Disukai
1
Dilihat
27
API DENDAMMU
Drama
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Aku tidak suka di buat terkejut. Meskipun di hidupku saat ini, ketidakpastian adalah satu-satu hal yang tetap konstan. Keadaan tampaknya akan semakin buruk. Hingga aku memaksa diriku untuk terbiasa akan hal itu. Karena itulah satu-satunya cara agar aku bisa bertahan hidup.

Akhirnya aku sampai, mengambil kunci dari bawah keset, membuka pintu, dan masuk. Kuhirup lagi berkali-kali aroma ruangan yang tidak pernah berubah. Bangunan tua berarsitektur Toskana yang tidak terurus dengan baik ini adalah toko peralatan memancing kecil yang berada tak jauh dari dermaga. Berada di sini adalah satu-satunya tempat yang selalu rutin membuatku sibuk setiap pagi. 

Menyalakan generator, mengambil kotak penyimpanan dari bawah lantai, dan sesekali aku juga menyediakan makanan untuk beberapa penjaga keamanan dermaga ini. Satu-satunya karyawan di toko ini adalah aku dan itu sangat membuatku kewalahan jika ramai pengunjung terlebih lagi gaji yang kecil tanpa pernah ku dapati bonus menambah rasa muak yang bertubi-tubi. Meski demikian tetapi aku tidak terlalu keberatan karena aku tau bahwa bangunan ini adalah satu-satunya tempat terbaik untuk mengetahui kepulangan kecintaanku.

Haamparan lautan luas mampu aku lihat dari kaca jendela bangunan ini, kapal akan membawa kekasih tercintaku kembali setelah berlayar ribuan jarak. Kamu akan berjalan gagah dengan tubuh beraroma laut dengan sorot mata penuh rindu. Sementara aku, ketika mampu melihat sedikit saja bayangmu akan dengan cepat berlari melabuhkan pelukanku, sebelum mereka, pengikut loyalmu yang sebagian menjaga pulau ini menghujanimu dengan tatapan menuntut cerita gerilyamu. Bisikan-bisikan mereka penuh semangat tanpa reda bagai peluru yang membedil tubuhku, memuncakkan amarah dan kecewaku karena seluruh tanya mereka mampu membuatmu lupa pada rindumu dan aku.

Senyuman dari bibirku penuh syukur mengembang bak bunga merekah ketika kamu menciumi wajahku tanpa henti, menumpahkan rindumu yang kamu katakan selalu menyesakan dadamu karena menggeru tanpa henti. Dengan hal itu kamu selalu mampu membuatku menjadi seseorang yang tidak bertanggung jawab. Menutup begitu saja toko pancing ini meski tak sesuai waktunya. Setiap kedatanganmu aku selalu memutuskan menutup toko dalam beberapa hari kedepan karena aku hanya selalu ingin bersamamu sebelum kamu kembali berlayar memisahkan kita ribuan jarak yang tidak tertahankan. Ribuan terimakasih selalu aku ucap bahagia ketika pemilik toko itu memberi setuju, tidak pernah sekalipun memarahiku karena ketidaktanggungjawaban yang berakali-kali aku lakukan tiap kedatanganmu. Hingga suara renyah tawamu yang selalu aku sukai berulang kali terdengar ketika mendengar ceritaku mengenai pemilik toko itu.

Dalam perjalanan menuju rumah kita, kamu lepaskan sarung tangan kulitmu yang dengan bangga selalu kamu pakai. Hasil jahitanku. Meskipun aku telah membuatkanmu beberapa sarung tangan lainya namun kamu katakan yang satu itu adalah keistimewaan, paling kamu sukai. Mungkin karena aku menjahitnya pagi setelah kita melakukan malam pengantin berpeluh asmara gelora aku membuatnya dengan seluruh cinta di ranjang kita yang sederhana.

Salah satu tanganmu menggenggamku erat, menyatukan kulit kita yang telah sekian purnama tidak saling menyapa. Kamu menuntunku penuh suka cita menuju rumah yang telah kamu wujudkan sempurna sesuai impan yang selalu aku cita-citakan. Hingga sesampainya di rumah kita kamu akan memejamkan mata untuk beberapa saat semakin mengeratkan genggaman yang tidak sedikitpun ingin aku lepaskan.

 “Dimanapun itu aku selalu merindukan aroma rumah ini. Hanya aroma rumah ini dan aromamu yang mampu membuatku mengingat sebuah kehangatan dan kasih sayang, Hanna.”

Rumah ini adalah bentuk sempurna dari isi kepalaku yang pernah aku ceritakan padamu kala itu. Rumah yang pada awalnya begitu kosong kamu penuhi dengan furnitur Greek yang kamu bawa dari negri yang jauh disana. Aku lengkapi rumah ini dengan berbagai macam tumbuhan yang berada di pot-pot tanah liat yang selalu kamu buatkan untukku di waktu-waktu luangmu. Kamu pernah berkata, bahwa rumah ini adalah kombinasi kenyamanan agung yang tumbuh sederhana dan kita adalah percikan pawaka cinta yang bahagia didalamnya. Ketika kamu mengucapkan itu aku begitu bahagia meski di dalam diriku di penuhi gumpalan riak-riak luka halus yang bersarang dalam dada. Karena wahai cintaku, yang dengan pasti aku tau, seluruh kembalimu hanya kamu buat sebagai penjeda sementara untuk perjalananmu selanjutnya.

Aku tau sedari dulu engkau memang penuh lara dan pilu. Sewaktu itu, kau bercerita padaku ketika aku mendekap erat penuh khawatir ditengah isak tangis mimpi buruk karena trauma yang selalu mengganggu tidurmu. Kamu bercerita ketika usia kanak-kanakmu kedua orang tuamu membawa dirimu dan kakak perempuanmu untuk pindah ke negeri itu. Ayahmu memiliki kesepakatan perdagangan yang saling menguntungkan dengan saudagar di negri yang kalian datangi. Tetapi orang-orang di negeri itu dengan tega menipu keluargamu. Mengambil seluruh harta orang tuamu memberi kematian keji kepada kedua orang tuamu, di depan matamu. Mempekerjakan kakak perempuanmu sebagai pemuas para bandit-bandit gila tak berakal, membuatmu menjadi budak pekerja kasar dengan istirahat yang tak berakal dan hanya di bayar dengan sepiring makanan yang rasanya sering kali membuatmu mual. Kamu dan kakakmu bertahan bertahun-tahun di negri itu hingga murka dan dendammu membara hebat ketika kamu mengetahui bahwa kakak perempuanmu mati bunuh diri karena tidak sanggup lagi melalui hari. Pelarian diri yang kamu coba berkali-kali dari negri itu berbuah manis hingga kamu sampai di pulau ini. Kamu mampu menjadi yang terhormat di pulau ini karena pintarnya dirimu dalam segala hal. Namun seluruh mencapaian itu tidak sedikitpun memuaskanmu. Siang dan malam tak kenal waktu kamu pahat dendammu pada negri itu hingga semakin tajam. Tak henti-hentinya dirimu berusaha mencapai tujuanmu, yang penuh bara api dendam bersarang menggerogoti dirimu.

Sementara itu, aku, yang tengah menjadi sepenuh wanitamu. Begitu tercabik melihat kecintaanku yang gagah tersungkur tak berdaya akan masalalunya. Terbelenggu oleh dendam nan penuh murka membara. Kamu kumpulkan mereka yang senasib denganmu, sejalan akan visi-misimu, pasukan loyalmu. Bertekad kuat hancurkan mereka, yang kamu sebut para biadab, di negri itu sampai habis keturunan mereka tanpa belas kasih. Kamu tumpahkan bulat-bulat seluruh amarah dan murkamu. Kamu gadaikan masa depan rumah kita tanpa ingin menumpahkan benihmu kerahimku sebelum usai segala dendam milikmu yang sebenrnya jauh di dalam hatimu, aku tau, tak pernah mampu kamu temui kesudahan itu seumur hidupmu. 

Tak ada jalan keluar bagiku. Meski telah aku ciptakan seluruh bahagia untuk kamu rasa. Telah aku tunjukan bentuk elok kelopak-kelopak kelembutan yang mampu kau temui di dunia ini. Aku berikan seluruh cinta dan kasih yang tak mampu kamu rasa sedari masa kanak-kanakmu. Namun seluruh dari itu tak mampu membuatmu menjadi sepenuhnya milikku dan untukku. Tidak sedikitpun menghentikan dendammu yang memburu.

Kasih meski berat sekali rasaku, sungguh aku akan selalu berada disini. Setia menunggu kepulanganmu. Mendekap erat tubuhmu bersama seluruh luka dan duka setelah gerilyamu. Mencumbu dendam dan amarahmu dengan cinta kasihku hanya untukmu. Karena aku wanitamu dan dirimulah seluruh cintaku. 

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar