Distrik Itaewon, Sabtu 29 Oktober 2022
MOON Ju-young langsung bisa merasakan hawa aneh sejak masuk di tengah kerumuman di Distrik Itaewon. Tapi ia sama sekali tak membayangkan bakal terjadi tragedi sesaat lagi. Tubuhnya merasakan gigil, tapi bukan karena hawa dingin, sesuatu yang aneh merasuk di tubuhnya.
Mungkin karena firasatnya bisa merasakan bakal terjadi sesuatu. Apalagi saat menyusuri gang-gang sempit.
“Aku berpikir untuk segera keluar dari kerumunan apalagi badan mulai terasa gerah,” ujarnya.
“Aku pikir orang-orang juga merasakan hal yang sama, apalagi saat semakin jauh berjalan ke dalam dan ke bawah di tempat kerumunan pesta Halloween itu,” lanjutnya.
“Tapi bisa jadi mereka tak bisa lagi keluar, karena memang tak ada jalan untuk mundur atau maju, menurutku begitu.”
Moon melihat kerumunan orang sudah menyemut sejak dari pinggiran Itaewon hingga di pusat distriknya. Hatinya begitu bergairah setelah sekian lama terkurung di rumah tak tahu harus melakukan apa.
“Dengan begitu banyak orang setidaknya pesta itu akan 10 kali lipat ramainya dari pesta yang biasanya aku pernah saksikan”, ujar Moon mencoba memprediksi.
“Ada ratusan orang memadati gang sempit dan miring. Jadi aku yang baru datang sulit sekali untuk masuk. Mereka saja yang sudah ada dalam kerumunan sama sekali sudah stuck, seperti membeku tak bisa bergerak”.
“Bahkan waktu petugas darurat dan polisi berusaha membantu mengeluarkan orang-orang yang meminta tolong dan mulai kesulitan bernafas karena terhimpit dan terdesak, polisi juga tak bisa berkutik lagi. Situasinya benar-benar buruk dan mengerikan. Aku menangis melihatnya.”
Meskipun begitu Moon Ju-young tetap saja tak bisa menduga jika pada akhirnya pesta itu kemudian menjadi tragedi yang memilukan. Ia bisa melihat wajah-wajah ketakutan dari orang-orang yang sedang berdesakan di titik paling sulit, terutama di jalanan yang menurun.
Dalam kebingungan di tengah kerumuan yang tak terkendali orang salling bergerak ke sisi berlawanan untuk bisa segera keluar, namun justru menjadi benturan dan tumpukan yang tidak bisa bergerak sama sekali — stuck.
“Pemandangannya benar-benar gila,” ujar Moon.
“Aku bayangkan semuanya seperti semburan air yang deras dalam sebuah saluran yang sempit tanpa lubang keluar. Air itu terdiam disana tidak bisa bergerak sama sekali. Kecuali sumbatan di bagian terluar di tarik dan seluruh air akan bisa bergerak. Tapi sayangnya kerumunan ini adalah manusia, dan diujung jalan sana tak ada jalan keluar yang dibuka. Menarik sebagian orang dari atas adalah sesuatu yang hampir mustahil,” ujar Moon kali tak kuasa menahan desakan air mata karena mengingat setiap detik kejadian itu yang begitu nyata terlihat didepan matanya.
“Aku tak bisa berbuat banyak untuk membantunya” ujarnya nyaris terisak.
Orang yang di posisi tengah macet, tidak bisa berkomunikasi, dan tidak bisa bernapas, kata Sung Sehyun yang berada di tempat kejadian dan selamat karena sebuah keajaiban yang tak diduganya.
Ia bisa melihat gadis-gadis muda terhimpit, saling berjatuhan, ia juga melihat petugas keamanan tak bisa berbuat banyak di tengah kerumunan yang membludak tidak terkendali.
Kontur jalan sebagian distrik di Itaewon berupa jalan turunan adalah sebuah sebab yang tak diduga oleh semua orang akan menjadi sebab timbulnya malapetaka itu. Apalagi ketika gang sempit yang telah penuh sesak, namun terus disesaki orang-orang yang berduyun-duyun masuk dari semua arah ke gang sempit yang sudah penuh sesak itu.
Ketika orang-orang yang berada di atas jalan yang miring itu berjatuhan akibat berdesakan, kerumunan di bawah mereka terguling-guling menimpa satu sama lain. Dan dengan segera menjadi kekacauan yang mengerikan.
“Aku berada disana, melihat semua kengerian itu tanpa bisa berbuat banyak untuk membantunya” ujar Jamil Taylor, salah satu dari tiga tentara asal Amerika Serikat yang kebetulan juga berada di tempat kejadian.
“Kami bergerak perlahan ke sisi luar, sambil terus mengarahkan orang ke sisi yang sama, memasuki toko-toko. Aku berteriak agar mereka memberi ruang jangan melihat atau menunggu. Beri ruang agar kerumunan pecah” teriak Jamil berkali-kali sambil terus bergerak, meskipun orang-orang sudah tak mendengarnya karena panik dan lemas.
“Kami juga tengah berjuang keluar dari kerumunan yang turun dari gang sempit dan curam di distrik tersebut, ketika malapetaka itu mulai bisa dirasakan oleh setiap orang. Pilihan yang harus dilakukan sebelum semuanya memburuk.” Timpal Dane.
Posisi mereka berada dalam kerumunan, dan tepat ketika mereka berhasil keluar dari kerumunan, tiba-tiba tragedi itu bermula, ketika semua orang jatuh di atas satu sama lain seperti kartu domino.
“Orang-orang berusaha memaksa turun, terutama yang berada di bagian atas jalanan gang yang miring,” ujar Jamil,
“Padahal jalanan sudah penuh” ujarnya lagi.
Setelahnya Jamil melihat desakan itu membuat orang-orang mulai berjatuhan.
“Aku lihat di bawah tak ada cukup orang yang bisa menahan desakan, dan orang-orang mulai berjatuhan semuanya jadi sangat buruk, sulit membayangkan kengerian itu”.
“Ini gila, orang-orang bisa mati kehabisan nafas”, ujar Jamil dan Dane Beathard bersama satu rekannya yang juga merasa gugup dan panik dengan kejadian yang begitu cepat dan tiba-tiba, karena mereka awalnya juga tepat di tengah kerumunan itu, saat semuanya berantakan. Apalagi dilihatnya gadis-gadis di barisan tengah sudah tak lagi bergerak pingsan diombang-ambing kerumunan.
“Mundur, mundur, kami tak bisa bergerak”, teriak seorang gadis dengan suara parau. Sebelum akhirnya ia juga terjatuh kedalam kerumunan.
“Tolong, aku tak bisa bernafas” teriak seorang gadis yang terhimpit tepat di jalanan yang menurun. Sementara gadis-gadis lainnya sebagian sudah terjatuh dan mulai terinjak kerumunan yang tidak terkendali.
Seorang gadis menjerit ketika kostumnya membuatnya semakin sulit dan mulai menganggu geraknya.
Seorang laki-laki muda lainnya terlihat terus berusaha melepas kostumnya, ditengah desakan, sambil berusaha bertahan untuk tetap bisa berdiri agar tak jatuh masuk ke dalam jebakan kerumunan.
Mereka melihat sebagian orang-orang terjepit begitu rapat ke dalam gang sehingga petugas darurat tidak bisa mengeluarkan mereka dari kerumunan yang penuh sesak.
“Tarik orang-orang yang dipinggir” teriak Jamil, sambil berusaha sebisanya membantu beberapa korban dengan menariknya keluar dari tekanan dan membawanya ke tempat yang aman sehingga petugas tanggap darurat bisa memberikan bantuan pernapasan.
“Letakkan orang-orang dilantai agar mereka bisa bernafas” begitu bunyi teriakan yang sebentar-sebentar terdengar. Para korban mereka tempatkan di klub terdekat yang mulai buka menampung para korban. Sehingga memenuhi lantai klub dengan orang-orang yang digeletakkan di lantai.
Kostum-kostum yang membuat mereka terhambat pernafasannya dibuka. Bahkan pendingin ruangan tak bisa membuat mereka kehilangan keringat karena situasi, desakan dan sesak yang mereka rasakan dan membuat seluruh tubuhnya banjir keringat.
Sebagian lainnya membantunya dengan memberikan tindakan PCR, pernafasan buatan.
Tumpukan orang yang panik karena tak menemukan jalan keluar atau tak bisa bertahan dari desakan dalam kondisi jalan yang miring membuat mereka menjadi korban pertama yang terjatuh, ditambah dengan teriakan kepanikan yang menenggelamkan semua suara, sehingga tak bisa lagi berkomunikasi untuk mengatasinya.
***
Distrik Itaewon yang menjadi episentrum tragedi Hallowen memang kawasan kehiduan malam di Negeri Ginseng itu. Pesta Halloween-nya yang dipadati pengunjung muda berusia 20 tahunan dan dewasa muda dengan cepat menjadi kerumunan besar massa yang memadati gang sempit berubah mencekam karena membuat massa tak bisa bergerak di tengah desakan, mengakibatkan para remaja terutama perempuan berada dalam posisi terjepit.
“Ini untuk pertama kalinya kami bisa bebas lagi”, teriak seseorang di jalanan yang tak bisa menahan luapan rasa gembiranya.
“Saatnya pesta,” timpal temannya yang lain.
“Tahun terbaik, moment terbaik, Hallowen terindah,” teriak temannya nyaris menangis karena rasa gembira yang membuncah.
Puncak keramaian ini terjadi karena ini adalah acara Halloween pertama di Seoul setelah tiga tahun Korsel mencabut pembatasan Covid-19 dan social distancing. Larangan memakai masker dicabut sehingga membuat euphoria kegembiraan yang meledak.
Orang-orang yang selama ini merasa terkurung covid merasakan kebebasan untuk pertama kalinya. Sayangnya berbulan-bulan bisa bertahan dari kuman mematikan, namun justru kemudian nyawa terbuang ketika merayakan kebebasan-terbebas dari kuman mematikan itu. How knows.
“Ya, aku pikir ini ada seratusan ribu orang. Lihatlah lautan manusia di Itaewon malam ini”, seorang pemilik toko berujar saat melihat keramaian yang baru disaksikannya lagi setelah lebih setahun Covid melanda dunia.
“Aku bisa melihat wajah-wajah riang, gembira dan sukacita yang rasanya tak pernah aku saksikan dalam hidupku sebelumnya. Ini benar-benar pesta sebenarnya” Ujar Moon.
Bahkan Moon bilang, sejak keluar dari kereta dan stasiun orang-orang yang berdatangan terus mengular, ramai dan padat, begitu juga dengan deretan toko-toko yang begitu meriah menyambut kedatangan mereka setelah sekian lama vakum.
“Jangan bayangkan kamu akan jalan santai apalagi melenggang sambil bergandengan tangan, sekalipun dengan pacarmu sendiri. Sekedar jalan santai saja sulit, karena selalu saja harus berdesakan, berhimpitan. Didesak atau mendesak. Tapi semuanya terasa seru, sangat menyenangkan.” Ujar Moon dengan wajah bahagia yang tak pernah dirasakan sebelumnya.
Apalagi, sebagian besar pengunjung pesta Halloween itu juga memakai topeng dan kostum Halloween yang membuat ruang gerak mereka semakin sulit berdesakan saat berdesakan berdesakan. Tubuh tak bisa bergerak, dan bernafas nyamanpun menjadi sesuatu yang mustahil bisa dilakukan.
“Topeng dan kostum orang-orang yang ramai, membuat semuanya tampak beda, benar-benar beda. Ini pesta sesungguhnya setelah sekian lama”, Moon tak bisa menyembunyikan rasa bahagianya ketika mengatakan hal ini.
“Hallowen ini memang udah identik dengan Itaewon. Aku bisa bilang kalau Itaewon itu ya pesta Hallowen dengan kostum-kostum partynya yang eksntrik dan gila, sumpah ini keren” ujar Alleciangeline,.
Ketika menjelang malam situasi semakin memburuk, ketika kerumunan semakin tidak terkendali, bertambah cemas saat malam semakin larut.
Tepat pada pukul 22.20 waktu setempat, ketika puncak tragedi itu terjadi, orang-orang ditemukan, bergeletakan, sebagian telah menjadi mayat yang asalnya dari kerumunan di dekat kelab malam. Para korban mengalami henti detak jantung, serangan jantung yang mematikan karena desakan yang masif di lorong sempit itu.
“Bayangkan jika kamu berada dalam kerumunan nyaris puluhan ribu orang. Bernafas saja sulit. Apalagi jika memakai kostum, dan kamu seorang gadis muda sepertiku diantara orang-orang yang semuanya ingin selamat, dan terus mendesak. Itulah yang terjadi denganku”, Ujar seorang gadis muda yang selamat setelah seseorang menariknya dari kerumunan masuk ke sebuah toko di pinggir lorong tempat pesta besar itu.
Setidaknya, 151 orang menurut catatan yang ada ditemukan tewas dalam Tragedi Halloween di Itaewon, pada Sabtu malam waktu setempat itu.
Ratusan orang mengalami serangan henti jantung setelah ribuan orang berdesakan memadati jalan sempit di distrik Itaewon, tanpa kendali. Apalagi insiden itu terjadi menjelang larut malam pukul 22.20 (13.20 GMT), yang semakin sulit dikendalikan.
Pemicu tragedi Itaewon yang menyebabkan ratusan orang berjatuhan adalah akibat cardiac arrest alias henti jantung akibat desakan yang padat dan terinjak-injak, seperti kata Yongsan-gu, Choi Seong-bum petugas dramkar yang ada di lokasi saat kejadian.
Mereka sempat mengevakuasi setidaknya 82 orang yang terluka. Menolongnya dengan CPR --cardiopulmonary resuscitation.
“Aku pikir bukan cuma kerumunan yang membuat banyak orang terjatuh, karicuhan yang terjadi juga karena orang-orang yang merasa begitu gembira tak bisa menahan diri untuk tak mencicip narkoboy.” Ujar seseorang yang selamat saat kejadian.
“Meskipun itu lumrah saat pesta, tapi situasinya memang tak mudah dikendalikan, orang-orang harus bisa menjaga dirinya sendiri dan juga orang lain” timpal yang lain.
Orang-orang yang selamat juga bilang, jika tak hanya kepadatan, tapi juga bentrok di tengah kerumunan massa yang menjadi pemicu insiden di Itaewon.
Malam itu setidaknya ada 44 laporan langsung dan 311 panggilan dengan total 355 laporan orang hilang yang diterima petugas keamanan yang berjaga di lokasi setelah kejadian.
“Ini adalah bencana buatan manusia yang dipicu oleh kurangnya kesadaran tentang keselamatan. Kita belajar banyak dari tragedi yang tak hanya membuat kita kehilangan orang-orang terdekat dalam sekejap, karena sesuatu yang tidak kita duga dan kurangnya kesadaran tentang keselamatan yang sering kita abaikan." ujar Shin Dong-min.