Ola, Pembaca!
Nama gua Deni alias ‘Dek’. Fyi aja, ‘Dek’ ini panggilan sayang bokap gua ke gua, khususnya sebelum adek bungsu gua lahir atau kalo adek bungsu gua gak ada di sekitar. Kalo ada adek bungsu gua di sekitar, bokap biasa manggil gua ‘Deden’.
Kali ini gua bakal cerita tentang perselingkuhan bokap gua yang selingkuh gitu aja, tanpa alasan spesifik.
Lu pada (pembaca) kenal orang yang udah tahunan pacaran tapi ujung-ujungnya selingkuh? Pasti banyak. Kira-kira lu tau alasan kenapa mereka tega nyakitin orang yang udah bertahun-tahun nemenin mereka? Kalo menurut gua, alasannya juga pasti banyak, dan macem-macem. Tapi kata bokap gua, “Nggak ada alasan orang selingkuh selain orang itu nggak tahu diri.”
Sebelum gua mulai cerita, lu pada (pembaca) harus tau alasan kenapa gua nulis cerita ini. Jadi, pada sebuah acara keluarga, adik perempuannya nyokap (Yi) tiba-tiba ngomong gini ke gua, “Den, kalau nanti kamu nikah, jadiin papa kamu contoh gimana caranya jadi suami yang baik.”
“Emang kenapa, Yi?”
“Papa kamu itu suami yang baik. Nggak pernah selingkuh.” Konteks aja, waktu itu mereka lagi ngebahas kasus viral perselingkuhan vokalis yang suka main jablay, dan karena kebetulan ada gua di situ, jadilah orang laen yang main jablay, gua yang dinasehatin.
Nasihat itu munculin pertanyaan dalam kepala gua, “Masa sih bokap nggak pernah macem-macem? Oke, mungkin sepengetahuan gua bokap emang baik. Tapi, masa sih waktu muda bokap gak ngehe?”
Selama beberapa bulan pertanyaan itu bikin gua penasaran, gua pengen nanya langsung ke bokap, tapi gak enak. Gua cuma bisa menerka-nerka. Dan karena rasa penasaran dan penerkaan inilah, gua dapet ide cerita fiksi yang bakal gua tulis secara serius, tentu saja bukan di kumpulan bacot ini.
Sampe akhirnya, tadi sore, rasa penasaran gua kejawab. Waktu gua lagi ngopi bareng bokap di teras. Saat itu tinggal kami berdua doang di rumah, jadi gua beraniin diri buat nanya, “Pa, Papa pernah selingkuh?”
Bokap yang lagi mau nempelin bibir ke cangkir ijo stabilo, tiba-tiba berhenti dan seketika natap gua, keliatannya kaget. Dan keliatannya gua bakal dimarahin. Karena itu, gua buru-buru megang gagang cangkir merah jambu gua yang ada di atas meja, nyetel bakal minum.
“Selingkuh?” Bokap nanya sambil naruh cangkir ijo stabilonya.
Gua ngangguk. Gak jadi minum. Cangkir merah jambu di tangan juga gua taruh.
“Kamu nggak punya pacar, Dek. Gimana caranya kamu selingkuh? Kamu selingkuh dari diri kamu sendiri?” Kata bokap, terus ketawa sendiri sama lawakannya. Fyi, sampe gua nulis bagian ini, gua masih ngerasa gak ada yang lucu dari kata-kata bokap, tapi serius, beliau ketawa lama banget.
Liat beliau udah puas ketawa, gua nanya lagi pertanyaan gua yang tadi. Bokap jawab, “Pernah.”
“Selingkuh dari mama?”
Bokap senyum doang.
“Papa selingkuh sama siapa?”
Bokap akhirnya mulai cerita.
Sebelum gua dikte ulang cerita bokap gua, lu pada (pembaca) harus tau beberapa hal tentang cerita ini; pertama, ada beberapa bagian—khususnya percakapan—yang gua karang sendiri. Tapi tenang, secara garis besar, tulisan ini sesuai dengan apa yang bokap ceritain; kedua, kalimat-kalimat di tulisan gua kali ini mungkin rada beda sama yang sebelumnya karena gua pengen suasana klasiknya berasa; ketiga, karena di sini gua nulis tentang orang tua gua, maka gua gak enak asal nyebut nama bokap gua gitu aja, jadi kita sebut bokap gua ‘Romeo’ dan karakter perempuannya kita sebut ‘Ophelia’ atau ‘Lia’, ya? (Gua baru baca Shakespeare soalnya).
*
(Kita mulai cerita bokap gua). Alkisah, di sebuah desa di timur Indonesia, ada sepasang muda-mudi, Romeo dan Ophelia alias Lia, yang berkekasih sejak mula masa putih abu-abu. Dua sejoli ini menjalani hari bahagia sampai mereka lulus sekolah dan tiba saat Romeo harus meninggalkan kampung halaman atas saran sang paman yang telah sukses di perantauan dengan bekerja di perusahaan perkapalan.
Amat berat bagi Romeo pergi meninggalkan Lia, ia sangat mencintai Lia dan sudah bertekad menikahi Lia suatu saat nanti. Tapi, demi masa datang yang lebih makmur bersama Lia, Romeo merasa wajib pergi.
Sebelum mereka berpisah, Lia sempat berjanji akan menyusul Romeo bagaimana pun caranya. Walau di tahun itu belum pernah ada seorang wanita dari kampungnya yang pergi merantau ke Jakarta, karena pergi ke Jakarta baknya pergi ke bulan, Lia tetap percaya dia akan melakukannya demi cintanya pada Romeo. Mendengar janji kekasihnya, Romeo bilang, “Andaikata mustahil bagimu menyusulku. Aku akan bekerja, menabung, lantas mengirim uang padamu agar kita bisa bertemu di tanah rantau, Lia.”
“Jangan dikau risaukan itu, Rom. Aku akan menyusulmu. Percayalah. Paling lama dua tahun lagi. Peganglah janjiku, Rom.”
Perpisahan dua sejoli itu pun berpenuh derai air mata.
Pendek cerita, Romeo menyusuri hidupnya di perantauan dengan sedikit saja rintangan. Tak berapa lama sejak tiba di Jakarta, ia sudah bekerja sebagai bawahan di perusahaan perkapalan di mana pamannya adalah seorang penting di sana. Dan atas saran sang paman, Romeo mengikuti banyak kursus demi karirnya nanti. Sementara Lia di kampung, nasibnya seperti banyak wanita kampung lainnya, membantu di kebun orang tua.
Waktu demi waktu berlalu, Romeo dan Lia hanya dapat bersua lewat surat. Banyak kata cinta dan rindu bertaburan di atas surat-surat itu, tak lupa derai air mata yang mengiring kala Lia menulis surat-suratnya. Rindu, o, rindu, betapa sakitnya kau buat pada dua sejoli itu.
Demikian pun rindu meremukkan, cinta itu tetap di hati masing-masing, lebih-lebih untuk Romeo. Cinta Romeo makin besar saja. Apalagi dalam setiap surat-surat kekasihnya, Lia selalu pula mencantumkan ayat-ayat suci yang menguatkan hati, salah satunya dari Kidung Agung: “Taruhlah aku seperti meterai pada hatimu, seperti meterai pada lenganmu, karena cinta kuat seperti maut, kegairahan gigih seperti dunia orang mati, nyalanya adalah nyala api.”
Namun, mereka hidup dalam semesta yang ngehenya minta ampun. Ketika dekat setahun Romeo di perantauan, muncul seorang sekretaris baru di kantornya. Puan itu bernama Tamara. Kesan mula Romeo pada Tamara adalah gadis ini pintar merawat diri dan lakunya anggun.
Hari-hari lewat, Romeo dan Tamara mulai berinteraksi, dan dari sana Romeo tahu bahwa usia mereka terpaut dekat saja. Dan karena itu pula, lambat laun baik Romeo dan Tamara pun nyaman bicara kepada yang lain, mereka mulai dekat secara pribadi sebab karyawan di perusahaan itu lazimnya berusia dekat paruh baya. Itu semua membikin intensitas bicara mereka pun naik setingkat demi setingkat, dan itu juga membikin Romeo sadar bahwa Tamara, selain parasnya memukau, otaknya pun tak kalah. Kekaguman Romeo pada Tamara makin-makin ketika tahu Tamara pandai nginggris alias fasih berbahasa Inggris. Betapa sempurnanya Tamara sebagai puan di mata Romeo.
Di titik ini, Romeo mulai tertarik pada Tamara dan ia mulai tergoda untuk mengkhianati Lia, tapi cintanya pada Lia di kampung halaman masih saja kuat seperti maut dan masih termeterai erat di hatinya. Romeo bertekad untuk melawan godaan, halang rintang, dan semua cobaan demi Lia yang menunggu dengan derai air mata di seberang lautan sana.
Pendek kata, setelah genap setahun Romeo di pulau orang, penggenapan rindunya pada Lia tibalah waktunya, karena telah saatnya ia pulang ke rumah orang tua.
Pada pertemuan mereka, bahkan kata-kata di kitab Kidung Agung tak mampu mengumpamakan rasanya. Air mata dan sukacita berpadu menelurkan manifestasi cinta. Dunia rasa-rasanya milik mereka berdua. O, indahnya, menjadi pemuda. Tak terbatas pada mesra-mesraan semata, pada pertemuan pertama itu, Lia pun mengungkapkan rahasia yang berbulan-bulan dia pendam, yang bahkan enggan dituturkannya lewat surat cintanya.
“Romeo, aku kan pergi ke Jakarta menyusul dikau.”
Romeo terpaku. “Maksudmu?”
“Ya, aku telah berjanji untuk menyusulmu, dan semakin dekat janji itu kutepati.”
“Apakah yang coba dikau bicarakan? Dikau akan pergi menyusulku dengan cara apa? Aku masih sedang menabung, Lia.”
“Tak lama setelah kepergianmu, datang beberapa orang penginjil ke kampung ini. Dan mereka menawarkan agar ada wanita dari kampung ini untuk sekolah menjadi pendeta di Jakarta, mereka yang membiayai segalanya. Tahukah dikau? Aku mengusulkan diri dan mereka menerimaku.”
Mendengar ucapan kekasihnya, Romeo langsung memeluknya, dan mereka menangis bersama. O, betapa baiknya semesta pada mereka kali itu.
Puas tangis-menangis, Lia berkata, “Romeo, ada banyak masalah sebelum aku dapat menyusulmu.”
“Katakan! Katakan saja! Akan kuusahakan masalah itu enyah.”
“Orang tuaku melarangku merantau. Aku satu-satunya anak puan mereka. Seharusnya aku yang menunggui rumah dan merawat kedua orang tuaku. Bagaimana pun, aku ini puan.”
“Aku berjanji akan mengusahakan agar dikau diizinkan merantau, Kekasihku.”
Janji itu Romeo tepati. Selama ia ada di kampung halaman Saban hari ia setia mengunjungi rumah Lia dan memohon kepada calon mertua supaya Lia boleh meninggalkan rumah. Pada hari pertama, sang ayah tegas menolak; pada hari kedua, penolakan itu lebih keras; tapi Romeo tak mundur, ia tetap datang lagi pada hari ketiga, meski calon mertua telah enggan menemui Romeo. Keinginan Romeo tak lantas gugur begitu saja, ia datang lagi pada hari keempat dan seterusnya. Sampai akhirnya, entah di hari ke berapa, ayah Lia akhirnya luluh.
Betapa gembiranya Romeo dan Lia sampai-sampai pada tiba waktunya Romeo pergi lagi ke tanah rantau, sudah tak ada air mata pada hari perpisahan itu. Romeo pulang ke tanah rantau dengan senyum yang sukar pudar.
Di tanah rantau kegembiraan Romeo akan angan-angan bahwa Lia bakal menyusulnya tak habis-habis selama sebulan penuh. Kegembiraan itu baru mulai pudar ketika pada suatu sore Tamara meminta kesediaan Romeo untuk mengantarnya pulang (sekadar pengetahuan, saat itu romeo baru saja dipercayakan pamannya untuk mengendarai motor pamannya ke tempat kerja). Sebagai kawan satu tempat kerja, Romeo menyanggupi permintaan Tamara. Pulanglah dua muda-mudi itu berboncengan. Akan tetapi, di tengah perjalanan Tamara memberi usul agar mereka mampir di sebuah rumah makan. Lagi-lagi Romeo menyanggupinya.
Selama mereka makan, Romeo memperhatikan cara Tamara makan, bagaimana wanita itu makan dengan sendok dan garpu, begitu anggun dan menarik hati Romeo sebagai pemuda yang baru setahun mengenal kehidupan kota. Bangsatnya pikiran Romeo, entah bagaimana ia memulai membandingkan cara Tamara makan dengan kebiasaan Lia makan—yang selalu menggunakan tangannya.
Setelah kejadian itu, setiap ada di samping Tamara, Romeo selalu mengamati kawan puannya itu dalam diam. Dan dalam diam itu pun, Romeo mulai membandingkan hal-ihwal antara Lia dan Tamara. Namun, banding-membandingkan itu selalu Romeo bantah dalam kepalanya. Ia masih terlalu mencintai Tamara untuk membiarkan dirinya sendiri menghina kekasihnya. Lagi pun, Tamara bakal datang sesaat lagi. Romeo memilih setia.
Waktu berlalu, tibalah akhirnya Romeo dan Lia bersemuka. Dan akhirnya tersisa bahagia semata yang menghiasi perasaan dua sejoli itu selama setahun mendatang. Perlu dicatat, asrama tempat tinggal Lia sekaligus tempatnya menempuh sekolah kependetaan letaknya dekat dari rumah paman Romeo sehingga Romeo dan Lia bisa bersemuka hampir tiap hari. Tak di situ saja, oleh karena sesama perantau satu asal, Lia pun diterima baik oleh paman Romeo dan istrinya. Ini membikin saban akhir pekan Lia kerap menginap di rumah paman Romeo. Awal mula, akhir pekan semata; waktu berjalan, setiap Lia lowong kuliah bibi Romeo selalu meminta Lia datang membantu mengurus anak-anak kecil sang paman. Soal kebersamaan mereka, sekurang-kurangnya tiga malam dalam seminggu mereka mengitari Jakarta untuk pacaran di kaki lima. Setahun berjalan begitu. Dan dalam satu kalimat, bisa dibilang: Romeo dan Lia dibuai bukan main oleh cinta.
Saat yang sama, Romeo makin karib berkawan dengan Tamara; dua manusia beda jenis itu pun masih rutin pergi makan bersama sebagai kawan. Dan setiap bersama Tamara, Romeo sempat bertanya-tanya dalam batin, “Apakah harus ia kenalkan Tamara pada Lia dan bilang kalau ia sudah punya kekasih?” Tak di situ saja, kadang-kadang pun muncul pertanyaan sama kala bersama Lia, “Apakah harus ia kenalkan Lia pada Tamara dan bilang bahwa ia sudah punya kekasih?”
Walaupun belum kejadian aneh-aneh antara ia dan Tamara, tapi logikanya selalu menolak bila hati kecilnya berniat mempertemu Tamara dan Lia. Entah apa yang ia takuti. Ia dan logikanya kompak menolak mempertemu kekasihnya dan kawan perempuannya.
Dan selama setahun bahagianya bersama kekasihnya Lia, terkhusus sehabis Lia menetap di Jakarta, ihwal banding-membandingkan yang pernah kejadian di lalu mulai sedikit sekali terjadi, kalaupun sempat terjadi Romeo pasti memihak kekasihnya di depan logikanya.
Hari-hari berjalan baik sampai suatu sore lepas kerja saat Romeo dan Tamara makan berdua, Tamara menyemburkan cerita tentang orang tuanya di kampung yang sakit. Dan sebagai kawan yang baik, Romeo asal saja mengelus pundak Tamara selama dia bercerita, lantas menguatkan hati kawan puannya di akhir ceritanya. Peristiwa ini tak lebih dari momen satu kawan memperbesar hati kawan lain. Tapi, cerita cinta akan beda bila semesta ikut campur. Karena tepat di depan indekos Tamara, sebelum Tamara masuk ke dalam kediaman dan sebelum Romeo harus berkendara lagi, tiba-tiba, bak guntur di tengah ketiadaan orang, Tamara menjulurkan kepala dan mengecup mesra bibir Romeo. Kecupan itu sedetik saja, bak kilat sehabis guntur, membikin Romeo tak sempat bereaksi. Dan seperti baru saja disentak guntur, dada Romeo gedebak-gedibuk. Ia terkejut, tak terkira ini akan terjadi. Ia terpaku, tak bersuara di depan kawan puannya. Dalam keterpakuan itu, Romeo lantas bicara begitu saja, "Aku sudah dipunya orang." Dan ia pergi meninggalkan Tamara tanpa mengucap pamit, berkendara membelah Jakarta.
Tapi, Romeo tak terus menuju rumah, ia pergi ke asrama tempat kekasihnya tinggal. Dan tak seperti biasanya, Romeo memerintah dengan sedikit kata kepada kekasihnya agar ikut dengannya. Lia mulanya menolak karena dia perlu izin, tapi Romeo memaksa sehingga Lia terpaksa ikut tanpa izin dari pengawas asrama. Mereka menuju hotel melati langganan.
Sampai di hotel melati, tak seperti biasa lagi, Lia tak menolak disetubuhi. Tak ada kata-kata Lia seperti biasanya, bahwa, “Aku ini calon pemuka agama, tak bisakah dikau tunggu sampai kita resmi berumah tangga?” Tak ada pula kata sedih omong kosong dari Romeo bak pengarang feminis yang selalu memohon pengasihan agar Lia luluh dan mau bersetubuh.
Malam itu mereka bersetubuh saja. Dan di dalam persetubuhan itu, tak ada banyak kata apalagi percakapan. Lia diam seperti biasa, dan Romeo pun bungkam. Di dalam kepala Romeo hanya pengandaian tentang ciuman Tamara. Entah ia menyesalinya atau menikmatinya, yang pasti dalam persetubuhannya dengan Lia malam itu, isi pikirannya adalah Tamara.
Usai bersetubuh, tak ada pengakuan Romeo kepada kekasihnya tentang semi-perselingkuhan tak disengaja yang ia alami barusan.
Pertemuan kembali dengan Tamara esok harinya, berbeda rasanya. Romeo merasakan jarak dengan kawan puannya. Mereka sedikit bicara, tepatnya Romeo yang menolak banyak dekat dengan Tamara. Di hadapan Tamara, ingatannya malu mereka ulang ciuman itu, dan hatinya kikuk kala ciuman itu direka ulang.
Kekikukan dengan kawan puannya belum stop sampai Tamara akhirnya harus berhenti bekerja dari perusahaan karena wajib pulang ke kampung halaman mengurus seorang orang tuanya yang makin sakit keras. Perpisahan dua kawan itu pun hanya sebatas, “Semoga sukses selalu.” Dan dijawab yang lain, “Terima kasih.”
Lepas kepergian Tamara yang begitu saja, Romeo melupakan Tamara begitu saja, pun dengan ciuman itu. Tak ada raga, berarti tak ada rasa; Tak ada kangen, berarti tak ada cinta. Begitulah Romeo menyimpulkan tentang Tamara. Terlupakanlah Tamara begitu saja.
Lebih kurang dua tahun berikutnya, hubungan Romeo dan Lia baik jalannya. Romeo tak berselingkuh secara sengaja maupun tak sengaja lagi. Ia nyaman dengan Lia. Ia akui ia mencintai Lia. Dan titik ini, sudah muncul keinginan untuk menikahi Lia. Masalahnya, setiap ia memikirkan pernikahan, ia seketika takut. Ia takut bosan menjalani rutinitas hubungan dengan Lia bila mereka menikah. Namun, ketika tak memikirkan pernikahan yang masih kejadian nanti, saat bersama-sama dengan Lia Romeo sama sekali tak merasa bosan. Ia bosan dengan Lia hanya ketika mengandaikan masa depan saja, saat menjalaninya di masa kini, rasa bosan itu sonder ada. Bisa disimpulkan, menikah tak menikah, rutinitas hubungan mereka akan sama; Romeo hanya takut pada rutinitas pernikahan.
Tak disitu saja, ketakutan itu juga membikin Romeo kembali membandingkan kekasih yang sudah dipacarinya 7 tahun dengan setiap wanita asing yang dalam hal-hal tertentu lebih baik dari Lia. Contoh saja, ketika melihat seorang wanita berambut bagus di pesta pernikahan kerabat, Romeo langsung membandingkan rambut wanita asing dengan rambut Lia saat baru bangun tidur yang acak-acakan, lalu mulai mengejek Lia yang suka membeli sampo di warung eceran. Pernah pun sekali, ketika melihat seorang wanita asing berbadan langsing, ia langsung teringat bentuk pinggang Lia kala telanjang, lantas membayangkan sedikit gelambir di pinggang itu. Ia emang tak bermaksud mengejek bentuk badan kekasihnya, lagi pun berat dan bentuk badan Lia sebenarnya ideal dengan gadis seusianya. Tapi, ketakutan pada pernikahan itu telah meracuni pikirannya untuk membandingkan calon istrinya dan wanita-wanita asing di sekitarnya.
Dari banding-membandingkan fisik, pikiran Romeo melangkah lebih lagi pada suatu hari. Begini ceritanya: jadi, sang paman Romeo kedatangan tamu luar negeri di rumah untuk makan malam, salah satu rekan bisnis dari negeri asing yang bodoh berbahasa Indonesia. Oleh karena sang paman dekat secara pribadi dengan bule ini, maka sang paman mengajak semua anggota keluarga untuk turut dalam makan malam itu. Lia pun turut.
Selama makan, hanya sang paman yang banyak bicara kepada bule itu, sementara Romeo, sang bibi, dan orang dewasa lain sedikit-sedikit bicara bahasa Inggris patah-patah jika perlu, dan hanya Lia yang diam sepanjang makan. Pikiran Romeo belum banding-membandingkan seperti biasanya. Baru ketika sang bule (ternyata seorang Kristen taat) tahu kalau Lia adalah calon pendeta, dan akhirnya banyak bertanya kepada Lia, dan Lia sama sekali bodoh berbahasa Inggris, kurang ajarlah pikiran Romeo. Ia mulai membandingkan Lia dengan wanita lain yang pandai nginggris. Dan wanita itu adalah Tamara. Sejak makan malam itu, Romeo mulai merindukan Tamara setelah dua tahun kepergiannya dari hidup Romeo. Dan sejak malam itu pula Romeo makin bimbang dengan dirinya dan masa depannya dengan Lia.
Kebimbangan Romeo tak di situ saja, kira-kira tiga minggu lepas dari peristiwa makan malam, Lia bilang: "Sedikit lagi aku akan selesai menempuh didikan. Nasib hubungan ini bagaimana?"
"Maksud dikau apa?"
"Tidakkah dikau pikirkan soal pernikahan kita, Rom?"
Romeo diam ditanya begitu, itu pertama kalinya kekasihnya menyinggung-nyinggung pernikahan.
"Jika dikau ingin menikahiku, lebih baik kejadiannya secepatnya seusai aku selesai dididik. Kalau dikau hendak menunda, kita baru bisa menikah setelah aku pulang dari Kalimantan."
"Kalimantan?"
"Ya, kalau dikau tak berniat menikahiku dalam waktu dekat, aku akan serius menjadi pendeta, dan syaratnya aku harus pergi ke Kalimantan dulu. Itu syarat wajib menjadi calon pendeta yang di masa depan akan memimpin jemaat. Aku harus menginjil dan membina jemaat kecil di sana sebagai latihan.”
“Berapa lama dikau harus menetap di Kalimantan, Sayang?”
“Tak tentu. Bisa saja satu, tiga, lima, bahkan tujuh tahun.”
Romeo tak tahu harus bilang apa. Di saat tahu mereka mungkin akan terpisah, ia merasa sangat mencintai Lia untuk sejenak. Maka diraihlah tangan Lia dan diam saja.
Lia buka suara lagi, “Jika dikau ingin menikahiku, lakukan secepatnya setelah aku lulus. Jika ada kepastian pernikahan kita, aku akan mengusulkan diri untuk mengabdi saja di gereja kita di sini sebagai pengasuh Sekolah Minggu bagi anak-anak kecil. Supaya aku tak perlu pergi ke Kalimantan.”
Romeo diam lama. Dan saat bersuara pun hanya bilang, “Akan kupikirkan dulu.”
Lia tak bertanya lagi.
Pertanyaan paripurna kekasihnya itu membikin Romeo semakin rapuh diinjak kebimbangan. Dan di titik inilah semesta ngehe lagi.
Tak lama usai pembicaraan pernikahan itu, Tamara muncul lagi di kantor Romeo. Ayahnya yang sakit sudah balik ke surga sehingga dia harus merantau lagi untuk menafkahi ibu dan adik-adiknya. Dan bak kawan lama yang baru jumpa, Romeo dan Tamara dekat lagi dalam seketika. Pada hari pertama Tamara bekerja, Romeo langsung mengajak makan dan pulang bersama. Lepas itu, persahabatan yang sempat dingin karena cipokan tiba-tiba itu, kembali seperti semula. Untuk sejenak Romeo punya tempat pelarian daripada kebimbangan tentang bakal pernikahannya.
Di kantor, ia bersenang-senang dengan Tamara; sementara di rumah atau di mana saja bersama Lia, ia diinjak pikirannya. Hal ini membikin Romeo bosan di sekitar, melihat, bahkan memikirkan Lia saja. Terlebih, di tengah kebosanannya bersama Lia, sang paman berkata pada suatu sore di beranda rumah kala mereka sedang kongko minum kopi berdua ditemani segelas teh dan pisang goreng buatan bibi yang yahudnya minta ampun. “Sudahkah dikau punya rencana untuk kawin, Rom?”
“Sudah.”
“Kapan?”
“Belum tahu, Paman.”
“Putuskanlah secepatnya, supaya nasib Lia jelas. Apakah harus jadi pendeta atau menikah denganmu.”
Rom disentak kata-kata itu. “Apakah Lia mengadu?”
“Tidak. Bibimu yang bercerita. Lia bercerita pada bibimu, dan bibimu bercerita pada saya tentang rencana pernikahan kalian.”
Dengar itu, Rom terbakar amarah dalam dada. Ia langsung mengandaikan akan membentaki Lia habis-habisan bila bertemu. Ia tak suka masalah hubungan mereka harus sampai di telinga bibi dan pamannya.
Dan seketika pamannya masuk ke rumah, seketika itu juga ia pergi ke asrama Lia dan membentak-bentak kekasihnya. “Dikau! Jika tak sanggup menunggu, bilang! Jangan bercerita tentang kita kepada orang lain, apalagi kepada paman dan bibiku.” Dan di tengah kemarahannya, Romeo bilang, “Ya, sudah. Siapkan dirimu. Orang tuaku akan datang ke rumah orang tuamu di kampung untuk melamar. Kita tak perlu pulang. Biarkan itu jadi urusan orang tua. Akan kuhubungi orang tuaku secepat-cepatnya agar mulutmu tak lagi menyebarkan berita-berita busuk tentang kita!” Usai kata-kata itu, Romeo pergi tanpa mendengar pembelaan Lia. Ia terlalu amat sangat marah pada kekasihnya.
Dalam kemarahannya, walaupun enggan bicara dengan Lia, ia benar menghubungi orang tuanya di kampung. Dan lamaran itu benar kejadian tanpa ada dua mempelai. Emang umum, karena adat di kampung mereka lamaran adalah urusan orang tua.
Bulan demi bulan lewat, pernikahan mereka pun masuk tahap persiapan. Dan atas persetujuan berdua, pernikahan mereka akan digelar kecil-kecilan saja di kampung halaman agar tak memakan banyak biaya, supaya ada uang lebih bagi mereka nanti membangun kediaman.
Masalahnya di sini, walaupun akan menikah, Romeo belum juga mempertemukan Tamara kepada Lia, dan sebaliknya. Bedanya, Tamara tahu Lia siapa, sedangkan Lia awam soal Tamara. Tambah lagi, hubungan Romeo dan Tamara beranjak jauh. Tamara tak sungkan lagi memeluk kala berboncengan, dan sesekali saling menyuapi kala makan berdua. Dan emang, wajar sekali bila ada yang berkesimpulan bahwa Romeo berselingkuh dengan Tamara. Perselingkuhan ini terjadi entah bagaimana, bila dibilang disengaja, tak juga, tapi kalau diakui tak disengaja, munafiklah. Begitu saja perselingkuhan itu kejadian, bak tak ada awal dan sebab. Mereka sering jalan berdua, lalu mulai berani gandeng tangan, mulai berani peluk kala boncengan, dan entah bagaimana cipokanlah mereka. Ujung-ujungnya, berakhirlah mereka di hotel Melati dekat kantor untuk saling memuaskan.
Romeo sebenarnya berbalut rasa bersalah pada Lia sekaligus Tamara. Ia menduai Lia dan bilang kepada Tamara kalau ia akan memutuskan hubungannya dengan Lia lantas menjalin ikatan dengan selingkuhannya. Omong kosong memang. Romeo tak berani meninggalkan Lia karena pernikahan yang kian dekat dan kedekatan dua keluarga yang mustahil diputuskan begitu saja. Sementara itu, ia tak benar-benar mencintai Tamara; dalam kamus Gen Z, pada dasarnya Romeo memandang Tamara sebatas FWB alias TTNg alias Teman Tapi Ngentot.
Ancur-ancuran Romeo diinjak pikiran, kini bukan saja bimbang yang bikin keruh pikiran, ada pula rasa bersalah yang sakitnya ampun-ampunan. Masalahnya, injakan pikiran itu ia lampiaskan kepada Lia. Saat-saat pertemuan mereka adalah keketusan Romeo yang kian jadi dan kesabaran Lia yang kian dekat ujung. Lantaran itu, ada jurang yang perlahan menjaraki mereka.
Lia sempat berusaha untuk mendekatkan hubungan mereka dengan macam-macam cara, mulai dari bersikap manja, bicara lebih lemah lembut, berdandan, sampai ngajak ngentot. Tapi, sikap Romeo terus-terusan bak ibu tiri bawang putih; apa pun yang Lia lakukan adalah salah dan wajib diketusi dan bahkan dibentaki. Bukan hanya itu, Romeo bahkan mulai sungkan ngentot dengan Lia. Sejak main serong dengan Tamara, Romeo dan Lia hanya ngentot sekali dalam enam bulan, itu pun diusulkan Lia.
Di titik ini, kebiasaan pacaran mereka di kaki lima pun jarang kejadian. Jangankan jalan berdua, komunikasi dua kekasih ini bak emas di perut bumi. Hanya dengan niat dan tindakan yang diusahakan sedemikian baru komunikasi itu terwujud.
Namun demikian, dalam diam, di tengah kekesalan tak beralasan Romeo, ia pun kagum dengan kesabaran Lia yang tak sekali keberatan pada sikapnya. Dan kekagumannya ini pun membikin ia makin kesal pada Lia. Menurut pikirannya, Lia tak bisa mengambil sikap sebagai wanita. Maunya nurut-nurut saja. Romeo mengakuinya kemudian, ia memang membingungkan dirinya sendiri saat itu.
Semua itu baru menemui puncak ketika semesta ikut campur. Dan seperti biasanya, tugas semesta emang bikin keruh. Pada suatu waktu, Lia menghampiri Romeo dan bilang, “Saya harus bicara empat mata.”
“Nanti saja!” Bilang Romeo, datar.
“Sekarang!” Bilang Lia, memaksa. Suaranya agak tinggi.
Kaget dengan sikap kekasihnya Romeo pun turut berjalan di belakang Lia.
Sampai di dapur. Tanpa tedeng aling-aling, Lia bilang, “Dikau tega kepada saya!” Kalimat ini Lia ucapkan seraya memukul cukup keras lengan kiri Romeo.
“Apa maksudmu?”
“Dikau menduai saya dengan sejawatmu di kantor. Tamara.”
Mendengar itu. Romeo tak melakukan pembelaan. Ia diam.
Lia pun diam. Sekian saat, dalam hening, berdiri berhadapan, tetes air mata Lia mengalir.
Oleh karena mereka di dapur sang paman, Romeo sungkan adu api amarah saat itu, pun tampaknya Lia.
“Besok malam, tolong datang ke asramaku. Kita akan didoakan. Bila dikau tak mencintaiku lagi, tak perlu datang; jika masih, datanglah.”
Hanya itu kata-kata Lia kepada Romeo dan pergi begitu saja dari hadapannya.
Esoknya, di sebuah ruangan kecil duduk mereka bertiga, Romeo, Lia, dan seorang pendeta puan sekaligus dosen Lia. Romeo mengenal pendeta sepuh ini karena Lia pernah mengenalkannya. Lebih-lebih, wanita itu adalah seseorang yang dianggap Lia sebagai neneknya sendiri.
Sesi ini dimulai dengan sesi konseling, ketika Lia—tanpa persetujuan Romeo—mengungkapkan semua ihwal dalam hubungan mereka. Mulai rencana pernikahan, persetubuhan di luar nikah, keketusan selama beberapa bulan terakhir, sampai perselingkuhan. Lia menceritakan segalanya blak-blakan tanpa sedikit pun niat untuk menyensor beberapa ihwal yang menurut Romeo terlalu sensitif. Dan karena itu, mulanya Romeo marah dalam hati. Tapi, lama kelamaan, Romeo mulai kagum pada Lia sebab di dalam perkataannya Lia tak sama sekali menyudutkan Romeo atau menyalahkan Romeo sebagai penyebab bencana hubungan mereka. Lia selalu menggunakan kata ‘kami’ dalam bercerita, dan di dalam ceritanya tak begitu kentara siapa yang berselingkuh. Lebih kurang, ini contoh kalimat yang Lia gunakan waktu itu:
“Selama pacaran bertahun-tahun, kami gagal pacaran dalam Tuhan. Karena kami mengizinkan hubungan kami dipenuhi noda perzinaan. Mungkin karena itu Tuhan mengizinkan kami ada di dalam pencobaan ini. Salah satu dari kami berkhianat. Dan salah satu dari kami memperlakukan yang lain dengan dingin. Kami sama-sama merasa ada yang menjaraki kami, tapi kami tak bisa lagi berkomunikasi seperti dulu. Kami tak berani lagi saling terbuka.”
Usai Lia bicara, Romeo pun diminta bicara, tapi Romeo hanya bilang, “Apa yang tadi Lia sampaikan semuanya benar. Dan saya kira tak perlu saya tambahkan lagi. Yang perlu ibu tahu cuma satu, sayalah yang berselingkuh. Saya menyesal.” Di akhir kalimatnya ini, Romeo meneteskan air mata begitu saja, ia tak bisa mengontrol air matanya ketika itu. Ia benar-benar menyesal.
Setelah itu, pendeta bijaksana itu pun mulai bicara. Beliau memberi banyak nasihat kekristenan tentang pentingnya hidup kudus, hubungan pacaran yang berlandaskan napas Kristen. Menurut beliau, hubungan mereka telah dikontrol oleh daging, bukan roh, sehingga pembimbing utama dalam hubungan mereka adalah si jahat, bukan Si Baik. Sebagai langkah pertama, Lia dan Romeo pun diminta untuk pacaran dalam kekudusan, selalu meminta pertolongan Tuhan, dan jauhi perzinaan sebelum kalian diberkati sebagai suami istri. “Mendekatlah kepada Tuhan. Dan lakukan itu sebagai satu pribadi. Jangan hanya satu orang yang melakukannya. Jika kalian berniat untuk membangun rumah tangga, saling menguatkanlah, perlakukanlah yang lain seperti dirimu sendiri. Jika yang satu tampaknya menjauh dari Tuhan, yang lain harus berani pegang tangannya dan mengajaknya kembali kepada Tuhan. Pernikahan orang Kristen itu penyatuan dua pribadi menjadi satu, dan hanya satu kali. Akan banyak cobaan yang membuat kalian terbelah menjadi dua, tapi jika kalian menyerahkan tongkat pembimbing jalan kepada Tuhan, maka kalian akan baik-baik saja hari ini, besok, dan selamanya.”
Selama Ibu pendeta bijaksana bicara, giliran Lia menangis. Dan Romeo, walaupun matanya kering, ia dengarkan benar-benar apa yang ibu pendeta itu ucapkan dan ia berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan menerapkan itu semua dengan istrinya nanti.
Sesi konseling sekaligus nasihat pacaran Kristen itu ditutup dengan doa oleh pendeta bijaksana, yang di dalam doa juga menyerahkan masa depan hubungan kedua insan tersebut. Dan selama doa itu berlangsung, muncul begitu saja macam-macam cara mengakhiri hubungannya dengan Lia. Selama menutup mata dan memandang gelap, hati kecilnya bicara: “Dikau dan Lia tak akan pernah bersama. Jangan paksakan kehendakmu.”
Logika Romeo sempat membantah ucapan hatinya. Ia berusaha menaruh perhatiannya pada isi doa sang pendeta agar ucapan hatinya tak menguasai pikirannya. Ia masih sangat mencintai Lia. Ia meyakinkan dirinya begitu, bahwa ia masih sangat mencintai Lia. Ia sadar ia mencintai Lia karena sang pendeta itu. Pun, ia tak rela tahun-tahun yang lewat akan jadi sia-sia belaka. Selama doa dan sekian saat sehabisnya, Romeo bertengkar dengan dirinya sendiri karena satu pertanyaan: “Apakah hubungan ini perlu dipertahankan?”
Romeo baru benar-benar kembali kepada kenyataan ketika sang pendeta dan Lia menemaninya ke parkiran motor, dan sang pendeta bijaksana berkata kepada Romeo, “Nak, dikau beruntung punya calon istri seperti Lia. Lia rela mengundurkan diri dari sekolah bimbingan penginjilan selama enam bulan di Eropa.”
Mendengar itu, Romeo seketika memandang Lia.
Lia membuang muka.
Mulanya ingin ia tahan karena ada sang pendeta, tapi karena penasaran berlebihan, diucapkannya saja uneg-uneg hatinya. “Lia? Dikau mengapa menolak kesempatan itu? Bukankah pergi ke luar negeri adalah impianmu? Mengapa dikau tak sekali pun bilang kepadaku.”
Malah sang pendeta yang menjawab. “Sekolah singkat itu bertempatan dengan tanggal pernikahan kalian. Lia tampaknya tak ingin menunda pernikahannya.”
Romeo hanya menggeleng dan pulang dengan rasa bersalah yang berlaksa-laksa banyaknya. Dan selama seminggu kemudian, ia minta izin dari kantor, juga izin kepada Lia untuk pergi ke Bogor. Di sana, di sebuah hotel melati, ia membunuh waktunya dengan berpikir dan berdoa.
Seminggu lewat, kembali ke Jakarta, hal pertama yang ia lakukan adalah bertanya kepada Lia, “Jawab jujur! Apakah dikau ingin pergi ke Eropa untuk sekolah itu?”
“Tapi—.”
“Tak ada ‘tapi’, Lia. Jawab saja, ingin atau tidak?”
“Ingin.”
Setelah itu Romeo mengusahakan agar Lia bisa mengikuti sekolah singkat di Eropa, dan membatalkan pernikahan mereka sekaligus mengakhiri hubungan mereka.
*
“Itu cerita perselingkuhan papa, Dek,” kata bokap saat nutup ceritanya.
“Terus lanjutan ceritanya gimana, Pa? Abis itu apa yang terjadi sampe papa nikah sama mama? Selingkuhan papa itu gimana?”
“Itu nggak penting, Dek. Yang pasti, setelah kejadian itu, papa nggak pernah selingkuh lagi. Dan setelah papa nikah sama mama, papa nggak pernah sekali pun mengkhianati mama walaupun papa jauh. Waktu papa harus kerja di Sumatera selama tiga tahun dan jarang ketemu mama, jangankan selingkuh, ada satu ruangan sama perempuan lain pun nggak pernah. Papa takut nyakitin mama.”
“Papa benar-benar belajar dari kesalahan papa waktu itu?”
Bokap gak langsung jawab, malah ngambil cangkir ijo stabilonya, nyeruput dikit kopinya, terus bilang, “Dek, akan orang yang datang ke hidup kita. Dan beberapa dari mereka ninggalin sesuatu buat kita lanjutin hidup. Pelajarannya beragam, ada yang kecil, ada pelajaran besar. Ada yang nemenin kita bertahun-tahun dan cuma kasih satu pelajaran kecil yang bakal kita ingat sampe mati. Pelajaran papa dari perselingkuhan papa: ‘selingkuh itu nyakitin orang!’”
Gua agak terperangah dengan kata-kata sederhana bokap, “Selingkuh itu nyakitin orang!” Karena itu, gua cuma ngangguk-ngangguk doang.
Mungkin gitu aja cerita gua kali ini. Mungkin apa yang pengen gua bilang itu klise, lu pada (pembaca) banyak yang udah tahu, tapi anehnya orang-orang yang tahu itu masih aja tolol.
Akhir kata, inget sampe mati kata-kata bokap gua, ya! “Selingkuh itu nyakitin orang.”
Ciao!