“Atas nama Dani, gojek”
Mendengar namanya nyaring dipanggil melalui mesin pengeras suara membuat Dani segera mengunci layar ponsel, memasukkannya dalam saku, dan berjalan maju menuju meja kasir, seorang perempuan muda tampak tersenyum dan memberikan menu pesanan
“Atas nama Dani, Double Shots Iced Shaken Espresso satu, Dark Mocha Frapuccino satu, silahkan dicek kembali,, Terima kasih” Harum kopi beserta manis coklat langsung akrab menyapa indera penciuman Dani. Sementara kedua tangannya menerima kantong kertas dengan logo perempuan, diam-diam pikirannya berkelana, bagaimana rasanya meminum kopi seharga lebih dari lima puluh ribu setiap hari karena selama dua puluh dua tahun, Dani tidak pernah merasa perlu membeli kopi seharga lima puluh ribu, sekali pun dirinya mampu. Mungkin nanti, suatu hari, yang jelas tidak sekarang, karena sekarang dua es kopi ini harus diantar kepada yang memesan.
Estimasi waktu yang perlu Dani tempuh untuk mengantar es kopi ini sekitar lima belas menit, jika jalanan tidak macet, namun mengetahui bahwa ini hari senin dan jam masih menunjukkan pukul delapan pagi, maka jalanan pasti dipenuhi orang-orang yang hendak berangkat kerja, beruntung karena Dani mengetahui berbagai jalan alternatif sehingga ia tidak perlu berlama-lama terpanggang terik matahari dan kepulan asap kendaraan bermotor lainnya. Lima belas menit kemudian Dani telah memasuki kawasan perumahan dan kantor dibilangan Ibu Kota untuk mengantar es kopi seharga seratus delapan puluh lima ribu itu kepada customer pertamanya hari ini.
“Mbak Jesika? Ini pesanan kopinya”
“Oh Iya, terima kasih mas, ini kembaliannya ambil aja ya”
“Ohh terima kasih mbak” Dani menerima dua lembar uang seratus ribu rupiah dengan hati seringan kapas, ini adalah permulaan hari yang baik, pikirnya.
Mengantre, memesan, dan mengantar adalah kegiatan repetitif yang setiap hari Dani jalani selama lebih dari dua tahun ini. Dirinya mulai menjadi driver makanan online sejak terkena PHK dari pabrik tempatnya bekerja. Dani tak pernah mengira, pekerjaannya yang sekarang jauh lebih membawa makna ‘hidup’. Dua tahun yang lalu, Dani merasa bagian dari sapi perah di peternakan, hanya saja dirinya berbentuk manusia. Menjadi buruh pabrik bagi Dani berarti bangun pagi, mandi, sarapan, berangkat, apel pagi, bertemu orang yang itu-itu lagi, berhadapan dengan mesin lagi, laporan harian, dan pulang, begitu setiap hari kecuali hari libur. Sejak menjadi driver makanan online, Dani bersyukur karena ia tak lagi merasa hampa, meski pekerjaannya yang sekarang lebih melelahkan, lebih tidak menentu jumlah penghasilannya, tapi Dani dapat terbebas dari rasa jenuh akibat berhadapan dan berinteraksi dengan pabrik dan segala unsur yang menghidupkannya.
Dalam sehari Dani dpaat menerima lima sampai tujuh kali orderan, dan ia mulai menghafal ritmenya, jika pagi hari kebanyakan orderan masuk untuk menu sarapan, kopi, bubur ayam, juga roti lapis, ketika hari mulai terik orderan masuk untuk menu makan siang dan kebanyakan customer memilih makanan siap saji, orderan masuk paling banyak adalah di sore hari, waktu dimana orang-orang bersantai sambil makan makanan pengganjal lapar sebelum makan malam, menu yang dipesan biasanya adalah kopi yang satu paket dengan croffle, es krim, burger, juga roti fenomenal yang cara pengucapannya seringkali menjadi perdebatan publik, croissant. Seperti sore ini, ketika Dani kembali menjalani rutinitasnya sebagai driver makanan online, memesan, mengantre, dan mengantar.
Denting lonceng diatas pintu menjadi pertanda Dani memasuki cafee tempatnya memesan, cafee ini jauh lebih sederhana jika dibandingkan cafee tempat Dani memesan kopi pagi tadi. Interiornya terkesan kuno namun nyaman karena menggunakan suhu ruangan, tanpa mesin pendingin dan hanya terdapat dua kipas angin disudut ruangan, kursi dan meja yang tertata rapi seluruhnya terbuat dari kayu, mata Dani segera beralih ke depan Bar ketika antrian didepannya bergerak maju, menyisakan Dani dengan perempuan muda yang bekerja sebagai kasir.
“Es kopi susu dua, Es kopi Irish satu, Croissant dua, mbak”
“Kwason’ maksudnya kak?” Dani sejenak mengernyitkan dahi, sebelum detik berikutnya tersadar bahwa roti asal Perancis ini memang memiliki bentuk pelafalan yang berbeda dengan huruf pembentuknya.
“Ohhh, iya itu dua ya”
Setelah selesai memesan dan menyelesaikan pembayaran, Dani bergeser untuk menunggu menu disiapkan, sementara itu otaknya kembali berpikir dengan penasaran, bagaimana lidah orang-orang Perancis terbentuk ketika mengucapkan kata yang bentuk pelafalannya berbeda dengan huruf pembentuknya, karena jika dipikir kembali, tidak ada kata seperti itu dalam bahasa Indonesia.
Ditengah kegiatan berpikirnya, seseorang menepuk pundak kananya, Dani menoleh untuk mendapati perempuan baruh bayar yang tidak asing dalam ingatannya. Pemikiran seputar Croissant dan cara pelafalannya yang berubah menjadi kwa.son’ tadi langsung tergantikan dengan pertanyaan ‘siapa perempuan ini?’ dan berulang sampai lebih dari dua puluh detik. Melihat mimik kebingungan Dani, sepertinya perempuan itu tersadar, maka dengan segera ia memperkenalkan diri sebagai ‘Sulastri’. Kembali dalam kepalanya, Dani memutar pertanyaan ‘Sulastri siapa?’. Dani adalah pemuda berusia dua puluh dua, rasanya nama Sulastri terlalu kuno untuk anak dengan tahun kelahiran 2000an, apalagi di kota-kota besar seperti Jakarta.
“Saya Sulastri, Ibunya Padma, Padma-nya masih dandan, tunggu sebentar ya” detik itu Dani tersadar, perempuan dihadapannya ini bukan seseorang yang ia kenal lalu tak sengaja terlupakan, perempuan dihadapannya ini mungkin tengah sakit jiwanya, atau memang pelupa karena faktor usia. Dani hanya bergumam tidak jelas sesekali tersenyum untuk menjawab pertanyaan perempuan paruh baya dihadapannya ini.
“Memangnya mau pergi kemana sama Padma?” Dani hendak menjawab dengan bergumam tak jelas lagi sebelum tiba-tiba seorang perempuan muda keluar dari Bar dan mendekat, menjawab pertanyaan dari perempuan paruh baya yang mengaku sebagai Ibu Padma ini, Dani berasumsi mungkin dia yang bernama Padma, dan Ibu Sulastri ini adalah Ibunya.
“Nggak kemana-mana Ibu, Padma dirumah saja sama Ibu, Ayo masuk ke dalam sama Padma ya” perempuan muda yang mengaku bernama Padma tadi menoleh sekilas pada Dani dengan menggumamkan kata maaf, lalu permisi sebelum menuntun Ibu Sulastri menuju pintu dibalik Bar, dan menghilang. Saat itulah pesanan Es kopi beserta Croissant Dani selesai. Dani menerima struk pembayaran dan tersadar bahwa kafe ini bernama Toko Kopi Padma. Ah, rupanya ini kafe keluarga, pantas terasa hangat dan nyaman, pikirnya dalam hati. Diam-diam Dani menyimpan hasrat untuk suatu saat dapat bersantai dan meminum kopi disini. Mungkin mencoba juga cita rasa dari roti asal Perancis yang memiliki bentuk pelafalan berbeda dari huruf pembentuknya itu.
Dani biasa mematikan aplikasi penyedia jasa pengantar makanan online jika jam sudah menunjukkan pukul sembilan malam, atau setelah jam makan malam berakhir. Sebagai anak rantau asal Madiun, Dani tinggal di rumah kontrakan bersama tiga temannya yang sama-sama berasal dari Jawa Timur. Joko, pegawai bank asal Malang yang dipindahtugaskan pada kantor cabang di Jakarta, Pram, sarjana psikologi yang bekerja sebagai pegawai minimarket asal Surabaya, dan Aji, seorang pujangga asal Kediri yang sehari-hari bekerja sebagai content creator di salah satu platform media online. Keempatnya bertemu pertama kali sejak masa orientasi mahasiswa, empat tahun yang lalu, lalu memutuskan untuk berbagi tempat tinggal bersama agar lebih hemat biaya. Hingga keempatnya dinyatakan lulus satu tahun yang lalu, rumah kontrakan mereka tetap sama begitu juga dengan para penghuninya.
“Woeeeh, lancar bos?” Joko, satu-satunya ekstrovert diantara yang lain menyapa Dani begitu lampu motor mulai menerangi teras rumah kontrakan menandakan sang pemilik sudah selesai bekerja. Malam hari biasanya teras rumah menjadi spot favorit Joko, Aji, dan Dani untuk berbincang santai ditemani segelas kopi hangat, selinting surya dua belas, dan obat nyamuk bakar di pojok ruangan. Sementara Pram, lebih memilih istirahat di dalam kamar dan hanya keluar jika memang diperlukan. Pram adalah individu yang teratur, semua kegiatannya mulai dari bagun tidur sampai kembali tidur, memiliki waktu dan porsi yang pasti.
“Lancar, Alhamdulillah…dino iki aku salah ngomong Croissant meneh, jane lak Kwason’ ngono ya? Untung mbak-mbak kasire ngerti, ora dadi guyonan meneh kek gek biyen”*¹ Dani mengingat kembali momen memalukan dalam hidupnya ketika kali pertama mengenal roti asal Perancis tersebut.
“Gaopo guduk salahmu seh, wong tulisanne c-r-o-i-s-s-a-n-t…manut bahasane awak dewe ae mocone, seng penting tanganmu ojok lali nunjuk”*² timpal Joko dengan pandangan yang tak lepas dari ponsel
“Nendi cah-cah?”*³
“Aji lembur, Pram yo biasa ndek kamar” Dani memilih menemani Joko sejenak sebelum pamit masuk untuk mandi dan makan malam nasi padang yang ia bungkus dalam perjalanannya menuju pulang.
--
Dani selalu menerapkan istirahat yang cukup dalam pekerjaannya, maka dari itu dengan tidak serakah, Dani menetapkan sendiri hari Jumat sebagai hari liburnya. Jumat adalah hari yang entah mengapa selalu terasa lebih pendek dari pada hari-hari lainnya, bagi orang-orang yang bekerja kantoran cenderung masuk lebih siang dan pulang lebih awal, bagi toko-toko retail yang cenderung membuka toko hanya sampai pukul dua belas siang atau setengah hari, atau bahkan lebih awal lagi bagi anak sekolahan yang hanya belajar sampai pukul sebelas siang kemudian pulang. Pada hari Jumat, orang-orang cenderung beraktifitas dengan lebih santai, langkah kaki lebih pelan, barang bawaan lebih sedikit, begitu pun pada topik pembicaraan yang terasa lebih ringan. Dan Dani adalah salah satu orangnya. Kegiatan Dani di hari Jumat adalah bangun siang, brunch atau makan pagi yang digabung dengan makan siang, mandi untuk solat Jumat, lalu kembali tidur siang, sementara malamnya ia gunakan untuk duduk santai di teras depan kontrakan bersama ketiga sahabatnya sambil menulis artikel lepas untuk dikirimkan ke koran. Dani sebenarnya bercita-cita menjadi jurnalis, maka dari itu ia memilih jurusal Ilmu Komunikasi saat kuliah, namun ternyata ujian seleksinya cukup sulit, hingga Dani memilih menjadi pengantar makanan online sambil menjadi penulis artikel lepas. Dihitung sejak kuliah, sudah ada sepuluh artikel yang ditulis Dani yang dimuat dalam koran lokal maupun nasional, kebanyakan artikel Dani termuat dalam rubrik opini. Dari satu artikel, Dani biasa mendapat upah menulis sebesar Rp500.000 sampai Rp900.000 bergantung pada topik, panjang artikel, dan bobot pembahasan yang dinilai oleh redaktur.
Namun berbeda untuk Jumat kali ini, Dani sengaja bangun lebih pagi untuk mencoba satu hal yang terus mengusik pikirannya sejak semalam. Bagaimana rasanya minum kopi sambil mencecap cita rasa roti asal Perancis yang memiliki pelafalan berbeda dengan huruf pembentuknya tersebut. Dani menjelajah ponsel pintar miliknya sejenak, memikirkan tempat mana ia harus memanjakan lidahnya pagi ini. Melalui media sosial, Dani menemukan berbagai macam pilihan tempat yang menjual kopi dan roti. Dani menyeleksi semua tempat tersebut berdasarkan pada tiga hal, yang pertama tentu saja range harga, yang kedua jarak lokasi dengan tempat tinggalnya, baru yang ketiga adalah ambience atau suasana yang tampak melalui foto-foto sekilas maupun tanggapan para netizen. Dani berniat menghabiskan tiga jam waktu paginya untuk menilik cita rasa menu yang paling sering dipesan customernya pada jam makan pagi.
“Tumbennn jumat isuk wis rapi, ape nandii Dan?” Pram menyapanya ketika pemuda itu tengah memasang sepatu, hendak berangkat kerja menuju minimarket depan gang
“Jalan-jalan rek, melu po piye?”
“Gayamuuu, budal sik yo” Dani hanya mengangguk sebagai jawaban, lalu kembali melanjutkan agendanya
Dani melajukan motor bebek kesayangannya dengan kecepatan sedang, sesekali menikmati udara hangat kota Jakarta, meski sebenarnya tidak baik bagi kesehatan karena polusi udara kota Jakarta termasuk kategori buruk. Setelah menempuh lima belas menit dari rumah kontrakannya, Dani tiba di pelataran kafe pilihannya. Denting lonceng yang ia dengar kemarin masih terdengar sama pagi ini, begitu pun wajah dan suara ramah perempuan muda yang berdiri didepan meja kasir.
“Es Kopi Irish satu, Kwason’ satu” Kali ini Dani melafalkan roti asal Perancis itu dengan pelafalan yang sebenarnya, kali ini juga Dani mengantre, memesan, dan mengantar pesanannya untuk dirinya sendiri.
“Baik, atas nama siapa kak?”
“Dani”
“Baik, atas nama Dani, Es kopi Irish satu, Kwason’ satu, totalnya tiga puluh lima ribu, pembayarannya mau via apa kak?”
“Tunai” Dani segera menyambar uang tunai lima puluh ribu dan menyerahkannya pada perempuan dihadapannya. Setelah menerima uang kembalian dan struk pembelian, Dani berkeliling sebentar mengamati interior kafe sambil menunggu menu pesanannya selesai.
Dani mulai dari sudut ruangan yang temboknya dilapisi kaca dengan tempelan koran-koran bekas menghias permukaannya. Satu hal yang dapat Dani tangkap adalah, dinding kaca ini berhiaskan koran-koran lokal, nasional, maupun internasional yang isi beritanya memuat kejadian-kejadian politik masa lampau, dan sebagian besar topiknya adalah Indonesia pada tahun 1998. Dani kemudian beralih menuju sudut lainnya yang berhiaskan benda-benda antik, seperti kaset tape, piringan hitam, radio, tv analog, juga album foto. Dani membuka album foto tersebut, dan potret perempuan muda menyapa pandangannya. Dani membaca tulisan dibawah foto tersebut, ‘Padma, 1996’. Ah, mungkin dia pemilik kafe ini, asumsi Dani. Lembar demi lembar bergulir, sebagian besar album tersebut berisi perempuan muda yang Dani asumsikan pemilik kafe ini, karena setiap foto diberi keterangan seperti ‘Padma, 1996’ atau ‘Padma dan Ayah, 1995’ juga ‘Padma dan Prad, 1998’.
“Atas nama Dani” Dani segera mengembalikan album foto tersebut dan mengambil pesanannya, kemudian duduk menuju dekat album foto tersebut karena dirinya belum selesai memandangi semua foto tersebut.
Pada satu album foto bersampul merah, kebanyakan memuat potret seorang perempuan dengan laki-laki, dan tampaknya keduanya adalah pasangan. Keterangan pada foto-foto tersebut membuat Dani sedikit terkejut sekaligus merasa aneh karena melihat namanya sendiri, ‘Padma dan Dani, 1998’. Tampaknya foto-foto pada album ini diambil hanya pada tahun 1998 karena keterangnya dari foto pertama sampai foto terakhir adalah ‘Padma dan Dani, 1998’.
“Nak Dani?” kegiatan mengamati album-album foto tersebut terhenti ketika suara perempuan paruh baya yang kemarin kembali menyapa indera pendengaran Dani. Bu Sulastri, kemarin perempuan ini telah memperkenalkan diri, dan Dani masih mengingatnya. Tanpa aba-aba perempuan yang mengaku bernama Sulastri ini mengambil tempat duduk di depan Dani dan merebut album foto yang tengah Dani pegang.
“Padma cantik sekali ya, nak Dani juga ganteng waktu itu, serasi sekali kalian”
“Sudah lihat foto Padma waktu kecil? Lebih cantik lagi anak Ibu yang satu itu”
“Nak Dani ingat foto ini? Ini foto terakhir kalian sebelum mau menikah loh” Bu Sulastri menyodorkan album yang sebelumnya sudah Dani lihat, tampak potret perempuan dan laki-laki menggenakan baju putih, sang perempuan membawa buket bunga dengan gaya menunjukkan cincin pada jari manisnya, sedang sang laki-laki hanya tersenyum sambil merangkul sang perempuan dengan keterangan ‘Padma dan Dani, 1998’.
Ditengah kegiatan mengamati potret tersebut untuk yang kedua kalinya, Dani tiba-tiba terkejut karena perempuan paruh baya didepannya kini tengah menyiram Dani dengan Es Kopi Irish, menu pesanan Dani yang belum sempat ia icip barang seteguk sekalipun. Bukan hanya Dani yang terkejut, seluruh perhatian pengunjung kini langsung berpusat pada Dani dan Bu Sulastri. Belum selesai rasa keterkejutan Dani, ia kembali dikejutkan atas perih pada pangkal kepalanya akrena tiba-tiba Bu Sulastri menjambak rambutnya, kini disertai pukulan-pukulan kecil dan teriakan histeris dan kalimat-kalimat yang berulang, “Pembunuh” “Kamu pembunuh” “Kembalikan anakku”. Secepat kilat, beberapa pegawai serta pengunjung kafe mencoba melepaskan Bu Sulastri dari Dani.
Apa yang terjadi? Dani mengerjap, kepalanya terasa panas, tapi tubuhnya dingin akibat siraman Es Kopi Irish beberapa detik yang lalu. Tiba-tiba seorang perempuan muda menghampiri Dani, bertanya apakah Dani baik-baik saja, lalu menggiring Dani menuju pintu dibalik Bar. Dani yang masih mencoba mencerna segalanya hanya menurut.
“Mas baik-baik saja? Coba saya lihat lukanya” Perempuan muda tersebut meraba kepala, wajah, hingga pergelangan tangan Dani, memeriksa bagian mana yang sekiranya terluka cukup parah. Sebelum Dani menjawab dan melepaskan diri, guyuran alkohol dingin menerpa permukaan kulit wajahnya, juga plester perekat yang kemudian membungkus luka-luka kecilnya.
“Saya minta maaf sekali ya mas, itu tadi Ibu saya, Ibu memang sedang sakit makanya tindakkannya kadang membahayakan, tapi itu terjadi jika memang ada pemicunya. Mungkin karena Ibu beberapa kali mendengar nama mas yang sama dengan nama tunangan kakak saya” Perempuan didepannya kini menjelaskan dan Dani hanya mendengarkan
“Nama saya Padantya mas, panggil saja Tya. Padma itu nama kakak tertua saya”
“Oh, yang punya toko kopi ini ya mbak?”
“Toko kopi ini kepemilikannya kolektif mas, kakak saya sudah meninggal dua puluh tiga tahun yang lalu”
“Loh, oh..maaf. berarti toko kopi ini punya keluarga begitu maksudnya?”
“Bisa dibilang begitu, saya dan keluarga dari korban pemerkosaan Mei 1998 bahu membahu untuk saling menguatkan hidup dengan membangun toko kopi ini, dan merekalah keluarga saya sekarang” perempuan bernama Tya tersebut lantas menunjuk tiga orang pegawainya. Dua orang laki-laki berusia akhir tiga puluhan, dan satu perempuan muda yang berdiri di meja kasir yang tempo hari membetulkan pelafalan Dani akan Croissant.
Sejenak Dani kembali memutar kata demi kata yang diucapkan Tya, lalu otaknya membeku ketika ingatannya menangkap kalimat ‘korban pemerkosaan Mei 1998’. Tunggu…berarti Padma, kakak tertua Tya, perempuan yang meninggal dua puluh tiga tahun silam, perempuan yang namanya kini abadi menjadi nama sebuah Toko Kopi ini adalah korban pemerkosaan Mei 1998?
“Kakak saya pergi berkencan dengan tunangannya sehari sebelum ditemukan terkapar bersimbah darah yang ternyata menjadi korban pemerkosaan, sementara tunangannya menghilang, sampai sekarang entah kemana, tidak ada berita kematian ataupun kehilangan. Tapi Ibu tetap menyalahkan mas Dani karena beliau yang membawa kakak saya keluar rumah saat itu. Usia kami memang terpaut cukup jauh, lebih dari dua puluh tahun, karena kelahiran saya memang tidak direncanakan, tapi Tuhan menitipkan satu lagi rezeki kepada Ibu dan Bapak, jadi saya terlahir tepat dua tahun sebelum kak Padma dinyatakan meninggal dengan luka pada organ bagian dalamnya akibat dari pemerkosaan yang disertai dengan kekerasan seksual. Saya tidak mengerti dan tidak mengingat bagaimana situasi pada saat itu karena usia saya baru tiga tahun, tapi melihat Ibu dan Bapak, saya tahu kejadian itu cukup membuat keluarga kami trauma” terang Tya setelah hening cukup lama mengisi kekosongan ruang diantara keduanya
“Toko Kopi Padma ini saya dirikan awalnya hanya sebagai bentuk ingatan saya akan kakak tertua saya, tapi kemudian saya tergerak untuk menjadikan toko kopi ini sebagai bentuk ingatan juga untuk publik tentang sejarah kelam negeri ini, makanya beberapa pernak-pernik hiasannya adalah barang pribadi kakak saya dan berita-berita tentang korban lainnya”
“Sekali lagi saya mohon maaf ya mas, mas-nya yakin gak mau ke dokter aja sekarang? Takutnya lukanya malah tambah parah…” kembali Tya memecah keheningan diantara keduanya, kali ini nada dalam suara perempuan itu berbeda, kembali pada nada seorang pegawai kafe yang merasa bersalah daripada teman ketika dirinya berbicara mengenai asal muasal nama toko kopi ini.
Toko Kopi Padma, ternyata lebih dari sekedar kafe rumahan yang menyajikan kopi dengan menu-menu terkini juga roti yang memiliki pelafalan berbeda dengan huruf pembentuknya. Toko Kopi Padma berdiri sebagai bentuk ingatan bagi Ibu Sulastri akan anaknya yang menjadi korban pemerkosaan tahun 98. Toko Kopi Padma berdiri untuk menghidupi ingatan publik akan korban-korban sejarah politik lainnya. Padma, hanyalah satu dari sekian ratus perempuan yang menjadi korban pemerkosaan akibat kerusuhan buntut dari perubahan sistem politik dalam negeri. Satu nyawa saja lebih berharga dari apapun di dunia, apalagi jika sampai ratusan hanya untuk skema politik dari orang-orang yang berkuasa.
Hari jumat itu ternyata bukanlah hari yang pendek bagi Dani, namun hari yang sangat panjang. Dani tidak pernah tertarik dengan peristiwa sejarah apalagi yang melibatkan politik di dalamnya, namun pandangan trauma dari Ibu Sulastri juga Tya, berhasil membuat Dani iba. Tanpa Dani tahu bahwa kelak, pertemuannya dengan Bu Sulastri dan Tya adalah pembuka jalannya menjadi jurnalis profesional yang meliput khusus peristiwa sejarah dan politik.