(Based on true story)
Banyak yang bilang kalo mau cantik harus langsing, putih, dan tinggi. Tapi apakah ada yang mengartikan cantik dengan sehat, waras, dan bahagia?
Hai, kenalin aku Prima. Sejak duduk di bangku SMP, aku mulai merasakan yang namanya dijauhi oleh temen. Aku tahu kalo sebenarnya mereka cuma ingin berteman dengan orang yang cantik, tapi apakah salah jika aku juga ingin berteman dengan mereka? Aku udah melakukan banyak hal loh supaya bisa join circle nya kalian, tapi kalian tetap ngga mau berteman denganku. Kita pernah duduk satu kelompok selama enam bulan, sesuai perintah dari wali kelas agar hubungan pertemanan kita jauh lebih erat. Tapi, setiap ada tugas kelompok, kalian tidak pernah mau mendengarkan pendapatku, apakah itu yang dinamakan tugas kelompok? Kalo begitu, jadikan tugas pribadi saja, karena hanya pendapat kalian sendiri saja yang ditulis di tugas kelompok, ini tidak adil.
Berselang beberapa bulan, aku jatuh sakit. Kata dokter, aku mengalami gejala tipes dan harus dirawat inap di rumah sakit selama sepekan. Aku menunggu kedatangan teman-teman sekelas untuk menjengukku, namun tidak ada tanda-tanda mereka akan datang. Entah berapa banyak botol infus yang aku habiskan selama kurun waktu satu minggu itu, aku tidak tahu. Yang aku tahu, kalian tidak datang menjengukku di rumah sakit. Setelah sepekan berlalu, aku sudah bisa pulang dan sudah sembuh walaupun belum sembuh total, aku ingin kembali ke sekolah. Aku terkejut saat mendengar satu kata yang keluar dari mulut temanku, “Prima, dah kurus dikit, lanjutkan dietmu, hahaha,” ucap salah satu temanku mengacungkan jempolnya. Temanku tidak tahu ya kalo aku terbaring di rumah sakit selama seminggu, apa mereka berpikir aku diet makanya ngga masuk kelas? Tidak tidak, itu tidak mungkin. Pikirku awalnya begitu, tapi setelah satu temanku berkata, “Sebenarnya kami ingin menjengukmu hari ini, tapi kamu udah masuk sekolah, makanya kami batalkan,” aku merasa sedikit tenang.
Namun, teman semejaku diambil orang!
Bagaimana bisa orang yang merundungku barusan berpindah tempat menuju bangku yang aku duduki selama sepekan dengan teman baikku yang baru aku kenal selama sepekan. Apakah ia tidak punya rasa malu saat aku kembali ke sekolah? Tampaknya tidak, ia memang tidak merasa malu dan bersalah, buktinya ia tidak berpindah dari bangku milikku. Selama sepekan aku tidak masuk sekolah, ternyata wali kelas mengganti anggota kelompok. Teman baikku sudah pindah ke kelompok yang jauh lebih damai dan tentram. Sedangkan aku, harus berhadapan lagi dan lagi dengan kelompok toxic itu. Dan sialnya lagi, aku sendiri. Dari sekian banyak murid di sekolah ini, mengapa hanya kelasku yang memiliki siswa ganjil? Alhasil aku duduk sendiri di meja yang harusnya diisi oleh dua orang.
Saat jam olahraga, teman toxic, ya. Sekarang aku sebut mereka teman toxic. Mereka olahraga bareng, jajan bareng, ganti baju olahraga bareng tanpa aku. Meskipun kami satu kelompok, mereka tidak pernah sekalipun mengajakku ikut bersama mereka untuk makan mie bareng tiap habis olahraga, ganti baju olahraga bareng, tidak pernah sekalipun mereka mengajakku ke perpustakaan untuk baca buku yang merupakan hobi mereka semua. Aku sendiri. Banyak teman dari kelompok lain yang melirik kasihan kepadaku, namun aku mengatakan, tidak apa-apa. Mungkin ini adalah cobaan bagiku karena aku memiliki tubuh yang gendut, hitam, dekil, bau badan, dan wajah beruntusan. Aku cukup merasakan drop dengan cacian yang mereka lontarkan, tidak hanya itu, mereka bahkan sering menghina tulisanku, mereka bilang tulisanku jelek, nanti nilai kelompok kita dikit karena tulisanmu tidak rapi. Mereka juga cukup terganggu dengan kebiasaan menulisku sambil menekan kuat pulpen yang akhirnya membuat meja bergerak-gerak, mereka mengatakan dengan lantang, “bisa ngga kalo tulis jangan ditekan?! Kami susah tulisnya kalo mejanya gerak-gerak!” aku cukup merasakan down akibat ucapan mereka.
Beberapa kali aku menangis di dalam kamarku dan berdoa semoga Tuhan memberikanku teman yang baik, tulus hatinya menerima segala kekuranganku, dan dijauhkan dari teman-teman toxic yang saat ini berada di sekeliling ku.
Singkat cerita, ujian akhir semester 2 pun tiba. Saat mengikuti ujian, aku cukup percaya diri. Aku percaya akan bertahan di kelas unggul ini karena aku belajar setiap harinya, namun dugaanku salah. Saat dimana hari diumumkan kenaikan kelas, aku berada di rangking 14 yang membuatku naik kelas, tapi di kelas biasa, bukan lagi kelas unggul. Aku bingung harus bilang apa sama orang tuaku, mengatakan aku diturunkan ke kelas biasa saja begitu susah terucap dari mulutku. Aku terharu mendengar ucapan orang tuaku yang tidak mempermasalahkan hal itu, bagi orang tuaku sekarang kebahagiaanku jauh lebih penting, daripada mengejar unggul tetapi merana batin karena teman yang toxic, mending di kelas biasa saja dengan teman yang bisa menerima segala kekurangan kita.
Berada di kelas ini, cukup mengobati rasa trauma ku terhadap teman-teman toxic itu. Teman baruku disini jauh lebih baik dibandingkan kelompok toxic itu. Teman baru ku ini meskipun mereka tidak pintar seperti murid di kelas unggul, tetapi mereka tahu caranya menghargai dan menghormati pendapat orang lain. Mereka tahu kapan saatnya sopan dan kapan saatnya menentang. Tidak bisa dipungkiri aku melihat perbedaan yang amat jauh dibandingkan kelasku yang dulu. Kelas ini tidak ada kata diam dalam kamus besarnya, kelas yang hampir tiap hari tidak pernah absen dari omelan guru karena keributan dan kebisingan yang dibuat para muridnya. Tetapi aku nyaman saat berada di kelas ini. Suka suka kami hadapi bersama, aku merasakan hangatnya keluarga disini. Meskipun kami berasal dari keluarga yang berbeda-beda, namun jika berada di kelas ini, kamu akan dianggap seperti saudara mereka sendiri.
Aku tidak pernah mendengar kata cacian ‘gendut’ keluar dari mulut mereka terhadapku. Padahal mereka bukanlah anak yang patuh seperti anak kelas unggul, tetapi mereka paham apa arti dari menghargai yang tidak aku temukan saat aku duduk di kelas yang berkedok unggul itu. Yang lebih anehnya lagi, guru bahasa Indonesia setiap hari memuji kelas unggul itu dan membandingkannya dengan kelas kami. Aku merasakan juga guru itu pilih kasih terhadap murid-muridnya, walaupun tidak semua guru seperti itu, hanya ada beberapa saja yang baik, seperti guru matematika kami yang sangat baik hatinya. Beliau tidak membeda-bedakan muridnya dalam mengajar, entah mengapa setiap beliau mengajarkan kami, ilmu itu rasanya langsung terserap ke dalam kepala.
Anehnya, ketika dikelas ini, aku menemukan guru-guru yang mengasyikkan, kecuali guru bahasa Indonesia yang sering menghujat kami. Semacam sebuah privilage yang aku terima setelah sekian banyak cobaan saat berada dikelas unggul dulu. I’m so grateful bertemu orang-orang seperti kalian, kalian orang baik yang pernah memberikan kesan indah dalam hidupku. Kalian mampu merubahku dari seorang introvert menjadi seorang yang lebih terbuka pikirannya, membelah benteng trauma ku saat berhadapan dengan orang-orang toxic.
Tanpa terasa, ujian semester dua kembali menyapa. Di ujian kali ini, aku hanya berharap semoga dipertemukan lagi dengan orang-orang baik yang bisa menerima segala kekurangan dan kelebihanku meskipun bukan mereka lagi yang aku temukan di kelas tiga nanti. Saat pengumuman tiba, aku mendapatkan rangking satu dikelas itu. Aku sangat senang sekaligus sedih, karena akan meninggalkan teman-teman baikku dan berhadapan lagi dengan teman toxic ku dulu. Saat acara salam-salam dengan para guru di tengah lapangan, wali kelasku saat kelas satu dulu bertanya aku naik ke kelas berapa, lantas aku menjawab Alhamdulillah naik ke kelas unggul. Beliau berkata, “akhirnya ketemu teman dulu lagi ya,” aku tersenyum paksa. “sial!” umpatku. Aku tidak mau bertemu mereka lagi, traumaku baru saja sembuh.
Saat menginjakkan kaki ke kelas unggul itu, aku meyakinkan diri beribu kali untuk tetap percaya diri dan tidak terbawa suasana masa lalu yang begitu menyeramkan. Aku mulai berjalan perlahan masuk di depan kelasku. Melihat semua bangku sudah terisi penuh, aku lantas duduk di bangku kedua barisan depan yang tersisa satu bangku kosong. Aku tidak mengenali murid di sebelahku ini, namun kelihatannya dia baik. Jadi aku bertanya, “apakah ada orang yang akan duduk di bangku ini?” Dia menjawab, “tidak ada.” Lantas aku pun bertanya lagi, “boleh ngga kalo aku duduk disini?" Dia menyetujuinya.
Saat wali kelas baru masuk untuk mengajar, beliau membetulkan posisi duduknya para murid terlebih dahulu. Barisan ujung, approved karena murid yang kecil duduk di depan dan yang berisi duduk di belakang. Barisan kedua juga approved. Nah, di barisan ketiga agak sedikit bermasalah. Pasalnya, temanku yang pintar tapi bertubuh mungil ini duduk di barisan belakang, sedangkan aku yang yang bertubuh besar duduk di barisan depan. Alhasil, wali kelas menyuruhku untuk pindah ke barisan paling belakang. Namun aku menyanggah, karena mataku rabun melihat papan tulis jika jarak dudukku jauh dengan papan tulis. Akhirnya, wali kelas menyuruhku duduk di barisan ketiga di belakang bersama temanku yang pintar dan selalu juara umum itu. Semoga nular sedikit pintarnya, pikirku.Aku kasihan melihat temanku yang dulu satu kelompok denganku, awalnya mereka berempat sangat akrab, tapi satu diantaranya diasingkan begitu saja. Aku tidak tahu apa permasalahan mereka yang begitu saja melupakan teman baiknya.
Selama setahun itu aku berteman baik dengan teman semejaku itu, mungkin inilah jawaban dari doadoa yang aku panjatkan kepada Allah SWT.