"Menurut kamu, apa arti diriku?” tanya Mikhail dengan tiba-tiba. Tangannya lembut membetulkan rambut Alin yang terus berterbangan tertiup angin.
Alin terdiam sejenak kemudian menjawab, “Selimut.”
Mata hitam legam milik lelaki itu menatap heran “Selimut?” Mikhail mengulangi. Lebih seperti bertanya.
Alin mendongak memandang lelaki yang tingginya berjarak limabelas sentimeter darinya itu. “Iya. Buatku kamu seperti selimut. Yang membuatku merasa nyaman walau hujan badai menerpa. Yang akan selalu menjaga aku tetap hangat dalam dinginnya kehidupan. Aku bahagia kamu menjadikanku istrimu.”
Mikhail tertawa renyah. Tawa yang membuat hati Alin selalu merasa nyaman dan tenang disaat mendengarnya. Perlahan Mikhail meraih tangannya, dan menggenggamnya.
“Jodoh pasti bertemu,” ujarnya mengutip judul lagu. “Walau itu terdengar klise, tapi takdir yang menentukan kamu itu jodohku.”
Senyum Alin mengembang saat mendengarnya. Ya, jodoh. Walau digenggam dengan erat, kalau bukan jodoh tak akan bersatu. Begitu pula sebaliknya. Lelaki yang selama sekolah hanya bisa dilihatnya dari kejauhan, kini telah dua tahun menjadi suaminya.
Terbayang awal pertemuan mereka dulu. Waktu itu, sekitar sepuluh tahun yang lalu, mereka masih memakai seragam putih abu-abu.
Selama dua tahun, Alin tidak mempunyai seorang teman. Mungkin karena pribadinya yang introvert dan pemalu membuat Alin susah bergaul. Setiap hari dia hanya bergaul dengan buku-buku di perpustakaan. Bahkan teman sebangkunya juga hanyalah sebatas teman sebangku.
Sampai suatu hari, takdir mempertemukan mereka. Waktu itu jam istirahat makan siang. Dengan segera Alin berlari ke taman belakang sekolah, ingin cepat-cepat membaca buku yang dipinjamnya di perpustakaan kemarin. Sesampainya di taman, ia memilih duduk di bangku yang tepat berada di bawah pohon besar.
Angin yang semilir menyapa, membuat rambutnya berkibar perlahan. Sedang asyik ia membaca, Alin dikejutkan dengan suara di belakangnya.
“Kamu punya makanan, tidak? Aku lapar.”
Mata cokelat tua milik Alin membulat melihatnya, Ia menyadari lelaki itu adalah teman seangkatannya yang baru saja pindah ke sekolah mereka beberapa minggu lalu. Kelasnya tepat di sebelah kelas Alin. Ia memandang lelaki itu jengkel.
Sudah ngagetin orang, minta makan lagi! Gak malu banget sih! batin Alin.
“Jangan mengejek di dalam hati. Tidak baik,” katanya lagi, sambil duduk di sebelah Alin.
“Aku lihat kamu bawa kotak bekal. Tapi tidak dimakan. Jadi, lebih baik kamu sedekahkan saja ke aku. Dapat pahala.”
Alin mengengsot sedikit. Dengan buru-buru ia berikan kotak bekalnya, kemudian pergi jauh-jauh dari situ.
“Terimakasih!” jerit lelaki itu, yang akhirnya Alin tahu namanya yang tercetak jelas pada nametag seragamnya. Arya Mikhail .
Sejak saat itu, Mikhail selalu mengganggunya. Ketika sibuk Alin membalikkan halaman buku, Mikhail selalu duduk di sampingnya. Hingga akhirnya Alin bosan diganggu oleh lelaki itu, dan mulai berhenti pergi ke taman belakang sekolah.
Walaupun ia rindu. Ya, selama bersekolah di sini, ia hanya akan ke sana disaat istirahat. Taman yang sejuk, namun tidak banyak murid yang menghabiskan waktunya di sana, mungkin hanya dua atau tiga orang, termasuk dirinya.
Alin merasa kebahagiaannya telah direnggut oleh Mikhail yang tiba-tiba datang mengusik ketenangannya. Alin hanyalah seorang yatim piatu, ayah dan ibunya meninggal dalam kecelakaan mobil ketika usianya mencapai sepuluh tahun. Pernikahan mereka tak mendapat restu dari masing-masing keluarga.
Tapi mereka nekat menikah dan tinggal jauh dari keluarga. Sementara Alin, adalah anak tunggal. Dan setelah ketiadaan mereka, ia menjadi sebatang kara dan putus sekolah. Alin bahkan harus tinggal di pinggir jalan karena selama ini ia hidup mengontrak dengan orang tuanya. Dan ketika mereka meninggal, pemilik kontrakan mengusir Alin karena tahu ia takkan bisa membayar uang sewa.
Keluarga ayah dan ibu telah diberitahu tentang kematian keduanya oleh pihak kepolisian. Namun, tak ada satupun anggota keluarga ibu dan ayahnya yang sudi mengadopsinya. Hingga ada seorang wanita paruh baya bernama Bu Aida yang menemukannya dan mengajak Alin untuk tinggal bersamanya.
Bu Aida menyekolahkan Alin yang sempat terputus selama beberapa bulan. Wanita yang tinggal sendirian itu sangat menyayangi Alin. Namun lagi-lagi Alin harus kehilangan figur orangtua karena Bu Aida menutup matanya saat Alin baru saja lulus SD. Belum kering lukanya karena ditinggal oleh Bu Aida, Alin harus merasakan kesakitan dan kesedihan karena teman-teman SMPnya terus-menerus mengolok dan mencemoohnya, mengatakannya sebagai pembawa sial karena orang-orang di sekitarnya meninggal. Sejak saat itu Alin mulai berhenti berharap terhadap hubungan yang bernama pertemanan, apalagi persahabatan.
Sampai di SMA ini pun, ia masih enggan membuka pintu hatinya. Alin merasa mereka hanya akan meninggalkannya ketika tahu siapa dia. Hatinya takut untuk terluka.
Namun, berbeda dengan Mikhail. Dia masih saja menghampiri Alin walau selalu gadis itu memarahinya. Seperti hari ini, lelaki berkulit hitam manis itu berdiri di depan gerbang sekolah menunggu Alin keluar dari kelas.
“Mungkin kamu tidak kenal aku. Tapi aku kenal kamu. Dan semua senyummu yang hanya kamu pendam dalam hati,” ujar lelaki itu sambil memberikan sebuah bungkusan kepada Alin yang menatapnya dengan curiga.
“Aku akan tetap mengganggu kamu. Walau kamu selalu memberikan tatapan seperti itu. Aku tidak akan bosan.” Kemudian dia pergi setelah mengakhiri kalimatnya.
Sesampainya di kamar, Alin membuka bungkusan yang diberikan Mikhail. Ia melihat ada sepucuk surat yang terlampir bersama kotak bekalnya.
Alina Diandra …
Kamu mungkin bertanya-tanya, kenapa aku melakukan ini semua ...
Tapi yakinlah, jauh sebelum berada di sekolah ini
Aku sudah mengetahui tentang keberadaanmu
Yang selalu merenggut ketenanganku dengan senyumanmu
Mungkin kamu tidak mengingatnya
Tapi aku tidak akan pernah lupa denganmu,
Pahlawan dalam hidupku ...
Arya Mikhail
Alin membisu. Otaknya dengan perlahan mencerna kata-kata dalam surat lelaki beriris mata hitam legam tersebut. Kapan kami pernah bertemu? Dan semua pertanyaan tentangnya yang bercambah dalam hati Alin. Akhirnya ia pun tertidur dengan sejuta kebingungan merajai benaknya.
Keesokan hari, ketika Alin baru saja keluar dari rumah milik Bu Aida yang diwariskan kepadanya, ia melihat Mikhail sudah berdiri di luar pagar, di samping sebuah sepeda dan tersenyum memandangnya. Entah kenapa hatinya berdebar dengan cepatnya. Masa’ karena aku makan makanan yang ada di dalam kotak bekal itu tadi malam aku bisa berdebar gini? Apa jangan-jangan ada jampinya?
“Aku sudah pernah bilang, jangan suka mengumpat dalam hati," goda Mikhail.
“Ayo naik, kalau kamu nurut, aku akan kasih tahu kamu kapan kita pernah bertemu,” lanjutnya seraya menaiki sepedanya.
Dan Alin dengan linglung mengikutinya. Duduk di belakang, kemudian berpegangan pada ujung bajunya. Mikhail tersenyum melihat gelagat Alin.
“Kamu tahu, kenapa aku naik sepeda?” tanya lelaki itu sebelum mengayuh. Alin menggeleng pelan. “Biar sehat. Romantis juga, kan," godanya lagi.
***
Akhirnya Mikhail mengatakan hal yang semalaman ini jadi persoalan dibenak Alin. Mereka duduk di sana ketika jam istirahat berbunyi. Di taman belakang sekolah yang sudah beberapa minggu ini tak dikunjunginya karena Mikhail yang selalu mengganggunya selama dua bulan penuh. Dia kemudian menatap Alin dan tersenyum.
“Kamu mungkin tidak ingat, tapi aku adalah tetanggamu dulu. Yah, walau hanya untuk beberapa minggu. Waktu itu, aku berlari dengan takut karena sedang dikejar-kejar anjing. Lalu kamu muncul entah dari mana, dan segera menarikku untuk berjongkok. Ditanganmu ada segenggam pasir, yang cepat saja kamu lemparkan pada anjing itu. Kemudian, kamu mulai melemparinya dengan apa saja yang ada disekitar kita. Ranting pohon, kerikil, bahkan daun-daun. Berusaha agar anjing itu segera pergi. Dan dia memang akhirnya pergi.
Kamu berkata padaku. "Ketakutan itu ada untuk dihadapi, bukan dihindari. Kalau kamu terus lari, kamu tidak akan dapat mengatasi ketakutan itu. Itu yang selalu dibilang ibuku." Dan kamu tersenyum, sangat indah. Sampai aku berpikir, kamu adalah malaikat yang dikirim Tuhan untuk menolongku. Sampai akhirnya orangtuaku memberitahuku tentang kecelakaan orangtuamu. Saat itu sudah dua minggu sejak aku pindah dari kontrakan. Kembali ke rumah orangtuaku yang baru selesai direnovasi.
Aku pernah meminta orangtuaku untuk mengadopsimu, namun mereka berkata bahwa kamu hilang entah ke mana. Aku merasa duniaku gelap seketika. Tapi Allah maha adil, walaupun waktu yang kubutuhkan untuk menemukanmu tidaklah singkat, tapi akhirnya aku tahu kalau kamu bersekolah di sini, dan aku memutuskan untuk pindah ke sini walau jauh dari keluargaku.”
Terhenyak Alin mendengarkan penjelasannya yang panjang lebar itu. Matanya berkaca-kaca. Alin bahkan lupa pernah bertemu Mikhail di masa kecilnya. Lelaki itu kemudian duduk di hadapannya.
“Aku tahu ini tiba-tiba. Alin, aku menyayangimu. Meski pertemuan kita terbilang singkat, tapi aku tahu bahwa hatiku sudah jatuh padamu. Menikahlah denganku, Alin. Bukan saat ini, tapi nanti setelah aku bisa merengkuh kesuksesan. Apa kamu mau menungguku?” tanya Mikhail, menatap mata cokelat Alim dengan cemas. Alin langsung menganggukan kepalanya. Senyum terbit di bibir Mikhail. Dengan hati-hati ia menyarungkan sebuah gelang manik di tangan Alin.
Tanpa sadar, Alin menangis. Bukan hanya karena lamaran Mikhail tadi, melainkan kenyataan bahwa masih ada yang peduli padanya selain Bu Aida. Bahwa masih ada orang yang memikirkan dia setelah kematian kedua orangtua dan ibu angkatnya. Dan bahwa ia masih punya ruang untuk sebuah kebahagiaan.
Sejak saat itu, tahun demi tahun Alin lalui dengan menunggu janji Mikhail kepadanya. Dan ketika impian Mikhail berhasil dicapainya, di sinilah mereka berada. Berjalan beriringan, di taman dikala senja menyapa.
“Menurutmu, apa definisi bahagia?” tanya Mikhail memutuskan lamunan Alin. Ia hening sejenak.
“Bahagia itu kamu. Kamu umpama mentari pagi yang menghangatkan pagiku yang dingin,” jawab Alin seraya melemparkan senyum terbaiknya pada Mikhail.
Mikhail turut tersenyum. Bahagia, ya Alin merasa bahagia. Dan ia tahu, kebahagiaan itu milik semua orang.
***