Disukai
0
Dilihat
12
Antara Cinta Dan Luka
Drama
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Seperti apakah rasa kesepian itu? Pernahkah kau bertanya di dalam riuh gemuruh manusia dengan hiruk pikuknya? Atau kau justru memilih untuk tidak peduli karena terlalu sibuk dengan tubuhmu sendiri?

Di sana, meringkuk seorang bayi kecil yang dibuang oleh ibunya. Kabarnya, wanita itu berselingkuh dan melahirkan seorang bayi perempuan. Wanita itu terlalu takut kepada suaminya, kalau-kalau perbuatan bejat itu akan mendatangkan celaka bagi seisi rumah tangganya.

Apalah arti bayi itu bagi hidupnya? Dia hanya manusia kecil yang tak diduga akan bersemayam di dalam rahimnya selama 9 bulan, menyesap seluruh energi tubuhnya dengan paksa. Wanita itu sudah berusaha membuang janinnya, namun apa daya jika bayi itu terlalu kuat untuk dikalahkan.

Pada akhirnya, dengan susah payah ia menyembunyikan kehamilan itu dari semua orang, melahirkan bayinya dan membuang manusia kecil itu di sisi parit. Ia tak meninggalkan bayi itu begitu saja, diamatinya bayi itu cukup lama, kalau-kalau seseorang akan menemukan bayi itu dan membawanya.  Setidaknya, hal itu akan mengurangi rasa bersalahnya kepada Tuhan.

Wanita itu lantas kembali ke rumahnya, di mana sang suami menanti dengan senyum mengembang. Memeluknya, tanpa tahu apa yang telah terjadi dengan istrinya.

Wanita yang baru saja melahirkan dan membuang bayinya itu pun menahan sakit, nyeri setelah melahirkan masih terasa di antara kedua pahanya, namun ia memaksa diri untuk menyajikan secangkir kopi bagi suaminya, semata hanya untuk mengelabuhi lelaki yang telah menikahinya selama beberapa tahun ini.

Sebenarnya, wanita itu cukup bahagia di dalam rumah tangganya. Hidup dengan lelaki yang mencintainya dan memperlakukannya dengan sangat baik, hanya saja wanita itu tak mampu menepis godaan dari masa lalunya dulu. Kenangan indah akan lelaki lain yang dulu pernah dicintainya itu kembali mengusik jiwanya.

Lelaki itu menawarkan sejuta cinta serta kisah yang nyatanya belum selesai, mengalahkan cinta yang telah diberikan oleh suaminya, membuat hubungan mereka berlanjut hingga ke tempat tidur.

Tak ada rasa bersalah, tak ada keraguan di dalam diri keduanya, saat mereka mengatasnamakan dosa itu sebagai cinta. Bukankah cinta selalu datang tiba-tiba, dan tak membutuhkan alasan?

Wanita itu menyuguhkan kopinya yang masih panas, bibirnya yang kering berusaha untuk tersenyum. Sesekali ia menyeringai menahan sakit, membuat sang suami mengernyit kala menatap wajah pucat istrinya itu.

“Apakah kau sakit?” suaminya bertanya, meminta wanita yang teramat dicintainya itu untuk duduk di sisinya, meletakkan telapak tangannya yang kasar di atas dahi sang istri, memeriksa kalau-kalau wanita itu demam.

“Astaga, kau demam! Kenapa masih membuat kopi untukku?” pekik sang suami yang terkejut setelah memeriksa istrinya.

Lelaki yang telah hidup dengannya cukup lama itu pun, membantu sang istri masuk ke dalam kamar, membaringkannya dengan begitu hati-hati, tak ingin melukainya sedikit pun. Meletakkan handuk basah di dahi sang istri, berharap demamnya akan segera pergi.

Wanita itu memejamkan mata, kepalanya berputar karena anemia. Perutnya terasa diaduk-aduk, mual.

“Aku akan membawamu ke dokter,” kata sang suami, yang tak tega melihat kondisi istrinya itu.

Wanita itu sempat menolak, rasa takut mulai merambat ke seluruh jiwanya. Mungkin, perselingkuhannya akan segera terbongkar, jika sang suami membawanya ke rumah sakit. Wanita itu menggeleng lemah, dan mengatakan kalau dirinya akan segera pulih setelah tidur beberapa saat.

Lelaki itu menatapnya cemas, wajah pucat istrinya tak bisa membuatnya tenang begitu saja. Ia akan merasa sangat bersalah, apabila membiarkan istrinya itu tetap berada di rumah dan merasa kesakitan.

Akhirnya, dengan persetujuan atau tidak, ia membawa istrinya ke sebuah rumah sakit yang tak jauh dari rumah mereka. Barangkali, wanita itu sakit karena kelelahan mengurus rumah tangganya.

Wanita itu pun hanya bisa pasrah, tampaknya ia telah siap menerima segala hujatan yang mungkin akan dilemparkan sang suami kepada dirinya nanti, setelah lelaki itu mengetahui sebab musababnya. Dan barangkali, lelaki itu akan meninggalkan dirinya untuk waktu yang sangat lama.

Lelaki itu kembali ke dalam kamar, di mana istrinya terbaring dengan selang infus di pergelangan tangannya, menatap wanita itu dengan mata sembab. Jelas terlihat jika lelaki itu baru saja menangis, dan sang wanita tahu kalau hidupnya bersama lelaki itu sudah berakhir hari ini.

Lelaki itu kini duduk di sisi ranjang istrinya, meraih sebelah tangan wanita itu, dan meletakkannya di pipi. Air matanya kembali jatuh, menyentuh punggung tangan sang istri yang kini menatapnya bingung.

Sekuat tenaga lelaki itu mengumpulkan suaranya, menatap jauh ke dalam mata istrinya yang meredup. Bibirnya gemetar, perlahan diusapnya kening wanita itu dengan lembut seraya berkata, “Kenapa kau tidak memberitahuku? Padahal aku sangat menginginkan seorang bayi darimu? Seharusnya, kalau aku menjagamu dengan baik, kau tidak akan kehilangan bayi itu, bukan?”

Wanita itu membuka matanya seraya mengerutkan kening, entah apa yang diucapkan sang dokter sehingga membuat suaminya itu begitu terluka? Apakah ia tidak tahu kalau bayi itu sudah ia lahirkan dengan selamat? Dan, tidak curigakah ia jika bayi itu bukanlah darah dagingnya sendiri?

Wanita itu diam membisu, matanya berkaca-kaca memandang sang suami yang kembali menangis tersedu di hadapannya. Sesekali lelaki itu menyeka wajahnya, namun tampaknya air mata itu enggan untuk berhenti mengalir. Begitu sakit hatikah ia? Begitu marah dan terlukakah ia karena bayi malang itu? Ia bahkan menangisi bayi yang bukan anaknya.

Air mata wanita itu menitik, bukan karena telah membuang bayi itu. Bukan juga karena selingkuh. Ia tak percaya, jika suaminya akan begitu menderita dengan kabar yang didengar telinganya.

Lelaki itu mendongak, bibirnya lantas mengulaskan senyum tipis. Diusapnya pipi sang istri yang basah. Dikecupnya kening wanita itu penuh sayang. Dari mulutnya terdengar desahan napas penuh sesal, ia merasa bodoh karena tak mampu menjaga wanita yang sangat dicintainya itu.

“Kau pasti sangat menderita menanggung ini sendirian, bukan? Kenapa kau tidak menginginkan bayi itu? Apakah bayinya meninggal saat ia lahir? Apakah kau menguburkannya dengan baik?”

Tangis wanita itu semakin menjadi, saat suaminya mengatakan hal-hal yang  melukai hatinya. Kenapa dia tidak memaki dan menghujat saja? Rasanya itu jauh lebih baik ketimbang bersikap seperti ini. Wanita itu membalikkan tubuhnya, membelakangi sang suami. Rasanya, ia tak sanggup untuk menatap mata teduh itu lagi. Apa yang akan lelaki itu lakukan, seumpama dia tahu perbuatan istrinya?

“Maaf ... maafkan, aku,” ucap wanita itu lirih, tubuhnya terguncang karena tak mampu lagi menahan tangis dan sesak di dada. Mungkin, ia memang tak pantas untuk menerima kata maaf dari suaminya itu, barangkali ia sudah tak layak untuk bersanding di sisi pria yang hatinya begitu baik seperti malaikat.

Lelaki itu menggeleng pelan, menyentuh lembut bahu sang istri. “Katakan padaku, di mana kau menguburkan bayi kita? Aku ingin menyapa bayi itu untuk pertama dan terakhir kalinya.”

Wanita itu tak menjawab, bukan karena ia tak mau. Namun, tak ada kata yang bisa ia ucapkan untuk menjawab lelaki itu. Bibirnya terkatup rapat, begitu juga dengan matanya yang mulai terpejam.


Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar