APA yang kau rasakan setelah kehilangan Ayahmu? Bersedih ? Menangis? Mengutuk-ngutuk dunia yang tak berguna ini? Kau kehilangan semangat hidupmu? Kau merasa Tuhan tak berpihak padamu?
“Persetan! Mana mungkin itu ada dalam dirimu. Semua orang tahu kau tak mempedulikan apa yang pergi”
Sepanjang hari perkataan Bili mengiang-ngiang dikepalaku. Aku sama sekali tak pernah mengerti jalan pikirannya. Jika bukan karena ia suamiku kakak sulungku, aku mungkin tak sekedar mengerang kerah lehernya lalu keluar dari bar seperti orang kalah. Aku punya kesempatan dan waktu yang cukup memecahkan botol wiskiku ke kepalanya. Tapi aku tak melakukannya.
“Kau binatang Bili” hanya itu yang kualamatkan padanya, sebelum Lena, saudara perempuanku itu, mengusirku pergi. Aku muak dengan bajingan itu.
Sepanjang perjalanan kembali ke kota New York, aku merasakan getir. Aku merasa bersalah karena tak menjelaskan pada Ibu kenapa aku meninggalkan rumah sehari setelah pemakaman Ayah. Malam sebelum aku pergi aku melihat Ibu duduk di beranda rumah tak henti-hentinya menguraikan air mata.
“Si tua bangka itu hanya meninggalkan ini” kata Ibu sembari mengarahkan pandangku pada jaket coklat tua milik Ayah yang dikenakannya. Aku tak berkata apa apa, hanya memintanya masuk ke dalam kamar. Ada ribuan alasan sejatinya Ibu menolak permintaanku. Namun Ibu menurutinya sembari berkisah padaku tentang kebiasaan Ayah yang seringkali menangis di sudut kursi dekat perapian sembari memandang sebuah foto.
“Fotomu Al”
Bibirku terkunci hening. Ingin kutumpahkan kesedihanku tapi aku tak ingin Ibu larut dalam genangan air mata.
“Aku seharusnya tak mengatakan itu dulu”
Aku tak menjawab ucapannya. Aku tahu kemana arah pembicaraan Ibu.
“Tak ada hari dia tak memikirkanmu sejak itu”
“Itu sudah berlalu Bu” Kataku
“Kau benar..Itu sudah puluhan tahun lamanya. Dan aku hampir lupa kalau dia mati dengan rasa bersalah puluhan tahun itu”
“Bu” kataku sebelum Ibu meracu lebih jauh. Aku merasa bersalah karena menyela Ibu seperti itu. Aku merangkul wajahnya. Sembari menenangkan hatinya, aku berkata pada Ibu jika aku telah melupakan yang telah berlalu. Semua telah kukubur dalam liang masa lalu. Aku tak ingin Ibu membicarakan sesuatu yang ingin kulupakan di sisa hidupku. Aku hanya ingin menghilangkan kesedihannya. Dibahuku, Ibu tak hentinya berseru jika Ayah sangat merindukan kedatanganku dan berulang kali menyeru kepadaku apakah aku telah memaafkannya ? Aku hanya mampu terdiam.
Diluar pintu kamar aku masih dapat mendengar Ibu menguraikan air mata. Aku terduduk dianak tangga. Hatiku terasa perih membayangkan semua yang telah terjadi. Aku tak dapat menahan air mata ini lagi. Satu-satunya hal yang kupikir dapat mengeringkan air mata ini adalah pergi dari rumah. Aku tahu Ibu akan bersedih mengetahui jika aku telah pergi pagi hari itu. Sebaliknya, Lena dan suaminya pasti sangat memimpikan saat itu. Aku tak begitu mengerti suasana hati Avev, saudara laki-laki kedua tertua di keluarga kami. Di pemakaman, Ia dan istrinya tak sedikitpun bicara padaku. Namun usai kembali dari pemakaman, Avev masuk ke kamarku dan membentakku dengan kasar.
“Kau seharusnya tak disini. Bangsat. Kenapa kau kembali, pergi dari tempat ini” Jika bukan karena Ibu menangis melerai pertikaian itu, Avev mungkin sudah menarik pelatuk senapan yang dia todongkan ke wajahku. Andai ia pun melakukannya aku tetap tak dapat berbuat apa-apa. Aku dirantai sepenggal ingatan dalam senapan milik Ayah yang digunakan Avev untuk mengancamku. Senapan itu sering Ayah gunakan ketika mengajakku berburu. Aku pernah melukai seekor rusa diusia 13 tahun dengan senjata itu. Ayah begitu kagum ketika rusa kurus itu kupangkul disisi kanan bahuku.
“Kau ok nak”
“Ayah seharusnya menanyakan itu pada rusa ini” kataku bangga. Ayah memberiku sekaleng bir sebagai perayaan buruan pertamaku dengan catatan, aku baru boleh meminumnya setelah berjanji tak akan mengadukan kenakalan kecil itu pada Ibu.
“Jika kau memberitahukannya, Ibumu pasti membunuhku. Dan kita akan kerepotan dengan aksi mogok masaknya” Aku pun mengangguk. “Anak baik” kata Ayah. Kami lalu bersulang.
“Suatu hari, akan kuajak kau berburu rusa gemuk di Killington. Kita akan berkemah disana” janji Ayah sambil membersihkan laras senapan.
“Apakah kita akan membawa berkaleng-kaleng bir Yah” kataku. Ayah tersenyum sambil menyangkutkan senapannya di antara kepala Elk[1] hasil buruan kami selama ini yang terpajang di dinding gudang. Ayah meraih kedua sisi pundakku. “Kita akan membawa berkaleng kaleng kopi. Sirup Mapel. Bir, hanya untuk Ayah” Aku tersenyum sesaat Ayah berkata jika aku boleh membeli dan membawa kaleng birku sendiri kalau sudah berusia 18 tahun. Aku selalu membayangkan hari itu. Namun hari itu tak pernah terjadi.
***
Hanya Ryan-lah satu-satunya saudara dikeluarga kami yang mengerti perasaanku. Kakak laki-laki yang berjarak setahun denganku itu adalah orang pertama yang mengabariku berita kematian Ayah. Dia jugalah yang memberiku tumpangan ke bandara ditengah badai salju pagi itu. Sibungsu kami, Reise, mungkin hingga detik ini dia yang telah duduk di kursi universitas tak akan pernah tahu apa yang sedang terjadi sebelum Ryan sendiri yang menceritakannya padanya.
“Kau tetap kakakku” hanya itu yang kudapat dari adik perempuanku itu sebelum Ryan mengantarku ke Airport. Aku benar-benar tak pernah mengerti mengapa kebencian ini berujung penyesalan bagiku. Sepanjang perjalanan aku dihinggapi rasa bersalah. Aku harus membentak pada seseorang di toilet bandara yang terlalu peduli dengan keadaanku.
“Aku baik-baik saja. Urus saja urusanmu” Dia tentu heran bagaimana caraku memperlakukan kebaikannya. Disambungan telepon, istriku berulangkali mencemaskan mengapa suaraku agak serak dan nafasku terdengar tidak teratur. Aku tahu istriku dapat merasakan apa yang membekapku. Aku harus berbohong melarangnya bertanya lebih banyak tentang keadaanku. “Hanya influenza kecil sayang. Jangan khawatir” Aku beruntung pramugari didepanku tak menanyakan air mata yang berjatuhan dipipiku sewaktu putriku Beki, meraih ponsel dari tangan istriku dan menagih coklat dan boneka teddy bear yang kujanjikan padanya. Aku mencintai istri dan putriku Beki. Karena dorongan inilah aku melarang mereka ikut serta ke pemakaman Ayah di Vermont. Aku tak dapat membayangkan Istri dan anakku mendengar masa lalu gelap Ayahnya. Aku telah menguburnya 20 tahun silam.
***
Sebelum diangkat menjadi Sherif, Ayahku dulu bekerja sebagai tukang kayu, supir truk, itu terjadi sebelum Ayah menerima tawaran dari seorang pengusaha yang memintanya menjadi kepala keamanan di kasino miliknya selama bertahun-tahun, hingga Ayah mengundurkan diri lalu diangkat menjadi Sherif dua tahun kemudian di kota kami sekarang, South Burlington, negara bagian Vermont. Di kota kecil kami yang terkenal tidak ramah imigran ini, dibanding sebagai Sherif, Ayah lebih dikenal sebagai pemburu. Ayah sering mengajakku berburu ketika hari libur. Saat saat seperti itu aku dan Ayah akan pergi ketempat Bibi Houdson terlebih dulu. Meminjam kapaknya, teropong, dan mencuri sekotak peluru milik suaminya, Paman Murba. Lalu kami masuk ke hutan berburu rusa sial yang tak beruntung hari itu juga. Kami selalu melakukannya tiap akhir pekan. Terkadang bila salju tak terlalu lebat, Ayah selalu punya rencana lain. Lagi-lagi kami pergi ketempat Bibi Houdson. Kali ini Ayah akan meminjam alat pancingnya, sekotak mata kail, mesin bot, lalu pergi menuju pinggiran Danau Champlain.
“Seteleh kapak, roda, sekarang mata pancing dan mesin botku. Kapan kau akan jadi pembeli di toko bangkrutku ini. Minggu lalu kau mencuri kotak peluruku. Jika bukan karena Al, aku akan melipatgandakan bayaranmu” gerutu Bibi Houdson. Ayah hanya melengkingkan tawa kepadaku kalau Bibi Houdson sudah rewel seperti itu. “Suamimu berutang banyak padaku” “Oh, masih soal kasus alkohol sialan itu. Kau memang ahli peras sejak kecil Ben” gurau Bibi Houdson. Ayahku memang pernah menangkap Paman Murba sewaktu suami bibiku itu mabuk berat hingga tak sadar mengacungkan sebilah pisau dengan tubuh telanjang kewajah dua gadis di sebuah klub malam yang dikelola seorang pria Serbia kasar. Dengan mengancam si pemilik klub atas tuduhan mempekerjakan anak dibawah umur, Ayah berbalik menutup kasus Paman Murba. Jika Ayah meneruskan laporannya bukan tak mungkin Paman Murba dipecat dari dinas tempatnya bekerja. Perkara seorang anggota dewan kota kedapatan mabuk di klub malam tentu sangat tragis bila diberitakan.
“Jaga anak itu baik-baik” pesan Bibi Houdson sebelum kami pergi mengendarai pickupnya. Sampai di tepi Danau Champlin, kami malah lebih sering bercerita diatas perahu dibanding mempedulikan ikan yang tampaknya begitu mudah dipancing di musim dingin seperti itu. Ayah kerap membuatku tertawa dengan cerita tentang Mis Jening, tetangga kami, seorang wanita transgender yang pernah bertengkar hebat dengan petugas imigrasi karena masalah pasport. “Gara-gara masalah jenis kelamin itu, Jening batal terbang ke London. Ia seharusnya merayakan natal disana” kisah Ayah. Yang membuatku terkikik dengan cerita itu, Ibuku sendirilah petugas imigrasi yang dimaksud Ayah. “Ibumu memang tipe pekerja dengan kecurigaan luar biasa. Ia harusnya bekerja di NSA[2]” Kata Ayah melesatkan tawa. Dari cerita itu pulalah aku tahu bahwa Ibu pernah bekerja di Imigrasi sebelum menikah dengan Ayah.
