Saya sebenarnya tidak ingin menceritakan hal ini, tetapi ingin mengisahkannya juga. Jadi saya bingung dan membuat voting antara saya dengan diri saya. Siapa yang memperoleh suara terbanyak sebenarnya saya juga tidak tahu. Saya memilih tidak ingin menceritakan hal ini dan diri saya memilih mengisahkan cerita ini.
Kira-kira begitu problematika dalam hidup saya saat duduk di teras rumah sambil menikmati terik matahari di langit Wakai. Ingin sekali saya pergi ke Air Terjun Tanimpo, lalu menceburkan diri di airnya hijau kebiruan dan dingin itu. Sayang sekali, saya lagi malas mandi.
Intinya, saya ingin menceritakan kisah ini; kisah saya sendiri yang pernah bermimpi pada suatu siang.
Dulu, waktu umur saya sepuluh tahun, saya mungkin tertidur saat berjalan. Kemudian, ketika membuka mata, saya melihat atap sekolah dari kejauhan. Kira-kira lima puluh meter begitu jauhnya.
Bermimpi dan bangun, pikiran kecil saya mulai diisi dengan satu pertanyaan.
"Apa cita-citamu?" Kira-kira ini bentuk sederhana dari kalimat yang diproduksi otak saya.
Saya mulai bertanya-tanya kepada hati, apa cintamu? Lalu, saya lagi di kepala, apa cita-citamu? Cuma jantung yang menjawab dengan detak-detak cepat, berat, dan keras. Saya seperti mau mati saat itu, tetapi tidak mati.
Inilah permulaan yang tidak pernah saya bayangkan akan membawa saya pada titik sekarang. Tidak pernah sekalipun. Namun, hari itu membuat saya bertahan hidup sampai sekarang, berkarya dan terus berkarya, lalu mengharapkan lebih dan lebih seperti orang rakus. Sampai saya pikir, habis ini saya tidak mau apa-apa lagi.
Mengenai: "Apa cita-citamu?" saya pun sudah mengambil keputusan. Saya ambil bukan dari awal, tetapi seiring berjalan waktu.
Sejak muncul pertanyaan "Apa cita-citamu" saya menjawab, "Saya ingin jadi abadi."
Anak sepuluh tahun tahu apa tentang dunia? Ketika teman-teman saya ramai-ramai berbincang tentang cita-cita mereka jadi guru, pilot, dan sebagainya, saya ingin jadi abadi. Konyol sekali.
Akan tetapi, ini gambaran halus bintang yang lempar ke langit. Langitnya tinggi sekali.
Saking tingginya cita-cita menjadi abadi, saat saya SMP, saya mulai bertanya-tanya, bagaimana cara menjadi abadi? Mustahil.
Namun, tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Saya melihat buku novel teman saya dan mulai tertarik menulis. Pada usia 13, cerita pertama saya selesai, saya tulis tangan, saya tulis di buku tulis yang isinya 23 lembar. Ganjil sekali soalnya satu lembar kosong. Harusnya 24.
Cerita pertama itu bukan kisah kehidupan saya. Sama sekali bukan, tetapi fiksi tentang putri kembar yang satu cantik, satunya lagi buruk rupa. Lalu, saya tulis nama saya di bawahnya sebagai pengarang.
Saya pikir begini: "Selama buku ini tidak rusak, saya akan tetap hidup." Karena ini saya yang tulis. Jadilah saya berpikir bahwa jika ingin abadi, maka menulislah.
Kemudian saya lihat karya-karya sastrawan lama dalam mading-mading kelas. Saya tambah yakin lagi bahwa inilah cara untuk menjadi abadi.
Kelas satu SMP, saya putuskan untuk jadi pengarang. Ini gambaran bintang kedua yang saya susun di bintang pertama. Semakin jelaslah tujuan hidup saya.
Saya berkarya di buku tulis sampai SMA meski dulu pernah berhenti karena persiapan ujian dan banyaknya tugas sekolah. Saya strees. Saya tidak bisa menulis, sedangkan saya ingin menulis. Berat! Orang tua saya tidak mendukung dan saya tidak punya pembaca.
Semuanya kacau. Saya rasa, antara saya dengan bintang yang berada di langit itu semakin jauh jaraknya. Mustahil untuk saya gapai lagi. Hampir-hampir saya tenggelamkan diri saya di Air Terjun Tanimpo karena putus asa.
"Kapan kiranya masa ini akan berakhir? Saya tidak sanggup!" Begitu kata saya yang melarikan diri ke hutan karena berpikir bahwa tamat sudah, saya tidak bisa jadi abadi.
Saya mau berhenti sekolah waktu itu padahal baru kelas sepuluh. Kelas 1 SMA. Saya jurusan Matematika dan Ilmu Alam dulunya. Akan tetapi, rencana putus sekolah saya gagal karena hidup saya semakin tidak tenang. Mau menulis, datang guru satu bujuk saya, datang teman ikut bujuk, datang orang tua dengan diamnya mereka. Sudah pusing saya.
Bayangkan kalau kamu mau menulis, tetapi didatangi orang silih-berganti yang bujuk-bujuk sampai berjam-jam. Kamu tahan? Tidak. Saya pun tidak tahan.
Akhirnya saya kembali ke sekolah. Ikut ujian semester dengan perasaan yang hancur. Tidak fokus. Tidak belajar. Tidak mau apa pun. Anehnya saya masih juara 1 di kelas waktu itu. Makanya tidak ada yang mau saya berhenti sekolah. Prestasi saya cukup bagus, tetapi saya maunya menulis, berkarya, mengarang cerita, sepuas hati saya. Bukan belajar, kejar-kejaran nilai sama juara lain, mengerjakan tugas sampai tengah malam, dan dituntut untuk juara lagi sama orang lain. Benar-benar sulit sekali saya rasa.
Namun, pernah suatu hari di SMA itu, saya sudah naik kelas 11, saya bincang dengan teman yang nyatanya senang juga bikin cerita fiksi dan jago buat komik. Bakatnya ini anak luar biasa menurut saya. Tak usahlah sebut namanya. Saya sebut nanti saya soalnya saya suka dia dulu.
Dalam perbincangan kami, dia bilang begini: "Ya, tidak apa-apa kamu mau jadi pengarang atau penulis. Namun, kamu juga harus ingat bahwa cita-citamu tidak bisa memberikan penghasilan yang tetap, tidak ada tunjangan akhir tahun, tunjangan kematian, dan tergantung orang suka atau tidak. Kamu akan jadi seperti pedagang nantinya. Kamu lihat pedagang, kira-kira begitu? Jadi, boleh kamu bercita-cita jadi penulis atau pengarang, tetapi jadikan itu sampingan dan cari pekerjaan utama yang bisa menghidupi kamu walau kamu sakit."
Saya awalnya tidak setuju dengan pendapat dia, tetapi saya bukan pembangkang atau si keras hati yang iya-iya saya saja. Tetap, saya simpan kata-katanya ini dalam hati, dalam pikiran, dalam ingatan saya. Sampai ketika saya menulis ini pun masih tetap ingat karena saya memahatnya baik-baik.
Akhirnya, iya! Saya akan cari profesi lain dan terus belajar semestinya siswi lain yang menempuh pendidikan. Nilai ujian akhirnya memuaskan. Saya peringkat pertama dari sekian ratus siswa di sekolah saya.
Ketika mendaftar untuk melanjutkan pendidikan di universitas, saya masuk jalur SN. Saya lolos di salah satu universitas di sebuah kota di jurusan bimbingan konseling.
Namun, seolah-olah takdir tidak mengizinkan saya atau nasib sedang tidak mendukung, saya terlambat memasukkan berkas ke universitas.
Apa yang terjadi kepada saya? Saya dinyatakan mengundurkan diri!
Sakit hati? Oh tidak. Saya menangis? Tidak juga. Tidak pula saya kecewa karena dari sinilah saya mulai menulis lagi dengan segiat-segiatnya seorang pengangguran yang tidak melanjutkan pendidikan.
Saya mulai mempublikasikan karya saya di sosial media, mengambil jalur belajar via online di grup-grup, dan bergabung dengan komunitas serupa. Dari sana saya belajar banyak hal sampai tidak bisa menangkapnya satu per satu. Akhirnya saya butuh waktu untuk mencerna semua ilmu itu dalam kepala dan perlahan-lahan menerapkannya.
Tahun 2021, buku saya terbit. Sebenarnya saya lupa buku pertama saya judulnya apa dan terbitnya tahun berapa.
Ini kebanggan pertama saya yang paling berkesan dalam hidup.
Namun, apakah buku itu booming? Oh, tidak. Karena itulah, judul tulisan ini "Buku Ini tidak Laris".
Lalu, apakah saya menyerah atau putus asa? Oh, tidak lagi.
Saya telah melempar bintang ketiga saya di langit. Untuk menggapainya, saya sadar bahwa saya harus mendaki satu demi satu anak tangga yang diciptakan dari berbagai proses belajar, berkarya, membaca, dan berteman. Saya naik atau dua tangga, tetapi saya juga merasakan bagaimana jatuh dan patahnya anak tangga itu sehingga saya mesti memperbaikinya.
Kemudian saya sadar lagi bahwa saya melakukan semua ini bukan karena ingin abadi atau menjadi pengarang. Akan tetapi, saya benar-benar suka menulis cerita, merangkai kisah fiksi yang memenuhi kepala saya, dan menjinakkan bagaimana gilanya ketika berimajinasi. Ini hidup saya dan ini saya!
Saya jalani hidup saya tanpa kecewa karena tidak pernah menyesal telah mengambil jalan.
Bagaimana saya sekarang ini? Sebenarnya saya juga tidak yakin bagaimana saya sekarang.
Saya bekerja sebagai guru honor di salah satu taman kanak-kanak. Saya pikir-pikir cita-cita saya waktu pertama masuk sekolah dasar sudah terwujud. Walau cuma jadi guru TK, tetapi saya merasakan getaran luar biasa ketika anak murid saya memanggil saya "Ibu".
Saya juga masih menulis meski "Buku Ini tidak Laris" karena ternyata saya tidak berbakat jadi pedagang, tetapi cinta dengan apa yang saya lakukan.
Pada akhirnya, sebelum saya cosplay jadi ibu rumah tangga padahal belum menikah, saya ingin menulis satu kutipan.
"Hidup dimulai dari memburai hingga terangkai."
Saya memakai moto ini dalam setiap buku. Setiap hal yang saya ambil bercerai berai dari berbagai pengalaman hidup yang sudah saya lalui. Hal-hal kecil dan besar, istimewa atau biasa, dukanya atau tawa, saya kumpulkan mereka dan saya rangkai jadi kisah: Inilah hidup saya.
Catatan
dari:
Buku Ini tidak Laris
Oleh:
Na