Disukai
0
Dilihat
542
Beginilah, Tak Ada yang Perlu Dirisaukan
Drama

Dalam taraf tertentu aku selalu gagal mengingat jalan pulang bila kau sering mampir ke toko pernak-pernik. Aku membayangkan kasur empuk di rumah dari jarak 1.000 kilometer jauhnya. Keterlambatanku karena aku ceroboh dan kau lupa mengemas barang-barang penting selain buah tangan yang kurang diminati remaja; ukiran marmot karya kepala suku atau hiasan dinding dari rotan yang telah menguning. Aku tak bisa membuatmu mengerti kelelahanku berasal dari banyaknya orang yang kau temui, dan aku tak pandai mengungkapkannya.

Kau mengabaikan detail pada peta dan melangkah sejurus angin berembus. Ransel hijau itu tampak terlalu besar seperti beban sejarah yang kau pikul oleh punggungmu yang mungil. Kau tak dapat menahan ajakan warga untuk menari bersama mereka mengitari api unggun di malam yang seharusnya dapat kau pergunakan untuk menulis jurnal. Ketika kau menulis jurnal air mukamu seperti meratapi kematian—peristiwa yang menguntitmu dari belakang dan bergentayangan dari negeri bawah angin. Kau bukannya takut, hanya melindungi kebebasanmu yang diwarisi secara cuma-cuma oleh mendiang keluargamu.

Aku tak pernah bisa mengingat angka dengan baik lebih dari empat digit. Uang dengan nominal yang besar membuatku jeri. Nominal yang dapat kuingat kadang membuatku cemas. Aku terlalu tua untuk lelucon yang memerlukan sang pemeran baku hantam atau terjatuh dari panggung. Aku menyukai kesunyian yang dikemas secara kolosal dalam nomor-nomor God Speed You! Black Emperor. Aku selalu jujur, cinta pertamaku hanya untuk Laura Marling, dan mendengarkannya saat bersamamu membuatku tak kepalang canggung. Belakangan mie instan mendesak asam lambungku, dan itu penyesalan yang tak bisa kuhindari.

Ingatanmu tajam tetapi kau lebih sering tak peduli, misalnya, berapa rupiah yang kau habiskan untuk mengembalikan ketenangan hatimu dengan berkuda sepanjang petang menyusuri tepian pulau Sumba? Setelah matahari tergelincir dan cahaya surut, kau memilih menjerang air, mandi air hangat, lalu terpingkal karena menyaksikan, selagi berkuda, sepasang turis dari Jakarta diterjang kuda yang ditumpanginya dan menyelamatkan diri masing-masing. Suaminya menuju bukit sementara sang istri berteriak histeris menuruni bukit. Dari ponselmu terdengar Edith Piaf, kau tak menyesali satu apapun yang terhampar dalam hidupmu.

Kita pernah bersandar di Rote. Kita pernah tersedak masinnya laut Arafuru. Kita hinggap di Sulu, lalu terbang ke Yangon, terbang ke Tumasek, dan berkendara sampai Kuala, menurunkan layar menyebrang ke Anambas. Di hari kita tak merasa perlu untuk kembali, di bulan-bulan penghujung tahun, saat khatulistiwa menerima tamu bernama La Nina. Seperti saat kita terdampar di muara dengan lambung kapal yang koyak, sementara sang pemandu kehilangan sinyal telepon genggam. Seperti saat pasporku tertinggal di laci penginapan sementara paspormu basah oleh air garam.

Aku membuat banyak kesalahan dan mengulanginya dengan perasaan seorang penjudi kawakan di arena sabung ayam. Bukan kesalahan yang mutlak sebagai kesalahan, melainkan kecerobohan yang berulang, seperti sifat, benalu, yang dengan tabah kau hadapi dan kau hardik dengan lusinan ancaman. Aku tak pernah meminta untuk mempertaruhkan separuh hidupku di arena sabung ayam, bila sang nasib tak mempertemukan kita di sana. Aku tak pernah tahu badai seperti apa yang akan kita jelang.

Di hari Minggu, yang kau percayai sebagai hari malas sedunia, kau lebih sering menghabiskan waktu di depan televisi. Mengudap biskuit, sesekali menyesap anggur, sampai senja merembang saat stasiun tv disesaki berita. Kau memilih berita secara hati-hati, berita dari Berlin, liputan dari London, korespondensi dari Tokyo, sambungan kawat dari Kairo. Bom mobil, bom bunuh diri, bom hidrogen; pameran seni instalasi digital, konser kuartet saxophone, wawancara penyair yang puisinya mengilhami sendratari kontemporer.

Keluarga adalah kemewahan. Bertahun kita melupakan hangatnya sofa panjang tempat persahabatan dianyam berjam-jam. Sebelum segalanya menghitam dan mengepul di udara, sebelum jeritan dan tangis memekakkan telinga, klewang saling menyambar: Kwitang, Jelambar, Kedoya, Benhil, Kosambi, Merunda, lalu kelabu. Kau menguburnya sebaik kau memaafkannya, meski kurasa itu sulit untuk dilupakan sepenuhnya. Tak apa, katamu, kita hanya perlu berangkat sebelum segalanya menjadi serba mendesak. Meski terasa begitu gegas, dan kita memang telah terdesak.

Nasib dapat kumaafkan, katamu, di lain waktu. Tetapi takdir, kau dan aku selalu tergiur dengan sesuatu yang belum, atau bahkan sesuatu yang berada di antara mungkin dan tidak mungkin. Tapi tak apa, kita menemukan jalan ‘kita’, separuh kita susuri dengan tubuh yang lelah dan keringat yang likat, punggung lengan yang gosong, tengkuk yang menghitam. Mereka hanya noktah, sekali berarti sebagai jeda di masa lalu. Kau dan aku telah membakar belukar pada jalan setapak menuju kembali, jembatan yang kita ledakkan menuju masa silam.

Kita, katamu, adalah dandelion yang rela tercerai-berai dari induk semangnya untuk hinggap pada pucuk-pucuk lain, pada rerumputan, pada batang pohon, badan kendaraan, aspal, atau terus melanglang terbawa angin yang tak kunjung surut. Lalu tumbuh kembali di manapun, sebagai apapun, menjadi apapun. Ketidakmungkinan ini begitu memesona, bukan? Bahkan kita rela kehilangan hal yang paling berharga, hidup ini, untuk menjadikannya kenyataan. Hanya saja, kau tahu, selama kaki kita menapaki pejal bebatuan di bumi dan leher kita tak lebih tinggi dari arak-arakan awan, melihat ke depan dan terus berjalan adalah pilihan terakhir dari apa yang telah kita putuskan bertahun silam.

Bersikeras pada diri sendiri tampak sebagai usaha pamungkas dari orang yang kalah. Terkadang, kita memasuki pintu yang salah dan melakoni peran dengan perasaan ganjil, dengan serangkaian mimpi buruk, dan rasa mual menyodok ulu hati. Terkadang, kita bagai sepasang budak yang tahu rasanya menyandang papan kayu sepanjang tundra. Di lain waktu, dengan kesempatan yang tak terhingga, berupaya mendorong batu ke atas bukit hanya untuk menggelindingkannya kembali ke bawah sana. Di waktu yang lain, kita menunggu keajaiban saat kita tak lagi berharap.

Secara naif kita menyadari, dari lusinan anak kunci yang bergemerincing, hanya kunci terakhirlah yang dapat membuka pintu. Hanya dengan dinamit kita mampu meledakkan gundukan masalah yang telah menggunung. Meski beberapa keganasan dalam hidup ini hanya bisa dilawan dengan umpatan, masih terdapat banyak hari baik dari 365 kali matahari terbit-tenggelam. Gemintang hanya muncul dalam gelap yang tak terpermanai. Kata-kata mutiara kelas dua dapat menghibur, setidaknya, dari rongrongan rasa malas. Tak ada yang perlu dicemaskan selain rasa cemasnya sendiri.

Maka, beginilah aku, mengangsur kembali harapanku di angka yang bukan lagi 20, bukan lagi 30, atau 40, juga 50. Aku merasa terlambat, aku merasa terlalu cepat, saat bertemu denganmu juga di saat waktu memenggal semuanya, tembok yang dinginnya tak pernah tercatat di termometer. Sebuah kebersamaan layaknya album foto dari tahun-tahun kejayaan polaroid, sebuah lirik dari generasi hippies, stanza dari penyair melarat yang dilupakan karibnya. Serupa pemilik kedai dan aku pemabuk ulung, dan sama-sama saling tidak tahu bagaimana cara menolong diri masing-masing.

Kerapnya merasa perlu untuk tak banyak berubah, pada kenyataannya aku didera hal yang sebaliknya. Lantas, apa perlu kita memiliki rumah? Katamu, tentu saja, tapi untuk apa? Apakah keputusan ini terlalu cepat, ataukah kita yang berjalan begitu lamban? Bisa saja kita membubuhi titik, pada akhirnya, tetapi rumah, adalah tempat yang dapat kita rindui dari saga panjang ini dan bukankah itu terasa aneh? Aku terbiasa menelan ganjilnya daging has rusa betina, kau terbiasa mengunyah permen rasa daun ekaliptus. Atas segala hal yang telah dan akan kita lalui, rumah adalah idemu yang brilian. Tetapi, apakah dengannya kita dapat merasakan pulang, sejatinya pulang?

Tak ada yang perlu kau risaukan, jawabmu. Kita hanya perlu untuk tetap melangkah dan melangkah. Bepergian dan bertolak menuju sejatinya tempat. Kita tak akan merasa berpulang bila tak kunjung beranjak. Apakah kau sedang benar-benar pergi? Atau hanya menahan beberapa hal dan tak lantas mengangkat kakimu sesegera mungkin dari masa lalu? Kita, pengembara waktu, pengelana kosmos yang kehausan, kadang tak pernah punya alasan untuk mewaspadai sungai yang kebetulan kita temui. Aku mendengar not terakhir dari lantunan musik, tanpa kata-kata, merasa sedikit pedih, dengan angin yang menyapu keningku.

 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi