“PRANG!”
Aku berhenti membaca koran yang baru aku selesaikan sebagian. Kutatap tajam perempuan muda yang berdiri di sudut ruangan. Sebelah tangannya yang memegang kemoceng tampak gemetar. Parasnya yang manis tampak pucat pasi. Aku letakkan koranku dan segera beranjak mendekati tempat kejadian. Pegawai baru itu tampak tergesa-gesa membereskan kaca yang berserakan di lantai akibat kecerobohannya. Aku lihat tangannya sedikit berdarah tergores serpihan kaca, Tapi yang aku khawatirkan bukan itu.
“Goblok kamu. Kalau kerja hati-hati!” hardikku tajam. Perempuan yang hanya lulusan SD itu semakin ketakutan dan berkali-kali menggumamkan permintaan maaf. Aku segera mengambil boneka berkebaya merah yang tergeletak dalam kotak kacanya yang sudah pecah dengan perasaan sayang. Aku betulkan kondenya, aku teliti setiap jengkalnya, berharap ketololan pegawai ingusan itu tidak membuat luka pada kulitnya yang halus. Ternyata memang tidak.
“Kamu tahu berapa harga boneka ini?” lanjutku sambil terus menimang boneka perempuan jawa itu penuh sayang, seolah-olah itu adalah anak semata wayangku sendiri. Tapi memang demikianlah aku memperlakukannya. Boneka itu boneka langka.
Perempuan itu menggeleng, entah memang tidak tahu atau karena tidak fokus dengan pertanyaanku akibat luka gores di jemari lentiknya. “Gajimu setahun juga gak bakal cukup buat ganti.”
“Maaf,” perempuan muda yang baru tiga hari bekerja itu semakin menunduk dengan wajah sepucat kafan. Kotak kaca bekas rumah boneka kesayanganku sekarang sudah jadi pecah belah dalam tempat sampah di tangannya.
“Lain kali hati-hati. Goblok!” Aku meninggalkannya menyesali perbuatannya yang tidak hati-hati, untuk merawat kekasihku.
Bonekaku ini begitu cantik. Di antara boneka-boneka lain yang aku jual di sini dia yang paling aku harapkan untuk tidak dibeli. Dan memang sudah seharusnya demikian, karena aku memajangnya di sana bukan untuk aku jual, tapi supaya ada yang tertarik untuk memilikinya.
Aku mendapatkan boneka itu dua tahun yang lalu dalam lawatanku ke Yogyakarta. Waktu itu aku sedang mencari inspirasi bisnis yang tepat untukku. Dan di sanalah boneka itu aku temukan. Pertama kali aku lihat dia tampak penuh karisma bagai ratu boneka, di antara boneka-boneka kayu kusam yang diobral sang penjual.
Aku tidak tahu apa yang membuatku tertarik dengan boneka itu, karena meskipun sampai saat ini aku masih hidup sendiri, aku tidak pernah tertarik dengan boneka. Apalagi boneka kumal. Namun boneka berkebaya merah darah itu seolah memanggilku untuk mendekat. Aku tinggalkan tawar menawar tas yang baru saja aku lakukan untuk menghampiri kakek tunanetra pengobral boneka.
“Kek, boneka yang ini berapa?” tanyaku kepada si kakek yang tampaknya selain tunanetra juga menderita tunarungu. Pantas saja dagangannya sepi.
“Kek, boneka yang ini berpapa?” aku mengulangi pertanyaanku, kali ini agak meninggikan volume suaraku.
“Eh, napa mbak?” si Kakek balik bertanya dalam bahasa Jawa yang artinya kurang lebih ‘apa mbak?’ Aku sedikit banyak bisa berbahasa Jawa karena Ayahku asli Surabaya sementara Ibuku asli Solo. Hanya saja karena selama ini dibesarkan di Ibu Kota kemampuanku hanya sebatas yang dasar-dasar saja.
“Niki pinten Mbah, bonekane?” aku mengulangi pertanyaan yang sama, kali ini dalam Bahasa Jawa, sambil aku sentuhkan boneka yang aku maksud ke simbah penjual itu.
“Niku beta mawon mbak nek njenengan seneng,” kata simbah dengan suara tuanya. Aku ragu apakah tadi si simbah mengatakan bahwa boneka itu gratis jika aku suka, atau bagaimana. Seperti yang aku bilang tadi, Bahasa Jawaku hanya sebatas yang dasar-dasar. Aku-pun meminta tolong kepada pedagang sandal di sebelah simbah itu untuk membantuku menerjemahkan. Dan ternyata memang benar, boneka itu boleh aku bawa kalau aku suka.
Awalnya aku senang. Baru setelah tiba di hotel mendadak aku jadi penasaran. Apa yang membuat si kakek itu memberikan boneka itu secara cuma-cuma. Berbagai kemungkinan jawaban mulai memenuhi kepalaku. Tapi aku terlalu lelah untuk mengulasnya lebih lanjut. Akhirnya aku tertidur saat itu juga.
Keesokan paginya aku dibangunkan oleh suara dering alarm dari handphone-ku. Aku menggeliat bangun dan melihat keranjang belanjaku kemarin belum sempat aku jamah sama sekali. Aku urai satu-satu belanjaanku, dan di sanalah boneka itu, tergeletak manis di antara sepatu batik. Sesaat aku merasa ada yang aneh dengan boneka itu.
Tidak seperti biasanya, aku mengabaikan belanjaanku yang lain dan langsung meraih boneka itu. Aku amati detilnya. Boneka itu adalah boneka kayu yang menggambarkan seorang penari jawa dengan bibir merah. Aku raba setiap sentinya. Benar, aku merasa ada sesuatu yang tidak beres dengan boneka ini. Aku melihat lebih dekat lagi, dan serta merta aku terlonjak. Dering handphone-ku lagi.
Ternyata Mirasih, teman kuliahku dulu. Dia asli Yogya. Saat aku kabari aku mau ke Yogya, dia langsung mengajak ketemuan. Yasudah, memang itu tujuanku memberitahu dia. Tapi ternyata dia membatalkan ketemuan karena suaminya baru pulang dari luar kota. Ah, yang punya suami, batinku getir. Hari ini berarti jalan-jalan lagi sebelum balik ke Jakarta.
Aku letakkan boneka itu di atas meja telepon kemudian bergegas ke kamar mandi untuk mencuci badan yang sejak kemarin belum menyentuh air saking senangnya berbelanja keliling Jogja. Selesai mandi, tatapanku langsung tertuju ke arah boneka kayu itu. Benar, ada yang aneh dengan boneka itu. Tapi apa? Ah, mungkin cuma perasaanku saja.
Aku berpakaian dan berdandan, kemudian mengambil amunisi belanja, termasuk tas yang kemarin baru aku beli. Sekali lagi aku melihat ke arah boneka kayuku sebelum meninggalkan kamar.
Aku pulang sekitar pukul empat sore. Lobi hotel begitu sepi. Aku segera naik ke kamarku untuk berkemas karena pukul enam kereta yang akan membawaku pulang dijadwalkan berangkat. Aku buka kamarku. Seketika tercenung. Di dalamnya ada dua pirang sedang bercumbu. Aku segera kelabakan. Aku meminta maaf kepada bule itu dan mencoba menjelaskan apa yang terjadi. Namun karena sepertinya pelancong itu belum bisa menerima penjelasanku, kami bersama-sama menuju resepsionis. Sepertinya resepsionis salah memberi kunci kepadaku. Tapi aku yakin kamarku adalah kamar no. 84. Jadi aku bergeser satu pintu dan di sanalah boneka itu berada, duduk manis tidak bergeser sesentipun dari tempatnya.
Aneh sekaligus lega rasanya setelah seharian banyak berasumsi dan mengira boneka itu akan berpindah tempat setelah aku pulang. Dan ternayata memang aku salah. Mungkin ini karena stress Quarter Life Fear yang aku alami sepanjang tahun ini. Bagaimana tidak stress, di usiaku yang sudah hampir 40 aku belum memiliki pendamping hidup. Sementara tekanan datang dari berbagai sisi, terutama keluargaku sendiri. Jadilah aku ingin berbisnis sebagai pelarian.
Lalu tiba-tiba aku mendapatkan inspirasi bisnis. Bisnis toko boneka kayu. Ya, pasti belum banyak di Jakarta toko yang menjual boneka kayu. Dengan misi memperkenalkan boneka cantik dalam negeri kepada penduduk Ibu Kota, aku dengan mantab akan memilih bisnis ini.
Aku belai boneka itu di bawah temaram sinar senja yang menerobos dari jendela kamar. Sontak aku kaget. Ini bukan kamarku. Kamarku tidak berjendela. Aku letakan kembali bonekaku kemudian bergegas menuju resepsionis. Namun ternyata data resepsionis mengkhianatiku. Aku berusaha menjelaskan, dengan sangat yakin, bahwa kamarku adalah kamar No.84. Tapi data di resepsionis menunjukkan sejak kemarin aku menggunakan kamar 83.
Ini aneh. Mendadak perasaanku tidak enak. Apa mungkin ini ada hubungannya dengan boneka itu? Bisa saja kan, mana mungkin ada pedagang Malioboro mau memberikan barang cantik seperti itu secara cuma-cuma. Banyak asumsi kembali mendera pikiranku.
Jam menunjukan pukul lima lewat seperempat. Tidak mau ambil pusing, aku kembali ke kamar untuk berkemas. Anehnya, boneka itu tidak ada di manapun. Aku cari di setiap sudut ruangan namun aku tidak berhasil menemukannya juga sampai pukul setengah enam. Gawat, aku harus segera ke stasiun. Akhirnya aku putuskan untuk mengabaikan boneka itu. Toh, aku tidak mengeluarkan uang untuk mendapatkannya. Lagipula boneka itu aneh. Sebaiknya memang tidak aku bawa pulang.
Selesai berkemas aku melakukan check out, menyegat taksi yang membawaku sampai ke stasiun sepuluh menit kemudian. Untung kereta datang terlambat. Jadi aku tidak perlu menunggu kereta berikutnya yang bisa jadi baru akan berangkat besok pagi.
Kereta-pun melaju semakin cepat. Aku baru saja menyandarkan kepala di sandaran kursi ketika HPku bordering. Aku lupa di mana meletakannya. Sepertinya suara dan getarannya berasal dari dalam tas. Aku cari di sana dan aku kaget saa menyentuh sesuatu yang sangat familiar. Alih-alih mengeluarkan HPku yang sudah berhenti berdering, aku menarik keluar benda itu. Sebuah boneka penari jawa dari kayu. Tiba-tiba aku merasa ngilu yang tidak terdefinisi.
Aku berusaha melogika kejadian ini. Mungkin tadi aku lupa sudah mengemasinya. Walaupun aku tidak yakin, tapi fakta inilah yang sekarang aku pegang. Fakta lainnya, boneka ini benar-benar misterius. Firasatku mengatakan aku harus menyingkirkannya. Kebetulan di depanku duduk anak perempuan yang tampak bosan dengan perjalanannya. Dengan ramah aku memberikan boneka itu dengan dalih supaya dia tidak bosan. Dia menerimanya dengan senang. Akupun senang berhasil menyingkirkan barang jahanam itu.
Sekitar pukul tiga dini hari aku sampai di kamarku yang nyaman di Jakarta. Lelah, aku segera merebahkan diri. Namun ada sesuatu yang mengganjal kepalaku. Aku tepuk-tepuk, dan memang di sana ada sesuatu. Aku buka sarung bantalnya. Ternyata benda itu ada di dalam bantal. Entah kenapa rasa kantukku tiba-tiba hilang. Penasaran, aku mengambil gunting dan segera membedah bantalku. Dan tebak apa yang ada di sana. Boneka sialan itu. Sekarang aku tidak punya alasan pembenaran bagaimana benda itu bisa berada di sana selain bahwa boneka kayu itu memang dikutuk.
Begitulah aku mendapatkan boneka kayu cantik itu. Setelahnya, setiap kali aku berusaha memusnahkannya, memberikannya kepada orang lain, boneka kayu itu selalu kembali ke pangkuanku. Lama-lama aku tidak lagi ngeri dengan keanehan itu.
Aku memajangnya secantik mungkin di toko, berharap ada orang yang berminat dengannya dan dengan cuma-cuma aku akan memberikannya, seperti yang penjual sebelumnya lakukan. Mungkin begitulah cara yang benar untuk menyingkirkannya dari kehidupannku.
Selesai membungkusnya dengan kotak kaca yang baru, aku menyuruh Warti, pegawai baruku itu untuk meletakannya kembali ketempatnya semula dan mewanti-wantinya untuk lebih berhati-hati lagi, terutama terhadap boneka kayu cantik itu.
Aku amati dia tampak kesusahan menaruh boneka dalam kotak kaca itu. Sejurus kemudian, apa yang aku khawatirkan terjadi. Kotak itu jatuh dan pecah lagi. Aku hampiri gadis itu dan dengan berang aku maki-maki ketololannya.
Setengah menit kemudian, dia memukulkan boneka kayu itu ke kepalaku. Keras sekali sampai aku mati.