Disukai
1
Dilihat
473
Ay
Slice of Life
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Ay

Oleh: Ancha Septya

Nenek kembali memanggil sembari mengetuk pelan pintu kamarku. Beliau dan Kakek sejak tadi tak lelah membujukku untuk menemui seseorang yang sudah menunggu sejak habis magrib tadi. Sayang, aku tetap tak mau menemuinya. Orang itu sangat menyebalkan.

“Vie nggak mau, Nek. Suruh pulang aja. Vie mau tinggal di sini aja, lagi.”

“Baiklah.” Suara Nenek terdengar pasrah, kemudian terdengar Beliau menyampaikan ucapanku di ruang tamu. Tak lama terdengar suara mobil meninggalkan halaman rumah yang sejak kecil aku tinggali ini.

Perasaan kecewaku kian dalam. Sebenarnya, aku tak benar-benar menginginkan orang itu pergi. Aku berharap dia akan membujukku langsung. Sedikit memaksaku saat aku kekeh merajuk. Namun sayang, harapanku terlalu tinggi. Tidak mungkin manusia dingin seperti dia akan merayu. Dia pasti malah bersyukur aku tak pulang, tak ada lagi yang akan membuatnya repot.

“Vie, dia pulang. Kakek boleh masuk?”

Tanpa menunggu lama, aku bergegas membuka kunci pintu dan mempersilakan lelaki tua kesayanganku itu masuk. Beliau membawa dua buah buku. Satu berukuran besar, mirip album foto, dan satunya lagi seukuran buku tulis.

“Beneran mau pindah ke sini lagi?” tanya Kakek setelah duduk di kursi belajarku yang dibuatnya sendiri sejak aku masuk SD.

Aku diam. Mau menjawab tidak, tapi tadi sudah terlanjur bilang ingin pindah. Menjawab iya, tapi sebenarnya aku senang tinggal di kota. Selain karena segala fasilitas lengkap, teman, dan lingkungan sekolah menjadi faktor utama yang membuatku betah.

Seolah tahu apa yang sedang cucunya ini pikirkan, Kakek tertawa pelan sembari mengusap sayang rambutku. Aku hanya bisa menggembungkan pipi untuk menyembunyikan rasa malu.

“Ngambeknya cuma karena nggak dijemput pas pulang sekolah?” Kakek kembali bertanya setelah tawanya reda karena melihat tingkahku saat malu tadi.

“Nggak cuma karena itu aja, Kek. Banyak.”

“Apa aja? Mau cerita?”

Aku mengangguk pasti. Sejak kecil, aku tak pernah ragu untuk bercerita apa saja pada Beliau. Dari mulai ada yang merusak ikatan rambutku saat TK, sampai ada yang mengatakan cinta saat kelas dua SMP.

“Dia tu irit bicara. Selama tiga bulan tinggal di sana, kami ngobrol bisa dihitung jari, Kek.” Aku memulai sesi cerita dengan penuh emosi. Mengingat bagaimana perlakuan Manusia Es itu selama ini kepadaku. “Gila kerja. Tinggal sama dia, berasa tinggal sendiri. Pergi pagi, pulang malam, habis itu di kamarnya masih aja sibuk sama laptopnya. Nggak dianggap aku di sana, Kek.”

Alih-alih terbawa emosi setelah mendengar ceritaku, Kakek malah tersenyum sembari menggeleng-geleng.

“Dia belum berubah,” gumam Beliau.

“Maksudnya, Kek?”

Kakek tak merespons tanyaku. Beliau memandangi dua buku yang ada di pangkuannya dan mengelus buku yang berukuran sedang.

“Sekarang giliran kakek yang cerita, ya.” Kakek menghela napas dalam, kemudian Beliau tampak menerawang.

“Dulu ada anak laki-laki pindahan dari kota yang terkenal sombong. Putri satu-satunya Kakek sangat menyukainya. Dengan penuh semangat dia selalu bercerita pada Kakek tentang laki-laki pujaannya itu yang merupakan kakak kelasnya. Dia bilang, sebenarnya anak laki-laki itu bukan sombong, melainkan tak bisa berbasa-basi saja.”

Kakek menjeda. Entah karena sedang merangkai kata atau mengingat kenangan akan putri kesayangannya, yang tak lain adalah ibuku.

“Sampai suatu hari, saat putri Kakek baru menerima kelulusan, anak laki-laki itu datang ke rumah, meminta izin untuk memacarinya. Benar kata putri Kakek, anak itu tidak bisa berbasa-basi.” Kakek tersenyum geli, lalu melanjutkan ceritanya. “Kakek dulu sangat protektif, tidak ingin hal yang tidak diinginkan terjadi. Jadi, kakek bilang gini; saya tidak izinkan anak saya pacaran, kalau memang serius dan sungguh-sungguh mencintai dia, nikahi.” Kakek berlagak seolah memang sedang berhadapan dengan anak laki-laki itu, membuatku membayangkan bagaimana ekspresi si anak laki-laki. Pasti tegang dan mati kutu.

“Terus?”

“Tidak disangka dia mengiyakan. Niat Kakek mau buat dia blingsatan, malah jadi senjata makan tuan. Akhirnya terpaksa Kakek relakan putri kesayangan dinikahi olehnya. Dia berjanji akan menjaga dan membahagiakan putri Kakek, dan dia menepatinya sampai putri Kakek pergi untuk selamanya.”

Kakek menunduk, menyembunyikan matanya yang mungkin saja berkaca-kaca. Aku turut merasakan sesuatu yang membuat dada sesak. Aku tak punya banyak ingatan tentang Ibu. Kalau saja tak ada fotonya, mungkin aku lupa bagaimana rupanya. Dia meninggalkan kami sejak aku berusia lima tahun.

“Kakek selalu merasa bersalah pada anak laki-laki itu. Karena rasa kehilangan, Kakek tidak mengizinkannya merawat putri semata wayangnya. Kakek berdalih dia bekerja jauh di luar kota, akan sangat sulit membesarkan anak seorang diri. Kakek pikir juga, dengan begitu akan mudah untuknya menemukan pendamping. Tapi ternyata sampai sekarang dia masih belum bisa melupakan putri Kakek. Masih setia dengan kesendiriannya. Sebab itulah Kakek memintanya untuk pindah ke kota ini lagi dan mengembalikan putrinya. Berharap dengan kehadiran sang putri bisa mengobati rasa sepinya selama ini dan Kakek tetap bisa dekat dengan cucu kesayangan.” Kakek mencubit pelan ujung hidungku saat mengakhiri cerita panjangnya.

Seperti ada yang mencubit sesuatu di dalam dadaku. Selama ini aku hanya fokus pada diriku sendiri, tanpa mau memikirkan orang di sekitar. Mungkin saja Manusia Es itu berlaku demikian karena terbiasa sendiri, dan kehadiranku memang tidak memberi dampak yang berarti padanya. Aku hanya tahu merajuk, mengharap simpatinya tanpa memberi empati. Hal yang biasa aku lakukan di rumah ini.

“Kakek tahu, mendengar cerita Kakek tadi tidak akan mengubah pikiranmu. Tapi, cobalah baca salah satu buku ini.” Kakek memberikan kedua buku itu padaku. “Kalau ada apa-apa, Kakek ada di ruang keluarga.”

Setelah Kakek pergi, aku membuka buku berukuran kecil. Ternyata itu adalah diary Ibu. Menceritakan bagaimana awal perkenalannya dengan pria sombong yang terkesan dingin, pernikahannya yang super dadakan, kehamilan sampai proses kelahiran yang penuh drama, dan saat-saat dimana menyadari ada penyakit mematikan dalam tubuhnya.

Ada satu halaman yang dia tulis khusus untuk aku. Dua kertas yang ditempel menjadi satu. Untuk membacanya, aku harus memisahkannya secara hati-hati.

“Vie, saat Ibu menulis ini, kamu sedang asyik bermain di dalam tenda yang baru ayah kirim. Kamu tampak bahagia sekali. Kasih sayang dari kakek dan nenek membuat kamu seolah tak bingung mencari kasih sayang ayah.

Kita memang berjauhan dengan ayahmu karena tuntutan pekerjaannya. Namun percayalah, dia ingin selalu menjaga dan bersama kita. Walau terkesan dingin, sebenarnya dia hangat. Seperti musim dingin, dia perlu matahari untuk menjadikannya musim semi. Jadilah matahari untuknya, Sayang. Buat dia menemukan kembali sebelah sayapnya, agar dapat terbang menuju kebahagiaan.”

Sebulir bening meluncur di pipiku. Selama ini aku tak pernah tersentuh ketika membaca novel-novel sedih. Namun membaca selembar tulisan ini, membuatku tak tahan. Air mata terus mengalir dibarengi isak yang tak tertahan.

Menutup diary Ibu, aku beralih pada buku besar bersampul abu-abu bertuliskan 'Ay's Parenting Diary'.

Halaman pertama menampilkan foto bayi berukuran 2 R, di bawahnya terdapat tulisan; '19-03-2005. Selamat datang di dunia, Putriku sayang. Ay akan berusaha menjadi cinta pertama dan satu-satunya pria yang tidak akan menyakitimu'. Tanggal itu merupakan tanggal lahirku.

Halaman selanjutnya hampir sama, foto bayi disertai tulisan di bawahnya. ‘Vie bobo di atas perut Ay', ‘Vie pertama kali tengkurap', ‘Vie pertama kali duduk', dan masih banyak lagi.

Aku pikir foto yang disertai dengan keterangan itu akan berakhir pada saat aku masuk TK. Ternyata sampai tiga bulan yang lalu. Foto yang diambil secara diam-diam saat aku tengah menata buku di kamar baruku. ‘Hai, Gadis Ay. Selamat datang di rumah, semoga betah dan kita bisa mengobrol hangat'.

Tak tahan, aku segera berlari ke ruang keluarga. Walau malam sudah larut, Kakek masih ada di sana.

“Bagaimana? Mau diantar pulang?” tanyanya dengan ekspresi wajah menyebalkan.

Sembari memajukan bibir, aku mengangguk.

“Katanya mau tinggal di sini lagi.”

“Besok aku sekolah, Kek.”

“Karena sekolah atau karena—“

“Sekolah, Kek!”

Kakek tertawa lepas. “Dasar turunan es batu.” 

Setelah tawanya reda, Kakek berjalan ke kamar tamu yang bersebelahan dengan kamarku. Beliau mengetuk beberapa kali.

“Ga! Yuga! Ni anakmu mau pulang.”

Ingin rasanya aku berubah menjadi liliput saat seseorang yang menyebut dirinya Ay itu keluar sembari menyunggingkan senyum. Aku sudah hendak berlari untuk bersembunyi, kalau saja dia tak merenggangkan kedua tangannya. Dengan isyarat dia memanggilku untuk mendatanginya, dan tanpa ragu aku melakukannya.

End.

Mkq, 06 Juni 2021

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar