Disukai
6
Dilihat
7,063
Cerita yang Dilupakan
Drama

Setelah perceraianku dengan Banda, aku kembali ke rumah nenek yang didiami oleh tanteku seorang diri. Aku memilih untuk singgah beberapa waktu sebelum akhirnya memutuskan untuk menjalani kehidupan yang benar-benar baru. Saat ini aku hanya ingin hidup tanpa memikirkan apa pun yang bisa membuat keadaanku semakin buruk, ya, meski keputusan bercerai adalah ideku, hal itu tidak lantas membuat diriku baik-baik saja setelah semua proses perceraian selesai—aku butuh menenangkan diri dan menata ulang kembali kehidupanku yang baru.

“Tante dan almarhum nenekmu sudah menduga hal ini dari awal, sebuah perceraian pasti tidak bisa dihindari dari pernikahanmu,” ucap tante Widia yang berhasil memecahkan lamunanku. Sore ini cuaca sangat cerah, dan hal ini membuatku untuk menghabiskan waktu sore ini di beranda samping rumah sambil menikmati secangkir teh hangat dan sepiring pisang goreng yang kubeli dari penjual keliling. Aku menoleh ke arah tante Widia yang sore itu terlihat baru saja mandi karena rambutnya masih tergerai basah dengan wajah yang juga tak kalah segar dari bunga-bunga di taman yang beberapa waktu lalu baru saja kusiram.

“Kok gitu, Tan?” Tanyaku meminta penjelasan. Tante Widia menghampiriku dan duduk tepat di sisiku, ia tak lantas menjawab, hanya menatap lurus ke arah taman.

“Dulu, nenek sudah bisa merasakan bahwa mertuamu itu seperti ular, berbisa dan berbahaya,” jawabnya setengah mengenang apa yang dikatakan oleh nenek sambil tersenyum tipis. “Waktu kamu baru menikah saja, dia tiap ketemu tante dan nenek juga udah sering nyinggung kapan kamu punya anak sambil ngebanding-bandingin kamu sama anak-anak dia, si Tiara dulu belum ada sebulan nikah juga langsung hamil, Vita juga begitu nggak lama nikah langsung hamil,” ucap tanteku sambil tertawa geli menirukan mertuaku. “Tante sama nenek sih cuman senyum aja pas denger ocehan mantan mertuamu itu, dalam hati tante malah mikir jangan-jangan anak situ lagi yang hamil di luar nikah makanya kelar nikah langsung hamil.” Mendengar kalimat terakhirnya ini membuatku tertawa disambut dengan tawa tante yang tak kalah nyaring, ia terlihat bahagia sekali bisa menggosipkan mantan mertuaku tanpa beban seperti ini.

“Tante bisa aja,” jawabku ringan.

Akhir-akhir ini memang aku sepertinya kurang hiburan atau mungkin lebih tepatnya aku kurang bisa merasakan kebahagiaan. Tawa beberapa detik lalu itu merupakan tawaku pertama pascacerai dengan Banda, aku tidak mengira ternyata perpisahan akan seberat ini bagiku. Jujur saja aku terkadang rindu dengan Banda, rasa ingin mengetahui bagaimana kabarnya atau sekadar ingin mendengar suaranya pun tak jarang menyerangku. Namun, perpisahan tetaplah sebuah perpisahan, tidak ada hal yang perlu disesali darinya, apa yang membuat kita bersedih hanya karena kita kerap mengingat masa-masa bahagia saja, dan melupakan ada luka yang menggerogoti diri kita dari dalam sehingga kita memutuskan untuk berpisah. Ya, cara itu akan menjadi cara yang ampuh bagiku, mulai saat ini aku hanya akan mengingat luka apa yang sudah aku terima selama delapan tahun bersamanya agar aku bisa tetap melangkah dan memulai semuanya dari awal.

“Kamu mesti ingat, semua yang udah terjadi ini bukan salah kamu, keputusan berpisah bisa jadi adalah hal terbaik buat kalian saat ini. Delapan tahun sudah cukup buat kamu bertahan dan berjuang, bagaimana selanjutnya kita serahkan semuanya kepada Tuhan, apakah nantinya akan ada tali yang bisa menyatukan kalian lagi atau malah sebaliknya, itu semua sudah di luar kuasa kita sebagai manusia. Dan tante perhatiin kamu semingguan ini juga nggak terlalu banyak makan, meski kamu cuma ngabisin waktu di kamar aja, tante tahu sekali kamu nggak lagi tidur nyenyak. Kita memang perlu waktu untuk berduka tapi jangan terlalu hanyut di dalamnya, karena itu juga nggak akan bagus buat jiwa yang hidup di dalam tubuh ini.” Tante menutup kalimatnya sembari menunjuk ke arah dadaku, memang ada benarnya juga, beberapa hari terakhir ini aku melupakan nasib kebahagiaan jiwaku sendiri. Berdamai dengan keadaan tak kukira akan serumit ini.

“Kamu juga layak bahagia, Nak. Ingat hal itu sampai kapan pun.”

*

Sedari pagi tante Widia disibukkan dengan barang-barang lama yang disimpannya di dalam sebuah peti kayu. Aku tak tahu pasti apa yang sedang ia cari, karena ia tidak mengizinkanku untuk membantunya. Setelah beberapa lama, tante Widia menghampiriku yang sedang duduk di ruang keluarga sambil membawa sebuah kotak berwarna biru gerau, ia nampak semringah sekali.

“Ini dia kejutannya!” Tante Widia setengah memekik dan membuatku semakin penasaran apa yang sedang ingin ia tunjukkan kepadaku. Ia menaruh kotak itu di atas meja dan duduk di lantai, ia mulai mengeluarkan isi kotak dan terlihatlah benda-benda yang nampak tidak asing di mataku. Sebuah album foto tua berwarna hijau gadung, beberapa bingkai foto, sebuah kotak perhiasan dengan manik-manik berwarna zamrud di kiri-kanannya—oh, itu kotak pitaku ketika aku kecil dulu. Karena tak ingin ketinggalan kegembiraan tante Widia, aku pun mengikutinya duduk di lantai dan mulai asik membolak-balikkan album foto tua itu. Di dalamnya tersimpan foto-foto lama, ada potret diriku ketika pertama kali masuk sekolah, potret ketika tamasya di pantai bersama nenek, dan … aku mengernyitkan keningku ketika aku melihat sebuah foto saat aku masih bayi bersama seorang wanita—ibu?

Entah sejak kapan aku melupakan sosok ibuku, banyak kenangan yang ingin aku lupakan sekaligus ingin aku ingat dalam waktu bersamaan, namun sedari kecil aku lebih gigih untuk melupakan apa pun itu yang berhubungan dengannya. Dan ketika melihat foto ini, semua usahaku nampak seperti sebuah kesia-siaan, kenangan-kenangan yang ingin aku lupakan kini kembali berkelebat dan seperti diputar ulang secara jelas di dalam otakku. Dadaku terasa sesak dan kepalaku mendadak sangat pening, tanganku terasa dingin dan mati rasa, aku mual, aku panik dan tidak tahu apa yang harus aku lakukan, aku berlari ke kamar dan mengunci pintu meninggalkan tante Widia yang nampak kebingungan bersama kotak kejutan berwarna biru gerau.

*

Namaku Maryam, dua tahun yang lalu aku kehilangan anakku tanpa sempat melihat atau memeluknya, dan di usiaku yang ketiga puluh enam ini aku sudah menjanda. Aku kira semuanya akan berjalan dengan mudah, karena aku sudah memikirkan semua hal secara matang sebelum memutuskannya. Namun, di sinilah aku, terpaksa mengungsi di rumah nenek dan merepotkan tanteku karena ternyata guncangan dari perceraian ini cukup membuatku seperti kehilangan api di dalam hidupku.

Beberapa minggu setelah perceraian sudah aku lewati dengan baik, sampai pada suatu sore aku melihat foto seorang wanita yang keberadaannya ingin aku lupakan seumur hidupku. Wanita itu tak lain adalah Lastri—ibu kandungku. Sosok yang lebih tepat aku sebut sebagai momok dalam hidupku itu adalah bagian yang ingin aku hapus, karena hanya dengan mengingat atau menyebut namanya saja bisa membuatku ketakutan dan merasa kacau.

Sejak aku berusia tujuh tahun, aku diasuh oleh almarhum nenek dan tante Widia, mereka berdua mengasuhku dengan sangat baik, tak pernah sekali pun aku kekurangan perhatian atau kasih sayang dari keduanya, yang mana ketika aku tinggal dengan ibu kandungku dua hal itu tidak pernah sama sekali ia berikan, mungkin pernah, tapi itu dulu sekali, ketika ayahku masih hidup. Ayahku meninggal dalam sebuah kecelakaan ketika ia dalam perjalan pulang dari kantornya, meski saat itu aku baru berusia tiga tahun, aku masih ingat dengan jelas ketika ibuku menangis sambil berteriak histeris dan membentur-benturkan kepalanya ke tembok, mungkin hal itu yang membuatnya berubah menjadi orang yang sama sekali berbeda dari sosok ibu yang aku kenal sebelumnya. Jadi, bisa kukatakan, bahwa ibu yang aku cintai dan mencintaiku meninggal bersama dengan ayahku dalam sebuah kecelakaan, dan wanita yang saat itu menyebut dirinya ibu adalah orang lain atau bahkan seorang setan yang menyerupai ibu.

Bagaimana tidak? Setelah kepergian ayah, ibu berubah menjadi sosok yang sangat berbeda, ia tidak pernah lagi memanggil namaku dengan panggilan sayangnya, ia tak pernah lagi menyanyikan lagu pengantar tidur ketika malam, dan dia sama sekali tidak pernah menyentuhku—kecuali saat menampar atau memukulku.

Dulu sekali, saat anak-anak tetangga sudah mulai bersekolah aku bahkan tak punya keberanian untuk memintanya kepada ibu, karena jika aku bersuara dia tak segan-segan menampar mulutku, atau di saat anak tetangga beramai-ramai bermain di lapangan pada sore hari, aku juga tak pernah diizinkan barang sekali pun menikmati hal itu, jika aku berani membantah ia akan memukulku dengan sendalnya atau dengan benda apa saja yang ada di sekitarnya—tubuhku selalu penuh memar.

Ada kalanya ibu akan bersikap sangat baik, namun tentu saja ketika ia punya maksud-maksud tersembunyi di baliknya, seperti misalnya ketika ia bersedia memandikanku dan menyisir rambutku pada suatu pagi, meski aku ketakutan setengah mati tetap saja aku merasa bahagia saat itu—aku takut kalau sewaktu-waktu ibu mencekik atau mematahkan leherku, tapi pada saat yang bersamaan aku bahagia karena ibu memperhatikanku sama seperti ketika ayah masih hidup dulu—akan tetapi, setelah beberapa saat baru kuketahui bahwa kebaikannya mempunyai maksud tersendiri. Tak lama saat itu aku dibawanya ke rumah nenek dan di sana ia mengatakan bahwa aku merengek ingin disekolahkan, namun karena ia tak punya cukup uang untuk mendaftarkanku sekolah, lantas ia meminta uang kepada nenek untuk biaya sekolahku. Aku yang pada saat itu hanya seorang bocah berusia 6 tahun sangat bahagia tanpa tahu apa-apa, aku mengira bahwa aku benar-benar akan sekolah seperti anak tetangga lainnya, tapi sekali lagi semua itu adalah penipuan belaka, aku tak pernah masuk sekolah dan uang yang ia dapatkan dari nenek ia habiskan bersama teman-temannya untuk bersenang-senang. Ibu menjual namaku tak hanya sekali itu saja, kadang ia juga datang atau telepon ke rumah nenek dan mengatakan bahwa aku sakit atau aku membutuhkan peralatan sekolah atau hal-hal lainnya yang berujung pemerasan tidak langsung kepada nenek dengan menjadikanku sebagai kedok, ketika mengingat kembali hal-hal itu aku menjadi muak namun tak ada yang bisa aku lakukan.

Hari-hariku kala itu aku habiskan dengan cacian yang keluar dari mulut ibuku sendiri, malam-malamku kadang aku habiskan dengan tidur di lantai sebagai hukuman yang ia berikan karena aku tak menghabiskan makan malamku, bukan, aku bukan anak nakal yang suka pilih-pilih makanan, hanya saja makan malam yang diberikan ibu kadang sudah basi, meski tak jarang aku memaksakan diri untuk menelan semua makanan yang diberikan, ada kalanya semua yang kumakan akan kumuntahkan, dan pada saat itulah aku akan menghabiskan malam dengan tidur di lantai tanpa diberikan alas. 

Hari demi hari perlakuan kasar dari ibu kadang hanya kujadikan angin lalu karena aku sadar bahwa tidak ada jalan keluar di sana, seperti pada suatu sore ketika aku baru saja mengerjakan pekerjaan rumah yang ia berikan, aku melihat seorang teman lelakinya berkunjung, orang itu bertubuh tinggi, mempunyai kulit putih bersih, berkumis lebat, tapi terlihat ramah. Lelaki itu tersenyum kepadaku pada saat ia baru memasuki rumah, melihat hal itu ibuku mejadi marah besar, ia berkata jika aku terlalu haus perhatian dan bersikap centil di usiaku yang masih kecil, aku dijewernya dan kemudian dikunci di kamar. Sejak itu, suara-suara asing yang tak pernah aku dengar sebelumnya menjadi sering terderang di rumah kami, desahan-desahan yang membuatku bergidik, jeritan-jeritan kecil ibu, dan suara tawa mereka berdua menjadi musik yang selalu dimainkan di rumah kami.

Jalan keluar yang kukira tak pernah ada, pada sebuah siang terbuka lebar untukku. Berawal ketika ibu menyuruhku untuk menyetrika baju kesanyangannya karena akan ia kenakan di sebuah pesta, aku sudah cukup ahli melakukan perkerjaan-pekerjaan rumah seperti ini, jadi hanya menyetrika baju bukanlah hal yang sulit. Namun, di tengah kesibukanku itu, perhatianku teralihkan oleh suara-suara anak tetangga yang lewat di depan rumah, mendengar tawa mereka, aku berlari menghampiri ke pagar untuk bisa melihat apa yang sedang mereka lakukan, meski aku bisa bersikap dewasa dengan menerima nasibku atas perlakuan ibu tetaplah aku hanya seorang anak kecil berumur tujuh tahun yang penuh rasa penasaran saat itu. Melihatku memperhatikan dan mengintip di pintu pagar, anak-anak itu menghampiriku dan menawarkanku untuk bermain bersama, mendengar ajakan langka itu aku sangat senang. Namun, saat aku akan mengiakan ajakan mereka, suara teriakan ibu terdengar dari rumah dan sangat menakutkan, hal itu membuat teman-teman baruku langsung kabur kocar-kacir.

Aku berlari kecil memasuki rumah, dan di sana ibu sudah menunggu dengan memegang bajunya yang tadi aku setrika. Mata ibu merah, sudah jelas kali ini ia sedang marah besar, aku melangkah mundur hendak kabur, tapi gerakan ibu lebih cepat, ia mencengkeram lengan kiriku sambil memperlihatkan baju kesayangannya yang sudah berlubang di bagian punggung, sumpah serapah dari ibu menghujaniku, ia menampar pipiku beberapa kali, dan tak cukup sampai di situ saja, ia mengangkat tubuhku dan melemparkanku ke halaman rumah melewati jendela kaca. Aku terlempar, tubuhku menumbuk keras tanah, darah mengalir hangat di pelipis kananku dan semuanya menjadi gelap—akhirnya aku menemukan jalan keluar.

“Dasar anak setan!” Adalah kalimat yang ibu teriakan dan berhasil kudengar sebelum aku benar-benar hilang kesadaran. Dan, siang itu sekaligus menjadi hari terakhirku bertemu dengannya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
itu teman lelaki Lastri mungkin sedang ngerujak. Saking pedasnya, mereka berdua berulang kali mendesah: hu-ha-hu-ha-hu-ha. Begitu.
@Darma: Jangan sedih, Kak.
@Rifatia Bukan kisah nyata, Kak.
😭 Like the reality!
Ini cerita nyata, kah, Kak?