Disukai
0
Dilihat
282
CINTA DI JEMBATAN ITU
Romantis
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Aku berlari ke belakang gedung sekolah ku.

Disana aku bisa melihat hamparan bunga kecil di tengah hutan kecil itu.

Selalu menjadi kebiasaan ku setiap hari di jam istirahat, aku datang kemari dan menikmati udara dan keindahan bunga-bunga di sini.

Aku merawat mereka sejak pertama kali masuk ke sekolah ini.

Karena aku adalah ketua klub pertanian, itu adalah kegiatan ku setiap pulang sekolah untuk melakukan penghijauan di sekolah ini. Saat itu aku tidak sengaja menemukan tempat ini.

Tidak pernah dikunjungi oleh siapapun, aku memutuskan untuk mengajukan ke petisi ke osis dan menjadikan tempat ini sebagai taman belakang sekolah kami.

Itu berhasil.

Dan sekarang di sini terdapat beberapa bangku taman untuk para siswa duduk, makan siang atau apapun.

Rumput-rumput yang tinggi sudah di pangkas, dan menjadi seperti pemandangan padang rumput kecil.

Dengan beberapa pot bunga berbentuk lingkaran di setiap sudut dan bawah pohon.

Ini sebenarnya sangat indah.

Di kedalaman hutan, aku memutuskan untuk menanam sebuah hamparan bunga.

Tentu saja yang membuat tempat ini menjadi sangat asri bukanlah karena perawatan ku, tapi karena bahkan setelah semua yang kulakukan, tempat ini masih jarang didatangi orang.

Itu cukup menyedihkan, untunglah dewan osis tidak menuntutku untuk proyek gagal ini.

Tapi, aku tetap memutuskan untuk merawat tempat ini dengan segenap usahaku apapun yang terjadi!

Pertama, aku mengambil penyiram air dan mengisinya dengan air keran.

Aku mulai menyirami setiap bunga yang ada di sini.

Aku pindah ke kedalaman hutan kecil tersebut.

Ketika aku sampai di hamparan bunga, ku lihat di sana seorang gadis duduk dengan anggun di bangku panjang di samping hamparan bunga.

Tidak, aku seharusnya tidak mengatakan dia seorang gadis, tapi seorang wanita.

Di kelilingi oleh warna-warni bunga yang sedang mekar nan indah.

Dia duduk di sana dengan anggun, menyantap bekal di tangan nya dengan tenang.

Rambut hitam nya berkibar tertiup angin, sesekali dia akan menggunakan jari-jari ramping miliknya untuk memperbaiki rambut yang menutupi kening nya.

Angin saat ini entah kenapa sangat kencang, mungkin dia juga sama seperti ku, merasa gadis di depan sana terlalu cantik, oleh karena itu angin ikut bekerja sama untuk menunjukkan kepada ku dan kepada dunia betapa menawan nya wanita tersebut.

Dengan semakin kencang angin bertiup, bahkan seragam dan dasi kupu-kupu serta rok miliknya ikut tertiup angin.

Dia terlihat sedikit cemas dan berusaha menutupi roknya, tapi itu semakin membuat penampilan nya terlihat memukau.

Aku tidak bergurau, dia terlihat sangat cantik.

Kakinya ramping dan lurus, dia berkulit sangat putih, seperti halnya susu, bibirnya terlihat kemerahan, rambut lurus dan wajahnya yang memiliki sentuhan dingin. Terlihat sangat sempurna untuknya.

Dia seperti bidadari yang turun ke bumi.

Aku berdiri disana seperti orang bodoh, terpana dengan pemandangan itu.

Tidak pernah terpikir oleh ku, tempat ini yang kucoba untuk buat seindah mungkin, akan mendatangkan seorang bidadari suatu hari nanti.

Ketika aku sedang linglung, bidadari itu menoleh ke arah ku dan terkejut.

“Ah!! Siapa?”

“Hah? Oh maaf… aku yang bertugas merawat tempat ini!”

Aku menjawab dengan tergesa-gesa pada pertanyaan nya.

“Fuuh, begitu. Kamu yang membuat tempat ini?”

“Ah ya, begitulah. Bagaimana kamu tahu?”

“Itu mudah. Hanya ada satu orang yang selalu datang kesini setiap hari untuk menyirami bunga disini. Semua orang tahu itu.”

“Apakah aku sebegitu terkenalnya?”

“Tentu saja, seorang pria yang begitu menyukai keindahan, bahkan di kalangan guru, kamu sangat terkenal, Sakurabe-kun.”

Di beritahu oleh sesuatu yang merupakan perwujudan dari keindahan itu sendiri bahwa aku menyukai keindahan, aku yakin tidak akan ada orang yang bisa mengerti perasaan ini.

“Jadi, siapa kamu?”

Aku berdiri di sana menghadapi bidadari yang sedang menatap padaku dengan senyum nya yang membuat seluruh dunia menjadi silau.

“Aku? Aku Fuyusaki Nawaki, ketua osis saat ini!”

!!!

Ketua osis? Kenapa ketua osis datang kemari?

“Nawaki-san, setelah ini kita akan pergi kemana?”

“Hmm, entahlah. Aku juga bingung, sebelum itu bagaimana jika kita membeli es krim dan memakan nya di jembatan sana?”

Nawaki-san menyentuh bibirnya dengan jari telunjuk nya dan berpikir sebentar.

“Tentu, itu ide bagus. Aku juga menyukai pemandangan aliran sungai itu.”

“Fufu, aku tahu kita sangat cocok. Lagipula, aku juga menyukai nya.”

Wajahku sedikit merah mendengar itu.

Saat ini kami sedang berkencan.

Setelah pertemuan pertama ku dengan Nawaki-san, kami menjadi akrab satu sama lain.

Nawaki-san sering datang ke kebun bunga kecil ku itu untuk makan siang, dan aku juga datang setiap hari kesana.

Seiring waktu kami menjadi semakin akrab dan menjadi dekat satu sama lain.

Aku sebenarnya diam-diam jatuh cinta pada Nawaki-san, oleh karena itu ketika dia mengajak ku pergi berkencan, aku langsung begitu saja menyetujuinya.

Kami membeli es krim dan berdri di tepi jembatan.

Memandangi aliran sungai yang cukup deras di musim panas, dengan sebuah payung yang menutupi kami berdua dari sengatan panas, kami berdiri berdampingan dan berdekat-dekatan.

Saat itu aku merasa sangat bahagia, berharap suatu saat aku bisa datang kemari lagi bersama Nawaki-san sebagai pacarnya.

“Nawaki, tunggu aku!”

“Fufufu~, Nakataka. Cepatlah, lihatlah disana sudah sangat ramai. Kamu terlalu pelan, kita tidak akan mendapatkan tempat kita sebelumnya.”

Nawaki tertawa ketika dia menoleh ke belakang dan melihat Sakurabe Nakataka kelelahan hanya setelah berlari sedikit.

“Nakataka, kamu sangat lemah. Jika kamu terus seperti itu, aku akan mengurasmu sampai kering setelah kita menikah suatu hari nanti.”

Ketika aku mendengar kata-kata Nawaki, seluruh wajahku terasa panas.

Beraninya dia mengatakan hal semacam itu dengan keras di tempat ramai seperti ini.

Tapi, itu juga membangkitkan semangat juang ku, aku tidak ingin di remehkan oleh pacar pertama yang ku miliki dalam hidupku.

Tentu saja, walaupun aku mengatakan yang pertama, tapi aku tidak berencana untuk memiliki yang kedua selain Nawaki.

Aku berencana untuk menikahi Nawaki.

Itu benar.

Setelah saat itu kami datang kemari, tidak lama aku akhirnya bisa mengumpulkan keberanian ku dan mengaku pada Nawaki.

Yang membuatku sangat bahagia adalah, ternyata Nawaki juga menyukaiku.

Karena itu kami resmi berpacaran.

Malam ini, setelah mengetahui akan ada festival disini, kami memutuskan untuk datang kesini.

Di jembatan tempat kami pertama kali berkencan.

Tidak lama kemudian aku menyusul Nawaki, syukurlah kami masih berhasil berdiri di tengah jembatan.

Sama seperti sebelumnya, kami berdua berdiri dan menyaksikan aliran sungai dari tepi jembatan ini.

Tapi perbedaan nya adalah, kali ini kami saling berpegangan tangan dan menyatukan jari kami.

Kami adalah sepasang kekasih saat ini.

Menyaksikan aliran sungai yang penuh warna-warni lentera, dan berbagai perahu kertas yang lewat.

Nawaki menyandarkan kepalanya di bahuku.

Ini adalah salah satu momen terindah dalam hidupku bersama Nawaki.

“Bagaimana menurutmu?”

“Apa yang sedang kamu bicarakan?”

“Aku sedang membicarakan pernikahan kita! Jangan berpura-pura tidak tahu, ibumu sudah berbicara dengan ku berulang kali, bulan ini kita harus segera melaksanakan pernikahan, atau setidaknya dia ingin kita mendapatkan akta nikah. Nakataka, apa kamu mendengar ku?”

“Ya ya, jangan khawatir aku tahu, h-hei jangan mencubit ku! Ba-baiklah, aku hanya bercanda. Aku sudah menyiapkan semuanya, kita akan melaksanakan pernikahan di gereja. Kalau begitu, besok kita akan pergi melihat gaun mu?”

Aku tidak bisa menahan tawa ketika melihat Nawaki marah, dan sedikit panik ketika dia mulai mencubit ku.

Lagipula, dia tidak menahan diri ketika marah.

Setelah kami resmi mulai berpacaran, Nawaki juga perlahan menampakkan sifat nya yang sebenarnya.

Di sekolah menengah, aku sudah merasa dia terkadang sedikit kasar ketika marah.

Ketika kami mulai memasuki universitas dan tinggal bersama, saat itulah penderitaan ku dimulai.

Setiap kali aku membuat kesalahan dan membuatnya marah, itu berakhir dengan penganiayaan terhadap suami.

Nawaki sangat kuat, dan aku tidak bisa menang sekalipun melawan nya.

Saat ini kami sedang berjalan di bawah hujan, dalam perjalanan menuju tempat nostalgia bagi kami.

Jembatan yang menyatukan kami, jembatan yang memberiku keberanian dan mengaku kepada Nawaki.

Jembatan itu juga menjadi saksi perjalanan kami dari seorang siswa SMA, ketika kami pertama kali berkencan, resmi berpacaran, dan sekarang kami akan melangsungkan pernikahan.

Besok aku berencana mengajak Nawaki untuk memilih baju pengantin nya, jadi hari ini, walaupun saat ini cuaca sedang buruk, di bawah hujan yang mengguyur kami.

Dengan payung yang familiar ini, kami berdiri kembali di atas jembatan yang familiar.

Menyaksikan derasnya arus sungai akibat hujan, hati ku dan Nawaki seakan menyatu dalam cuaca dingin ini.

Saat ini kami berdiri di bawah dingin nya guyuran hujan, tapi tidak lama lagi kami akan resmi menjadi pasangan pengantin yang hangat, berdiri di depan semua orang dan menerima restu dari pendeta.

“Kita akhirnya sampai di sini!”

Aku mengulurkan tanganku dan memeluk bahu Nawaki.

Aku ingin mengucapkan banyak kata-kata kepada Nawaki, tapi pada akhirnya hanya itu yang keluar dari mulutku.

