Disukai
0
Dilihat
273
Buku untuk Fathan
Romantis

Banyak yang bilang kalau kisah cinta SMA itu kisah cinta yang indah. Dulu aku percaya akan itu saat masih menduduki bangku SMP. Berangan-angan mendapatkan seorang pria yang dapat memberikan cinta di kehidupan masa sekolah, sempat hadir di dalam hatiku. Namun, memang manusia hanya bisa berharap, Tuhan lebih menentukan jalan hidup setiap hamba-Nya.

Sebuah buket bunga tersimpan rapi di tangan kananku. Lalu sebuah kotak penuh rahasia yang sudah kuhias sedemikian rupa hadir di tangan kiri. Sebentar lagi wisuda SMK sudah akan selesai, artinya momen aku akan meluapkan perasaan hadir tak lama lagi. Tuhan, kuatkan hatiku untuk menerima apapun jawabannya, aku bergumam dalam hati. Beberapa murid dan tamu undangan wisuda sudah beranjak meninggalkan gedung salah satu universitas yang digunakan untuk wisuda sekolahku. Jantungku semakin berdegup kencang.

"Fathan!" Aku berseru sedikit keras memanggil sesosok bertubuh tinggi, berkulit putih, dengan potongan rambut pendek sesuai aturan sekolah. Pria yang kupanggil menoleh, dagunya ia angkat untuk membalas panggilan.

Dengan sedikit kaku aku mendekat padanya. Genggaman di buket bunga semakin mengerat, jantungku semakin tidak bisa dikendalikan. Aku menarik napas dalam-dalam, lalu kukeluarkan pelan. Semakin dekat langkahku, semakin banyak keringat di tanganku. "Selamat atas kelulusanmu!" ucapku, berusaha memberikan senyum terbaik.

"Iya makasih." Balasan yang sangat menenangkan. Bahkan aku bisa menghela napas lega mendengar balasan itu.

Namun, itu belum selesai. Buket dan kotak kado masih ada di tanganku. Rentetan kata masih ada di ujung bibirku. Akan tetapi, aku jadi ragu mengungkapkannya karena mendengar seruan beberapa orang tampak menggoda. "Maaf, aku sudah lancang menaruh rasa," ujarku dengan menunduk tidak berani menatap Fathan.

"Ini buket dari aku. Dan kotak ini adalah sebuah benda yang mungkin sudah kamu duga," lanjutku masih tetap tidak ingin menatap lelaki tampan itu. Aku mengulurkan buketnya beserta kotak tersebut. Dua benda itu belum juga beralih posisi, masih ada di tanganku. Semakin terlihat kedua tangan yang bergetar hebat itu kala terdengar bisik-bisik di sekitar.

"Dia sadarkan siapa yang ditembak?"

"Fathan itu siswa aktif, sementara tuh cewek siswa tersembunyi."

"Hei, mantannya Fathan kan model. Yakin nerima Cahaya?"

"Dia siapa sih kok nembak Kak Fathan di tempat umum gini?"

Banyak sekali pertanyaan manusia-manusia berisik itu. Aku tidak mau mendengarkan semuanya, lebih baik menulikan telinga saja. Ini juga Fathan belum menerima sodoran tanganku sama sekali. Setidaknya kalau tidak menerimaku, terima saja barangku begitu saja susah. "Terima kasih," ucapnya dengan suara laki-laki. Suara yang selalu aku kagumi setiap mendengarnya. Senyum senang pun mulai terbit, napas lega mulai terdengar.

"Tapi maaf kalau untuk perasaan—"

"Iya. Gak apa-apa kok. Aku tahu. Tapi maaf aku belum bisa menghilangkan perasaan ini. Aku bilang ini supaya kamu tahu perasaanku aja. Makasih udah jadi temenku, makasih udah jadi Fathan yang susah ditebak. Entah emang kamu kayak gitu atau ada sesuatu di baliknya, tapi aku senang kenal kamu. Aku terima penolakan kamu, tapi jangan paksa aku hapus kamu di ingatanku."

Sudah satu tahun aku merancang kata-kata itu, akhirnya keluar juga. Satu tahun? Iya! Aku memendam perasaanku pada Fathan, si ketua kelas di kelasku memang selama itu. Baru sekarang mentalku berani mengutarakan. Sebetulnya sejak masuk sekolah awal, aku tidak pernah menyangka akan terjebak perasaan dengan ketua kelas itu. Namun, begitu akan naik ke kelas sebelas SMK aku dibuat bingung dengan sikapnya.

