Tolong tunggu sebentar. Duduklah dan bersantailah sejenak. Biarkan aku memberitahukan kepadamu bahwa ada sebuah kisah cinta yang terjadi di bangku SMA. Tetapi jika kau sudah bosan dengan cerita romansa anak remaja di SMA, tidak apa-apa. Lanjutkan saja pekerjaanmu. Biarkan kisah ini abadi dengan orang-orang yang menjalaninya yang mengetahuinya.
Bagi seorang remaja SMA sudah tidak asing yang namanya berpacaran. Masih dalam masa dimana dia penasaran dengan apa itu pacaran? Bagaimana rasanya punya pacar? Bagaimana rasanya deg-degan itu sendiri? Itu sudah biasa. Semua remaja normal pasti mengalaminya. Merasakan hati berbunga-bunga sampai merasakan hati terbakar karena melihat dia yang sedang mengobrol dengan lawan jenis.
Bagiku juga sama. Aku merasakan hal itu. Masa dimana aku senyum-senyum sendiri ketika melihat dia. Apalagi melihat dia tertawa lepas, hati ini langsung tentram. Aku juga pernah membuat berbagai alasan hanya karena ingin bertemu dengan dia. Kalau yang satu sekolah biasanya izin ke toilet. Kalau yang berbeda sekolah biasanya menunggu jam pulang doi, lalu naik angkot bersama.
Kalau kisahku sendiri adalah dengan yang berbeda sekolah. Agak sulit, karena kita tidak tahu daerah tempurnya. Kita tidak tahu dengan siapa dia bergaul di sana. Kita tidak tahu apakah dia punya orang yang disukai atau tidak. Kalau tidak punya koneksi, ya sudah, tidak ada harapan. Saranku, perkuat didoa saja.
Nah, jadi didaerahku sekolah kebanyakan berada di tempat yang sama. Misalnya di desa A. Semua sekolah ada di sana. Dari mulai SD, SMP, SMA; bukan satu yayasan. SDN 1, SDN 2, SDN 3. SMPN 1, SMPN 2, SMPN 3. SMAN 1, SMAN 2, SMK 1, SMK 2, SMK sw. A, dan lainnya. Semuanya berkumpul di satu tempat. Jadi kalau jam masuk dan keluar sekolah, beuh padatnya minta ampun. Padahal desa ini dilalui jalan lintas provinsi. Nah, bayangkan sendiri lah bagaimana macetnya di pagi hari dan siang hari.
Aku ini anak SMA dan si dia itu anak SMK. Awal bertemunya kami berdua yaitu di angkot. Karena jam SMA dan SMK itu hampir bersamaan pulangnya, otomatis pasti ada kemungkinan naik di angkot yang sama.
Aku ini anak yang biasa saja. Selayaknya remaja, aku punya jerawat. Di bidang akademik aku memang lumayan bisa. Bisa bukan berarti jago. Aku bisa mengikuti materi yang diberikan guru. Untuk peringkat kelas, aku masuk 5 besar. Aku pernah menyontek tugas teman. Aku bukan orang jujur, disiplin, nan budiman di sekolah. Hanya saja kelebihanku adalah aku tidak pernah bolos. Cuman tidur di kelas pernah.
Sedangkan dia, pendek. Bahkan lebih pendek dariku. Kulitnya hitam manis, wajahnya dilengkapi dengan mata cantik dan hidung mancung, pendiam, dan seorang pecinta game online. Dia jarang sekali berbicara. Kalau temannya berbicara, dia hanya diam mendengarkan. Tetapi itu dari pandanganku. Aku tidak tahu bagaimana dia di kelasnya atau apakah yang kulihat sama dengan yang dilihat teman sekelasnya. Maka dari itu. Kalau tidak punya koneksi, padahal suka sama yang beda sekolah itu sulit. Kalau bagi orang dewasa cinta beda agama itu yang sulit, tetapi kalau bagi remaja cinta beda sekolah lah yang sulit.
Awal rasa suka ini muncul mungkin ketika dia turun dari angkot. Aku melihat dia dengan celana SMA-nya yang panjangnya sampai mata kaki. Terlihat sangat imut. Apalagi ketika dia memperbaiki gendongan tas dipunggungnya. Sungguh seperti anak TK, sangat imut. Saat dia berjalan dengan temannya yang tinggi dia terlihat seperti anak kecil, sungguh menggemaskan.
Sejak saat itu aku jadi sering memerhatikannya. Setelah dilihat-lihat, dia itu manis. Aku sendiri tidak mengerti mengapa aku suka dia. Padahal dulu aku punya tipe cowo tinggi, sedangkan dia pendek. Apa karena dia sangat menggemaskan? Entahlah.
Ada hal yang membuatku tidak menyatakan rasa suka ku kepadanya. Yang pertama adalah dia itu pendiam. Aku tidak tahu bagaimana isi hatinya atau bagaimana keadaannya. Apakah dia sudah punya pacar atau tidak. Kan malu kalau nembak dia, padahal dia sudah punya pacar. Yang kedua, kalau aku menyatakan rasa suka, aku pasti dicie-ciein oleh teman-temanku dan itu sangat mengganggu juga memalukan.
Tetapi semakin hari, semakin sering bertemu di angkot, rasa suka ku kepadanya semakin menggila. Aku selalu menatap wajahnya ketika berada di angkot. Aku sudah seperti maniak. Di kelas pun, aku jadi sering terbayang wajahnya. Terutama wajahnya yang tertawa lepas di angkot.
Hingga suatu hari, sahabat yang juga merupakan teman sekelasku datang ke mejaku sambil berkata, "Kau suka kan sama si Andri?"
Aku yang sedang sibuk mengejar catatan sejarah langsung melotot kaget. Darimana dia tahu? Padahal aku sengaja tidak cerita kepada siapapun.
"Andri? Andri mana?" Tanyaku pura-pura bego. Aku ingin rasa suka ku yang menggila ini tidak diketahui oleh siapapun. Kalau diketahui doi, boleh lah.
"Eh, jangan buat emosi, deh. Itu Andri anak SMK 1 yang selalu satu angkot sama kita?" Sahabatku ini menatapku dengan penuh rasa curiga.
"Hah? Nggak lah. Mana mungkin." Aku mencoba menyangkal semua perkataan sahabatku yang sialnya semua perkataannya benar.
"Jangan menyangkal deh. Aku udah sadar sejak kita awal masuk kelas 11. Kau itu selalu melihat ke arahnya." Sahabatku memelototi ku. Aku hanya bisa terdiam karena tertangkap basah.
Jadi, selama ini aku melirik-liriknya, ternyata terlalu terang-terangan? Aku terdiam sambil menghela napas panjang. Ternyata rasa suka yang menggila ini sudah ketahuan.
Mungkin dikarenakan sahabatku melihat aku menghela napas, matanya tampak membulat dan melotot karena terkejut.
"Jadi betulan?" Sahabatku memegang kedua pundakku. Lah? Jadi tadi dia hanya memastikan? Belum tahu yang sebenarnya?
"Jangan kasih tahu sama siapa-siapa, ya? Ini rahasia kita doang." Aku mengucapkannya dengan pelan agar tidak didengar oleh siapapun.
"HAH? SERIUSAN? KAMU PUNYA ORANG YANG DISUKAI?!"
Aku melotot karena mendengar suaranya yang besar. Segera kucubit lengannya. Teman sekelas mulai memerhatikan kami berdua.
"AGH! Sakit!" Sahabatku menatapku dengan sengit.
"Suaramu! Kan kubilang cuman kita doang yang tau." Aku membalas tatapannya yang sengit dengan melotot.
"Iya-iya deh."
Dan tahu? Masalah rasa suka ku yang menggila kepada Andri berakhir dengan semua orang di kelas mengetahuinya. Sangat malu sekali rasanya. Apalagi ketika aku, teman sekelasku, dan Andri berada dalam angkot yang sama, mereka akan berpura-pura bertanya, "Ininya yang namanya Andri?" Sungguh gila! Betapa malu plus deg-degannya diriku ketika Andri menatapku.
Selang sekitar sebulan kemudian, aku dan Andri kembali bertemu di angkot saat jam pulang sekolah. Seperti biasa, dia dengan celana panjangnya membuka pintu angkot bagian depan lalu duduk. Tidak ada yang berbeda setelah sebulan berlalu. Dia masih tetap fokus dengan game online nya. Hanya satu hal yang berbeda, perasaanku yang semakin besar kepadanya.
Situasi diangkot sungguh membuat jantungku berdebar-debar. Hanya kami berdua yang berada di angkot. Sahabatku sedang disuruh wali kelas ke kantor guru. Aku hanya bisa terdiam sambil menatap kepala bagian belakangnya dari tempatku duduk. Apa yang harus aku lakukan? Apa aku harus mengajaknya bicara? Karena sejak kami berada dalam satu angkot di mulai awal kelas 11, kami jarang berinteraksi. Walau sering berada dalam angkot yang sama, nyatanya kedekatan itu tidak bisa dibangun.
"Kayaknya kau suka banget, ya main game?" Aku akhirnya angkat berbicara diringi dengan detak jantungku yang berdetak dengan cepat.
Andri sama sekali tidak mengeluarkan suara sama sekali. Dia hanya menatapku sekilas, lalu berbalik lagi menatap ponselnya. Sial, aku malu banget.
Andri mungkin saja sakit hati kepadaku. Teman-temanku sering menghina dirinya yang pendek sejak teman-temanku tahu aku menyukai dirinya. Mungkin saja dia berpikir, hinaan itu semua bermula dari mulutku yang asal berbicara. Aku merasa bersalah kepadanya.
"Kok nggak dijawab?" Dengan menenggelamkan rasa maluku, aku tetap mengajaknya berbicara.
"Iya, aku suka." Andri menjawab dengan singkat. Aku bahkan sampai menahan napas karena kaget mendengar dia menjawab pertanyaanku. Aku bahkan sampai tidak tahu harus mengatakan apalagi.
"Oh, iya. Kalo teman-temanku mengejekmu jangan didengar, ya? Mulut mereka memang kurang pendidikan." Aku kembali membuka pembicaraan.
Andri terlihat mematikan ponselnya dan membalikkan badan lalu menatapku.
"Aku punya telinga. Kita satu angkot. Suara mereka terlalu keras. Bagaimana aku nggak dengar? Lagipula nggak apa-apa. Aku sudah biasa. Memang kenyataan aku pendek."
Aku tidak bisa menyahuti pernyatannya. Sungguh, sakit hati Andri akibat perkataan teman-temanku ternyata lebih besar dari yang aku pikir. Akibat dari Andri mengatakan perkataannya barusan, suasana dalam angkot terasa sepi. Hanya suara teriakan supir angkot dan suara klakson kendaraan yang terdengar diantara kami.
Sejak saat itu, ketika teman-temanku mulai membicarakan Andri mengenai fisik lelaki itu, aku langsung menghentikan mereka. Mengatakan bahwa itu bukan sesuatu hal yang pantas ditertawakan. Aku sampai mendapat julukan di angkot sebagai bodyguard Andri. Sejak saat itu pula mereka selalu melaporkan apa yang terjadi pada Andri kepadaku. Dimulai Andri ditertawai di SMK nya sampai kesibukan Andri.
Sekitar sebulan kemudian, kejadian serupa terjadi. Aku dan Andri berada dalam angkot. Hanya kami berdua. Teman-teman yang lain belum datang. Andri masih saja sama, dia tetap memainkan game pada ponselnya. Suara teriakan supir angkot dan suara klakson mobil mengisi keheningan diantara kami.
Sebenarnya teman-temanku belum datang karena sudah direncanakan. Kali ini, aku ingin mengungkapkan rasa sukaku kepada Andri, jadi mereka menunggu di sekolah sebentar sementara aku berbicara kepadanya.
"Andri?" Aku memanggilnya.
Terlihat Andri menghentikan kegiatannya dan menatapku. Dia tidak menyahut tetapi langsung menatapku. So sweet bukan?
"Kau tahunya? Aku itu suka sekali lho sama mu." Aku sampai tidak bisa bernapas karena jantungku berdebar dengan sangat cepat. Wajahku panas rasanya. Ditambah Andri yang tidak memiliki reaksi apapun semakin membuat jantungku berdebar. Apa yang akan dikatakannya?
"Kau lagi mengejek, ya?" Andri bertanya tanpa ekspresi.
"Eh? Nggak. Aku serius. Perkataan teman-temanku selama ini yang mengatakan aku suka samamu itu betul." Aku memberikan sedikit pembuktian.
Terlihat Andri menghela napasnya.
"Makasih udah suka sama manusia kerdil kayak aku. Tapi, sebaiknya jangan. Kau bisa diejek teman-temanmu. Aku nggak mau menanggung rasa malumu."
"Aku nggak malu, kok. Buktinya aku suka duluan sama kamu." Hatiku mulai terasa sakit. Otakku sudah bisa memprediksikan bahwa aku akan ditolak.
"Iya-iya. Makasih, ya?" Andri menatapku sambil tersenyum lembut.
Sial! Penolakan seperti apa ini? Mengucapkan terimakasih? Aku sedang mengungkapkan perasanku, bukan sedang menagatakan suatu informasi yang harus diterimakasihi.
"Udah? Gitu aja?" Aku bertanya.
Andri kembali menoleh kearahku.
"Selama ini aku punya masalah dengan rasa percaya diriku karena tubuhku yang pendek. Mungkin kalian menganggapku pendiam, itu karena aku terlalu malu untuk berinteraksi dengan kalian."
"Pokoknya makasih, ya? Tapi maaf. Aku nggak punya rasa percaya diri untuk menyukai orang lain. Aku belum merasa pantas." Sekali lagi Andri tersenyum. Disaat aku sudah ditolak, jantungku masih saja berdebar-debar karena senyumannya.
Aku menghela napas. Jika sudah seperti ini, apa yang harus aku lakukan? Yah, menerimanya dengan lapang dada bahwa aku sudah ditolak. Kasihan sekali diriku dan dirinya.
"Iya, nggak apa-apa. Kalo udah percaya diri, kasih tahu aku, ya?" Masih menenggelamkan rasa maluku, aku memberikan penawaran.
Aku melihatnya terkekeh.
"Iya-iya."
Aghhh! Aku kan sudah ditolak. Kenapa aku masih saja berdebar-debar? Harusnya aku sakit hati! Nyaman sekali rasanya melihat Andri tersenyum.
Tak beberapa lama kemudian, teman-temanku datang. Mereka memberikan kode seolah bertanya, "Gimana? Diterima? Lancar?" Sebagai jawaban, aku hanya menggeleng sambil tersenyum.
"Banyak gaya kau Andri!" Iris, salah satu temanku yang paling sering menghina Andri mulai angkat suara. Sebenarnya bukan menghina, tetapi menjadikan Andri sebagai objek candaan, atau keduanya sama?
"Hei, sudah-sudah. Jangan." Aku melarangnya untuk lebih menghina Andri.
"Baik kali lah kau. Udah ditolak, masih begitu." Rona, temanku nomor 2 yang selalu mengejek Andri, karena dia rasa sikap Andri terlalu menjengkelkan. Dia sering sekali diabaikan oleh Andri ketika berbicara.
Aku hanya tersenyum saja. Aku memberi kode bahwa aku baik-baik saja kepada sahabatku yang sedang memandangku. Aku memang tidak sakit hati. Aku merasa lebih malu kepada diri sendiri karena asal mengungkapkan perasaan tanpa tahu kondisi.
Dan tahu hal mengejutkan apa yang terjadi selang sebulan kemudian? ANDRI PACARAN. Iya, dia berpacaran dengan perempuan dari sekolahnya. Di pertengahan bulan September aku mendengar kabar dia berpacaran. Aku yang kondisinya baru pulang dari tempat bimbel, langsung terdiam mendengar kabar itu.
"Tenang lah, kaunya lebih cantik dari pacarnya. Lebih manis, lebih baik kayaknya." Lina, teman sekelasku sekaligus tetangga ku mencoba menghiburku. Mungkin dia melihat raut wajahku yang sudah mengeras.
"Nggak ada gunanya. Kalo lebihnya aku dari pacaranya, kenapa dia pacaran sama pacarnya yang sekarang?" Aku bertanya balik. Suasana hatiku sudah sangat buruk saat itu. Pulang les sore sudah menguras energi tubuh, mendengar doi pacaran dengan yang lain menguras energi hatiku.
Saat itu teman-temanku langsung terdiam. Mereka ikut diam melihatku yang sedang terdiam. Jika diingat-ingat, hal itu sedikit memalukan.
Kalian pasti sudah tahu apa yang terjadi. Hubungan kami menjadi sangat canggung. Hal yang mengherankan adalah Andri jadi lebih berani berbicara di angkot. Sering sekali dia menjawab-jawab perkatan Rona, Iris, Lina, dan yang lainnya. Angkot jadi ribut karena dirinya. Mungkin setan diam miliknya berpindah ke tubuhku. Saat itu, akulah manusia paling diam di angkot.
Sekitar seminggu kemudian, sahabatku berteriak heboh.
"Ini! Lihat ini! Si Andri foto berdua sama pacarnya!"
Aku yang mendengar teriakan sahabatku, langsung berdecak malas. Kembali aku menenggelamkan kepalaku pada lipatan tanganku di atas meja. Kondisi kelas masih sepi karena aku, sahabatku, dan Lina lah yang pertama datang ke kelas.
Sakit sekali hatiku. Rasanya menyesakkan. Ketika kau percaya bahwa kau disukai orang yang kau sukai, ternyata dia berpacaran dengan yang lain. Hal itu sangat mengecewakan. Seperti sebuah penghinaan kepada diriku.
"Udahlah. Jangan lagi cie-cie in aku sama dia. Malu tau!" Aku menatap sahabatku.
"Iya. Aku malas kali melihat cowo seperti si Andri itu. Rendah kali harga diri si Gita ini dibuatnya." Lina membelaku.
"Iya. Tenang aja."
"Tenang aja mulutmu! Selalu tenang aja. Tenang apa? Tenang ketika sudah terjadi?!" Aku melotot.
"Nggak!" Sahabatku membantah sambil terkekeh.
"Nggak apa? Nggak salah lagi?" Aku menyahutinya dengan cepat.
"Hehehe, tau aja kamu manis." Sahabatku terkekeh sambil menatapku. Lina ikut terkekeh bersama sahabatku.
Berita tentang Andri berpacaran bahkan sampai diketahui oleh seluruh teman sekelasku. Mereka tiba-tiba berlaku baik kepadaku. Katanya mereka kasihan melihat wajahku.
Sekitar seminggu berlalu. Seperti biasa, saat jam pulang sekolah, keadaan sangat ribut. Suara klakson kendaraan terdengar saling bersahut-sahutan.
Sekolahku terletak di paling ujung. Jadi, kami sebagai murid sekolah itu, terpaksa berjalan sebentar menuju tempat di mana semua angkot berkumpul.
"Sini aku bawakan tas mu. Kayaknya berat banget." Juan, teman sekelasku menawarkan diri. Aku memang sedang membawa banyak barang di dalam tasku. Juan itu tipikal cowo ramah, baik hati, serta rajin. Tipe orang yang mudah disukai oleh siapapun.
"Seriusan?" Aku bertanya memastikan.
"Iya, sini." Juan mengambil alih tas yang sedang ku gendong di punggungku. Dia memintaku untuk membawakan tasnya yang super ringan.
Kami berdua berjalan beriringan. Kami memang agak lama pulang dikarenakan harus menemui pembina ekskul kami. Teman-temanku pasti sudah menungguku di angkot dengan mulut merepet.
"Itu! Itu angkotnya!" Aku menunjuk kepada mobil bewarna hitam. Di depan angkot tersebut, sudah ada supirnya.
Aku dan Juan mempercepat langkah kami.
Setibanya di angkot, teman-temanku langsung mencecarku dengan berbagai pertanyaan.
"Darimananya kau?"
"Kok lama kali?"
"Ngapain aja kalian?" Dan banyak lagi.
Tetapi sahabatku yang memiliki hobi mencari masalah denganku, langsung tersenyum genit.
"Cie, yang tasnya dibawain Juan."
Aku langsung melotot. Aku menoleh ke arah Juan, dia hanya tersenyum saja.
"Udah, geser!" Aku memukul pelan paha sahabatku. Lalu aku masuk ke dalam angkot dan duduk paling pinggir.
"Awas, biar aku tutup pintunya. Kakimu geser sedikit." Juan memerintahku. Lalu dia menutup pintu angkot dan menguncinya.
"Jangan di buka kuncinya." Juan mengingatkanku.
"Cie, Juan perhatian." Lina senyum-senyum sendiri. Juan membalas perkataan Lina dengan senyum simpul.
"Makasih, ya!" Aku menatap Juan dari jendela angkot. Juan hanya mengangguk.
Lalu angkot berjalan. Aku melihat Juan yang langsung berjalan menuju angkot langganannya.
"Nampaknya Gita sudah punya pengganti Andri." Rona mulai menggodaku.
"Hei, nggak boleh begitu. Lihat itu muka si Andri." Lina memukul pelan pundak Rona.
"Apa kau Andri? Cemburu kau? Kau kan udah punya pacar." Iris melotot kepada Andri. Andri hanya diam berusaha mengabaikan. Sementara Bagas—teman Andri yang tubuhnya tinggi sekali terkekeh melihat Iris melotot. Sesekali dia melirik ke arah Andri yang fokus kepada ponselnya.
Sekitar 3 hari kemudian, aku kembali datang pertama di angkot. Lalu menyusul Bagas, teman dekat Andri. Sahabatku sedang ada urusan dengan pembina ekskulnya. Temanku yang lain sedang menjalankan piket.
"Eh, si Andri mana?" Aku bertanya kepada Bagas. Karena biasanya kedua orang ini tidak bisa berpisah. Sampai banyak yang mengatakan, jika ingin mencari bagas maka carilah Andri begitu pula sebaliknya.
"Lagi ketemuan sama pacarnya. Ada yang mau mereka omongin." Bagas menjawab dengan tenang.
Aku terdiam mendengarnya. Sesak sekali rasanya. Seolah mengingatkan kembali bahwa Andri sudah memiliki ikatan dengan yang lain.
"Eh, kau sama si Juan itu udah gimana?" Bagas mendadak buka suara.
"Juan? Kenapa?"
"Kalian dekat kali soalnya. Waktu pulang, selalu sama." Bagas menatapku.
"Yah, kami pulang sama, pertama karena kami sekelas. Kedua, kami mengambil ekskul yang sama. Ketiga, kami sama-sama pengurus di ekskul itu." Aku menjawab pertanyaan Bagas.
"Oh, oke." Bagas mengangguk paham.
"Kenapa?" Aku bertanya heran.
"Nggak. Si Andri nanya-nanya soalnya. Padahal aku nggak tahu jawabannya." Bagas menjawab rasa penasaranku.
"Hah?" Wajahku mendadak terasa panas. Apa ini?! Ini betulan?!
Terlihat Bagas menahan senyumnya. Dia memalingkan wajahnya ketika aku menatapnya.
Sebenarnya aku tidak tahu pasti apa yang terjadi pada saat itu. Yang ada dipikiranku adalah Andri sedang penasaran dengan diriku. Sangat mendebarkan. Tetapi otakku seolah melarang hatiku untuk merasa bahagia. Otakku berusaha mencari kemungkinan mengapa Andri bertanya mengenai diriku. Mungkin saja itu memang sekadar penasaran tanpa ada perasaan lain yang kuharapakan.
Begitulah kehidupan sekolahku berjalan sampai semester 1 kelas 11 berakhir. Aku datang ke sekolah, belajar seperti biasa, lalu pulang naik angkot bersama teman-temanku dan Andri tentunya. Tidak ada hal spesial yang terjadi selama rentang waktu itu.
Tetapi lain halnya ketika tahun baru tiba. Aku lahir di waktu orang-orang masih menikmati waktu tahun baru. Aku lahir di awal tahun tepatnya pada tanggal 3 Januari.
Aku dan keluargaku yang saat itu bertepatan tidak pergi kemana-mana dikejutkan oleh teman-temanku yang datang untuk merayakan ulang tahunku. Padahal mereka semua mengatakan bahwa mereka sedang berlibur. Hal yang paling menyenangkan adalah Andri ikut bersama mereka.
Saat itu, sahabatku berada di tengah-tengah sambil membawa kue dengan lilin menyala. Betapa senangnya aku. Ulang tahunku yang ke-17 dirayakan.
"Ciee, yang sebentar lagi buat KTP." Iris menggodaku sambil tersenyum genit.
"Iya." Aku hanya membalas singkat.
Kami mengadakan perayaan kecil-kecilan di depan rumahku. Ibuku yang tidak tahu bahwa teman-temanku akan datang harus kerepotan membeli bahan makanan agar ada jamuan untuk menjamu teman-temanku.
"Gita!" Sahabatku tiba-tiba memanggilku dengan suara lantang. Aku langsung keheranan. Ada apa? Padahal aku duduk di sampingnya, mengapa harus memanggilku seperti itu?
Anehnya, saat sahabatku memanggilku dengan lantang, semua teman-teman seangkotku ini langsung membuat ekspresi yang menggelikan. Mereka mencoba menahan senyum mereka.
"Apa?" Aku menyahuti panggilan sahabatku ini.
"Si Andri mau ngomong sama kamu." Sahabatku langsung terkekeh.
Ada apa ini? Apa Andri akan mengatakan bahwa dia punya perasaan kepadaku? Hehe, setidaknya jiwaku yang penuh percaya diri ini yang mengatakannya.
"Kalo dia yang mau ngomong, kenapa kau yang memanggilku?" Aku menatap sahabatku. Dia menjawab dengan menggidikkan bahunya.
"Iya? Mau ngomong samaku?" Aku bertanya dengan sok keren di depan Andri. Padahal jantungku sudah berdetak luar biasa kencang.
Andri hanya mengangguk sebentar. Dia berdiri dari bangku lalu mendekat ke arahku sambil berkata, "Ayo ke sana sebentar." Dia menunjuk ke arah pondok kecil tempat adikku bermain yang ada di depan rumahku.
Aku menurut. Kuikuti langkahnya yang berjalan mendahului diriku.
"Apa?" Tanyaku. Sudah luar biasa rasa penasaranku.
Hening sejenak diantara kami sampai suara Bagas membuat Andri berbicara.
"Cepat bilang woi!"
"Agak malu mengatakannya." Andri menunduk sejenak. Tubuhku yang lebih tinggi dari dirinya terpaksa mundur sedikit agar tidak terlihat perbedaan tinggi badan kami.
"Mau bilang apa memang?" Aku bertanya dengan lembut.
"Aku suka samamu." Andri mengatakannya sambil menatapku. Luar biasa!
Aku terkejut mendengar pengakuannya. Aku menoleh ke arah teman-temanku yang sedang menahan senyum mereka. Mereka sudah tahu?
Sahabatku mengangguk sekali. Aku sudah paham apa maksudnya. Jadi teman-temanku tahu rencana Andri yang ingin mengatakan perasaannya?
"Kalo perasaanmu gimana? Apa kau masih suka samaku?" Andri tidak mengalihkan pandangannya. Dia tetap menatapku. Aku sampai gugup setengah mati.
"Tunggu dulu." Aku menginterupsi.
"Ini betulan?" Aku berusaha memastikan.
"Iya, ini betulan." Andri mengatakannya dengan tegas.
Aku menghela napas. Aku sudah yakin bahwa wajahku pasti sudah memerah.
"JANGAN SALTING, GIT! DIJAWAB!" Sahabatku berteriak diiringi tawa teman-temanku.
"Kau masih suka samaku?" Andri bertanya sekali lagi.
"Iyalah! Kaunya! Dulu aku udah bilang perasaanku. Kau bilang kau masih punya masalah dengan rasa percaya dirimu. Padahal sebulan kemudian kau pacaran sama anak satu sekolahmu. Kau nggak berpikir?" Aku mulai mengomel.
"Maaf, ya? Aku kemarin bertingkah sok. Aku merasa nggak pantas pacaran samamu tahu. Kau pintar. Punya cita-cita, jadi aku nggak mau mengganggu mu. Kupikir pacaran sama orang lain, bisa membuat perasaanku kepadamu menghilang. Ternyata nggak." Andri mengungkapkan perasaannya. Aku hanya diam mendengarkan.
"Waktu aku melihat kau jalan berdua sama temanmu itu, aku nggak suka. Takut malahan. Gimana kalo kau nggak suka lagi samaku? Aku takut." Andri menunduk setelah mengatakan hal itu. Mungkin dia merasa malu? Entahlah.
"Aku benar-benar suka sekali samamu." Andri kembali menatapku.
"Aku tahu ini agak egois. Tapi aku mau mengikatmu. Biar nggak ada lagi yang dekat samamu. Berhubung kita masih sekolah, kita pacaran dulu saja."
"Hah?" Aku melongo mendengarnya.
"Iya. Aku mengajakmu untuk pacaran. Kau mau?"
Aku terdiam sebentar. Wajahku sudah sangat panas. Kutatap wajahnya. Terlihat wajahnya sudah memerah.
"Aku mau." Jawabku sambil mengangguk.
Wajah Andri langsung tersenyum.
Aghh!! Manis sekali!!!
Aku ikut tersenyum melihatnya tersenyum.
"HUYY! SELAMAT!!" Sahabatku berteriak heboh. Mungkin dia sudah tahu apa yang terjadi diantara kami hanya dengan melihat ekspresi wajah kami.
"Mamaku di dalam!" Aku melotot kepada sahabatku.
Semuanya langsung tertawa melihat aku melotot.
"Manis sekali melihat kau waktu lagi mengomel." Andri terkekeh.
Blusssh!! Wajahku langsung memerah.
Itulah salah satu cerita saat aku duduk di bangku SMA. Cerita yang memiliki rasa tersendiri. Ada manisnya, ada pahitnya, dan ada asamnya. Semuanya menjadi kenangan yang akan selalu tersimpan dalam memori dan akan dikenang oleh hati.
●●●●
Spin-off
Kejadian ketika Gita dan Andri saat berada dimasa canggung.
"Eh, lihat itu! Si Gita jalan berdua sama si Juan!" Shela-sahabat Gita menunjuk ke arah Gita dan Juan. Aku lantas ikut menoleh.
Aku tidak tahu bagaimana harus mendeskripsikan perasaanku. Intinya adalah aku sangat tidak suka ketika melihat mereka berdua berjalan. Apalagi saat sadar, tas Gita dibawakan oleh lelaki sok baik itu.
"Jangan begitu menatapnya. Jadi ketahuan deh apa yang ada di dalam hatimu."
Bagas sialan! Mengapa dia harus mengatakan hal tersebut dengan suara keras?! Seluruh penumpang langsung menatapku. Masalahnya adalah para penumpang ini adalah teman-teman Gita.
"Eh Andri! Kau nggak punya hak. Kau udah nyakitin hati si Gita. Untunglah dia mulai nyari pengganti!" Iris melotot kepadaku. Aku langsung menunduk.
Aku ingin melawan perkataannya, tetapi semua perkataannya benar. Aku udah nyakitin hatinya, punya hak apa aku cemburu dia nyari pengganti? Walau sudah tahu akan hal itu, aku tetap saja tidak suka.
Begitu terus menerus. Aku pikir Juan dan Gita hanya jalan bersama kali itu saja. Ternyata terus menerus mereka jalan bersama waktu pulang. Aku ingin sekali berlari dan berjalan di tengah-tengah mereka berdua.
"Nanti aku tanya punya hubungan apa mereka berdua." Bagas menawarkan diri.
Bagas teman baikku! Kau selalu pengertian. "Tanya besok, ya?" Aku langsung menyahut. Terlihat Bagas terkekeh dan aku yakin dia terkekeh karena diriku.
Masalah aku berpacaran dengan anak satu sekolahku, itu benar. Tetapi kami berpacaran hanya satu hari. Bukan pacaran juga namanya. Awalnya aku mengajaknya berpacaran. Kukatakan agar menjalaninya pelan-pelan. Dan dia juga setuju. Eh, malam harinya, dia minta putus karena dia rasa hubungan kami tidak benar. Dia juga suka pada orang lain. Yah, mau tidak mau hubungan kami berakhir begitu saja. Sungguh memalukan. Aku melakukan hal itu demi mencoba sok hebat menghapus rasa sukaku kepada gadis SMA yang menyatakan perasaannya kepadaku.
Tak kusangka, hubunganku dan Gita menjadi sangat canggung. Selang waktu 2 bulan, dia menjadi sangat pendiam. Kucoba meliriknya, dia selalu menatap keluar jendela. Sakit sekali rasanya.
"Aku suka sama si Gita." Akhirnya aku mengakui perasaanku sendiri. Aku mengakuinya di depan teman-teman Gita. Di jam sebelas siang pada hari sabtu dibulan Desember dihari terakhir ujian semester, aku mengakuinya.
"Hah?!" Teman-teman Gita kaget sambil teriak di depanku, sementara Bagas sudah senyum-senyum sendiri.
"Kau seriusan?" Shela bertanya sambil melotot kepadaku. Aku langsung menganggukinya.
"Terus? Kalo suka kau samanya kenapa?" Lena langsung bertanya.
"Aku mau minta izin kepada kalian. Aku mau ngajak si Gita pacaran. Itupun kalo dia mau." Aku menatap teman-teman pujaan hatiku ini dengan berani.
"Oke, gini. Gimana kalau kau nembak dia waktu ulang tahunnya? Kan ulang tahunnya waktu tahun baru." Iris memberi saran.
Dari situlah kami mulai merencakan semuanya. Mulai dari perayaan ulang tahun Gita, hingga bagaimana mengatur untuk aku mengungkapkan perasaanku kepadanya.