Disukai
0
Dilihat
737
Cinta Tanpa Batas
Slice of Life

Dina duduk termenung di depan jendela kamarnya, memandangi langit yang mulai memerah saat senja datang. 

Di luar sana, burung-burung berterbangan kembali ke sarang, seolah-olah menertawakan nasibnya yang terperangkap dalam rumah penuh kenangan pahit. 

Rumah itu, tempat Dina menghabiskan masa kecilnya yang indah, berubah menjadi penjara tanpa dinding, penuh dengan bayang-bayang masa lalu yang menghantui.

***

Sepuluh tahun yang lalu, kehidupan Dina hancur berantakan ketika ayahnya pergi bersama dengan wanita lain. 

Ibunya, yang tidak kuat menahan derita, jatuh sakit, lalu meninggal beberapa bulan kemudian. 

Dina yang kala itu masih remaja, harus menghadapi dunia sendirian. 

Sejak saat itu, hati Dina dipenuhi dengan kebencian dan dendam.

Setiap hari, rasa marah semakin terus tumbuh membakar hatinya. Dia membenci ayahnya, membenci wanita yang mengambil ayahnya, dan membenci dirinya sendiri karena merasa tidak mampu menyelamatkan ibunya. 

Hidupnya dihabiskan dalam bayang-bayang dendam, mengabaikan semua hal yang bisa membuatnya bahagia. Dina lebih senang menyendiri, mengucilkan diri, menjauh dari lingkungan dan teman-temannya. Setiap hari dirinya hanya sibuk menghitung dan mengingat kesalahan-kesalahan ayahnya.

Di tengah malam yang sunyi, Dina sering terbangun dengan mimpi buruk. Dia bermimpi berada di sebuah neraka, terperangkap dalam api yang membakar, berusaha melarikan diri namun tak pernah berhasil. 

Dalam mimpinya, Dina juga melihat ayahnya tertawa puas, sementara wanita itu berdiri di sampingnya, tersenyum sinis. 

Dina terbangun dengan keringat dingin, jantung berdebar kencang, dan air mata yang tak terbendung.

***

Suatu hari, Dina mendapat kabar bahwa ayahnya jatuh sakit. Awalnya, dia merasa puas, menganggap bahwa sakit sang ayah, adalah karma yang pantas diterima oleh ayahnya. 

Namun, rasa puas itu segera digantikan oleh perasaan hampa yang menyakitkan. Di balik kebencian dan dendam yang begitu kuat, masih ada sebersit cinta seorang anak kepada ayahnya yang tidak bisa dihilangkan.

Setelah berpikir panjang, Dina memutuskan untuk mengunjungi ayahnya di rumah sakit. 

***

Ketika dia masuk ke kamar ayahnya, hatinya bergejolak. Ayahnya tampak lemah dan tak berdaya, jauh berbeda dari sosok yang selama ini dia benci. 

Dina berdiri di ujung tempat tidur, terdiam tanpa kata. Ayahnya membuka mata perlahan dan melihat ke arahnya.

"Dina, kau datang..." Suara ayahnya terdengar lemah, namun masih ada kehangatan dalam nada bicaranya.

Dina terdiam, tidak mampu mengucapkan sepatah kata pun. Air matanya mulai mengalir, mengingat semua kebencian yang disimpannya selama bertahun-tahun. 

Ayahnya meraih tangan Dina dengan susah payah, menggenggamnya erat.

"Ayah tahu, ayah banyak salah padamu dan ibumu. Ayah tidak meminta maaf, karena ayah tahu maaf tidak cukup. Tapi ayah hanya ingin kau tahu bahwa ayah menyesal, sangat menyesal," kata ayahnya dengan suara parau.

Dina terisak, mencoba menahan perasaan yang berkecamuk di dalam dadanya, "Kenapa ayah lakukan semua itu? Kenapa ayah tinggalkan kami?"

Ayahnya menarik napas panjang, tampak berusaha mencari kata-kata yang tepat, "Ayah tidak bisa menjawab kenapa, karena bahkan ayah sendiri tidak tahu. Ayah hanya tahu bahwa ayah membuat kesalahan besar. Sekarang, ayah sedang menjalani hukuman atas semua itu."

Dina merasa hatinya berkecamuk antara kebencian dan rasa kasihan. Dia ingin melepaskan semua kebencian itu, tapi dia tidak tahu bagaimana caranya. 

"Ayah, semua yang ayah lakukan telah menghancurkan hidupku. Aku kehilangan ibu, aku kehilangan diriku sendiri."

Ayahnya menatap Dina dengan mata penuh penyesalan, "Maafkan ayah, Dina. Ayah tidak bisa mengubah apa yang sudah terjadi. Tapi ayah ingin kau tahu, jika kau terus menyimpan kebencian itu, kau juga akan merasakan penyesalan dan kemarahan yang sama seperti ayah. Jangan biarkan perbuatan ayah justru jadi menghancurkan hidupmu lebih jauh."

Kata-kata ayahnya menggema dalam pikiran Dina. Selama ini dia hidup dalam kemarahan yang diciptakan oleh kebencian dan dendam. Ayahnya benar, jika dia terus seperti ini, dia tidak akan pernah merasakan kedamaian.

Setelah diam beberapa saat, Dina mengangguk pelan, "Aku akan mencoba, ayah. Aku akan mencoba melepaskan kebencian ini."

Ayahnya tersenyum lemah, dan untuk pertama kalinya dalam bertahun-tahun, Dina merasakan sedikit kelegaan. Mereka berbicara tentang banyak hal, mencoba memperbaiki hubungan yang rusak. 

***

Namun, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Beberapa hari kemudian, ayahnya meninggal dunia. 

Dina merasa hampa, tetapi juga ada perasaan lega yang aneh. Dia telah memaafkan ayahnya, meskipun itu tidak menghapus semua luka, setidaknya dia merasa lebih ringan.

***

Beberapa bulan berlalu, Dina terus bekerja pada dirinya sendiri. Dia menghadiri sesi terapi, menulis dalam jurnalnya, dan menjalani kehidupan yang lebih seimbang. 

Meskipun masih ada hari-hari yang sulit, Dina merasa berangsur-angsur mulai lebih kuat dari sebelumnya. Dia mulai memaafkan dirinya sendiri atas semua kesalahan yang dia rasakan, mencoba mengerti bahwa dia juga manusia dengan kelemahan dan ketidaksempurnaan.

***

Di tengah proses pemulihan, wanita yang dulu merebut ayahnya datang menemui Dina. Wanita yang membawa kenangan buruk, dan yang selalu dicobanya tanpa henti untuk lupa. 

Dengan penuh dendam, Dina menatap wanita itu.

"Apa yang kau inginkan?" Tanya Dina dengan nada dingin.

Wanita itu tampak menyesal, air mata berlinang di pipinya, "Aku hanya ingin meminta maaf. Aku tahu aku telah menghancurkan hidupmu dan ibumu. Aku tidak berharap kau memaafkan, tapi aku ingin kau tahu bahwa aku menyesal."

Dina terdiam. Di satu sisi, dia merasa benci, namun di sisi lain, dia melihat bayangan dirinya dalam wanita itu, terjebak dalam lingkaran kebencian dan penyesalan. Dina menghela napas panjang.

"Aku tidak tahu apakah aku bisa memaafkanmu. Tapi aku tahu satu hal, aku tidak ingin terus hidup dalam kebencian. Jadi, aku akan mencoba untuk melepaskannya, sedikit demi sedikit," kata Dina akhirnya.

Wanita itu mengangguk dan pergi dengan air mata di matanya. Dina merasa sedikit lega, tetapi juga menyadari bahwa perjalanan untuk benar-benar melepaskan kebencian masih panjang dan penuh rintangan.

*** 

Malam itu, Dina bermimpi lagi. Dia berada di tempat yang sama, di sebuah neraka dengan banyak api dimana-mana. Tapi kali ini, dia melihat sosok dirinya sendiri, terperangkap dalam api kebencian. 

Dina mendekat dan berkata kepada dirinya, "Kalau kau isi hatimu dengan kebencian dan dendam maka kau juga akan ikut merasakan nerakanya. Lalu kenapa perbuatan mereka harus kau yang merasakan nerakanya?"

***

Dina kemudian terbangun. Dia merasakan hatinya menjadi semakin jauh lebih ringan dibandingkan sebelumnya. Perlahan diraihnya sebuah foto keluarga yang telah lama terabaikan di meja di dekatnya, dan memeluk foto itu erat-erat, mencoba mengingat kembali kehangatan keluarga yang dulu pernah ada. Mungkin, dengan memulai dari sini, dirinya semakin mampu menemukan kedamaian yang dia cari selama ini, di antara bayang-bayang masa lalu yang masih mengintainya di setiap sudut rumah yang pernah dia panggil 'rumah'.

Dia tahu semua ini, adalah perjalanan yang panjang untuk benar-benar bisa keluar dari kebencian yang selalu merongrongnya selama bertahun-tahun, dia harus melepaskan semua dendam dan mencari kedamaian dalam dirinya sendiri. 

Dina siap untuk melaluinya, selangkah demi selangkah, menuju kesejahteraan dan perdamaian batin. 

**Tamat**

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi