All my love with you
No one else will do…And your eyes
They tell me how much you care
You will always be…….My endless love..
So life must go on...........
Shirly pun akhirnya memilih untuk kembali dalam kehidupannya seperti dulu, dengan kehidupan keluarga yang membesarkannya lagi. Cinta memang tak selamanya harus memiliki. Cintanya kepada Rangga sudah mungkin sudah terlambat. Tidak ada yang salah dengan cinta tapi sampai kapan Shirly mampu bertahan dalam kerinduannya, hanya waktu yang akan menjawabnya.