Disukai
0
Dilihat
1,960
Cerita Yang Membosankan
Drama
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

cerita ini akan berjalan membosankan, persis seperti hidup saya, anda, dan kita semua. Saya yakin kalian setuju. Karena memang begitulah kehidupan, kita harus menahan kebosanan-kebosanan lalu akan berakhir dengan menyedihkan atau bahkan tragis.

 

Hari diawali dengan pagi. Tisna sedang melukis gincu di bibirnya. Dia sudah tahu bagaimana hari ini akan berakhir. Dia akan pulang kerja lalu membeli sayuran yang akan dimasak mak Ijah besok. Dia bukanlah seorang peramal masa depan, tapi buruh pabrik. Sudah sepuluh tahun bekerja di pabrik, dan sepuluh tahun lamanya dia bisa meramal harinya. Berangkat dan pulang kerja dengan perasaan yang sama, yaitu biasa saja.

Tisna bergerak dengan senyap mempersiapkan diri. Dia berusaha membuat suasana pagi untuk tetap hening. Anaknya tak boleh bangun, kalau anaknya bangun maka keberangkatannya menuju pabrik akan terganggu. Anaknya akan menangis dan melarangnya bekerja, begitu biasanya. Sebelum berangkat, ia menatap penuh kasih sayang ke arah anaknya yang masih tertidur sambil memeluk mainan ultraman, lalu membulatkan tekad untuk tetap bertahan pada kebosanannya. Lalu dia berkata dalam hati, “mama berangkat dulu ya, sayang.”

Pagi ini memang berjalan sesuai yang diinginkan Tisna, Kiki tidak bangun sebelum Tisna berangkat kerja. Tapi Kiki tetap menangis, dia menangis karena mencari ibunya ternyata sudah berangkat kerja. Sambil menangis dia berusaha membanting barang-barang kecil yang ada di sekitarnya. Dia memaki-maki mak Ijah yang baru datang. Yang dia inginkan bukanlah mak Ijah tapi ibunya.

Baru datang, langsung diamuk. Mak ijah keki, tapi tak ada yang peduli.

Sebentar lagi tuan pulang kerja malam, mungkin bukan tuan karena bapak Kiki juga buruh pabrik, ya sama-sama buruhlah seperti mak Ijah. Kiki yang mengamuk bukan urusannya, urusannya adalah memanaskan mobil dan mengelap sisi yang berdebu agar mobil tetap sehat dan bersih meski jarang digunakan. Setelah itu tidur.

Sebagai anak berumur empat tahun, Kiki adalah anak yang periang, namun mudah ngamuk. Ketika dia mengamuk, mak Ijah hanya membiarkan sembari mengawasi amukannya melebihi batas. Itu adalah tips yang diberikan Tisna untuk menghadapi Kiki. Setelah amukan selesai, Kiki dimandikan, diberi makan, lalu pergi bermain dengan menggenggam selembar uang dua ribuan. Dia akan menuju rumah temannya dengan wajah dipenuhi bedak yang tak rata dan kaos batman yang dimasukkan ke dalam.

Alarm penanda siang sudah menggema, yaitu adzan dzuhur. Bagi mak Ijah tugasnya sekarang adalah membawa pulang Kiki yang belum pulang sejak pergi bermain tadi pagi. Bukan hal sulit mencari Kiki, biasanya ia bermain di salah satu rumah di gangnya, yang di rumah itu ada bocah seumurannya juga. Tapi seperti siang-siang biasa, Kiki tak mau pulang ketika dijemput, dan Kiki menangis lagi karena dipaksa pulang. Memang harus begitu, bagi mak Ijah. Kiki sudah harus di rumah saat bapaknya bangun. Syukur-syukur Kiki mau tidur siang, itu kesempatan bagi mak Ijah menengok anaknya yang baru pulang sekolah untuk menyiapkan makan.

