Belahan Jiwa
"Seseorang dengan cinta tulus akan mengikhlaskan orang yang dicintainya untuk bahagia." (Dewi Fortuna)
Dua pekan aku tidak melihatnya sejak dia menyatakan ingin pergi dariku. Entah, kesalahan apa yang kulakukan? Rasanya tak ada kesalahan apa pun. Mungkin dia pikir, cintanya kini bertepuk sebelah tangan.
Sebenarnya, bukan aku tak cinta lagi. Hanya saja, dia meminta perhatian lebih. Dia sepertinya terlalu egois, tak peduli pada kesibukanku sebagai editor. Bahkan, pemuda yang sedang kuliah pasca sarjana itu menginginkan sesuatu yang tak dapat kuberikan sebelum janur kuning melengkung.
Parasnya yang tampan dengan tinggi badan melebihiku dua puluh sentimeter, telah memikat hati. Jauh sebelum aku bertatap muka secara langsung. Saat video call pertama kali, cintaku padanya mulai tumbuh.
Meskipun aku dan dia berbeda bahasa, budaya, terpisah jarak, di antara beberapa benua dan samudra, tetapi cinta kami terlanjur membara. Long Distance Relationship pun kami jalani demi satu rasa yang terlanjur menetap.
Saat Rafiq berkunjung ke negaraku, cintaku padanya makin subur. Tanpa diberi pupuk layaknya tanaman, selalu bersemi. Ibarat bunga, selalu bermekaran. Wanginya mungkin tercium seantero jagad raya. Begitulah cinta kami. Menghalau segala hambatan yang ada.
Rafiq dengan semangat belajar bahasa di negaraku. Tak kalah semangat, aku mempelajari resep masakan negaranya. Berharap saat kami menikah nanti tak akan ada kesulitan apa pun. Hanya satu kesamaan di antara kami, yaitu ketika membaca bacaan salat, dari takbiratul ikhram hingga salam. Itu sangat lebih dari cukup untuk memperjuangkan cinta.
Profesiku sebagai editor, dan Rafiq, yang masih menempuh pendidikan S-2 jurusan Bahasa Arab tak mengendurkan cita-cita untuk hidup bersama. Tentu saja aku yang akan menafkahi keluarga sampai Rafiq mendapat pekerjaan tetap di negaranya. Lalu, dia akan membawaku tinggal di sana.
Impian besar yang tak mudah diwujudkan. Sebab kami harus mengurus berbagai surat agar bisa menikah. Rafiq rela bolak-balik ke negaraku. Kadang dia datang sendirian, kadang bersama adiknya, Ahmed.
Bak pinang dibelah dua, Ahmed mempunyai senyum yang sama persis dengan Rafiq. Tinggi badannya, hidungnya, lengkungan alis dan bentuk mata, semua sama dengan Rafiq. Bedanya, badan Ahmed lebih berisi. Mungkin, itu akibat pekerjaannya. Ahmed tidak melanjutkan kuliah. Dia memilih bekerja di bidang listrik. Setiap hari dia bekerja keras untuk memenuhi kebutuhan hidup secara mandiri.
"Bolehkah aku—" pinta Rafiq suatu hari saat berkunjung ke negaraku.
Lengan pemuda itu melingkar ke pinggangku. Aku memutar badan berlawanan dengan arah gerakan tangannya. Mata Rafiq menatap tajam membuat salah tingkah. Tiba-tiba, badan pun terasa dingin, mungkin sedingin hatiku saat itu.
Sejak saat itu, aku sepertinya kehilangan cinta. Penantian dan perjuangan panjang seakan-akan sia-sia. Rafiq pergi begitu saja ketika keinginannya tak dapat terpenuhi. Cinta tetaplah cinta, sebuah rasa yang sangat indah. Namun, cinta bisa berubah rasa jika meminta syarat-syarat.
"Ayolah, jika kamu benar-benar mencintaiku."
Ucapan Rafiq masih terngiang walaupun sudah dua pekan dia menghilang. Kontakku diblokirnya. Akun sosial medianya tak ada lagi. Entah di mana dia kini?
Saat kutanyakan pada Ahmed, rupanya dia pun tidak tahu keberadaan kakaknya. Namun, dia meyakinkanku bahwa Rafiq baik-baik saja. Ahmed bahkan memberikan jaminan akan menggantikan posisi sang kakak jika Rafiq ingkar janji.
"What?" Ekspresiku saat mendengar pernyataan Ahmed.
"Wait, why did you say that?"
"I love you."
Jawaban Ahmed sangat mengejutkanku. Ah, aku jadi curiga, apakah—. Ah, tidak mungkin, tidak mungkin Ahmed melakukan itu. Ya, Tuhan, ke mana Rafiq? Lindungi dia dari mara bahaya, pintaku dalam doa.
Hari berlalu, saat rindu pada Rafiq datang, diam-diam aku melihat status media sosial Ahmed. Pemuda pekerja keras itu sangat mirip dengan Rafiq. Bahkan jika diamati, senyumnya lebih manis, alami. Sedangkan senyum Rafiq seperti dipaksakan. Apakah aku menyukai Ahmed? Ini cukup gila. Jangan sampai aku jatuh cinta pada pemuda kakak beradik itu.
Kepergian Rafiq yang menggantung statusku lama-lama terasa menyebalkan. Dia lenyap, hilang tanpa jejak lagi. Impian menikah dan hidup bahagia bersamanya seolah-olah menguap bersama air laut ketika terkena sinar matahari. Terbang jauh ke langit, terbawa angin hingga ke puncak pegunungan. Lalu jatuh, dan tak tahu rimbanya.
Ahmed, yang kini menggantikan. Memberi kesejukan dan ketenteraman bersamaan dengan pesan-pesan yang rajin dikirimkannya. Huhuu … rasanya aku jatuh cinta pada Ahmed. Bagaimana jika Rafiq datang kembali? Pasti aku kesulitan memilih di antara keduanya.
Kepergian Rafiq genap setahun. Penantianku bagaikan sia-sia. Hari itu, aku memberanikan diri menulis status di facebook. Berharap Rafiq akan membaca tulisanku jika dia memakai akun lain.
"Jangan salahkan, jjka aku pindah ke lain hati."
Itulah yang kutulis dan kuposting dengan setting publik. Tak lama kemudian, Ahmed mengirim pesan audio.
"I will marry you, Latifa. Don't worry. You are my life. Give me a week for prepare our wedding."
Oh, my God. Ini seperti mimpi. Rencana pernikahan yang kupersiapkan bersama Rafiq, mengapa justru adiknya yang akan menikahiku? Benarkah cintaku pada Ahmed? Atau karena Ahmed sangat mirip Rafiq, hingga hati pun terjatuh padanya?
Ucapan Ahmed rupanya tidak main-main.
Dia datang menjemputku. Urusan pindah kewarganegaraan pun sudah dibereskannya. Sementara hatiku, entah apa rasanya? Bagai kerbau yang dicocok hidungnya, aku menurut saja mengkkuti Ahmed ke bandara, setelah berpamitan pada keluarga tentunya.
Sesampai negaranya, aku disambut layaknya artis. Berjalan melenggang di atas karpet merah. Iringan musik khas negara di afrika utara itu mengiringi langkahku bersama Ahmed. Tak kusangka, penyambutan yang luar biasa.
Aku diantar ke sebuah kamar dengan berbagai pernak pernik hiasan di dinding. Di atas tempat tidur yang beraroma wangi bunga terdapat pakaian pengantin. Kuraih kain warna putih yang berhias rumbai-rumbai dengan bentuk koin-koin kecil di sekelilingnya. Di depan kaca kupakai kain itu menutupi kepala.
"Hi, I will help you to prepare everything," ujar seorang gadis tiba-tiba dari arah belakangku.
Kutoleh dia. Tanpa menunggu jawaban, dia bersama temannya membantu memakaikan baju pengantin ala negara matahari terbenam. Setelah rapi, mereka menggandengku keluar kamar, lalu mengantar ke kursi warna putih dengan meja bertaplak putih di depannya.
"Paman?" panggilku pada pria yang duduk di depan meja.
"Ya, Nak. Paman akan menjadi wali nikahmu. Ahned yang mengatur semuanya. Paman bahagia, akhirnya kamu dapat jodoh yang sangat tampan dan saleh. Semoga kamu bahagia hidup bersama Rafiq."
"What? Rafiq?."
Saat itu, pemuda yang sudah duduk di depan Paman menoleh ke arahku. Dia bukan Ahmed, melainkan Rafiq. Mendadak tubuhku lemas.
"Sayang, bangun Sayang! Kamu ingin menikah dengan siapa? Aku atau Ahmed?"
Suara Rafiq perlahan terdengar. Aku terbaring di atas kursi panjang. Rafiq dan Ahmed berada di dekatku. Mereka tersenyum usai mengucap hamdalah. Wajah keduanya berseri-seri.
"Do you both love me?"
Ahmed dan Rafiq mengangguk bersamaan.
"I will share my body only for you two."
"Don't do it! Please, marry him," pinta Rafiq diiringi senyum kemenangan Ahmed.
"Aku akan menikah denganmu, Fiq. Cintamu tulus."
Tamat
Jakarta, 29 November 2024