Saat aku dibuat uring-uringan dengan sikapnya yang berubah-ubah. Desas-desus tentang Fathan berpacaran dengan seorang model juga tak bisa terelakkan. Semakin tersayat hatiku, ketika rumor itu menyebar dia juga menjauh dariku. Akhirnya aku mengerti, memang dia sedang dekat dengan seorang gadis. Lantas, sebelum momen praktik kerja lapangan terlaksana, dia dikabarkan putus. Aku senang? Tidak usah ditanya, aku bersyukur tentang itu.

Dia putus, kembali lagi membangun interaksi denganku. Interaksi yang mampu memunculkan perasaan tak menentu di hati. Hingga akhirnya aku berdiri di sini, menatapnya dengan senyum tulus. Setelah lulus, kecil kemungkinan untuk bertemu dengannya. Maka aku tidak akan membuang kesempatan ini. Tidak munafik, aku rindu dengan dia yang dulu pernah menyebutku sebagai ‘seniman’, kenapa? Karena aku suka menulis. Sempat memikirkan kata-katanya, apakah penulis juga seniman? Ternyata ya memang iya.

“Makasih, Cahaya. Hadiahnya aku terima. Maaf sekali lagi, aku masih terkejut dengan kejujuran kamu sekarang. Aku gak tahu gimana jawabannya.” Aku tersenyum geli mendengar penuturan Fathan, padahal niatku bukan untuk jadian dengannya. Jadi diterima atau tidak aku tidak memikirkannya, asal dia sudah tahu perasaanku itu sudah cukup. Lagi pula aku memang setuju dengan salah satu ucapan manusia tadi—entah siapa—jika mantan Fathan adalah seorang model, mustahil untuk menerima gadis biasa sepertiku. Gadis yang tidak populer dan tidak mengikuti organisasi apapun di sekolah.

“Iya. Aku nggak ngajak jadian kok. Semoga sukses ya, calon fotografer dan maba di universitas seni,” godaku sedikit menyenggol cita-citanya. Dia memang menyukai dunia seni, khususnya seni fotografi. Sebab, di beberapa momen dia selalu memegang kamera. Dia terampil mengoperasikannya. Sempat dibuat berharap karena dia ingin melanjutkan di universitas seni, sementara dia pernah memanggilku seorang ‘seniman’. Bahkan aku sempat memikirkan apakah semua ini berhubungan? Namun, kembali lagi, dia punya mantan seorang model. Model tidak jauh dari pemotretan kan?

Fathan tertawa kecil. Terlihat menawan di mataku. Hanya saja aku tidak bisa memilikinya. Hanya bisa mengucapkan selamat tinggal dan terima kasih untuknya. Meskipun aku menyisipkan keinginan agar berjodoh dengannya di masa depan. Bisakah? “Kalau begitu aku pamit ya! Semangat, Fathan!” seruku seraya mengangkat tangan kanan memberinya semangat ala kemerdekaan.

Aku pamit, melanjutkan perjalanan yang masih ada di depan mata. Di setiap langkah yang kutempuh banyak doa kulangitkan agar bisa memilikimu dan itu dulu. Sekarang doaku hanya mengharapkan kesuksesanmu. Aku mengeluarkan napas dengan kasar, berusaha menenangkan diri dari rasa sesak di dada yang tiba-tiba menyerang. Tanpa sadar setetes air mata jatuh melewati pipi. Entah kenapa rasa perih menyerang di dada. Kuubah tempo berjalan menjadi berlari. Melewati beberapa manusia yang masih ada di gedung tersebut, menuju ke kamar mandi samping gedung. Menutup salah satu bilik dan menumpahkan tangisan. Sial, ini sakit sekali. Tidak bisakah waktu diulang ketika aku dan dia berinteraksi normal seperti biasa.

***

“Kisah cinta yang unik,” komentar suamiku terdengar begitu dia menutup buku lusuh itu. Tanggapanku hanya meringis lirih, bisa-bisanya dia menemukan catatan itu di kamarku yang dulu. Pun bisa-bisanya buku itu masih ada di lemari.

“Terus bagaimana kabar Mas Fathan sekarang?” tanyanya sambil duduk bersila di hadapanku yang sedang menikmati tayangan televisi. Aku belum menjawab, masih menyelesaikan kunyahan camilan di mulut. Kulirik sekilas ke arah sang suami yang masih menunggu jawaban. Sudah kuduga pertanyaan itu akan muncul juga nantinya.

Aku meraih segelas air putih di nakas dekat dengan ranjang, meneguknya sedikit mengobati serat di tenggorokan. “Kabarnya sudah menikah dan akan punya anak.”

“Oh ya? Terus apa isi di kado yang kamu kasih ke dia, hm?” Kan, dia banyak sekali bertanya karena buku lama itu.

“Em apa ya? Aku lupa.” Aku menaruh jari telunjuk di dagu berpura-pura sedang berpikir keras padahal hanya menggoda saja. Sekaligus malas menjawab pertanyaan retoris dari suami tersayangku itu.

“Wah padahal aku ingin memamerkan sebuah buku dengan penulis terkenal loh. Ceritanya bagus sekali sampai aku selalu dibuat tersenyum karena tulisannya.” Terlihat suamiku itu membuka laci nakas, mengeluarkan sebuah buku dengan sampul berwarna biru langit. ‘Catatan Langit’ begitulah judul di bukunya.

Mataku memicing, bibirku berkedut ingin tersenyum, tetapi harus kutahan. Buku itu seperti mesin waktu mengajakku kembali pada momen 8 tahun yang lalu. Momen di mana aku tersenyum dan menangis di hari yang sama. “Penulis terkenal apanya,” celetukku merasa sedikit tersinggung dengan sebutan itu.

“Terkenal di hatiku, Sayang.”

“Gombal!” Mataku berotasi seolah malas, tetapi kemudian senyum salah tingkah juga aku terbitkan. Rasa panas menjalar di pipi, pasti sekarang pipiku memerah seperti habis ditampar.

“Tapi tulisan kamu bener-bener bagus, Cahaya. Aku suka! Suka sekali,” puji pria di hadapanku sekarang. Aku hanya bisa tersenyum menanggapinya.

“Kadang aku bingung sama kamu. Waktu masa sekolah kamu bersikap biasa saja di depanku seolah tidak punya perasaan. Malah kamu terlihat cuek sama aku, interaksi seadanya. Terus tiba-tiba ngasih buket sama buku waktu kelulusan. Terus kukira kamu mengajak aku pacaran, tapi hanya memberiku benda itu.” Ungkapan itu aku dengar dari Fathan. Iya, suamiku sekarang. Ternyata harapanku dikabulkan oleh Tuhan. Sosok Fathan yang aku suka semasa SMK kini adalah masa depanku, suamiku, ayah dari anak-anakku.

Terkadang aku masih merasa malu mengingat kejadian dulu, menangis di kamar mandi padahal menangisi jodoh sendiri. Empat tahun setelah kelulusan, Fathan datang ke rumahku bersama keluarganya untuk menyampaikan maksud meminangku. Jelas saja terkejut, apalagi Fathan mengakui perasaannya muncul setelah aku memberinya buku saat wisuda tersebut.

“Malah senyum-senyum! Aku tanya, Cahaya Sayang.”

“Karena selain rasa cintaku ke kamu, aku juga cinta ke yang lain, Mas.”

“Siapa?!” Tatapan terkejut dilayangkan Fathan padaku, bertanya dengan tak sabar menunggu jawaban.

“Hobi dan kedua orang tuaku. Aku cinta kalian ber-empat. Makanya aku nggak mau mengutamakan kamu dulu sebelum sukses, bukan berarti cintaku ke kamu itu kecil. Tapi ada yang lebih penting sebelum nanti aku ketemu kamu lagi. Soalnya banyak yang bilang kalau perempuan sudah jatuh cinta ke laki-laki logikanya akan susah jalan,” jawabku dengan tenang lantas memadamkan api cemburu yang sempat menyambar hati Fathan.

“Aku cinta kamu! Pokoknya aku cinta kamu, Cahaya. Inget ya! Kalau perlu kamu tulis sampai seribu halaman terus jadikan buku. Fathan mencintai Cahaya kemarin, sekarang, besok, dan seterusnya!” Ucapan penuh penekanan itu seolah mengajakku untuk tertawa kecil. Lucu memang, tetapi aku sangat bersyukur dengan lika-liku perjalanan cinta yang Tuhan berikan padaku. Memang harus melewati air mata dulu untuk mendapatkan Fathan karena setelah kudapatkan dia memanglah suami tersayang dan idaman. Aku tidak akan menyia-nyiakannya dan berusaha selalu ada di sampingnya.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar