Disukai
0
Dilihat
1,374
Balada si orang gila
Drama
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Tangan kurus kering itu mengais bak sampah berkali-kali. Dilihatnya benda yang menarik perhatiannya, lalu perlahan mencium bau benda itu. Baunya busuk. Ia buang ke sembarang arah. Baunya aneh. Ia simpan kembali ke bak sampah. Tangan itu sekarang mulai dikerubungi lalat sampah. Tercium bau sampah dari tangannya yang kini basah dengan air sampah. Perlahan, ia memegangi perutnya yang bergetar. Cacing di perutnya berteriak menggema meminta makan.

Krukkk... Krukk.. Krukk..

Dua hari tanpa makan sangat menyiksa. Setiap hari ia selalu diberi makan oleh seorang gadis yang tinggal di gang sebelah. Namun gadis itu tak tampak dari kemarin pagi. Di pagi hari ketika ia membutuhkan makanan. Keberadaan gadis itu yang entah kemana membuatnya harus berusaha mengais makanan sendiri.

Dengan langkah lunglai, ia berusia mencari sekiranya makanan yang bisa ia telan untuk hari ini. Mata dan kakinya berjalan menyusuri jalanan sepi di siang hari, mencoba mencari sesuatu di tepi jalan. Tanpa alas kaki, ia berjalan ke jalanan penuh kerikil dan berbatu. Baju lusuhnya bertambah kotor ketika ia tak sengaja menginjak kerikil tajam lalu terjatuh.

"Orang gila, awas!"

Sebuah teriakan melengking dari kejauhan. Ia terkejut dan seketika itu juga langsung berlari ke sembarang arah. Kakinya berdarah. Namun rasa terkejutnya membuat ia menepis rasa sakit itu. Sambil memegangi perutnya, ia berusaha berlari dengan sisa tenaga yang ada.

Buk! Buk! Buk!

"Arghhh!!"

Teriakan itu keluar dari mulut keringnya. Tiga lemparan batu sekaligus baru saja menghantam tubuhnya. Terlihat tiga orang pemuda berpakaian hitam melemparinya dengan batu dan sampah. Ia yang terluka berusaha untuk menghindari serangan itu. Namun tubuhnya yang lemas menahan dirinya untuk kabur.

Buk! Buk!

"Sasaran yang bagus. Mau main dulu?"

"Ayo... Ayo.. Main!"

Seorang pemuda bertopi hijau menyeringai puas ketika melihat ia terkulai lemas di dekat sebuah bak sampah. Di tangan pemuda itu ada batu yang berukuran lebih besar dari tiga batu yang dilemparkan padanya. Pemuda itu mengeluarkan sebuah katapel dan mengambil kerikil kecil di ujung sepatunya.

Buk! Buk! Buk!

"Tepat sasaran!"

Pemuda itu bersorak kegirangan. Lemparan tiga batu dari lontaran katapel berhasil membuatnya kembali mengerang kesakitan. Kerikil kerikil yang tidak berukuran sebesar zaitun itu berhasil mengenai perutnya. Perut kosong yang sejak kemarin pagi harus diisi.

"Ayo lempari dia!"

Buk! Buk! Buk!

Satu persatu batu mulai menghantam tubuhnya. Kepala, pelipis, hidung, dagu, bibir, leher, perut, tangan, dan kakinya kini berlumuran darah. Batu-batu tajam itu berhasil membuka celah untuk darah keluar. Sekali lagi, ia mengerang kesakitan.

Buk! Buk! Buk!

Para pemuda itu puas melempari batu-batu yang ada dibawah kaki mereka. Sesekali tertawa dan bersorak kemenangan ketika lemparannya tepat sasaran dan menginjak jari-jari kaki atau tangan sambil melempari batu-batu kecil.

Buk! Buk! Buk!

Lemas, tubuhnya benar-benar lemas. Tubuh kurus kering itu tak dapat memompa lagi energi hanya untuk sekedar bergerak sedikitpun. Jari-jari kaki dan tangannya sudah lemas. Darah segar tak habis-habisnya keluar. Kini ia hanya merasakan tulang yang kecil dalam tubuhnya yang hanya dilapisi oleh kulit.

Buk! Buk! Buk!

"Segini saja? Atau mau main lagi?"

Pemuda-pemuda itu menggeleng. Mereka pergi sambil tertawa-tawa. Meninggalkan ia yang sudah lemas sendirian. Di samping bak sampah yang bau, ia menangis. Berharap gadis yang sering memberinya makan itu datang. Berharap gadis itu dapat menyelamatkannya.

Lalat sampah mulai mengerubungi tubuhnya. Darah segar masih keluar dari tangan, kaki, pelipis, dagu, bibir dan dahinya. Jari-jari kakinya sudah tidak kuat untuk bergerak. Jari-jari tangannya pun sudah tak bisa untuk meraih sesuatu yang ada di ujung tong sampah.

Meringkuk, ia meniup-niup darah di tangan kanannya. Tangan kirinya memegangi perutnya dengan kencang. Cacing-cacing itu terus-terusan meminta makanan. Mereka berteriak bergantian dengan suara yang kencang. Perutnya tak berhenti berbunyi.

Angin menerpa tubuhnya. Baju lusuh yang sudah sobek dimana-mana dan kotor itu sudah tak dapat memberikan kehangatan untuk tubuhnya. Darahnya yang terus-terusan mengalir kembali terasa sangat perih ketika ia merasa angin meniup darahnya dengan kencang.

Kini tak ada lagi harapan. Tak ada lagi gadis itu. Tak ada lagi cahaya. Tak ada lagi makanan. Ia sudah tak kuat. Tubuhnya tak dapat menopang dirinya. Darah itu membuatnya perih. Perutnya yang kosong harus segera diisi. Namun apalah daya. Tak ada seorangpun yang mau dan sudi untuk menolongnya.

Mulutnya yang kering tanpa air minum yang membasahi bibir langit-langit mulutnya itu sesekali merapalkan sesuatu. Sesuatu yang hanya Ia ketahui. Ia terus-terusan memegang perutnya dengan kencang. Cacing di perutnya masih meronta minta makan.

"Ada orang gila di bak sampah"

"Biarkan saja, namanya juga orang gila"

Ucapan itu terdengar dari seberang. Terlihat ibu dan anak yang memperhatikannya. Perlahan ia membuka mulutnya. Berusaha mengingat kata yang harus ia katakan jika ia memerlukan sesuatu.

'Tolong'

Ucapan itu hanya angin lalu. Ibu dan anak itu pergi. Meninggalkannya yang memerlukan bantuan. Tak ada yang dapat menolongnya. Tak ada yang seperti gadis itu. Gadis baik hati yang peduli padanya.

Gadis itu yang ia butuhkan sekarang. Gadis itu yang dapat memberinya makan. Gadis itu yang dapat mengobatinya. Gadis itu yang dapat memberikannya baju. Gadis itu yang dapat menolongnya.

Hanya gadis itu.

Wush~

Angin kembali menerpa tubuh kurusnya. Rasa dingin yang tajam mulai menusuk kulitnya. Membuat darah yang belum berhenti itu kembali perih. Angin tanpa henti menerjang tubuhnya.

Jdarrrr!!!

Sebuah kilatan terlihat dari langit. Hujan mulai turun membasahi jalanan. Membasahi tubuhnya. Tubuh kurus kering yang memerlukan makanan. Dengan posisi yang sama, ia masih terdiam di samping bak sampah.

Orang-orang yang berjalan berlarian berusaha menghindari hujan. Hujan yang mulai deras itu memgisi sebuah lubang dan genangan dari jalan berlubang mulai tercipta.

Crat! Crat!

Genangan itu memuncrat. Ikut-ikutan dengan hujan untuk membasahi tubuhnya. Air kotor dari genangan itu mengenai matanya. Ia mengedip-ngedipkan matanya. Tak hanya mata, air genangan juga mengenai darahnya.

Darrrr!! Darrr!! Darrr!!!

Kilatan petir itu mengundang hujan untuk turun dengan deras. Awan mendung menutupi langit. Genangan air terus-terusan menyusul air hujan mengenai tubuhnya. Perutnya masih kosong. Ia masih lapar.

Rasa dingin dan rasa lapar yang tak tertahankan itu membuatnya semakin meringkuk. Menahan lapar dan dingin disaat yang bersamaan. Ia juga berusaha menjaga matanya agar tidak terkena air genangan yang kotor.

Matanya perlahan terpejam. Dengan tangan yang masih memegangi perut kering, dan luka-luka yang ada di tubuhnya. Dalam diam, kesakitan, dan juga rasa lapar, pengelihatannya memburam. Menyisakan dingin dan bunyi perut dengan cacing yang belum mendapatkan makanan.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar