Disukai
0
Dilihat
24
Asa Untuk Iza
Slice of Life
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Tintiiiiin!!!!

 

Terdengar suara klakson mobil yang membuat lamunanku buyar. Aku yang sedari tadi duduk disebuah cafe sengaja mengambil tempat duduk dekat kaca dengan pemandangan jalan raya berharap mampu memberikan angin segar untukku.

 

Awalnya aku pikir dengan duduk menghadap jalan lalu melihat banyaknya kendaraan berlalu lalang akan membuat kepenatanku sedikit menghilang atau bahkan hilang. Namun nyatanya salah besar, bukannya hilang tapi rasa penat itu justru membawa ingatanku pada kejadian yang akhirnya membuatku sampai di cafe ini.

*****

 

Dua bulan lalu

 

Cring~

 

Sebuah notifikasi WA, pertanda ada pesan masuk. Sesegara mungkin ku raih ponselku yang berada tak jauh dari hadapanku.

 

Dek bisa bantu ya gantiin Prita jaga 14 hari, ini dia cuti dan ngga ada yang gantiin

 

Sejenak aku berfikir, karena baru saja aku selesai dari sebuah projek dan ingin istirahat sejenak untuk kembali mengisi energi yang aku rasa cukup terkuras habis saat menyelesaikannya. Namun 14 hari bukanlah waktu yang lama jika aku memang ingin mengambilnya, toh orang disebrang adalah tipe orang yang agak malas untuk mencari orang baru.

 

Oke mbak, in syaa Allaah. Ini hanya selama 14 hari kan mbak?

 

Pesannya sudah terbaca oleh orang disebrang, namun belum ada balasan. Aku penasaran karena jawabannya akan menjadi salah satu alasanku untuk menentukan ritme kegiatan harianku.

 

*For the rest of my life….*

 

Terdengar lantunan lagu Maher Zain yang berasal dari ponselku, menandakan ada panggilan WA masuk.

 

Dengan sigap aku mengambil ponselku, aku lihat nama pada layar ponsel untuk memastikan siapa yang melakukan panggilan melalui WA. Ternyata orang disebrang sedang tak ingin banyak berbincang lewat text, maka dia lakukan panggilan WA.

 

“Halo dek, kamu masuk sampai Desember ya. Soalnya ada yang mau resign dan aku malas cari ganti. Mau ya?” kata mbak Intan tanpa jeda.

 

Dari kalimatnya aku sudah memahami bahwa mbak Intan tidak memberikan aku opsi untuk menjawab kecuali jawaban ‘iya’.

 

“Hah sampai Desember mbak? Emang kenapa kok sampai Desember? Itu yang mau resign beneran mau resign?” jawabku sempat kaget, karena itu berarti dari 14 hari menjadi 3 bulan.


”Iya, sebenernya dia minta cuti sebulan, tapi aku kok merasa malah dia seenaknya ya. Jadi nanti kita lihat lagi dia bakalan dipanggil lagi atau ngga, yang penting kamu pokoknya bisa ya sampai Desember?” ujar mbak Inta menjelaskan.

 

Aku berfikir sejenak dan akhirnya aku menjawab, “Bisa sih mbak, tapi sepertinya pertengahan Desember aku belum bisa mbak, mau ada agenda staycation sama saudara dan udah aku jadwalkan dari lama.”

 

“Oke, ngga papa. Ini projeknya juga cuma sampai pertengahan Desember kayaknya.” ujar mbak Intan mantap.


”Oke deh mbak kalau gitu, in syaa Allaah ngga papa kalau sampai Desember.” aku menyanggupi.

 

“Ya udah, aku percaya sama kamu.” mbak Intan mengakhiri panggilan WA.

*****

 

Aku memulai untuk kembali menyesuaikan diri dengan atmosfer IGD RS, karena IGD RS ini adalah tempat pengambilan data dihari terakhirku saat itu sebelum akhirnya aku memutuskan resign dari projek ini. Ya, sebelum ini aku telah menjadi bagian dari projek ini, namun karena satu dan lain hal akhirnya aku mengajukan resign empat bulan yang lalu.

 

Aku jadi teringat dihari terakhir aku mengambil data, aku sempat membuat status WA foto bangunan RS yang terlihat nama RS tersebut dengan caption, “Terima kasih untuk satu bulan ini, suatu hari aku akan berada disini kembali. See you when I see you dalam keadaan yang lebih baik lagi.”

 

Aku mulai tersenyum mengingatnya, karena aku tidak menyangka aku akan kembali secepat ini, dua bulan. Padahal aku membayangkan aku akan kembali paling cepat tahun depan. Tapi semua aku syukuri, karena pada kenyataannya aku berada dalam kondisi ku yang lebih baik dan kondisi para staff RS pun lebih baik dari terakhir kali kami berjumpa.

 

Saking aku menikmati dengan kembalinya diriku dalam projek ini, tidak perlu waktu lama untuk diriku menyesuaikan diri dan tidak terasa hampir satu bulan berlalu aku telah melewati hari hariku di projek ini. Itu artinya tinggal dua bulan lagi untuk aku bisa menyelesaikan apa yang sudah aku janjikan.

 

Ya kadang memang seperti itu, jika kita tunggu tunggu, waktu seolah terhenti namum jika kita putuskan untuk terus menjalani, nyatanya waktu itu sendirilah yang menunjukkan bahwa ianya pasti berlalu.

*****

 

Satu bulan lalu

 

Cring~

 

Notifikasi pesan WA di ponselku terdengar, tak berfikir lama aku memutuskan untuk membuka pesan tersebut.

 

Aku terdiam membaca pesan tersebut, seperti disambar petir hingga membuatku merasa kosong dan entah harus menganggapi seperti apa.

 

Dek, kamu sebulan aja ya. Jadi nyelesaian jadwal aja.

 

Setelah aku mencoba mencerna kalimat mbak Intan dengan seksama, aku beranikan diri untuk memastikan maksud dari pesan mbak Intan.

 

Berarti ngga jadi sampai Desember mbak?

 

Iya dek

 

Kenapa mbak? Apa karena aku berbuat salah?

 

Ngga kok, cuma karena aku bilang kekeuangan kamu cuma sebulan

 

Aku terdiam, benar benar membeku tak mengerti apa yang sebenarnya sedang terjadi. Rasanya aku ingin marah karena mbak Intan dengan seenaknya memasukan dan mengeluarkanku begitu saja. Seolah aku barang yang bisa dia buang saat sudah tidak dibutuhkan.

 

Aku belum siap jika aku harus menerima ini, karena aku belum mempersiapkan diriku untuk kembali mencari pekerjaan. Meskipun aku tau sebelum join ke projek Covid ini aku ingin beristirahat dari beban pekerjaan namun nyatanya saat sudah mulai nyaman justru saat itu aku harus melepaskan.

*****

 

Aku masih belum bisa berfikir tenang, pikiranku kalut, terlebih sudah 14 hari ini aku berada di rumah dan nenekku tiba tiba melakukan panggilan telfon kepada adikku untuk akhirnya hanya membahas aku yang tidak bekerja dan hanya dirumah selama 14 hari terakhir.

 

Entah apa yang sedang nenekku fikirkan, aku sedang berada pada posisi ingin shutlle namun semakin ditekan, seolah jika tidak bekerja tidak ada harganya, padahal aku adalah seorang perempuan.

 

Hari hariku aku lalui dengan daya hidup yang tersisa, tak bersemangat, bahkan untuk beribadahpun aku merasa sangat butuh tenaga. Padahal sebelumnya tidak.

 

Semangatku seolah hilang dalam sekejap, aku lebih banyak mengurung diri di kamar dan akhirnya lebih banyak menghabiskan hari dengan tidur hampir seharian. Aku hanya keluar untuk membersihkan diri atau kekamar mandi dan mengambil makan.

 

Seolah aku ingin mengatakan pada semua orang bahwa ini terasa tidak adil, saat aku sudah mencoba untuk melewatinya dan sudah mulai nyaman dan mensyukuri semuanya kenapa tiba tiba semua harus aku lepaskan begitu saja, tanpa ada persetujuan dari ku pula. Aku sebenarnya siapa dimata mereka.

 

Saking aku tak bersemangat, semua peribahasa dan kata kata penyemangat sudah tak lagi membuatku ingin melanjutkan hidup. Aku hanya memikirkan bagaimana jika aku tidak memiliki penghasilan hingga nanti. Bagaimana caraku untuk bertahan hingga akhir, sedangkan orangtuaku sudah tak lagi bisa memberikan uang, selain karena sudah lanjut usia, aku sudah berada pada usia yang cukup dewasa untuk sekedar meminta uang kepada orang tuaku.

 

Lelah sekali rasanya, tapi lelah itu aku tahan agar tidak terlihat terutama oleh nenekku yang lumayan kolot dan yang dia tahu hanya “Kalau sudah lulus kuliah dan dewasa kalau ngga nikah ya kerja.”

 

Ya aku hanya bisa menahan itu semua karena nyatanya aku belum juga menikah diusia yang sangat matang untuk menikah.

******

Entah ini sudah hari keberapa aku hanya berdiam dikamar, setelah shalat Subuh dan membaca Al-Qur’an aku kembali tidur saat matahari telah muncul, aku tidur hingga menjelang Dzuhur atau bahkan sampai Dzuhur.

 

Aku berfikir bahwa tidak ada hal yang harus aku lakukan untuk menjadi alasanku bangun lebih pagi. Yang membuatku semakin sedih adalah aku sampai meninggalkan amalan sunnahku yang biasa aku lakukan.

 

Aku kebingungan dengan diriku, bahkan untuk melakukan satu kebaikan pun aku sangat butuh usaha yang nyatanya tidak cukup kuat untuk mengembalikanku pada diriku yang dulu.

 

Namun, ini juga aku jadikan sarana untuk mengistirahatkan diri karena selama hampir tiga bulan terakhir aku tidak memperhatikan diriku, sesederhana untuk bertanya apa kabar hari ini pun aku tidak sempat.

 

Sebuah keadaan yang sangat dilematis, aku merasa bisa lebih santai dan berisitirahat dengan baik, tapi semangatku sampai detik ini belum juga aku dapati kembali. Saat aku tersadar aku tidak boleh berlarut larut dengan keadaan ini karena ini tidak akan baik untukku, namun nyatanya dayaku sedang tidak sekuat itu untuk bangkit dari semua hal yang aku alami. Ingin rasanya enyah saja dari dunia yang melelahkan ini.

 

Aku sempat berfikir, jika bukan karena Allaah Ta’ala yang masih membuatku membuka mata setiap pagi, mungkin aku sudah tidak akan bergairah untuk melewati hari. Karena pada kenyataannya dengan kondisi ini saja aku masih tidak cukup mendapati alasan untuk terus bersemangat menjalani hidup ini.

 

“Ya Allaah, aku sedang sangat lelah. Tolong selamatkan aku….” rintihku.

 

Itulah kalimat yang bisa aku ucapkan setelah beberapa hari aku hanya terdiam selesai shalatku seolah tak ada harapan untuk hari esok. Malam ini aku meminta dengan asa ku yang tersisa, meyakini bahwa pasti ada kebaikan setelah ini. Namun ternyata aku merasa harus mencoba untuk mencari pertolongan dari yang lain sebagai perantara Allaah Ta’ala dalam menolongku.

 

Akhirnya malam itu, aku tutup dengan tertidur dilantai setelah lelah menangis dalam keadaan masih menggunakan mukena dan sajadah yang masih terbantang, seolah menjadi alas tidur ternyenyakku dua bulan ini.

********

 

“Kak kak, maaf cafe sudah hampir tutup. Apakah ada yang ingin dipesan kembali?” tanya seorang perempuan cantik yang tak lain dan tak bukan adalah penjaga cafe.

 

Aku tak bergeming dan masih saja menatap keluar kaca, kali ini bukan untuk menatap banyaknya kendaraan yang berlalu lalang, tapi untuk mengajak ingatakanku berselancar ke tragedi dua bulan lalu.

 

Melihat aku yang masih tak merespon apa yang penjaga cafe tadi katakan, akhirnya dia memutuskan untuk sedikit meninggikan suaranya dan memegang pundakku berharap aku tersadar dari lamunan ku.

 

“Kak!” seru penjaga cafe tersebut.

 

Dan benar, aku seperti disadarkan dengan suaranya.


”Oh ya maaf mbak, gimana mbak?” responku cepat.

 

“Saya ingin menginfokan kalau cafe sebentar lagi tutup, apakah ada yang mau dipesan lagi kak?” terangnya dengan nada lembut dan normal kembali.

 

“Cukup mbak, ini saja. Ini saja belum habis mbak,” jawabku berusaha mencairkan suasana sambil mengulas senyum.

 

“Baik kak, kalau begitu kami tunggu pembayarannya ya kak. Terima kasih,” pungkas penjaga cafe yang seolah terkesan mengusir secara halus, tapi jika tidak begitu bisa saja dia pulang lebih larut dari jam kerja yang telah ditetapkan.

 

Kadang memang begitu, kita menganggap orang lain memaksa kita, tapi sebenarnya mungkin kita yang justru menghambat mereka. Ah, sudahlah aku sedang tak ingin memaknai apa apa sekarang. Cukup aku coba untuk menyelesaikan terlebih dahulu masalah hidupku.

 

“Terima kasih kak, silakan datang kembali,” ujar para penjaga cafe yang bertugas hari itu sambil melempar senyum padaku.

 

Aku membalas senyum mereka seadanya lalu memutuskan untuk keluar dari cafe, karena memang saat itu aku lah pelanggan terakhir disana.

 

Sebelum akhirnya aku mengendarai motor matic kesayanganku, aku mencoba mengirimkan pesan kepada seseorang disebrang.

 

Ibu, sepertinya saya pengen ketemu, pengen cerita sama Ibu.

 

Pesan ku kirim dengan emoji monyet yang menutup mukanya dengan kedua matanya. Tak berselang hitungan menit, balasan sudah aku dapatkan.

 

Mau kapan Iza? Besok sore saya pas kosong.

 

Tanpa pikir panjang aku segera membalas,

 

Baik Bu, in syaa Allaah besok sore saya ke rumah Ibu.

 

Agak sedikit lega, karena sebenarnya mungkin memang aku butuh untuk berbincang dengan orang yang aku percaya dan tidak sekedar melihat dari satu sudut pandang saja.

******

 

“Assalaamu’alaykum,” salaam yang aku ucap ketika aku telah sampai pada sebuah rumah yang tak lain rumah dari guruku.

 

Beliau adalah seorang guru yang biasa aku jadikan tempat bercerita atau aku mintai nasehat jika aku sedang membutuhkan, dan aku rasa kali ini aku membutuhkan nasehat beliau selain butuh untuk didengarkan.

 

“Wa’alaykumussalaam,” jawab beliau dari dalam rumah.


Tak berselang lama beliau akhirnya membuka pintu lalu mempersilakan aku masuk, lalu aku menyodorkan seplastik gorengan sebagai buah tangan atau teman ngobrol nantinya.

 

“Iza udah sampai? Wah malah repot repot bawa gorengan segala, sini masuk,” ajak beliau.

 

Saat melihat beliau rasanya ingin segera aku tumpahkan air mata lelahku dalam menerima hal yang terjadi dua bulan terakhir ini, tapi aku tahan.

 

“Duduk dulu ya, saya mau siapkan makan untuk anak anak sebentar,” pamitnya lalu masuk kedalam rumah meninggalkan ku di ruang tamu.

 

Tak sampai 30 menit beliau sudah kembali ke ruang tamu.

 

“Gimana ini gimana?” tanya beliau tanpa berfikir panjang.

 

Aku tahu betul bahwa beliau sudah faham jika aku ingin bercerita pasti ada hal penting yang harus aku sampaikan, entah dari diriku sendiri atau dari anggota keluargaku.

 

Tanpa fikir panjang aku menceritakan semua yang aku alami dua bulan terakhir ini.

 

“Semua terasa menyesakkan dan menyakitkan, seolah saya tidak dibutuhkan,” ceritaku tentu dengan air mata yang terurai.

 

Bu Erna masih terdiam, seolah faham bahwa aku belum selesai dalam menyampaikan semua.

 

“Saya lelah Bu, sebenarnya kalau saya sendiri belum dapat kerja lagi saya tidak masalah, karena memang saya kerja jika ada projek, dan kalau belum ada projek ya itu artinya saya harus dirumah untuk ikhtiar mencari projek lain kan Bu. Tapi tekanan dari luar membuat saya merasa tidak berharga hanya karena saya belum dapat pekerjaan lagi. Padahal kemarin saya sudah kerja berbulan bulan lho Bu, ini saya baru dirumah sekitar satu bulan tapi kesannya kayak ngga berguna banget,” aku kembali meluapkan apa yang aku rasakan, masih dengan rasa sesak dan air mata yang terurai.

 

Bu Erna masih menunggu dengan sabar, lagi lagi beliau tahu kalau aku belum selesai bercerita.

 

“Saya jadi malas Bu untuk melakukan apa apa, saya lebih sering ada didalam kamar dan keluar kamar jika diperlukan. Benar benar seperti kehilangan semangat untuk hidup,” pungkasku mengakhiri ceritaku.

 

Bu Erna menatapku lekat, dia tersenyum seolah mengerti betul apa yang ku rasakan, dan nyatanya itu sudah cukup membuatku lega melihatnya.

 

“Tapi kamu tidak ada keinginan untuk mengakhiri hidup kan?” tanya bu Erna hati hati.

 

“Kalau itu tidak sih Bu, hanya saja saya merasa tidak berharga,” jawabku dengan tangis yang mulai mereda.

 

Kembali Bu Erna tersenyum.

 

“Alhamdulillaah jika begitu, kadang memang dunia itu terlihat tidak adil, semua seolah tidak berjalan sesuai keinginan kita. Padahal sebenernya Allaah Ta’ala pasti punya hikmah dibalik itu semua, dan setiap ujian yang dihadirkan sebenarnya tidak melebihi batas kemampuan kita,” Bu Erna mengela nafas.

 

Aku masih menatap lekat ke arah bu Erna.

 

“Mungkin yang sedang Iza hadapi adalah perasaan meaning-less maka carilah sesuatu yang akan membuat Iza merasa meaning-full. Alasan apapun itu, bahkan alasan sesepele apapun carilah, biar Iza bisa bersemangat lagi. Perlu diingat ya Iza, sebenarnya perasaan seperti itu tidak ada kaitannya dengan keimanan kita. Karena bahkan yang keimanannya kuat bisa saja merasakannya, tapi mereka mampu menerima dan punya alasan untuk segera bangkit agar kembali merasa meaning-full.” tiba tiba Bu Erna berhenti dan menarik nafas agak panjang.

 

Lalu Bu Erna melanjutkan kalimatnya yang sempat terhenti.

 

“Tidak ada yang salah dengan semua perasaan yang dirasakan, dan persaan yang sedang Iza rasakan saat ini bukan berarti tanda bahwa Iza tidak punya iman. Semua perasaan itu ada karena kita manusia, jadi jangan paksa perasaan itu segera berlalu, cukup terima dan sadari bahwa kita sedang merasakan emosi tersebut, barulah atur langkah untuk kita bangkit. Dan satu hal yang tak kalah penting, selalu minta pertolongan Allaah Ta’ala, karena tidak mungkin Dia akan memberikan sesuatu tanpa ada kebaikan didalamnya,” pungkas bu Erna sambil memelukku dengan erat.

 

Aku menangis lagi, tapi kali ini bukan tangisan atas kekecewaan terhadap yang terjadi dua bulan ini, melainkan karena aku merasa bersalah dalam memaknai takdir.

 

“Ya Allaah, maafkan aku,” gumamku.


*Sekian*

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar