Disukai
1
Dilihat
477
Angan Bersama
Drama
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

"Nam, mau coba es krimnya dong, boleh nggak?"

Namira menggeleng, "Hari ini gue lagi pengen banget makan es krim, jadi nggak ada bagi-bagi ya."

Abel memasang wajah kesal, "Ah, pelit lo!"

Namira terkekeh, "Gitu aja ngambek. Yaudah deh, nih, sedikit aja tapi."

Abel segera memakan es krim yang disodorkan oleh Namira lalu iapun tertawa.

"Bercanda! Orang gue nggak ngambek, gue cuma iseng aja."

"Ih, nyebelin lo ya!"

"Hehe, sorry."

Sesampainya di depan gerbang, Namira segera membukanya, mempersilakan Abel masuk terlebih dahulu.

Keduanya beriringan menuju ke dalam rumah.

"Nitip tas ya, mau ke dapur dulu."

Abel mengangguk, mengambil alih tas milik Namira lalu bergegas menaiki beberapa anak tangga.

Ketika sudah di lantai atas, Abel membuka pintu kamar Namira dan duduk di atas permadani.

Sambil menunggu Namira, Abel memutuskan untuk memainkan hpnya.

Tak lama kemudian, Namira datang membawa dua gelas yang sudah terisi air dan toples cemilan yang dihimpit oleh lengannya.

"Kita jadi satu kampus bareng, kan, Bel?"

Abel bergeming, tidak langsung menjawab.

Flashback On

Abel menepuk pundak Namira yang duduk di depannya. Namira pun menoleh ke belakang.

"Nam, besok kan kita isi formulir, gimana kalau kita pilih kampus yang sama? Siapa tau, kita ke terima dan bisa lulus bareng,"

Namira mengangguk, "Boleh-boleh, gue setuju! Nanti kita bisa ngerjain tugas sama pusing skripsi-an bareng."

Abel terkekeh sambil geleng-geleng, "Belum juga kuliah, udah mikirin pusing skripsi-an aja!"

"Kan cuma bayangin aja, siapa tau beneran. Tapi, serius nih, ya? "

"Iyaa, serius!"

Flashback Off

"Bel? Kenapa malah melamun?"

Abel mengerjap sesaat, lalu mengangguk.

"Iya jadi, Nam. Coba deh liat, tinggal berapa menit pengumumannya?"

"Oh iya, sebentar gue ambil laptop dulu."

Usai mengambil, Namira segera membukanya dan mencari website terkait pengumuman seleksi masuk kampus.

"Tiga menit lagi, sekarang kita berdo'a aja yuk, mumpung masih ada waktu."

Usai Abel mengangguk, Namira segera mengangkat kedua tangannya dan mulai memejamkan mata, berdo'a dalam hati. Lain halnya dengan Abel yang terdiam menatap Namira.

"Gue harus gimana? Gue belum siap kalau liat Nami sedih." batin Abel, gundah.

Namira membuka mata lalu melirik Abel.

"Ayo do'a, Bel! Nanti waktunya keburu abis."

"I-iya."

Keduanya pun akhirnya selesai berdo'a.

"Udah satu menit. Semoga aja kita ke terima ya!"

Abel lagi-lagi mengangguk, namun ia berusaha tersenyum agar Namira tidak curiga.

Satu menit pun berlalu, kini hanya tinggal menghitung detik.

Namira menggeleng, "Gue nggak berani, lo aja yang liat ya." ujarnya sembari mengarahkan layar laptop pada Abel.

Abel terbelalak, tak menyangka.

"Nam ..."

"Apa hasilnya?"

"Lo ke terima."

"Hah!" Namira langsung melihat layar laptop. "Ya Allah, Alhamdulillah! Coba cek di akun lo, ke terima juga nggak?"

Abel segera menyalakan hp, membuka website lalu memasukkan akun miliknya.

Usai mengetahui, Abel sontak mematung di tempat.

"Gu-gue ... Sama kayak lo."

Namira mengembus napas lega, "Syukurlah, itu berarti kita beneran jadi satu kampus!"

Abel berusaha melebarkan senyum, namun dalam hati bukanlah bahagia yang di rasakan.

"Kalau gitu gue balik ya,"

"Yah, kenapa buru-buru?"

"Ini mama gue barusan chat suruh pulang, Nam." alibi Abel.

Namira mengangguk, "Yaudah deh."

Abel segera bangkit berdiri sambil memakai tas di punggung, disusul oleh Namira. Keduanya berjalan keluar kamar.

Setelah mengantar Abel sampai ke depan gerbang, Namira kembali masuk ke dalam rumah.

-------

Keesokan hari, tepatnya pukul sepuluh pagi, Namira memutuskan untuk mengajak Abel pergi menonton bioskop.

Namira sudah berpakaian rapih dengan tas selempangnya. Ia mengecek hp, memastikan apakah Abel sudah membalas chatnya atau belum.

Namira lantas berkerut kening, "Tumben dari semalem Abel nggak aktif. Apa aku langsung ke rumahnya aja kali ya?" gumamnya.

Namira akhirnya memutuskan untuk pergi rumah Abel.

-------

Tak butuh waktu lama menuju rumah Abel, sebab jaraknya terbilang cukup dekat hanya beda dua blok saja.

Namira mulai mengetuk pintu.

"Assalamu'alaikum, Abel!"

Tidak ada jawaban. Namira kembali mengetuk lagi.

"Assalamualaikum!"

"Waalaikumsalam."

Seorang wanita paruh baya berjilbab membuka pintu dan tersenyum pada Namira.

Namira segera menyalami tangan wanita paruh baya tersebut.

"Abel ada nggak, tante?"

"Abelnya lagi pergi, Nam,"

"Oh, yaudah deh kalau gitu aku pamit pulang aja ya tante."

Namira berbalik hendak bergegas pergi.

"Nami, tunggu! Ada yang mau tante omongin,"

Namira menoleh, kembali menghadapinya.

"Mau omongin apa, tante?"

Wanita paruh baya itupun mendekati Namira.

"Sebelumnya, tante minta maaf sekali karena udah merahasiakan satu hal penting ke kamu. Abel dan ayahnya sekarang lagi pergi ke stasiun untuk ke Yogyakarta mengurus berkas di terimanya beasiswa dia di salah satu kampus di sana,"

Namira terperangah, terkejut mendengarnya.

"Bukan kemauan tante untuk rahasiakan, karena mau bagaimanapun juga kamu sahabatnya. Tapi Abel sendiri yang meminta, karena nggak ingin liat kamu sedih."

"Apa alasan Abel kuliah di luar kota, tante?"

"Kamu tau sendiri, Abel hobi sekali menulis dan jurusannya yang dipilih sesuai. Awalnya tante dan ayahnya nggak setuju, tapi setelah di yakinkan berkali-kali dan dia bersikeras, akhirnya kami mengiyakan."

"Jadwal keretanya jam berapa, tante?"

"Sekitar empat puluh menit lagi, kamu mau susul?"

Namira mengangguk segera menyalami kembali tangan wanita paruh baya tersebut.

"Aku pamit dulu ya, tante, Assalamu'alaikum."

"Waalaikumsalam, hati-hati ya!"

-------

Namira segera memberi uang pada supir ojek online kemudian buru-buru menaiki anak tangga.

Sesampainya di atas, Namira berlari sembari celingukan kesana-kemari.

Tepat tak jauh dari gate, Namira melihat keberadaan Abel dan ayahnya. Iapun langsung berlari menghampiri.

"Abel!"

Abel dan ayahnya yang hendak masuk sontak menoleh ke belakang.

"Tuh, ayah sama ibu udah bilang cepat atau lambat Nami akan tau. Kamu temuin dulu gih, ayah tunggu di dalam, jangan lama-lama ya."

"Iya, yah."

Usai Abel mendekat, Namira langsung memukul lengan Abel.

"Kenapa dari awal lo nggak jujur sama gue, sih?"

Abel menurunkan tatapan sembari mengusap lengannya, merasa bersalah.

"Sebenarnya gue mau bilang waktu di rumah lo, tapi ternyata gue masih belum siap."

"Bener-bener lo ya, parah banget."

Melihat raut wajah Namira terlihat marah, hal itu membuat Abel semakin panik.

"Gu-gue mohon jangan marah. Gue bilang ke ayah gue sekarang ya, biar gue nggak jadi kuliah di sana dan tetep bar-"

"Lo udah rahasiakan ini semua dari gue, sekarang mau relain impian lo gitu aja?" potong Namira kembali menatap Abel.

Abel mengerjap, "Maksudnya?"

Air mata Namira mulai menetes, "Jangan pernah korbanin apa yang mau lo raih buat masa depan lo, meskipun demi sahabat lo sendiri. Gue terima dan dukung kok, keputusan lo kuliah di sana."

"Tapi, kan gue yang ngajak buat satu kampus bareng. Maafin gue, Nam, nggak bisa nepatin omongan."

"Gapapa, gue ngerti. Pas gue tau dari mama lo ada rasa marah dalam diri gue, tapi setelah dipikir-pikir lagi, lo berhak sepenuhnya atas semua itu."

Abel tersenyum diiringi dengan air mata yang menetes, ia segera memeluk Namira.

"Makasih banyak ya."

Namira mengangguk, melepas pelukan seraya menghapus air matanya yang baru saja menetes.

Abel melihat hpnya yang baru saja bergetar.

"Ayah gue udah ngabarin, gue di suruh ke sana."

"Yaudah, sekarang lo ke sana dan cepet selesain urusan berkas di kampus baru lo. Pokoknya pas lo balik lagi ke sini, kita harus quality time terus sebelum kita bener-bener pisah."

Abel tersenyum seraya mengangguk.

"Iya pasti! Walaupun nanti kita pisah, gue dan lo tetap jadi sahabat sampai kapanpun."

"Janji?"

"Iyaa janji. Kalau gitu gue pamit ya."

Namira mengangguk, melambaikan tangannya, begitupun dengan Abel.

"Hati-hati!"

Perlahan Abel mulai menghilang dari pandangan, seiring dengan lambaian tangan Namira yang berhenti.

"Akan dipisahkan jarak dengan sahabat sendiri, rasanya sulit memang. Meski tak terwujud untuk terus bersama dan hanya menjadi angan-angan saja, tapi, aku rasa memang sudah saatnya kita berdua berpisah demi mengejar impian dan cita-cita." batin Namira, tanpa sadar meneteskan air mata.

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Drama
Rekomendasi