Disukai
2
Dilihat
101
Cinta yang Pudar
Drama
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Cinta yang Pudar

"Oh, jadi begini?" ucap Maya, istriku di telepon.

Aku terkejut. Rupanya dia menemukan screenshoot chat milik Ghina. Salahku, kenapa tidak kuhapus langsung foto itu. 

Aku berdalih bahwa foto itu milik teman di grup yang otomatis masuk ke drive. Maya tidak percaya. Dia hapal dengan wallpaper di kolom chat yang kupasang beberapa waktu lalu. Alamat perang dunia nanti saat aku kembali dari tugas di luar kota.

"Mas, ngaku, ajalah!"

"Gini, sekarang aku lagi fokus kerja. Kalau mau berantem, entar pas udah pulang aja, oke? Minggu depan."

Aku kehabisan akal. Maya memang selalu mengungkit kesalahan yang pernah kuperbuat. Jangankan saat ada kejadian seperti itu—dia menemukan bukti foto—ketika sedang santai, rukun, dia masih saja ingat dengan kejadian yang kulakukan dulu.

Permintaan maaf pun seperti tak ada artinya. Selalu saja diungkit saat dia ingat. Memang aku bukan tipe lelaki setia. Namun, lama-lama aku bosan. Momen indah yang ingin kuciptakan bersamanya malah jadi hambar. 

Aku lebih nyaman mengobrol dengan para binor (bini orang). Mereka selalu bisa memberikan kenyamanan dan menghargaiku sebagai laki-laki. Sedangkan Maya, bak polisi yang selalu menginterogasi tawanannya. Jika saja Dion belum lahir, mungkin aku akan menceraikannya. Buat apa istri yang tidak bisa memberikan ketenangan pada suaminya?

Tak dipungkiri, Ghina, teman di media sosial yang kutemui di dunia literasi  cukup menarik. Berawal dari ajakan teman, aku bergabung di beberapa grup literasi. Di salah satu grup itulah aku berkenalan dengan Ghina. 

Ghina, perempuan yang statusnya sudah menikah—kuketahui beberapa bulan setelah kenalan—sangat pengertian padaku. Dia tak pernah mengungkapkan rasa cemburunya. Ketika aku berdekatan dengan Widie, Popy, atau teman literasi lainnya, Ghina sangat pengertian.

Berbanding terbalik dengan Maya. Dia sangat protektif padaku. Selain itu, dia selalu curiga. Jangankan saat aku berada di luar kota, ketika bekerja di kantor yang dekat rumah pun Maya sering menuduh yang bukan-bukan. Awalnya, aku kaget dengan sifat Maya itu. Lama-lama jadi terbiasa. Hem, mungkin itu sebagai tanda cintanya. Namun, perilakunya kadang keterlaluan. Seperti kejadian waktu itu. 

"Mas! Itu makanan dari mana? Aku, kan, udah bilang, mau anterin makan siang. Kok, ada nasi box di meja? Masakanku gak bakal dimakan, dong?" ucap Maya suatu hari di kantor.

Aku mengusap wajah kala itu. Sedikit malu dengan rekan kerja sebenarnya karena ulah Maya. Kugiring dia ke ruang lain. Kujelaskan bahwa nasi box itu pemberian dari kantor saja, kebetulan sedang ada acara dari pemilik perusahaan. Nasi box yang nasih utuh pun dibawa pulang Maya agar persoalan bisa tuntas.

Kejadian lain ketika aku bertemu kolega di salah satu restoran di kota. Entah bagaimana ceritanya, Maya berada di tempat sama. Saat itu kami bertiga, aku, Rio, dan klien dari perusahaan lain, Mely. Maya memergoki kami sedang makan siang. Rio mendadak pergi ke toilet kala itu. Jadilah Maya uring-uringan tak keruan. Dia baru berhenti begitu Rio kembali dari toilet.

Sejak kejadian itu, aku jadi muak dengan ulahnya. Kesetiaanku pun akhirnya pudar dari hari ke hari. Cinta juga hilang entah ke mana. Yang ada hanya sebentuk tanggung jawab menafkahi anak dan istri. 

Dua minggu sudah berlalu. Tugas di luar kota selesai. Aku pun pulang. Rasa malas mendadak menyambangiku kala itu. Terbayang omelan Maya dengan segudang argumen bakal dia cerca untukku. 

Sesuai perkiraan, setiba di rumah, Maya memberondong dengan berbagai pertanyaan, mirip investigasi polisi.

Harusnya, saat suami pulang disambut dengan mesra. Namun, Maya mencecar pertanyaan padaku, seperti terdakwa. 

"Mas! Aku belum selesai! Malah pergi!"

Maya mengikutiku ke kamar. Rasa letihku selama di perjalanan pulang bertambah-tambah saat mendapati kelakuannya. Aku memang salah, tetapi itu semua karena sikap Maya yang selalu curiga. 

Dulu, ketika aku selalu setia padanya, masih saja menjadi tertuduh. Mati-matian aku menjaga kesetiaan untuknya, tetapi tidak dihargai. Entah, di mata Maya aku ini tampak sebagai apa? Suami atau narapidana? Biasanya, narapidana tak akan lepas sematan identitasnya, mantan napi. Tak adakah kesempatan yang dapat Maya berikan untuk suaminya?

Sejak Maya selalu menuduh selingkuh, secara aku tidak melakukannya sama sekali, aku geram. Akhirnya aku justru mulai menjalin hubungan dengan beberapa wanita, agar sesuai dengan tuduhannya. Daripada difitnah oleh istri sendiri, sekalian saja melakukan seperti yang dituduhkannya. 

"Mas! Kamu denger aku, gak, sih?"

Kurebahkan tubuh di pembaringan. Aku memejam, mencoba menghalau rasa tidak sabar di hati. Biar saja Maya mengomel sepuasnya. Dijelaskan pun dia tidak akan bisa mengerti. Tuduhan dan cap lelaki tidak setia sudah mendarah daging, sulit dilepaskan dari pikiran Maya. Itu pun akibat ulah dia. 

"Mas, kalau kamu gak mau jawab, lebih baik kita cerai!" ucap Maya agak berteriak. Lalu, dia keluar kamar sambil berlari.

Tunggu, Maya bilang cerai? Wah, ini gawat. Aku bangkit. Sepelik apapun masalah dalam keluarga, bukan perceraian solusinya. Tak mungkin aku mengorbankan Dion, buah hati kami satu-satunya. Banyak kasus anak korban broken home menjadi beban masyarakat. Sebagai kepala rumah tangga, tak 'kan kubiarkan nasib seperti itu menimpa Dion. 

Aku mencari Maya. Dia rupanya ada di kamar lain. Tas besar ada di sampingnya. Dion turut bersamanya. Tas Dion pun sedang diisi beberapa pakaian anak itu. Istriku benar-benar nekad. Apa dia pikir pergi dari rumah adalah penyelesaian terbaik? Sempit sekali pola pikirnya.

"Tunggu, May! Mas minta maaf. Mas lelah. Tolong urungkan niatmu. Kita akan perbaiki semua dari awal, oke?" pintaku hampir merendahkan martabat sebagai lelaki. "Ingat anak kita, Sayang. Jangan korbankan dia dalam masalah ini."

Maya berhenti mengemas pakaian. Air matanya mengalir membasahi pipi. Dion tampak keheranan melihat ibunya menangis. Kudekati Dion. Anak usia dua tahun itu kugendong lalu kunaikkan ke pundak. 

Tuhan, bantu kami. Cintaku pada Maya mungkin berada di posisi terrendah. Namun, demi Dion, aku akan berkorban dan belajar mencintai Maya lagi. Jangan biarkan kami berpisah. Ikatan suci hingga langit Arsy-Nya, harus bisa kupertahankan, bagaimanapun caranya.

"Ayo, naik kuda! Loncat! Tarik kiri, tarik kanan! Awas, ada guncangan, pegangan yang kencang!" 

Dion tertawa-tawa di atas punggungku. Meskipun letih, lahir dan batin, aku tak ingin Dion menjadi terlantar. Dia adalah bukti cinta kami. Berkat dia, aku masih bisa bertahan hingga detik ini. Bertahan terhadap kekurangan istri, kelemahan istri. Sebab aku pun, pasti punya kekurangan dan kelemahan yang mungkin tidak disukai oleh Maya. 

Jadikan kami pasangan yang saling menyayangi di kala dekat, dan saling merindukan saat jauh. Doaku di sepertiga malam. Usai itu, akses media sosial beberapa teman wanita kublokir semua. Semoga Maya bisa lebih menghargai aku, sebagai suaminya setelah ini.

Tamat

Jakarta, 24 Agustus 2023

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Terima kasih Kak @Marniati atas ulasannya
Keren ceritanya... berhasil mengangkat masalah yg sering terjadi dalam rumah tangga.