“Sekarang, secara ajaib Jenning menjadi tetangga kita. Mereka bahkan bertukar alat masak” gurau Ayah sambil menarik pancingnya. Begitulah Ayah, ia selalu punya cara menghiburku dengan banyak cerita. Terkadang Ayah juga menunjukan atraksi sulap yang tak menarik seperti menghilangkan koin dari telapak tangannya untuk meredam kebosanan ditepi danau. Dirumah, Ayah pun tampak selalu menunjukan pemihakannya padaku. Jika aku menangis sehabis berkelahi dengan Ryan atau Avev, Ayah tak segan-segan membentak kedua bocah itu meski penyulut pertikaian sebetulnya dimulai dariku. Ayah juga tak akan segan-segan melengkingkan tatapan tajamnya pada Lena, ketika sulung kami itu menyembunyikan sepatu sekolahku dan berlebihan bercanda mengunciku di kamar mandi. Bahkan aku sangat terkejut melihat reaksi Ayah sewaktu mendapati Ryan merokok di belakang rumah. Ayah membentak Ryan kuat sekali dan tak enggan menamparnya seolah Ryan remaja anggota geng yang acapkali kedapatan menjual hashish di sekolah. Padahal aku ikut menghisap sigaret yang dicuri Ryan di ruang kepala sekolah itu. Ide untuk mencuri dan menghisap sigaret yang membuat kami terbatuk-batuk itu sebetulnya juga datang dariku.
Suatu hari ketika lulus SMP, aku diam-diam menyelinap kekamar Ayah untuk menguntit hadiah kelulusanku. Aku mendengar dari Ryan kalau Ayah telah menyiapkan hadiah atas prestasiku meraih nilai tertinggi. Minggu sebelumnya aku telah memberitahu Ayah soal rencanaku melanjutkan sekolah ke Woltern, SMA favorit dan paling berprestasi di kota kami. Ayah telah berjanji jika aku lulus dengan nilai bagus, ia akan mendatfarkanku ke SMA bergengsi itu. Aku bersembunyi dibalik pintu ketika mendengar Ayah dan Ibu bertikai di depan kamar.
“Lena semester akhir saat ini. Dia butuh tambahan uang. Dan Avev, dia baru saja diterima di universitas. Kita mengeluarkan uang banyak. Apakah harus mendaftarkan anak itu ke Woltern? Kau tahu sekolah itu mahal, Ben. Kenapa kita tak daftarkan saja dia ke sekolah Ryan. Itu jauh lebih murah”
“Aku sudah berjanji pada anak itu. Kau bisa kurangi belanja bulanan Lena. Sudah saatnya dia berhemat. Aku dengar dia membiayai serta pacarnya. Itu akan membuat dia berpikir”
“Oh...Sekarang kau lebih peduli pada anak bandar narkotik itu dibanding anakmu sendiri”
“Tutup mulutmu Siena” bentak Ayahku. Aku sangat ketakutan mendengar ucapan Ibu. Tanganku gemetaran dan pikiranku terus membayangkan bahwa saat itu hanyalah mimpi. Namun, saat itu benar-benar terjadi. Hanya sepenggal kata yang terucap dibibirku saat mereka mendapatiku menjatuhkan tongkat bisbol yang sedianya akan Ayah hadiahkan padaku esok.
“Apa itu benar?” Aku berlari ketika Ayah mencoba menahanku. Aku mengurung diri dikamar mandi. Ayah dan Ibu membujukku keluar. Aku terus menyerang agar mereka menceritakan kebenarannya padaku dan tak berkilah kalau ucapan Ibu hanya bercanda. Aku tak akan keluar sebelum mereka menceritakan kebenarannya.
“Lebih dulu kau turunkan pisau itu nak” kubuang pisau dan perlahan-lahan aku keluar setelah Ayah bersumpah akan mengatakan yang sebenarnya. Dengan hati hati Ayah lalu menceritakan jika semua bermula dalam suatu operasi penangkapan di sudut kota Montpelier, ketika Ayah masih bertugas di DEA[3]. Saat itu Ayah tengah memimpin operasi penangkapan bandar narkotik. Ketika sersan Ben dan timnya mendobrak pintu, hujan peluru seketika terjadi. Situasi itu memaksa Ben dan timnya memenuhi ruangan dengan granat asap. Seketika kemudian Sersan Ben langsung memuntahkan peluru ketubuh pria yang melawan dengan tembakan revolver. Namun, Ben tak hanya mengenai bandar narkotik yang telah menjadi mayat yang tergelatak di lantai. Senjatanya turut mengenai seorang perempuan yang berdiri membungkuk disisi jendela berusaha melindungi seorang bayi digendongannya. Bayi itu selamat.
***
Betapa menjijikkan mengetahui kebenaran itu. Sejak hari itu, sepanjang waktu aku dihantui rasa dendam, pemberontakkan. Betapapun ia mengisahkan rasa bersalah yang menghantuinya sepanjang saat sejak peristiwa itu, aku tak akan pernah menerima rasa maafnya. Bagaimana pun ia memutuskan merawat dan membesarkan anak itu dan mengundurkan diri dari biro hingga pindah bersama istri dan anak-anaknya ke South Burlington, bagiku ia tetaplah seorang pembunuh. Ben, dialah pria yang membunuh Ayah dan Ibu kandungku!
Hari itu juga aku memutuskan pergi. Seiring berjalan waktu aku sekolah hukum dan menikah dengan Naomi. Aku menetap di New York dan bekerja disebuah firma milik Paman Istriku. Sampai kelahiran putri kami Beki, aku tak pernah kembali sekalipun ke Vermont walau untuk sekedar merayakan Natal bersama mereka. Sering aku mendengar kabar jika Ben begitu terpukul sejak itu. Suatu kali Ben pernah melakukan percobaan bunuh diri hingga digagalkan oleh Ryan. Kondisi Ben semakin memburuk tatkala ia sakit parah akibat kecanduan alkohol. Berkali-kali Ryan membujukku untuk sekedar membesuk Ben. Aku selalu menolak dengan kasar.
“Dia bukan Ayahku” Ryan selalu pulang dengan tangan hampa. Berkali-kali ia selalu berusaha kembali membujukku sekedar melihat keadaan Ben. Aku selalu memberi jawaban serupa. “Dia bukan Ayahku. Tak akan pernah” Dan aku selalu merasakan hal yang sama setiap kali mengatakannya. Muak dan sesal bercampur disaat yang sama. Aku mengasihi Ben, tapi sedalam apa aku mengasihinya, aku membencinya!
Lalu suatu hari Ryan menelponku. “Apa lagi Ryan. Kau tahu aku tak akan datang” “Ayah telah pergi, Al” Tulangku melemah seketika mendengarnya. Hari itu aku merasakan sangat kehilangan Ben. Aku meninggalkan ruang sidang begitu saja tanpa mempedulikan dakwaan penuntut umum pada klienku. Aku memutuskan pergi menghadiri pemakamannya.
***
Keadaanku terus berubah semenjak kembali dari Vermont. Tengah malam aku sering terbangun. Aku merasa gelisah. Istriku mencoba menghilangkan kegelisahanku dengan memberiku segelas air dan menayangkan video Beki, putriku, yang tengah bermain main di kebun binatang. “Paps. Kau harus pulang lebih cepat. Aku akan mengajakmu berburu disini. Aku tak melihat kelinci disini” begitu lucunya putriku. Ingin rasanya membangunkan Beki dikamarnya lalu mencubit kedua pipi putri kecilku itu. Namun, entah mengapa suara Beki turut menyalakan sesuatu yang tertanam kuat dalam ingatanku. Aku terpukul kemasa lalu. Kenangan akan Ben. Yang kutahu, setelah itu aku menyandarkan wajah dan airmataku dipangkuan Istriku.
“Aku bukan anaknya…” “Tapi dia Ayahku” Berulang-ulang. Hingga air mata benar-benar telah menghapusnya atau tidak.
[1] sejenis rusa berukuran besar dengan tanduk bercabang
[2] Badan Keamanan Nasional AS
[3] Drug Enforcement Administration. Badan pemerintahan AS yang bertugas melakukan penindakan dan pencegahan penyalahgunaan peredaran narkotik