Ada ragam alasan pada pukul lima sore bagi orang-orang untuk berada di jalanan. Di atas roda dua atau di dalam roda empat. Mereka yang kembali ke rumah sepulang bekerja, berpapasan dengan mereka yang pergi bekerja. Mereka yang tengah bekerja akan bersirobok dengan yang mengaso di emperan minimarket. Yang kembali ke rumah menjumpai segala macam pergi dan pulang, segala alasan untuk menepi dan mampir, serta itikad melanjutkan atau menunda perjalanannya.
Sore ini saya berada di antara mereka.
Dibanding dengan mas-mas ojol yang melantai di emperan minimarket itu, atau mbak-mbak bersepatu kets berseragam biru yang menyemut di tepi jalan, ratusan wajah kusut masai dari budhalan pabrik, dan sejoli di atas matic yang menerabas padat-sesaknya pukul 5 sore periferi urban ini, bila pun ada, kepentingan saya tak sebanding dengan mereka.
Pekik klakson dan bising knalpot dapat saya redam. Di balik kilatan helm hitam, saya sumpal telinga dengan selusin nomor dari musisi yang karyanya dapat mewakili kondisi jalanan. Meski sejujurnya saya tak tahu persis dapat diwakili oleh melodi atau lirik yang seperti apa, selain gambaran tentang muntahan lava dari perut Merapi atau ejakulasi seorang pemeran film biru. Anda tahu? Pukul lima sore segalanya tak lagi dapat dibendung. Jalanan, aspal, trotoar, halte, tak mampu menampung muntah-luap manusia yang bergegas dengan segala isi kepala mereka.
Saya memilih Father John Misty sebagai pembuka. Nomor berjudul Leaving LA itu meringkus semburat senja di langit sore sebagai sesuatu yang, saking seringnya dijumpai, menjadi serba lumrah dan terlupakan: “I’ve never seen sunset this abandoned, reminds me predictably of the world’s end.” Begitu panjang sekaligus sarat. 13 menit nomor ini mengalun, selama itu pula saya tak melapaskan kedua genggaman dari handle bar. Penunjuk kecepatan saya jaga konstan di angka 40 – 60 Kpj.
Konon, nomor ini adalah karya yang oleh penyanyinya sendiri tak percayai keberadaannya. Maksudnya, Josh Tillman –di bawah moniker Father John Misty itu—dapat merangkum montase hidup ke dalam sebuah langgam hanya dengan durasi 13 menit. Aransemennya sederhana, gitar kopong dengan formula 3 kunci, serta horn tipis yang melatari wahana hidup seorang Tillman.
Sepertinya tak ada yang menyamai usaha Tillman yang satu itu. Morrissey saja, misalkan, belum dapat mengejawantahkan laku hidupnya ke dalam sebuah tembang. Ia hanya memberi kita satu episode hidup. Atau Elvis Presley dalam My Way yang merangkum keputusan-keputusan terbesar dalam hidup, tetapi tak menyodori suatu lanskap rohaniah yang boleh kita kunjungi sebagai situs emosional. Memang, masing-masing penyanyi punya satu dan jutaan cara untuk mengungkapkan sekaligus tak mengungkapkan apapun.
Omong-omong tentang Morrissey, tembang berjudul Boxers saya tempatkan di nomor dua. Hiruk-pikuk metro London mungkin berbeda dengan yang saya jumpai kini di tempat yang jaraknya ribuan kilometer dari London. Bila kita pernah menginjakkan kaki di kota para bankir itu, mungkin di jalanan sibuk pukul lima sorenya telinga kita tak akan disambar knalpot bising yang memekakkan. Bentrokan hooligan dari derby kesebelasan di kota itulah yang menahan kita di jalanan, persis seperti yang Morrissey sematkan di dalam lagunya.
Meski berbeda, penuh sesak jalanan oleh kendaraan dan manusia pastilah tipikal di mana kaki kita berpijak. Di hadapan saya teronggok mobil box kelabu. Dari kaca spion saya dapat melihat sebuah sedan putih merk Jepang. Sedang di sisi kanan-kiri diapit motor yang pengendaranya tampak gelisah. Mereka seperti sedang menahan air seni di kandung kemih, atau semacam sakit perut kronis sambil membayangkan jamban terdekat.
Tembang di telinga saya bersambut riuh-rendah orkestra deru mesin kendaraan. Inilah konser kolosal pukul lima sore. Segala peluh, maki, asap, debu, yang beterbangan dan menguap, bertemu di sebuah wahana yang disepuh kencana di sepanjang horison menjelang gelap. Langit senja itu, yang lazim kita kemukakan sebagai pemandangan terbaik yang ras manusia kerap saksikan, tidakkah akan juga runtuh akibat tak kuasa menahan jutaan ton karbon yang kita muntahkan pada pukul lima sore ini?
Saya menanti semburat merah-jingga dan emas di langit mendekat, menjadi api yang saling sambar-menyambar helm dan kap mobil. Melahapnya dengan lidah-lidah api, bagai kilat dan petir dalam rupanya yang merah menyala, semerah lava pijar, semerah warna paling merah dalam spektrum warna dan tak ada lagi yang lebih merah darinya. Lalu semuanya berangsur menghitam, menjadi kelam dan gelap. Paint it Black dari Rolling Stone pun menghantam gendang telinga.
“I see a red door and I want it painted black. No colors anymore I want them to turn black.” Saya bukan Mick Jagger, tapi seketika menangkap warna merah, timbul keinginan untuk membuatnya hitam. Pada sebuah pintu bercat merah, selonjoran besi bercat merah, apel merah, bibir merah, mata merah, buku merah, pacar merah, darah merah.
Saya melaju sedepa demi sedepa. Semilir angin, entah embusan udara dari lubang pembuangan kendaraan, mulai menyeka leher yang likat dan basah. Mulut terasa pahit, klakson bersahutan seperti siamang kelaparan. Kembali tertahan, berhenti, maju sedepa, dan tertahan. Panasnya mesin mulai menjalar ke betis dan selangkangan. Pantat mulai mengeras.
Lalu langit bergeming. Separuh dari playlist yang saya buat telah berganti nomor lain. Sementara di moncong motor masih kendaraan dan manusia penunggang motor yang sama. Arak-arakan awan bersepuh jingga dan kencana itu masih bertengger di atas horison. Seolah membeku seperti kapas. Tak bercerai juga urung merendah. Seketika saya edarkan pandang, orkestra pukul lima sore mulai terdengar lamat dan jauh. Kemudian langit membeku, awan terpacak tak bergerak.
Sunyi.
Hening.
Diam.
Dalam setarikan napas saya panjatkan syukur yang dalam. Saya rogoh saku jaket mengeluarkan ponsel, mengusapnya dan benarlah: waktu berhenti berdetak, lagu berhenti mengalun. Orang-orang mematung. Ada yang tetap duduk di atas motor, ada yang tampak mengangkangi jok motornya, ada yang tengah menguap. Saya abadikan mereka lewat ponsel, menjepretnya satu persatu. Kemudian saya berjalan zig-zag melewati mobil dan motor yang bergeming tak bersuara.
Anda pasti heran dengan pemandangan yang satu ini. Di ujung sana, di titik kemacetan bermuasal, saya temui gumpalan awan yang menyala-nyala. Seperti sedang mengandung sesosok bayi di dalam perutnya, bayi yang bercahaya, atau mungkin bayi yang mengandung listrik. Gumpalan awan itu mengambang amat rendah, sebahu orang dewasa, dan dapat Anda sentuh dengan kedua lengan. Tentu saja seketika Anda menyentuhnya, bau hangit dan gosong akan menyeruak. Lengan terbakar dan gumpalan awan itu mengeluarkan bunyi-bunyi aneh, seperti bunyi seutas kabel yang diperciki air.
Kini jarak saya dengan gumpalan awan hanya serentangan lengan. Saya belum ingin membuat tangan yang cuma dua ini gosong dan tak bisa mengendarai sepeda motor. Itu hal yang paling konyol, kecuali sepeda motor dilengkapi kecanggihan autonomus. Namun mengingat laju urban pukul lima sore di tempat ini, rasanya secanggih apapun kendaraan, toh akan berakhir juga dengan lamunan panjang dan keringat yang membasahi punggung.
Untuk yang satu ini, saya harus mengatur napas seteratur mungkin. Saya coba relaks, melemaskan kedua lengan yang menggantung seperti kacang panjang, dan mengucap salam dalam hati.
“Akhirnya Anda sampai juga,” sapanya.
“Saya mulai merasa bosan.”
“Anda yang memilihnya.”
“Tentu saja, bukan berarti saya ingkar, kan?”
“Semua sudah disepakati. Kita tinggal menjalankan.”
“Apa rencana kita setelah ini?”
“Persis seperti yang Anda bayangkan.”
“Baiklah.”
“Tak usah terburu-buru.”
“Bila terburu-buru, saya tak akan menyimpan lagu-lagu bagus untuk didengarkan sepanjang perjalanan.”
Gumpalan awan yang menyala-nyala itu kini mengambang menjauh dan melesat menuju arak-arakan awan yang lebih mega di sepetak langit senja. Saya masih terpukau, dan menatapnya lekat-lekat. Setelah gumpalan itu menyatu, arak-arakan awan bersepuh jingga dan kencana sekarang mulai menyala-nyala. Terdengar gemuruh, seperti derap kaki ratusan kuda di sehamparan tundra. Lalu guntur menggelegar, pekak, nyaring, meninggalkan dengung yang panjang di telinga.
“Woy, anjing! Minggir luh! Macet tauk!” seperti sengatan lebah, klakson memekik dari sedan putih, kepala pengendaranya menyembul dari jendela.
“Woy, orang gila! Awas luh!” makian menyembur dari seorang pengendara sepeda motor yang hampir menyerempet saya.
“Ora waras sampean!” teriak pengendara mobil box kelabu.
“Gue tabrak ya! Gue tabrak nih, ya!” ancam pengendara SUV hitam.
“Tabrak saja, pak!”
“Iya, tabrak, ayo tabrak!”
“Iya, ngapain sih dia berdiri di situ?”
“Mungkin keram, atau stress!”
“Huh, dasar orang gila!”
Klakson menjerit-jerit lagi, sementara lampu-lampu kendaraan saling sorot-menyorot ke arah wajah. Truk, bus, sedan, berseliweran, beberapa penunggang motor melayangkan tendangannya ke perut dan pinggang.
Seperti awan di atas sana, saya bergeming. Kepentingan saya boleh tak sebanding. Tapi tekad saya telah bulat, bahkan sempurna. Untuk separuh mentari terakhir, untuk semburat senja terakhir, sebelum semuanya menyambar rambut dan kepala, sebelum langit ini runtuh seruntuh-runtuhnya akibat planet-planet di ruang angkasa kehilangan medan orbitnya, saya akan tetap berdiri di sini. Anda benar, lagu penutup paling pas untuk menikmati ini semua adalah Explosions in the Sky, With Tired Eyes, Tired Minds, Tired Souls, We Slept.