Sang pusat tata surya masih menyapa dengan hangat dari timur sana. Daun-daun pepohonan masih terlihat mengilap sebab embun semalam masih bertahta. Dan bunga pukul sembilan yang warna-warni masih ancang-ancang untuk menunjukkan pesonanya. Tapi aku sudah menggendong tas dan meninggalkan sebuah kelas berplang 11 MIPA 2, bergabung dengan ratusan siswa lain yang juga meninggalkan kelas mereka. Hari ini, tercatatlah sejarah pulang pagi terpagi yang pernah ada. Sebab deretan empat angka penunjuk waktu di layar ponselku saja masih menampilkan angka 07:53.
Semua ini tak terlepas dari ultimatum Pak Roni yang menggemparkan seluruh siswa SMA Delima. Saat ditanya apakah sekolah tidak diliburkan karena pandemi Covid-19 sudah mulai menyapa, dengan enteng namun tegas Pak Roni mengatakan, "Bagi yang masih bernyawa silakan datang ke sekolah seperti biasa."
Ya, sebagai makhluk yang raga dan nyawanya masih menyatu, kami hanya bisa patuh. Berendah hati untuk merayu air yang dingin agar rasa kantuk pergi, berpenampilan rapi dengan seragam lengkap sesuai jadwal hari ini, dan rela kembali melawan dingin seraya menukarkan beberapa mililiter bensin dengan kepulan polusi udara untuk memangkas jarak berkilo-kilo meter untuk sampai di halaman sekolah ini.
Lalu setelah sampai dan berbaris rapi, apa yang kami dapati? Sebuah pengumuman bahwa kegiatan belajar mengajar akan dilaksanakan dari rumah masing-masing selama empat belas hari. Semuanya sudah menduga, dan hampir seluruhnya bergumam mempertanyakan mengapa pengumuman ini tidak disampaikan melalui broadcast saja mengingat bahwa teknologi sudah sebegini canggihnya. Tapi semuanya memilih untuk diam, sambil berprasangka baik bahwa para guru masih ingin melihat siswa-siswi kesayangannya ini lebih lama.
Ya, tidak apa-apa. Yang penting libur panjang, kata mereka. Aku sendiri tak banyak memberikan reaksi, hanya mengikuti perintah yang pastinya sudah merupakan yang terbaik untuk kami. Maka sekarang aku pulang, sebab acara asing-asingan yang dinamai social distancing sudah mulai dilaksanakan.
Sebagaimana seorang jomblowati sejati, aku pulang sendiri. Cukup ditemani motor matic putih dan helm bergambar kopi, aku membelah jalanan dengan santai, sesekali kusempatkan memandangi sungai jernih dan jajaran pohon tinggi di kanan-kiri. Diam-diam, kunikmati perjalanan kali ini. Sebab entah mengapa, aku berfirasat bahwa belum tentu aku dapat segera menyusuri jalan ini lagi.
Tak terasa aku sudah hampir sampai di rumahku—maksudku, rumah orang tuaku. Dengan santainya kupacukan motor ini menuju teras depan untuk diparkirkan, tanpa terlebih dahulu meneliti apa yang mengisi teras terbuka itu. Segera saja aku menyesal saat kulihat ada sebuah motor lain yang sudah terparkir di sana, dengan pengemudi yang masih belum beranjak dari dudukannya. Ia seorang pemuda, lebih tua sedikit dariku. Anak tengah dari tiga bersaudaranya ketua RT sebelah, Erlangga. Aku panik, sudah bertahun-tahun tak pernah bertegur sapa dengannya, suasana canggung pun langsung menguar bahkan saat motorku masih merambati tanjakan.
Dengan bodoh dan kikuk kustandarkan motorku di samping motor Mas Erlangga. Lalu kebodohan kedua menyusul dengan mudah saat kubuka helm berkaca hitam yang seharusnya bisa kumanfaatkan untuk kabur darinya. Dan kebodohan ketiga seakan melengkapi saat aku dengan refleks membenarkan bagian atas jilbabku sambil berkaca pada spion. Kan, jadi kelihatan narsisnya!
Tapi ya sudahlah! Sudah kepalang basah, berenang saja sekalian.
Sapaan yang semula akan kulontarkan terasa menyangkut di tenggorokan tatkala mata cokelatnya bertemu dengan mataku. Jantungku terasa ditabuh. Ya Allah! Sejak kapan ia menatapku begitu?! Ah, bukan, aku salah fokus, ke mana saja aku selama ini sampai-sampai baru sadar bahwa ia sudah setampan ini?
Dengan ragu dan kaku akhirnya kuanggukkan kepala untuk menyapanya. Namun tanpa sedikitpun kuduga, ia mengajakku bicara.
"Dari mana, Hil?"
Aku semakin gelagapan. Gila saja suaranya! Benar-benar menggetarkan jiwa.
"Ehm.. Ini, Mas, d-dari sekolah."
Ya Allah.... Aku gugup!
"Oh?!" Ia tampak sedikit terkejut, lalu sekilas pandangannya turun memindai pakaianku. "Pakai seragam ya ini tadi?"
Hah? Kok bisa ia tak sadar?
Aku tersenyum kikuk, "Iya, Mas."
"Loh, memangnya kamu belum lulus, Hil?"
Lagi, aku tersenyum, sambil menggeleng. "Belum, Mas."
"Oalah... Kelas berapa? Dua belas, ya?"
Lagi-lagi, aku meringis, "Masih kelas sebelas, Mas."
"Loh? Masa? Belum ujian-ujian yang kelulusan itu berarti?"
"Belum, kemarin baru selesai UTS."
"Oalah... Berarti lulusnya masih tahun depan, ya?"
"Iya.."
Dan begitulah, pagi itu aku baru menyadari bahwa Mas Erlangga, tetanggaku, tampannya luar biasa. Di pagi-pagi selanjutnya kuhabiskan waktuku dengan duduk di sofa ruang tamu seraya memandang ke luar melalui bingkai jendela, menanti Mas Erlangga berangkat kerja dan memarkirkan motornya. Oh, iya, Mas Erlangga bekerja di percetakan batu bata milik Mas Aris yang rumahnya tepat di samping rumahku. Itulah sebabnya mengapa teras rumahku bisa berubah menjadi tempat parkir untuk beberapa pekerjanya Mas Aris.
Lalu, dari omongan yang kudengar lewat perbincangan Bapak dan Ibuk, Mas Erlangga ini bekerja di bagian cetak batako, dan mesin-mesin pencetak batako itu oleh Mas Aris dan Pakdhe Misbah ditempatkan tepat di samping kamarku. Jadi aku bisa sering melihat Mas Erlangga bekerja di balik mesin berat nan berisik itu, misalnya dengan mengintip melalui jendela kamarku.
Tapi tidak, aku lebih suka melihat Mas Erlangga dari ruang tamu saat ia mengayak pasir, atau menyetir grandong untuk mengantarkan pesanan. Pada jam-jam itu aku masih sibuk mengerjakan tugas-tugas yang dikirimkan oleh para guru. Lalu di jam makan siang aku akan keluar ke teras yang ada di samping rumah, berpura-pura menyantap makan siang sambil mencari angin padahal tujuan utamaku adalah agar bisa melihat Mas Erlangga lewat jalan depan rumah untuk pulang di jam istirahat.
Setelah zuhur aku akan kembali ke ruang tamu dan mengerjakan tugas-tugasku, atau jika tak ada tugas ya aku main ponsel saja di situ, yang penting aku tidak ketinggalan momen di mana Mas Erlangga kembali memarkirkan motornya. Namun setelah zuhur sering kali aku ditemani sepupuku, Feny, masih kelas dua SMP, tapi kalau membicarakan cowok tak pernah kalah dariku. Ia bahkan mempunyai pikiran bahwa Mas Erlangga menanyakan perihal kelulusanku karena ia mau melamarku setelah aku lulus. Gila saja!
"Eh, Mbak, aku punya ide," kata Feny tiba-tiba saat aku memandangi Mas Erlangga yang sedang mendorong gerobak roda satu berisi pasir yang akan diaduk bersama semen dan air menggunakan molen.
Aku menoleh setelah Mas Erlangga hilang dari pandanganku. "Apa?"
Feny senyum-senyum dan firasatku berkata ada yang terselubung di baliknya. "Mbak kan suka Mas Erlangga, ya. Nah, supaya nanti kita tetap bisa bareng-bareng, aku mau mengincar adiknya."
Sebelah alisku terangkat, "Fery maksudmu?"
"Iya, lah! Siapa lagi? Nama kami saja sudah mirip, kan? Do’akan kami berjodoh."
Aku geleng-geleng melihat keantusiasannya, tapi tetap saja ku-Aamiin-i keinginannya itu, dalam hati. Lagi pula kalau dipikir-pikir lucu juga sepasang suami istri Fery-Feny.
***
Mas Erlangga adalah sosok menantu idaman bagi para bapak yang memiliki anak gadis, termasuk Bapakku. Maka aku sudah tak merasa ragu lagi untuk menjatuhkan hatiku. Ya, bagaimana tidak? Ia mencetak batako dari pagi sampai siang, kadang juga bersama Mas Aris mengantarkan pesanan. Waktu istirahatnya hanya saat zuhur tiba, setelah itu ia akan kembali bekerja hingga azan ashar dikumandangkan. Mendengar suara azan ia tak langsung pulang, melainkan mengambil clurit, karung, dan tali tambang untuk mencari rumput yang akan diberikan pada kambing-kambingnya—katanya jumlahnya sekitar dua puluh.
Setelah itu ia baru pulang dan mandi, lalu bukannya diam di rumah dan beristirahat guna melepas lelah, ia justru berangkat lagi ke sawah. Untuk apa? Menerbangkan gapangan, baik bersama anak-anak, maupun bapak-bapak. Ia bisa bergaul dengan siapa saja, tanpa pandang usia.
Setelah menerbangkan gapangan, ia pulang sebentar saat maghrib. Lalu berangkat lagi. Ke mana? Ke rumahku. Iya, benar. Hampir setiap malam ia datang ke rumahku. Tetapi tidak sendiri apalagi dengan maksud menjadi tamuku. Tidak. Ia datang ke rumahku karena teras yang biasa kutempati saat makan siang akan menjadi markas para lelaki saat malam.
Di sana mereka melakukan banyak hal, tergantung musim. Saat musimnya memancing ikan, mereka akan membuat pancing bersama-sama. Pada saat musim menangkap belalang, mereka akan merakit perangkap sekaligus wadah yang dipakai untuk membawa belalang-belalang itu pulang. Hasil memancing maupun menangkap belalang itu tak jarang juga diolahi di tempat itu. Selainnya ada juga musim para lelaki itu akan menggilai gapangan besar dengan gambar beraneka rupa dan lampu yang beraneka warna. Semua rangkaian kegiatan itu tidak pernah terlepas dari campur tangan Mas Erlangga yang serba bisa.
Alasan Mas Erlangga menjadi menantu idaman selain tampan dan rajin bekerja adalah keterampilannya itu. Tangannya kreatif menggambar dan merangkai apapun, bicaranya juga kreatif karena mampu menyesuaikan selera humor bapak-bapak yang terkadang tak terjangkau. Kebanyakan gapangan bergambar yang digantung di dinding rumahku adalah karya Mas Erlangga, yang ia buat dengan penuh canda tawa namun hasilnya selalu luar biasa. Ia bahkan mampu menggambar beberapa Hero Mobile Legends dengan begitu miripnya.
Pernah aku berpikir, karena aku hobi menulis, jika aku menikah dengannya, akan menjadi sebuah kombinasi yang sempurna untuk mengirimkan karya kami ke platform baca komik online. Nanti kami akan lembur di kamar, dan kalau lelah kami akan istirahat sebentar, saling pandang, lalu saling menyemangati dengan emmm... sebentar, aku tak ingin pikiranku menyimpang. Ya, saling menyemangati dengan senyuman saja cukup, semoga.
Tapi di samping semua itu, ada satu hal yang benar-benar membuatku menyukai Mas Erlangga. Ia pandai bermain gitar dan suaranya merdu sungguhan. Beberapa waktu lalu aku ingin bisa bermain gitar, tetapi sekarang karena Mas Erlangga sudah bisa, keinginanku berubah. Aku ingin bernyanyi bersama Mas Erlangga dengan suara petikan gitarnya mengiringi nyanyian kami berdua. Aku yang tak terlalu pandai bernyanyi akan selalu diyakinkan untuk terus menyanyi dengan tatapan mata Mas Erlangga yang tajam namun teduh itu. Aaaa... Ibuk... rasanya ingin meleleh saja anakmu.
Saat pikiranku berkelana seperti itu, tiba-tiba saja suara genjrengan gitar mengucap permisi di telingaku. Aku tahu, Mas Erlangga pelakunya. Aku mengunci layar ponselku untuk mendengarkan nyanyian itu dengan saksama. Intro lagu yang ia mainkan terdengar asing, namun saat ia melantunkan baris pertama saja aku sudah mengetahui lagu apa itu. Itu lagu yang biasa diputar keras-keras oleh Mas Erlangga saat ia bekerja. Semakin kudengarkan semakin aku terhanyut, aku baru tersadar, lirik lagu ini begitu mendebarkan, apalagi Mas Erlangga yang menyanyikannya.
Saat melihatmu, ku hanya menatapmu
Mungkinkah kau jadi milikku?
Saat melihatmu, kau membuatku jatuh cinta
Mungkinkah kau jadi milikku?
Kau datang membawa cinta
Kau mengisi hatiku
Kuingin kau tahu perasaanku
Perasaan yang tulus padamu
Kuingin kau mengerti perasaan ini
Perasaanku dari hati
Dengarkan aku sayangku
I love you, I need you, I’m with you
Setelah lagu itu selesai, ia menyanyikan lagu lain, kali ini lagu-lagu galau dan ambyar yang direkomendasikan oleh beberapa anak muda yang ada di luar sana. Mas Erlangga menurut saja, ia menggenjreng gitar dengan terampil dan tak jarang ikut menyanyi sampai suaranya begitu mendominasi karena sarat penghayatan yang tinggi. Lalu malam mulai larut, satu persatu orang yang ada di sana berpamitan pulang, mungkin hanya tersisa beberapa.
Saat malam semakin sepi, kudengar gitar itu dipetik lagi. Alunannya pelan dan lembut, perlahan mencipta intro salah satu lagu milik Souqy, judulnya ‘Aku Sayang Banget Sama Kamu’. Hatiku yang semula hangat berubah menjadi panas saat lagu itu mencapai bagian reff, tiba-tiba aku khawatir, untuk siapa Mas Erlangga menyanyikan lagu semanis ini? Siapa yang ia pikirkan saat ini? Jujur saja, aku tak berani mempercayai bahwa lagu-lagu yang ia nyanyikan itu ditujukan untuk seseorang yang secara kebetulan mendengarnya.
***
Suara geraman mesin molen tak terdengar pagi ini, pun dentuman keras dari mesin pencetak batako tak terasa mengguncang bumi. Mungkin hari ini percetakan Mas Aris sedang libur, tapi tetap saja, memandangi jendela dengan harapan dapat menemukan Mas Erlangga seperti sudah terlanjur menjadi hobi baruku—atau bahkan kebiasaan, entahlah. Yang pasti, kekhawatiranku kemarin nyatanya tak memberikan efek apa-apa. Aku masih tetap berharap dapat melihat Mas Erlangga lewat, sebagaimana aku berharap kami dapat hidup bersama suatu saat.
Hari ini aku dan Feny sama-sama menganggur, maka ia sudah duduk-duduk manis menemaniku menunggui Mas Erlangga berlalu—seraya berharap Fery juga ikut melewati jalan depan rumahku. Bahkan Feny lebih parah. Bisa-bisanya ia mencincang kulit buah naga sambil berkata bahwa ia sedang menyiapkan makan siang untuk suaminya. Iya, kegilaannya memang sering kali jauh melampaui kakaknya. Namun ternyata selayaknya sebuah keajaiban, Fery benar-benar lewat di depan rumahku. Hal itu otomatis membuat aku dan Feny tercengang, saling pandang dan bertanya dalam kebisuan, bagaimana bisa??? Lalu setelahnya Feny tertawa-tawa sambil mengatakan bahwa ia dan Fery memang berjodoh. Ya, sudahlah, iyakan saja.
Tak berselang lama Mas Erlangga yang lewat, namun tak seperti biasa, ia berpenampilan begitu rapi, seolah semua barang yang melekat padanya sudah dipilih dengan saksama sehingga perpaduannya sangat serasi. Jujur aku malah pusing melihatnya, ia memakai baju dinas yang asal ambil dari lemari saja aku sudah mau gila, apalagi kalau ia begini?!
"Eh, tumben dandan rapi, ya, Mbak?" Feny berbisik heran.
"Hari apa sekarang, Fen?" tanyaku tanpa mengalihkan pandangan dari Mas Erlangga.
"Minggu," jawab Feny takut-takut. "Lah, kencan dia, Mbak? Punya pacar?"
Aku mengangkat bahu, "Yah... Tak tahu."
Sebenarnya kepanikan Feny juga menjadi kekhawatiranku. Tapi entahlah, tenagaku rasanya menguap saja tiba-tiba. Bahkan aku tak memiliki semangat untuk sekedar merasa kecewa.
Dering telepon dari ponselku menyita perhatian kami, mengendurkan suasana yang sempat menegang. Feny meraihnya, lalu matanya terbelalak saat membaca nama penelepon yang tertera di layar kaca.
"Mas Aji, Mbak!"
Aku berdecak, rasanya semakin malas saja mendengar nama itu. Untuk apa ia tiba-tiba meneleponku? Pasti sedang ada yang dimau. Dengan setengah rela, panggilan kuterima.
"Kau di rumah?"
Aku memutar bola mata. Dasar, tak sopan! Bisa-bisanya ia tak mengucap salam atau apapun.
"Iya."
"Boleh pinjam buku paket Bahasa Jawa?"
Aku tersenyum miring, sudah kuduga pasti ada maunya.
"Kau ambil ke sini?"
"Ya, kalau boleh."
"Boleh."
"Terima kasih, aku berangkat."
"Hm, hati-hati."
Tut—
Aku melotot. Seenaknya menelepon, seenaknya pula mematikan telepon. Kok bisa ada orang sepeti itu?!
"Mbak benci Mas Aji, ya?" tanya Feny terlihat sedikit khawatir. Mungkin raut wajahku terlalu meunjukkan kalau aku tak suka, ya?
"Tidak, hanya malas saja."
Tak berselang lama Aji benar-benar sampai di rumahku dengan motor hitamnya. Motor yang sama dengan motor yang ia pakai untuk mengantar pulang Sinta. Haiss.. Malas juga aku mengucapkan nama itu. Semuanya sama saja. Aku keluar membawa buku yang Aji maksud lalu tanpa basa-basi langsung memberikannya.
"Kau marah?" tanya Aji saat memasukkan bukuku ke dalam tasnya. Yah, mungkin ia orang kedua yang menangkap hawa negatif yang menguar dari wajahku.
Lagi, aku mengangkat bahu acuh. "Buat apa aku marah?"
Ya.. lagi pula tak ada hak juga kan untuk marah?
Ia hanya mengangguk sekali. "Aku bawa, ya?"
"Ya, hati-hati."
Aji langsung memutar arah motornya dan meninggalkan pekarangan rumahku, juga goresan tak terlihat di dalam—sudahlah! Semakin dibahas akan semakin memuakkan.
Brak!
Aku berbalik dan niatku untuk kembali masuk ke dalam rumah urung setelah mendengar suara itu. Dari tempatku berdiri aku dapat melihat Mas Erlangga dan Mas Aris sedang menata batako, namun di sekitar kaki Mas Erlangga tersebar remukan batako yang nampaknya baru saja jatuh, mungkin itulah sumber suara barusan.
"Santai, Er.. Jangan mengamuk.." saran Mas Aris yang melewati Mas Erlangga dengan menggotong satu batako untuk dinaikkan ke atas grandong.
"Siapa mengamuk?" bantah Mas Erlangga lalu mengambil satu batako lain dari tumpukan di sebelahnya.
Mas Aris tersenyum simpul. "Sabar, ya."
Satu-satunya suara yang terdengar hari ini adalah jeritan grandong yang memuat ratusan batako dengan Mas Erlangga sebagai pemimpin kemudinya. Dari sini aku masih tetap heran, bagaimana bisa ada orang sekeren itu hanya karena menyupir grandong? Kalau bukan Mas Erlangga ya tidak ada.
Dan aku baru sadar, ternyata Mas Erlangga selalu menoleh ke arah teras samping rumah saat melewati jalan depan rumahku. Ia terlihat mencari sesuatu. Ah, maaf, lagi-lagi aku GR. Memangnya apa yang dicari Mas Erlangga di sana? Tak ada! Iya, tak ada. Kebetulan saja ia menengok markas para lelaki itu.
Setidaknya aku memercayai anggapan tersebut sebelum malam tiba dan Mas Erlangga kembali beraksi dengan gitarnya. Sampai pada detik ini aku masih tetap berpikir bahwa semuanya hanya perasaanku saja sementara Mas Erlangga tak pernah punya perasaan apa-apa. Tapi semuanya diruntuhkan oleh satu petikan gitar yang membawakan lagu 'Dia Milikku', karya Yovie & Nuno. Sudah begitu menyanyinya sambil menjerit-jerit pula, seolah ia benar-benar mengejek Aji yang nyata berada di hadapannya. Dengan ini, tolong izinkan aku berhenti menyebut diriku sekedar GR saja.
***
Rasanya aku semakin bersemangat saja menyukai Mas Erlangga. Ditambah lagi kebetulan-kebetulan yang menyertai kami. Contohnya pada kejadian pagi ini. Rasanya aku sedang melayang tinggi mana kala tadi saat aku iseng saja berbisik menyanyikan sebuah lagu, ada sahutan dari Mas Erlangga. Lagu yang kunyanyikam ini memang merupakan lagu duet berjudul ‘Banyu Moto’ karya Sleman Receh, maka dari itu aku sangat kaget ketika Mas Erlangga menyahut pada bagian yang pas.
Saat aku menyanyikan larik "Sampai kapan kan kau buktikan tresna tulus ya mung kanggo awakku?"
Maka Mas Erlangga menjawab, "Sampai mati kan kupastikan, merga mung kowe sing tak tresnani, tekane mati."
Demi apapun, kejadian itu sama sekali tidak disengaja! Dengan antusias kuceritakan kepada Feny saat sore harinya dan responnya begitu heboh, sesuai dengan dugaanku.
"Wah sudah dipastikan ini, hati kalian terhubung," kata Feny sudah seperti Mbah Dukun saja, tapi aku sangat senang mendengarnya.
"Eh, Mbak, berarti sudah bisa dipastikan juga ya ini, kita akan menikahi kakak beradik itu! Ayo, kita jadi menantu Pak RT yang baik!"
Aku tertawa saja mendengar ucapan Feny yang penuh semangat dan berapi-api. Kami berdua sama-sama tertawa, namun tawa tersebut tak bertahan lama sebab tiba-tiba Ibuku sudah berdiri di belakang kami.
"Siapa menikahi siapa?" tanyanya serius.
"Mbak Hilda menikahi Mas Erlangga," jawab Feny spontan yang kontan saja ia ralat sendiri. "Eh, Mas Erlangga menikahi Mbak Hilda, deng. Terbalik." Lalu Feny kembali tertawa sementara aku hanya tersipu-sipu saja sampai Ibuku tak lagi berdiri di sana.
Aku tak sempat memperhatikan raut wajah Ibuku saat itu, namun nampakya sejak sore itu juga Ibuk jadi tak banyak bicara, bahkan dagelan yang ia putar di televisi pun tak berhasil menghiburnya. Sampai malam hari, wajah Ibuk terlihat cemas dan gelisah, seperti ada sesuatu yang ditahan, tapi ternyata Ibuk hanya menunggu aku selesai belajar.
Saat aku menutup buku tulisku, Ibuk bertanya dengan nada datar. "Benar kau menyukai Erlangga?"
Aku tersentak, jantungku rasanya mau copot. Kenapa Ibuk tiba-tiba bertanya seperti ini? Belum sempat aku selesai mencari jawaban yang tepat, Ibuk sudah berkata lagi.
"Lupakan dia."
Aku tersentak lagi, dan kali ini rasanya seperti tersambar petir. Kenapa harus melupakan? Bukankah Bapak juga ingin mempunyai menantu seperti Mas Erlangga? Seakan dapat membaca semua kebingunganku, Ibuk kembali berucap.
"Pakdhe Misbah sudah menandainya sebagai calon menantu."
"Untuk Mbak Lia?"
"Tak mungkin untuk Mas Aris, kan?"
Aku nyaris menangis, "Ibuk, aku sedang tak ingin bercanda."
"Lagi pula aneh juga pertanyaanmu."
"Memangnya Mbak Lia pasti setuju?"
"Pasti, Lia anak yang penurut. Dan seharusnya kamu juga bisa seperti dia."
Alisku tertaut, "Mengapa jadi membicarakan aku?"
"Ya, seperti halnya Pakdhe Misbah, Ibuk sudah mempunyai rencana untukmu."
"Hah?"
"Ibuk dan Mbak Wiwin sudah membicarakan ini sejak dulu, sejak kamu dan Iqbal masih dalam gendongan dan ditimbang di posyandu. Kami berencana mengganti status. Dari teman menjadi besan."
Setelah mengatakan semua itu, Ibuk prgi begitu saja, masuk ke dalam kamar, meninggalkanku di depan televisi. Jarum jam semakin naik, dan malam semakin sunyi. Lalu kudengar gitar itu digenjreng lagi dengan alunan lambat yang menyayat hati. Kali ini lagu yang dipilih adalah ‘Bagaikan Langit dan Bumi’.