“Kamu mengatakan sesuatu yang emosional, Nakataka. Tapi… kamu benar. Kita akhirnya sampai di tempat ini, siapa yang akan mengira bahwa jembatan ini yang akan menemani kita menuju pernikahan. Tidak lama lagi, aku akan secara resmi memanggilmu ‘suami’. Nakataka, apakah kamu senang?”

Aku melihat Nawaki tersenyum lembut dan menatap mataku.

“Senang, aku merasa saat ini aku mencapai puncak kebahagiaan ku. Nawaki, aku ingin kita bersama dalam hidup dan mati!”

“Sssst! Jangan ucapkan kata-kata buruk dalam keadaan ini. Jangan khawatir aku akan selalu menemanimu sampai kapanpun!”

Derasnya suara hujan dan dingin nya cuaca tidak bisa menghentikan hati kami untuk menjadi panas.

Pasangan itu sedang dalam panas-panas nya cinta, ketika musim semi akhirnya datang, tidak semua bunga akan mekar.

Tapi sepasang kekasih itu akhirnya berhasil mekar, tidak di musim semi, tapi semua itu di mulai pada musim semi tahun itu.

“Kamu… biarkan aku yang membawanya. Aku tidak terlalu tua untuk terluka hanya karena membawa barang seringan itu!”

Aku melihat Nawaki yang sedang marah saat ini, tapi bukannya takut aku malah hampir tertawa.

Mengingatnya kembali, dahulu setiap saat ketika Nawaki marah aku selalu berakhir menderita.

Tapi sekarang, ketika aku melihat penampilannya yang sudah beruban dan keriput, itu tidak lagi membuatku takut sama sekali.

“Nawaki, perhatikan dirimu sendiri. Kita sudah cukup tua, tidak, sudah sangat tua. kamu sudah menjadi nenek dan aku sudah menjadi seorang kakek.”

“Hmph, lalu kenapa dengan itu? Aku masih sehat dan bugar.”

“Kukuku, itu benar. Lagipula tidak ada orang tua yang ku kenal yang lebih sehat darimu, kebanyakan dari mereka sudah membungkuk dan kesulitan berjalan. Tapi kamu masih berdiri tegak dan masih bisa meluruskan pinggangmu.”

Aku terkekeh mendengar kata-kata Nawaki.

Memang benar, Nawaki selalu memperioritaskan olahraga sejak dulu.

Bahkan karena itu, aku terseret oleh nya dan harus mengikuti dia untuk berolahraga setiap hari.

Tapi aku berterima kasih untuk itu, sekarang aku masih bisa berjalan berdampingan dengan Nawaki dengan tegap.

Aku tidak ingin berjalan di sampingnya dengan dukungan tongkat, sedangkan dia tidak.

“Hei, kami disini lagi.”

Mungkin untuk terakhir kalinya, aku dan Nawaki datang ke tempat ini.

Dulu, kami disini dengan perasaan menggebu-gebu, setiap saat kami datang kesini karena akan ada peristiwa besar dan membahagian di antara kami berdua.

Sekarang yang tersisa hanyalah perasaan penuh nostalgia.

“Meningat kembali pertama kali kita kemari… seharusnya kita lebih sering datang kemari.”

“Kamu benar, anak-anak dan cucu kita pasti menyukai tempat ini. bagaimana jika kita mengajak mereka kemari ketika tahun baru tiba?”

“Mungkin, lebih baik tidak menunggu tahun baru… saat itu mungkin kita tidak lagi bisa mengingat tempat ini.”

“Kukuku, Nawaki, kamu begitu tidak percaya diri dengan ingatan mu? Sepertinya kamu benar-benar menjadi tua.”

Aku tertawa mendengar hal itu dari mulut Nawaki.

Usia kami sudah mencapai 70, rambut kami sudah memutih semua, kulit kami sudah menjadi keriput, dan langkah kami sudah menjadi pelan.

Tapi, ingatan kami entah kenapa belum memudar sedikitpun.

Kami masih mengingat setiap momen yang kami habiskan setiap saat, ketika kami tenggelam dalam cinta di usia remaja.

“Aku sudah tua, tapi anak-anakku dan cucuku masih sehat, mereka semakin bugar, dan akan terus tumbuh. Nakataka, aku ingin membuat sebuah buku… menceritakan mengenai perjalanan hidup dan pengalaman hidup kita. Aku ingin mengabadikan setiap momen yang kita alami… selagi aku masih bisa mengingat nya.”

Aku terdiam mendengar ucapan Nawaki.

Saat ini, aku benar-benar menyadari bahwa kami sudah mulai menghitung mundur, hari-hari kematian kami.

Mungkin itu terdengar sangat penuh dengan perasaan negatif, tapi nyatanya kami benar-benar sudah tua.

“Ayo kita bicara kepada mereka setelah ini.”

“Um. Ayo pulang?”

Nawaki, dengan wajahnya yang sudah penuh kerutan, rambut nya yang berubah menjadi keperakan, mengulurkan tangannya dan tersenyum padaku.

Bagiku, keindahan Nawaki tidak pernah memudar.

Rambut perak itu semakin membuat nya terlihat cantik.

Aku mengambil tangan yang terulur itu dan menggenggam nya dengan erat.

Kami berjalan pulang.

Saat ini, mungkin kami sedang dalam perjalanan menuju akhir dari kisah hidup kami.

Tapi, karena Nawaki menginginkan nya. Aku akan membuat awal baru dari cerita kami.

Walau hanya dalam sebuah teks di atas kertas putih.

Entah bagaimana aku masih sampai di tempat ini.

Kupikir saat itu adalah terakhir kali nya aku datang kemari.

Melihat aliran sungai yang ada di depan ku.

Bangunan-bangunan di sekitar sini sudah mulai bertambah modern.

Entah sudah berapa kali jembatan ini di perbaiki.

Atau mungkin tidak pernah.

Aku tidak lagi tahu.

Aku bahkan tidak tahu bahwa disini menjadi sangat ramai.

Berbagai jajanan kaki lima, anak-anak dan orang tua mereka.

Perahu yang sering lewat di bawah sana.

Aku tidak pernah tahu apakah ini sudah ada sejak dulu.

Ataukah itu baru saja muncul disini?

Aku tidak lagi tahu seperti apa rupa putra dan cucuku.

Aku bahkan sudah kesulitan mendengar saat ini.

Aku sudah berjalan dengan menopang tongkat.

Tidak lagi bisa meluruskan pinggangku.

Aku.

Aku berharap aku juga bisa melupakan kenangan itu seperti halnya semua yang ada ditubuhku yang mulai perlahan menghilang.

Aku berharap saat ini, aku tidak lagi bisa mengingat orang itu.

Rambut hitam yang berkilau di usia remaja nya, kecantikan nya yang semakin bertambah seiring dia menjadi dewasa, kekuatan fisiknya yang tidak pernah ada habisnya, sampai rambut nya yang perlahan berubah menjadi putih, kekuatan nya yang menjadi lemah seiring waktu.

Ingatan ku, yang selama ini kubanggakan, entah kenapa saat ini… aku sama sekali tidak ingin memiliki nya.

Aku berharap aku menjadi pikun lebih cepat seiring aku menjadi tua.

Nawaki, aku berharap aku melupakanmu saat ini.

Saat ini, berdiri di atas jembatan ini hanya menyisakan seorang lelaki tua dengan punggung bungkuk.

Di topang dengan tongkat di tangan kanannya, di berdiri sendirian di bawah hembusan salju putih memandang sepanjang aliran sungai yang perlahan membeku.

Dahulu ada seorang wanita yang selalu berada di sampingnya, tapi kini hanya tersisa dirinya.

Jembatan ini yang selalu menceritakan kisah yang membahagiakan... saat ini menceritakan sebuah kesedihan.

End!

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Romantis
Rekomendasi