Disukai
0
Dilihat
65
Anak Siapa Kau?
Sejarah
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

“Ayolah, Bung! Mengapa kau selalu membiarkan markas ini begitu berantakan? Sesekali bergeraklah sedikit dan bereskan beberapa barang.”

Aji tak tahu mengapa dia bergabung dengan pasukan Saka, bahkan hingga menjabat wakil komandan. Sang pemimpinnya itu adalah yang paling muda di antara para orang lain berjabatan setara, tetapi sayang dia pula satu-satunya yang bertingkah kelewatan seenak sendiri.

Entah sudah berapa kali Aji mengeluh menyesal, seharusnya dia menghabiskan masa remaja dengan berada di bawah bimbingan orang hebat dan berlatih setiap hari untuk menjadi prajurit yang hebat, bukan malah sebagai tukang suruh dari seorang pria pengangguran tak tahu malu.

Namun, tiap kali pertempuran pecah dan Aji berlari di belakang Saka, dia selalu langsung mengetahui alasannya. Saka berbeda dibandingkan pejuang-pejuang lain. Dia bukan hanya mengerahkan tenaga, tetapi segalanya; seakan-akan dia tak pernah peduli akan nyawanya dan akan terus berlari maju untuk menghabisi lawan satu per satu. Ajaibnya lagi, pria yang begitu ceroboh dalam pertempuran itu, masih bertahan hidup hingga sekarang.

Aji memang tak bisa mengelak bahwa kemampuan dan intuisi Saka dalam pertempuran memang luar biasa.

“Aku membereskan barang-barang di markas kok ... dengan sepenuh hatiku yang bersih, suci, dan gemerlap bagai—”

“Dusta sekali.”

Saka, prajurit andalan bangsa Indonesia. Dia telah bergabung dengan pasukan pejuang kemerdekaan sejak masih belia, bocah yang begitu berani dan kuat. Lahir di tengah perang.

Pusat karesidenan wilayahnya semula aman dan memang jauh dari titik yang kerap terjadi pertempuran. Namun, gempuran Belanda tiba-tiba datang.

Peristiwa itu terjadi tak lama sebelum Saka lahir. Kemudian, hanya berselang sekian tahun, kedua orang tuanya tiba-tiba menghilang.

Kantor karesidenan, sekaligus tempat tinggal Saka—yang saat itu hanya hidup bersama sang kakek, perlahan menjadi pusat pertempuran dan hancur sepenuhnya. Alhasil, Saka harus pergi entah ke mana. Dia setidaknya masih bersama sang kakek hingga menginjak usia enam tahun; lagi-lagi bukan waktu yang lama.

 Saka kemudian harus bertahan hidup sendiri di tengah pertempuran tiada henti. Dia berlindung di segala tempat yang ditemukan. Saka hidup ke sana kemari, mendapatkan makanan dan orang-orang acak yang kebetulan melihat dan kasihan atau terkadang mencari-cari di sembarang tempat.

Namun, dia tak peduli dengan itu semua. Saka tumbuh menjadi seorang pejuang. Bagi Saka, bambu runcing adalah mainan dan medan pertempuran sudah bagai taman bermain. Ketika anak-anak lain masih berlindung di dalam rumah dan dalam dekapan kedua orang tua, Saka sudah turun ke medan perang. Bahkan, tak jarang, ketika para bocah seumurannya itu tak lagi menemukan tempat aman lagi, Saka akan menjadi tameng mereka dan maju untuk melawan para Belanda.

Satu-satunya hal yang dipikirkan Saka hanyalah membasmi para penjajah, bukan yang lain. “Aku anak bumiputera!” Kalimat itu selalu diteriakkannya dengan bangga—dan dia membenci para penjajah dan sekutu-sekutunya yang telah membuatnya hidup penuh siksaan.

Saka ingin mengambil kembali keresidenan penuh kebanggaan milik keluarganya yang telah direbut oleh Belanda. Saka tahu karesidenan juga dibentuk oleh pemerintahan Belanda. Namun, setidaknya, di tempat kecil itu, sang residen masih memiliki sedikit wewenang untuk mengatur wilayah—dan Saka yakin dirinya akan menjadi pemimpin yang tepat.

Kini, diam-diam pasukan Saka menjadi yang paling dihindari oleh para penjajah, meski tak seterkenal pasukan-pasukan lain yang selalu begitu tangguh dan ramai menjadi pembicaraan di mana-mana.

Ketika pasukan lain maju ke garis depan, pasukan Saka akan memutar untuk mengejutkan lawan dari belakang. Dia tak pernah gentar mau seberapa berisiko peran tersebut. Bahkan ketika kali ini Aji sedikit lengah dan berhasil ditangkap oleh lawan.

Laras senapan mengarah lurus ke kepala lelaki itu dan dengan cepat bambu runcing Saka menyusul diangkat lurus ke leher si Belanda itu.

“Kau pimpinan mereka, bukan? Perintahkan seluruh anak buahmu untuk mundur. Ini peringatan.”

Belanda itu terdiam, sungguh pemandangan yang biasa bagi Saka. Namun, kemudian, dia mengangkat alis miris. “Oh, Saka … begitu arogan dirimu. Bukankah ini sudah saatnya untuk berhenti berakting?”

Saka tak suka membuang waktu. Dia mengabaikan ocehan itu dan mulai mendorong bambu runcing lebih mendekat ke lehernya, tetapi tiba-tiba berhenti saat orang tersebut melanjutkan, “Kau hanyalah pion persembahan.”

Tatapan Saka yang hanya fokus kepada ujung bambu runcing, bergeser ke muka Belanda itu dengan sorot tak suka.

“Keduanya, terutama ayahmu, Bapak Residen—atau mungkin sekarang lebih tepatnya disebut sebagai mantan … adalah yang membantu kami untuk menduduki wilayah ini. Dia membocorkan segala macam pergerakan para pejuang Indonesia sehingga kami dapat dengan mudah mendesak mundur mereka.” 

Wajah muak Saka begitu kentara, dia kembali menatap bambu runcing di dekat leher orang itu. “Cukupilah bualan tak bergunamu—”

“Kau kira alasan apa lagi yang memungkinkan ketika adalah anak delapan tahun lolos dari belasan pertempuran melawan ratusan orang dewasa,” katanya yang membuat Saka mulai mematung. “Saka, tak pernahkah kau memikirkan itu?”

Saka sungguh tak ingin mengakui, tetapi dia tak bisa bergerak saat ini. Ketakutan menguasainya? Terhadap orang Belanda menyebalkan di depannya itu? Bukan, melainkan kepada dirinya sendiri—rasa yang berusaha keras ingin dia pendam setengah mati.

Lalu, sebelum Saka cukup bisa berpikir jernih, suara pelatuk yang ditarik menggema di telinga dan sebuah peluru telah menembus perutnya. Saka berjengit, bambu runcing di tangan jatuh begitu saja.

"Gak mungkin …," hanya itu yang dapat dikatakan, pun dengan sangat lirih. Tubuhnya ikut runtuh, bersangga di atas lutut, seraya dengan ringkih merasakan darah yang mulai membasahi habis-habisan; termasuk tanah yang begitu dicintai Saka, ikut menjadi kotor karenanya.

“Bung Saka!” Aji histeris, masih terkunci oleh lengan si Belanda yang melingkar tangan di lehernya.

Orang Belanda itu kemudian melepaskan Aji, tetapi hanya untuk mendorongnya, kemudian menembak paha dan lengan atas lelaki itu. Membiarkan menggeliat kesakitan di sana, sedangkan dia setengah berjongkok untuk mencapai kepala Saka dan menjambak rambutnya.

"Tiada yang tak mungkin. Kau sesungguhnya memahami 'kan …,” dia makin mendesak, kemudian membisik, “We houden van je, lieve zoon.”

"Aku sama sekali tak tertarik dengan bahasa kalian!” Dia masih bisa tegas, meski suara merintih.

“Saka …,” kata pria itu lagi, “Jij bent hun slaaf."

Dia terbelalak. "Tidak …," rintih Saka, walau memang seketika merasakan sesuatu yang lapuk kembali ke hati; dia tak sepenuhnya lupa, lantas ucapan pria Belanda itu membuat ingatan asli Saka mengenai kalimat tersebut kembali ke permukaan. Seakan-akan menjadi begitu segar, jelas, lantang, akan siapa yang mengatakannya.

“Itu semua adalah kata-kata terakhir ibumu sebelum meninggalkanmu.”

Saka begitu menyedihkan. Mukanya yang selalu ganas tiap kali berada di pertempuran, hilang entah ke mana. Belanda itu melepaskan genggaman dari rambutnya dan seketika kepala Saka menghantam tanah begitu saja. Dia sudah tak memiliki sisa tenaga, apalagi jiwa.

Belanda itu kembali berdiri gerak, tepat di depan Saka. Memandang rendah. “Kau tahu, sebagai ganti atas apa yang dilakukan … orang itu melarang kami untuk melukaimu. Ah, sungguh permintaan merepotkan.” Dia mengangkat senapan rendah, lurus ke arah bawah, kepada Saka. Lantas bergumam singkat, sebelum menarik pelatuk, “Setelah mereka tiada, akhirnya kami bebas. Saka, kau sesungguhnya … bukanlah siapa-siapa.”

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Sejarah
Rekomendasi