Sore adalah waktu yang akan menyenangkan bagi Kiki, Kiki akan melihat ibunya utuk pertama kali di hari ini. Wajah penuh bedak belepotan, baju dimasukkan, dan kegirangan. Kiki berdiri di antara bapaknya dan stang motor matic, lalu menuju depan perumahan untuk menjemput sang ibu. Dia berdadah dengan bangga kepada siapa saja yang ada di sepanjang gangnya.

Disana sudah berjejer motor yang akan menjemput para karyawan, sebagian banyak adalah suaminya dan sebagian lainnya tukang ojeg. Arah mata Kiki tak sedikitpun meleng dari jalan, dia selalu berharap pada setiap mobil yang lewat dari pandangannya adalah bis yang dinaiki ibunya. Lalu menantang bapaknya bermain tebak-tebakan pada hitungan ke lima bis ibunya akan tiba, dia belum tahu angka enam apalagi sembilan atau empat juta tujuh ratus. Dia tidak peduli soal itu, yang penting baginya pada hitungan ke lima ibunya datang. Tapi tak kunjung datang. Hingga akhirnya datang juga pada saat Kiki sudah tak menghitung, karena frustasi. Meski begitu dia tetap senang.

Di perjalanan yang menyenangkan bagi Kiki, dia melihat mainan. Bagus sekali, mobil-mobilan jeep remot berukuran besar. Dia merengek minta dibelikan oleh ibunya, namun tidak digubris sama sekali. Kiki mengancam akan lompat dari motor. Dengan sewot dan marah Kiki dicubit oleh sang ibu, akhirnya menangis lagi. Kiki belum cukup dewasa untuk mengerti bahwa cicilan mobil, cicilan rumah, hutang bank, arisan harus dibayarkan. Itu jauh lebih penting daripada mainan yang diinginkannya bagi Tisna.

Malam, mak Ijah sudah pulang, tangisan Kiki sudah reda berkat pelukan sang ibu. Dia sekarang sedang bermain di teras rumah, bersama mainan ultramannya, sementara ibunya sedang selonjoran di depan tv. Seekor kucing jalanan lewat, kucing itu adalah kucing yang biasa dipanggil Meong oleh Kiki. Meong ini kucing yang sangat ramah pada manusia. Ketika Kiki memanggil “meong!” sebentar menoleh, lalu pelan-pelan mendekati Kiki. Mereka bermain bersama.

Tisna melihat anaknya untuk memastikan masih ada di teras, dia marah, tak senang melihat kucing. Lalu memarahi Kiki dan mengusir dengan kasar kucing tersebut. “jangan main sama kucing! Jorok bulunya! Nanti kamu batuk!” sambil menendang si Meong dia menarik Kiki ke dalam rumah. Hari berakhir dengan tangisan bagi Kiki.

 

Benarkan kata saya, cerita ini seperti yang sudah saya sampaikan dari awal, yaitu membosankan. Apakah kalian juga begitu? Saya yakin, kita semua bosan. Termasuk Tisna, dia perempuan yang setengah mati menahan bosan, dan selalu berharap kebosanannya akan berujung indah. Persis seperti kita semua. Tapi ini belum selesai.

 

Pagi datang lagi, kali ini kiki berhasil bangun lebih awal. Dia senang ketika dia membuka mata bisa melihat ibunya, namun sang ibu merasakan sebaliknya. Dia sangat yakin akan bisa bermain bersama sang ibu hari ini, di hari-hari selanjutnya juga. Dengan percaya diri dia berkata, “ibu gausah kerja.” padahal Tisna sudah memakai seragam pabriknya dengan lengkap dan rapi. “ah sialan.” kata Tisna dalam hati. Tapi dia tidak boleh kasar, dia harus tetap bersikap baik di depan anaknya. “iya sayang, ibu ga kerja. Ibu mau beli mobil remot yang kamu mau kemarin.” Tisna berbohong, anaknya senang.

“kiki mandi dulu ya, nanti habis itu kita berangkat beli mobil-mobilannya.” Tisna merayu Kiki. “iya, tapi ibu yang mandiin!” Kiki ngotot. Inilah yang dibenci Tisna, dia tak akan bisa berangkat kerja dengan mudah. Karena Kiki akan melarangnya. Dan itu benar-benar terjadi ketika tukang ojeg langganannya datang dan Kiki yang belum mandi langsung menjagalnya, “aku ikut!”. Tisna coba lagi bohong, “ibukan mau beli mobil-mobilannya, kamu gausah ikut yah.” Kiki tak percaya dia tetap ingin ikut dan mulai merengek. Tisna mulai keki, ia mengodekan mak Ijah untuk menahan Kiki. Lalu dia duduk di motor ojeg. Kiki menangis kejer dan meronta-ronta ketika ditahan mak Ijah, ibunya tetap melaju. Kiki berhasil lepas dari cengkraman mak Ijah dan mengejarnya. Dia mengejar sekuat langkah kakinya yang mungil itu sembari berteriak, “ibu jangan kerja!” ibunya masih tetap melaju, Kiki terjatuh lalu menangis sejadi-jadinya.

Kiki masih menyimpan amarahnya, dia tak mau makan, tapi sudah mandi dengan dipaksa. Mak ijah kembali beraktivitas seperti biasa. Bapaknya pulang, masih seperti biasa, tidak peduli. Perlahan Kiki sadar, tak ada yang mempedulikannya. Dengan menggenggam uang dua ribu yang tergeletak di atas kulkas, Kiki bermain di luar rumah. Mak Ijah yang melihat, kemudian senang karena Kiki sudah kembali seperti biasa.

Adzan dzuhur kembali tiba, Mak Ijah bergegas keluar dari rumah untuk menjemput Kiki. Dia deg-degan, darahnya mulai mengalir deras ketika rumah-rumah yang biasa dia datangi tidak dia temukan Kiki. Dengan tubuh gemetaran dia cari Kiki di sekitar komplek, tak ia temukan. Dengan rasa takut dan pasrah dia pulang lalu berkata pada tuannya bahwa Kiki hilang. Lalu mereka berdua berpencar untuk saling mencari, beberapa tetangga ikut membantu. Hingga tak terasa adzan ashar sudah terdengar, dia belum menemukan Kiki. Kiki benar-benar hilang.

Mereka kacau, para tetangga yang mengetahui hilangnya Kiki mulai heboh. Karena tak ada satupun anak dari mereka yang bermain bersama Kiki. RT, RW, serta warga sekitar ikut membantu dalam pencarian. Speaker masjid mulai menyiarkan pada warga sekitar, anak yang bernama Kiki, berumur empat tahun, berambut lurus gaya mangkuk, mata belo, hilang.

Sementara Tisna belum tahu apa-apa soal ini. Dia tak bisa dihubungi, ketika masih dalam area pabrik hapenya wajib dimatikan. Tubuhnya langsung lemas ketika mengetahui anaknya hilang. Setelah dikabarkan tentang proses pencarian yang belum menghasilkan apa-apa, Tisna menangis tak henti-henti. Sesampainya di rumah, tanpa ampun dia memaki mak Ijah. Kalau para tetangga tidak menahan, mungkin mak Ijah sudah babak belur dihakimi Tisna. Para tetangga menyarankan mak Ijah pulang untuk situasi yang kondusif.

Hingga malam, belum ada kabar Kiki ditemukan. Sepi benar-benar terasa di rumahnya, tak ada lagi suara tangisan Kiki. Yani, salah satu tetangga terakhir yang berusaha menenangkan Tisna pulang, memindahkan mainan ultraman milik Kiki yang tergeletak di teras ke meja tamu. Beberapa tetangganya masih terus mencari bersama suami Tisna, sementara Tisna tetap di rumah, menangis dan menyesal. Hari berakhir, Kiki belum ditemukan.

 

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi