Sungai melintang di tepi kota ini. Airnya sering meluap saat hujan lebat di hulu. Saban tahun selalu banjir. Penduduknya sudah akrab berkawan banjir. Hidup adalah cobaan, begitulah nasihat penguat hati kami.
"Cobaan banjir tak seberapa ini, Nak. Kelak akan lebih parah," kata mertua kepada istriku yang baru saja mengeluhkan pasar yang tutup. Banjir ini melumpuhkan kami. Ia tak bisa belanja. Tak bisa masak selain mie rebus dan telur hari ini.
Di luar, luapan sungai masih bergerak menuju bentangan persawahan. Belum menunjukkan surut. Hujan juga belum reda di luar. Ketinggian banjir hampir mencapai lantai rumah panggung kami. Hampir semeter.
Aku sedang menonton. Menjadi perhatian saat mendengar apa yang dikatakan mertuaku: 'kelak akan lebih parah.' Mertuaku bermaksud menenangkan anaknya jangan mengeluh. Kuatkan hati. Simpan atau buang keluhan itu. Keluarkan saja keluhan nanti pada cobaan yang lebih besar lagi. Aku terusik ketenangan.
Hari ini aku juga sudah mengeluh. Tak jadi mengajar. Sekolah dirayap air setengah lutut, kata penjaga sekolah. Nanti akan tambahan kerjaan usai banjir surut. Ah.
"Bagaimana ceritanya, Abu, 'kelak akan lebih parah'?" tanyaku.
"Tanda-tanda menunjukkan begitu," jawab Abu. Aku berkerut. Sedikit kecewa. Itu bukan penjelasan, Abu. Ah!
Aku alihkan wajahku ke teras. Anakku, Raja dan Syifa, sedang bermain dengan kapal kertas yang dilempar ke banjir. Si Raja naik ke pagar teras hendak melempar kapal kertas bikinannya. Aku sigap bangkit dan segera mencegahnya.
"Rajaaa, jangan!" Kuambil dia dan kudirikan di teras. Kutatapi keduanya. "Abang Raja, Adek Syifa, jangan naik pagar ini, ya. Nanti bisa jatuh. Tuh liat banjirnya. Bahaya. Bisa tenggelam Abang Raja sama Adek Syifa. Nanti kalo udah gede, boleh naik pagar. Loncat berenang juga boleh." Aku usap-usap lembut pundak mereka.
Mereka mengerti dan menurut. Masih ceria wajah mereka. Tak ada beban. Banjir ini adalah masalah bagi orang dewasa tapi bagi mereka adalah hiburan. Terlebih ketika mereka tahu sekolah libur. Meloncat kegirangan. Aku geleng-geleng. Libur lebih disenangi dari sekolah.
"Ayah, bikinin kapal."
"Adek juga, Ayah."
"Iya, sini kertasnya." Awalnya aku buatkan mereka dua kapal lalu tambah minta dua kapal lagi. Setelah jadi, aku kecup kening keduanya.
"Udah, ya. Ayah mau ngobrol sama Kakek."
Aku duduk lagi samping mertuaku yang sedang menonton televisi. Di beberapa daerah berita banjir dan satu berita air bah yang menghantam tiga desa. Kuseruput kopi meski masih panas.
"Jadi, apa tanda-tandanya, Abu?" tanyaku melanjutkan obrolan yang terputus tadi.
"Penebangan hutan, Nak. Tak pernah berhenti-henti di sekitaran hulu sungai. Makin meluas terus berkali-kali lipat luasnya dari kota kita."
Aku bergidik. Juga kagum. Mertuaku punya pengetahuan situasi akan sekitar. Aku tahunya urusan sekolah, siswa, dan Biologi.
"Bagaimana Abu bisa tahu tambah meluas?"
Mertuaku ini pensiunan pegawai pemerintah. Pernah menjadi kepala dinas di kota ini. Hari-hari kini kegiatannya ikut pengajian, rapat di keluharan, acara masyarakat, nonton, baca.
Dia ada kegiatan selalu. Sehat jiwa raga.
Ia ambil tabletnya. Disuruh aku merapat padanya. Dibuka aplikasi google map.
"Ketikkan nama kota kita. Nanti Abu tunjukkan lokasi penebangan yang meluas itu."
Mataku tak berkedip. Orang tua ini tahu juga aplikasi ini. Kalah anak muda. Banyak tak tahu. Ia mengikuti perkembangan zaman.
Aku ketikkan nama kotaku. Lalu ia memintaku pilih 'satelite'. Biar lebih jelas nampak kota kita. Lalu ditunjukkan dan diterangkanlah kota kami yang terancam bah.
Ada pertemuan dua cabang sungai di selatan kota kami. Satu cabang sungai ke selatan kiri kota, ke arah hulunya, sekitar 27 Km, hutan bisa dilihat makin meluas ditebang, kata mertuaku.
Dari google maps ditunjukkan warna hijau tua. Deretan hijau tua yang berbaris rapi dan dibatasi garis-garis jalan adalah adalah perkebunan sawit milik PT X yang diresmikan sejak 1996. Dulu mertuaku sempat menentang. Perkebunan itu sangat dekat ke hulu. Tapi masa Soeharto, menentang adalah separatis. Aku mulai bergidik.
Yang warna hijau muda kekuningan di google maps itu adalah lahan bukaan baru. Ada juga warna kuning menyala, tak jauh dari perkebunan sawit dan lahan bukaan baru.
Warna kuning itu, mertuaku bilang merupakan bebukitan yang dikeruk menalangi tanggul dan pembangunan kota ini. Satu lagi warna hitam itu adalah lahan yang baru dibakar. Ada juga tampak jelas pemukiman penduduk. Meremang tengkukku.
Semua yang ditunjukkannya adalah hutan-hutan yang dirambah. Karena inilah saat hujan lebat di hulu, tanah tak lagi menyerap. Tumpah plek ke sungai menuju kota kami.
Sejak tahun 1996, bersamaan diresmikannya PT X, mulailah banjir pertama kali datang menggenangi kota kami. Mertuaku protes lagi, ke bupati, tetapi tak didengar. Ada keuntungan antara beberapa pemangku kepentingan dengan berdirinya PT X ini. Bahkan media pun bisa dibungkam. Banjir hanya disebut karena hujan lebat, sungai meluap. Itu saja. Tak disinggung luasnya hutan yang terus dirambah. Merinding aku.
Peristiwa banjir tahun 1996 merupakan yang pertama terbesar. Belum pernah terjadi sepanjang Abu lahir dan besar di kota ini. Aku pun ingat masa SMP ketika banjir itu. Dapat bantuan buku tulis, buku gambar, dan pulpen. Senang luar biasa. Tak sadar bahwa begitu banyak kesulitan yang muncul pascabanjir itu.
Perabotan, kasur, apa saja isi rumah, rusak karena banjir. Tempat usahanya tak sempat, tak berhasil diselamatkan. Surat-surat penting, termasuk ijazah SD-ku, juga rusak dan harus diurus lagi orang tuaku. Aku mana peduli, mana beban, dan mana tahu-menahu. Semua masalah itu ditanggung beban orang tuaku.
Lalu berturut-turut setiap hujan lebat, sungai keruh berarus deras. Berpusar-pusar. Seperti mengamuk. Sesekali kulihat gelondongan kayu lewat saat aku dan abangku memancing di tepian sungainya. Aku ingat dan sangat berkesan, pemuda yang menunggu gelondongan kayu lewat. Ia menariknya dengan cara melempar kait baja di ujung tali. Kadang berhasil ditarik gelondongan kayu itu, kadang tidak.
Pernah di titik-titik pinggiran sungai tertentu, dibuat talud sungai dengan tiang pancang besi, penahan batu-batu belah. Sebelumnya batu belah dengan kawat saja, tanpa tiang. Semua pembangunan itu Lenyap. Tanpa jejak. Termasuk tiang pancang. Raib. Arus sungai terus menggerus kedua sisi sungai. Melebar dan terus melebar. Memakan setiap penghalangnya.
Kini tepian sungai, sudah memakan jalan kampung. Jalan itu dinaikkan tanahnya, dibuat tanggul. Kelak, tanggul-tanggul itu pun dikikis arus sungai.
Peristiwa banjir sudah 20-an tahun berulang terjadi. Beragam dan berulang program pemerintah mengatasi banjir. Kini dibuat bendungan.
Mertuaku menunjukkan di mana bendungan itu. Tampak di google map. Letaknya bukan antara aliran sungai dari perkebunan dan kota kami. Tapi letak bendungan ke arah cabang sungai selatan kanan, sekitar 35 Km jaraknya. Bendungan ini diharapkan menjadi penangkal limpahan debit air sungai dari cabang sungai ini yang hulunya ke pegunungan yang juga sudah dirambah dibuka perkebunan. Namun belum juga membuahkan hasil. Setiap hujan seharian dari pegunungan itu, kota kami pasti banjir. Maka, kota ini akan dikepung luapan air dari dua aliran sungai yang bertemu di kota kami.
"Lahan terus dibuka, Nak. Begitu mencemaskan, Abu. Tambah lagi, program pemerintah kini, reforma agraria, hutan dibuka lagi. Diberi cuma-cuma kepada rakyat miskin. Abu dukung program ini biar rakyat miskin punya tanah dan mendapat rezeki. Sayang, lahan yang diberi, Nak, masih berdekatan dengan PT X ini dan hulu sungai kita. Kamu bayangkan 2 ha per orang, katakanlah ada 1000 orang dapat lahan, maka 2000 ha nantinya pohon-pohon penyerap air hujan di hulu akan tumbang lagi.
"Jika ada tambahan data lebih luas lagi dan bisa dikaitkan dengan pemanasan global, perubahan iklim, terperkirakan cuaca dan hujan lebat di hulu sungai kita. Maka saat itu, Nak, bah datang menerjang. Astaghfirullah. Ampuni kami, ya, Allah."
Mertuaku terisak hebat di ujung bicaranya. Aku antara percaya tak percaya menjadi terpengaruh percaya apa yang diprediksikannya.
Aku juga terisak, hanyut dalam bayangan air bah yang datang menerjang menghantam kotaku. Aku, anak-anakku,istriku, keluargaku, tergambar di benakku panik luar biasa, kacau tak menentu, terseret terbawa air bah.
Tersadarkan aku ketika mertuaku menepuk pundakku. "Mie rebus sudah datang. Jangan nangis di depan istrimu," bisik mertuaku.
***
Lalu saat hujan lebat dan lama di hulu, aku selalu waspada bah yang akan datang ke kota kami. Saat hujan, dan truk atau tronton lewat, kukira gemuruh air bah yang datang. Sebelumnya, setiap getaran truk dan tronton lewat, kuartikan gempa. Aku biasanya panik dan buru-buru siap mengungsi. Membangunkan istri, anak-anak dan mertuaku.
Aku diingatkan mertuaku. "Ancaman bencana selalu ada. Tidak hanya dari air bah. Bisa juga gempa, dll. Jika kamu sudah duluan cemas sebelum kejadian datang, maka dua beban telah kamu tanggung. Beban cemas panik sebelum kejadian, dan beban saat kejadian. Cukuplah beban itu dipikul saat benar kejadian. Jangan seperti ini. Lagi pula, Tuhan tak akan membebani di luar kemampuan manusia.
"Tenanglah, gunakan akal sehatmu. Kamu guru. Pelajari situasi. Siap siagakan seperlunya saat bencana itu datang. Kamu jangan panik, jangan cemas berlebih. Kuat dan tenang. Saat nanti terjadi, saat itu kamu benar-benar teruji peranmu sebagai suami terhadap anak-anakmu dan istri yang harus kamu lindungi, amankan, dan nyamankan. Jika kamu terus begini, tak bisa diandalkan kamu berperan sebagai suami!
"Belum lagi peranmu sebagai guru. Ada peran kepedulian sosial dan lingkungan di pundakmu. Dengan peranmu ini, kamu bisa mencegahnya sebelum itu terjadi! Teguhkan dirimu, satukan kekuatan. Gunakan cara-cara ramah dalam mengatasi yang akan terjadi agar kamu tak dibasmi oleh makhluk-makhluk serakah dan terusik kepentingannya itu!" Ditancapkan tatapan matanya ke dalam bola mataku sampai ke hatiku. Berdesir dada kurasa. ***