Pukul 5 aku sampai di teras rumah dengan motor bebek kreditku. Di gantungan depan motor itu, tergantung plastik bening yang memperlihatkan isinya yang berminyak. Gorengan se-ribuan yang aku beli di pinggir jalan langgananku.
Pukul 4:30 aku pulang dari kerja. Aku bekerja sebagai admin toko online di toko busana pakaian milik koh koh China. Bukan orang China asli, melainkankan keturunan. Bahkan darahnya mungkin sudah 80 persen orang jawa karena darah Cinanya hanya berasal dari buyutnya. Dia juga tidak terlalu erat dengan budaya sana, namun karena wajahnya terlalu identik dengan orang-orang Cindo yang viral di media sosial, dia tidak mengeluh jika dipanggil koh.
Aku tidak ingin mengeluh tentang pekerjaanku. Kelelahan adalah hal yang wajar terjadi karena aku bekerja. Justru jika aku tidak lelah, aku meragukan apakah aku bekerja dengan baik. Meskipun bosku itu bukan tipe orang yang memecat karyawannya, tapi jika karyawan itu sadar diri dia tidak perform dengan baik, dia harus sadar dan mengundurkan diri dengan sopan. Karena dia masuknya juga dengan sopan.
Gajiku cukup, waktu untuk diriku juga cukup. Entah apa yang membuatku gelisah sore ini. Mungkin kekosongan rumah ini. Itu yang pertama kali masuk ke kepalaku. Aku berhasil mencicil lunas rumah ini dengan pekerjaanku yang sekarang. Meskipun tidak besar, aku puas karena ini adalah hasil usahaku sendiri. Aku membeli rumah yang kecil karena selain melihat uang yang aku miliki saat itu, aku juga melihat apa kebutuhanku.
Saat itu, aku memang berencana tinggal sendiri. Aku belum memiliki seorang pendamping, pun hingga saat ini. Jadi aku memutuskan untuk membeli rumah seadanya dari pada terus ngontrak dan rutin menyisihkan gajiku untuk bayar bulanan sehingga aku tidak bisa menabung.
Aku juga telah memikirkannya. Bagaimana jika aku sudah memiliki seorang istri. Apakah dia akan aku ajak tinggal di sini. Hal itu membuatku berpikir lama. Karena bingung, aku memutuskan untuk memikirkannya setelah memang menemukan kekasih hati. Untuk saat ini, aku cari yang sesuai kebutuhanku dulu saja.
Meskipun sudah sadar akan itu, aku masih merasa sendirian. Dengan rutinitas yang berulang ini, apakah aku sanggup bertahan untuk waktu yang lama. Hal itu terus menghantuiku sejak beberapa hari setelah kepindahanku ke tempat ini.
Dulu ketika di kontrakan, aku tidak pernah memikirkannya. Meskipun sama-sama sendiri, di sana aku memiliki tetangga yang juga memiliki keadaan yang sama sepertiku. Tinggal sendiri dan jauh dari kampung halaman. Karena itu, kami sering mengobrol bersama. Kadang-kadang pergi badminton di lapangan jika ada yang mengajak. Kami tidak pernah membuat jadwalnya, tapi entah mengapa setiap minggu kami pasti badminton minimal satu kali.
Ku tuntun motorku masuk ke ruang tamu dan aku parkirkan dengan standar dua. Aku letakkan satu lembar kardus bekas mie instant-ku di antara lantai dan besi standar motor. Kuletakkan bungkusan gorengan yang terlapisi oleh kertas bertuliskan “Dokumen rahasia” itu dan aku ambil satu gorengan serta tiga cabai hijau kecil.
Sambil melahap gorengan yang minyaknya sudah terserap oleh kertas, aku memikirkan apa yang rekan kerjaku sarankan.
“Pelihara burung aja,” kata dia yang juga seorang pemelihara burung. Entah itu saran murni atau ada selipan jualannya agar aku membeli burung darinya. Dia memang tidak mengatakan kalau mau beli burung, ke dia saja. Tapi tidak enak rasanya jika membeli burung di tempat lain kalau teman sendiri juga berjualan burung. Itung-itung juga membantu teman.
Aku rasa itu juga saran yang bagus. Malah sudah umum seorang bapak-bapak kalau pulang kerja, mainannya burung. Pak Anies saja setelah tidak menang jadi presiden, dia kembali ke rumah dan bermain dengan koleksi burungnya. Itu adalah hal yang wajar. Tentu saja. Mungkin aku terima saja tawaran itu.
. . .
Besoknya di hari Minggu, aku berkunjung ke rumah temanku itu. Aku sudah mengatakan kalau aku ingin berkunjung dan melihat koleksinya. Lebih dari sekedar koleksi, ternyata dia menernaknya. Ada kandang-kandang besar yang terjajar membentuk leter U. Di dalam kandang itu ada berbagai macam burung. Bukan maksudnya, dalam satu kandang ada berbagai macam burung. Tapi dalam satu kandang ada beberapa burung yang memiliki jenis yang sama, lalu di kandang lain beberapa burung yang memiliki jenis yang berbeda dengan kandang yang pertama. Tentu saja dibuat seperti itu karena ini adalah peternakan.
Ketika Rijal temanku ini memasuki arena kandang, semua burung berkicau seolah akan ada pesta yang diselenggarakan. Mungkin mereka mengira kalau Rijal datang untuk memberi makan. Tapi maaf para burung, dia ke sini mau mengajakku lihat-lihat saja.
Sambil duduk di kursi kecil yang disediakannya, aku bertanya banyak tentang dunia perkicauan. Terutama burung apa yang sebaiknya aku pelihara. Rijal memberiku banyak saran dan dikelompokkan berdasarkan apa keinginanku.
Jika aku ingin burung dengan warna yang bagus, Rijal menyarankan untuk memelihara jenis Lovebird, betet, cucak ijo, nuri, atau tledekan. Jika aku ingin yang suaranya merdu, Rijal menyarankan murai batu, kenari, cendet, simpai, atau pipit . Dia juga memberikan beberapa saran jika aku mencari burung untuk kompetisi, tapi aku menolaknya karena aku masih terlalu dini untuk masuk ke jurang itu.
Aku bilang padanya kalau aku mencari burung yang mudah perawatannya untuk pemula sepertiku. Aku juga tidak terlalu suka berisik, jadi aku memilih burung yang bulunya bagus. Berdasarkan keinginanku, Rijal memilihkan lovebird untuk aku pelihara. Katanya, perawatannya cukup mudah. Tinggal beri makan dan minum yang bersih dan jaga kandangnya agar tetap bersih. Itu saja.
Mengetahui itu, aku menerima usulnya dan membawa lovebird dengan warna dominan hijau dengan aksen oren di kepalanya. Aku juga membeli paket lengkap termasuk kandang, makanan dan tempat minumnya. Beruntung temanku ini memilikinya, jadi aku tidak perlu toko peralatan hewan peliharaan untuk melengkapi kebutuhan burungku.
. . .
Sudah 3 hari sejak aku memelihara burung itu. Kini rumahku tidak terlalu sepi lagi. Pagiku juga rasanya ramai dan banyak kegiatan karena aku sering menengok burungku itu dan memberinya makan dan minum ketika biji-bijian yang berada di wadah kandangnya menipis.
Sambil ngopi, aku melihat burung itu. Aku memang sudah merasa tidak terlalu kesepian lagi, tapi ada masalah lain yang datang ke pikiranku. Aku merasa kasihan dengan burung itu. Ketika aku melihatnya, aku seperti melihat diriku sendiri di masa lalu. Ibarat sebuah cermin.
Di pagi yang masih terlalu lama untuk berangkat bekerja, aku turunkan kandang burung itu dan membuka pintu sangkarnya. Aku tinggal sangkar itu dalam keadaan terbuka, aku kembali duduk di kursi kayu dan menikmati kopi pagiku.
Aku biarkan burung itu memilih pilihannya dan tentu saja dia terbang pergi meninggalkan sanggar besi. Aku ambil lagi sangkar itu dan aku letakkan kembali ke gantungan yang berada di langit-langit seperti semua. Namun dalam keadaan pintu sangkar terbuka.
Kini rutinan pagiku adalah memberi makan burung-burung. Aku tidak tahu burung apa yang aku beri makan, aku hanya menyebar biji-bijian di halaman rumahku dan membiarkannya. Begitu terus hingga pakan yang aku miliki habis dan membelinya lagi.