Disukai
0
Dilihat
148
Anak Kebanggaan
Slice of Life
Cerpen ini masih diperiksa oleh kurator

Bila cahaya lampu mulai menerangi rumah-rumah kami, seorang perempuan dipastikan akan keluar dari rumah kontrakannya. Ditemani sebuah bakul yang terlilit selendang pada punggungnya, ia biasa berjalan menelusuri gang sempit. Pada trotoar jalan di depan gedung penggadaian, di sanalah perempuan tua yang masih terlihat sehat itu menghentikan langkah untuk menggelar dagangannya. Hingga malam menjelang tandas, ia akan tetap menyalakan anglo demi melayani pelanggannya.

 Mak Ining, demikian kami biasa memanggil perempuan tua itu. Ia adalah tetangga kami yang berprofesi sebagai pedagang kue serabi. Ia lama hidup menjanda. Suaminya meninggalkan dirinya ketika Atan, anak satu-satunya masih berusia balita. Beruntung, Mak Ining bukan manusia bermental kerupuk yang langsung melempem begitu tersiram air. Jiwanya tangguh dalam membanting tulang demi kehidupan anaknya.

 “Emak memang bukan pegawai kantoran. Tapi, Emak mampu menyekolahkan Atan hingga bergelar sarjana hukum dari jualan kue serabi.”

 Bisa dikatakan hampir setiap hari kami harus menyimak pengakuan membanggakan dari Mak Ining. Sejujurnya, kami meragukan pengakuannya itu. Berapa sih uang yang bisa ia kumpulkan dari menjual kue serabi? Kami mengakui, pelanggan kue serabi Mak Ining memang cukup banyak. Hanya saja apakah itu mampu sepadan dengan tingginya biaya kuliah anaknya?

 “Sekarang Atan telah menjadi orang di Jakarta. Rumahnya mentereng sekali. Kemana pun Atan pergi, seorang supir akan siap mengantarkannya. Istrinya cantik seperti artis. Kalau berlibur, Atan biasa mengajak istrinya jalan-jalan ke luar negeri.”

 Kalau bukan mengingat usia, rasanya kami muak dengan bualan Mak Ining yang semakin hari semakin melantur saja. Adalah menjadi hak Mak Ining untuk menyanjung-nyanjung kesuksesan anaknya, namun semestinya ia harus mau bercermin dengan kondisinya saat ini. Ia terlalu hidup dalam kesederhanaan. Terlebih, Mak Ining belum pernah sekali pun memamerkan bukti kesuksesan anaknya semisal foto.

Kami berpendapat, andai benar anaknya sesukses seperti yang diceritakannya, tentu Mak Ining tak akan dibiarkan selamanya hidup bersiram peluh. Ia pasti akan diminta untuk tinggal bersama anaknya, dan hidup berleha-leha di usia tua. Anehnya, Mak Ining selalu menampik pendapat kami dengan pernyataan, “Emak tak mau jadi benalu anak!”

Entah apa yang mesti kami sematkan untuk Mak Ining. Apakah kami harus kagum, atau kasihan kepadanya. Kagum, karena Mak Ining adalah manusia merdeka. Di usia senjanya ia bebas menentukan arah hidup tanpa bergantung pada orang lain. Kasihan, karena dengan uban yang telah memutihkan hampir keseluruhan rambutnya, Mak Ining semestinya tinggal bersikap layaknya bejana yang menampung curahan bakti sang anak.

Mak Ining belum terlalu lama berada di lingkungan kami. Baru tujuh tahun yang lalu ia menempati sebuah rumah kontrakan. Selama itu pula kami tak sekali pun pernah melihat keberadaan Atan di rumah kontrakannya. Bagi kami, itu adalah hal yang keterlaluan. Tak patut seorang anak membiarkan sang ibu yang telah menua hidup dalam kesendirian.

Pandangan miring kami akan Atan rupanya tercium Mak Ining. Ia lalu menjadi rutin membela Atan. Katanya, Atan itu bukannya tak mau peduli akan dirinya, tetapi hidupnya kelewat sibuk. Atan sangat kesulitan mencari-cari waktu senggang.  

“Asal kalian tahu, justru Emak yang selalu melarang Atan untuk datang kemari. Emak tak mau merepotkannya. Emak tak terlalu butuh bakti Atan.”

Di mata kami, prinsip hidup Mak Ining adalah cermin keangkuhan. Tiada hal yang paling membahagiakan semua orangtua selain menerima bakti seorang anak. Mak Ining lupa kalau semua hal di dunia akan terbatas oleh usia. Pun dengan kemandirian hidupnya. Sayangnya, itu terlalu cepat terbukti.

Tidak seperti biasanya, hingga siang ini pintu dan gorden jendela rumah kontrakannya masih tertutup rapat. Kami menyakini kalau Mak Ining tidak berpergian ke luar rumah. Kami yang curiga kemudian memanggil-manggil Mak Ining meski belum berbalas respon. Atas inisiatif Pak RT, kami dimintakan mendobrak pintu. Di dalam rumah, kami menemukan Mak Ining tengah tergeletak di lantai.

Seketika kami semua panik. Selain tak sadar, sekujur tubuh Mak Ining seakan membara. Panas sekali. Dengan berbagai cara kami berusaha untuk menyadarkan kembali Mak Ining. Usaha kami berhasil. Mak Ining akhirnya siuman.

Dengan suara yang bergetar, Mak Ining bercerita kalau sejak kemarin malam ia merasakan demam. Ketika bangun pagi, Mak Ining melihat dunia berputar-putar. Mak Ining tak mampu lagi menopang kesadarannya. Ia selanjutnya memilih untuk tak sadarkan diri.

Melihat kondisi Mak Ining yang semakin melemah, Pak RT memutuskan agar segera membawa Mak Ining ke rumah sakit.

“Jangan bawa Emak ke rumah sakit, itu tempatnya orang mati! Percayalah, Emak cuma masuk angin, sebentar lagi pasti akan sembuh sendiri!”

Tentu kami tak mungkin memenuhi keinginan Mak Ining. Kami tahu kalau ia tadi pingsan bukan karena masuk angin. Penyakit Mak Ining kemungkinan besar cukup serius. Kami tak mau mengambil resiko. Ia harus secepatnya dibawa ke rumah sakit apa pun caranya. Sebelumnya, menjadi satu kewajiban agar kami mengabarkan kondisi Mak Ining pada anaknya terlebih dahulu.

“Atan tidak boleh dipaksa menengok Emak! Kan sudah berkali-kali Emak katakan, Emak tak mau merepotkan Atan!”

Janggal sekali orang tua yang satu ini. Bukannya senang dengan kehadiran anak di kala sakit, ia malah sewot sewaktu kami meminta nomer telepon Atan. Meski begitu, kami akan tetap berusaha untuk bisa menghubungi Atan.

Tiada di antara kami yang mengetahui nomor telepon, dan alamat tinggal Atan. Namun, kami yakin kalau Mak Ining menyimpan catatan keberadaan Atan. Kami harus mencarinya. Dugaan kami terbukti. Pada sebuah kalender usang yang masih menempel di dinding, kami menemukan catatan berupa deretan nomor yang dilingkari. Tak salah lagi, itulah nomer telepon yang tengah kami cari-cari karena nama Atan tertulis di sana.

***

Atas permintaan Atan sendiri lewat telepon, kami membawa Mak Ining ke rumah sakit dengan sedikit paksaan. Hingga kini sudah empat hari Mak Ining berada di rumah sakit. Mak ining terkena deman berdarah yang memaksanya menjalani rawat inap. Selama berada di rumah sakit, kami selalu bergantian menengoknya. Kepada kami, Mak Ining terus merengek-rengek minta pulang. Ia mengaku ketakutan berada di rumah sakit.

"Di sini, kematian begitu bebas berlalu-lalang. Kematian selalu menunjuk-nunjuk Emak. Katanya, Emak adalah giliran selanjutnya. Kalian harus cepat bawa pulang Emak! Semakin lama di sini, semakin dekat Emak dengan mati.”

Sejak awal kami mengerti kalau Mak Ining terlalu paranoid akan rumah sakit. Apalagi orang sakit memang banyak yang berpikir aneh-aneh. Jadi, kami tak perlu mengindahkan permohonannya. Kami sekarang malah bisa menghela lega. Kesehatan Mak Ining semakin membaik. Walaupun tubuhnya masih lemah, tapi roman mukanya terlihat segar. Dokter, bahkan mengatakan kalau Mak Ining boleh pulang dua hari lagi.

Tiba-tiba kami dikejutkan oleh kedatangan seseorang yang memperkenalkan dirinya sebagai Atan. Bukan kami saja, Mak Ining malah jauh lebih terperangah akan kehadiran pria itu. Selanjutnya, terjadilah adegan yang mengharubirukan ruang rawat inap Mak Ining. Pria yang bernama Atan itu kemudian merangkul Mak Ining beserta tangis yang membucah. Seakan sedang memerankan tokoh anak durhaka yang baru tobat, pria itu tegas sekali memohon-mohon maaf atas ketidakpeduliannya selama ini. Tak mau kalah, Mak Ining pun menyahutnya dengan histeris. Ia seperti bertemu kembali dengan anak yang bangkit dari kematian.

Kami menjadi bingung sendiri. Dari parade air mata yang tengah kami saksikan, jelas sekali kalau Mak Ining sesungguhnya menyimpan kerinduan mendalam terhadap anak satu-satunya itu. Lantas, mengapa ia selama ini malah selalu menutupinya?

Pada akhirnya kami dapat melihat sosok Atan yang teramat sering disanjung-sanjung Mak Ining. Melihat kemewahan yang dibawa Atan, kami terpaksa malu sendiri. Mak Ining tidak berbual. Atan yang berpenampilan serba parlente memang layak menjadi anak kebanggaannya.

Berdasarkan pengakuan Atan, sudah sebelas tahun mereka tak bersua. Kami ternganga. Selama itukah seorang pria sukses tega membiarkan sang ibu dalam kesendirian? Ingin rasanya kami langsung menegur Atan. Tapi, rasanya kurang tepat waktu bila kami melakukannya sekarang. Kami tak mau menganggu kerinduan seorang ibu terhadap anaknya. Lebih baik kami memilih pulang ke rumah masing-masing.

Ketika malam hendak memapah kami ke peraduan, tiba-tiba Pak RT yang mendatangi satu demi satu rumah kami mengabarkan berita menghentak.

Innalillahi wa innallilahi rojiom, Mak Ining telah meninggal dunia.”

Kami terperanjat. Mak Ining meninggal? Lelocon yang keterlaluan garing dan tak patut dari seorang pemuka masyarakat. Bukankah baru siang tadi kami melihat Mak Ining begitu bahagia. Kami, bahkan belum pernah melihatnya sebahagia itu.

“Bagaimana ceritanya hingga Pak RT tega mengabarkan Mak Ining telah meninggal?

“Saya tadi dihubungi pihak rumah sakit, Mak Ining terkena serangan jantung.”

“Mohon Pak RT berhenti bercanda! Kemarin Dokter sempat mengatakan kalau jantung Mak Ining sama sekali tidak bermasalah.”

“Itu benar, tapi masalahnya, Mak Ining terkena serangan jantung akut saat melihat Atan disergap polisi di rumah sakit.”

“Apa...?” teriak kami nyaris berbarengan.

“Atan itu buronan polisi selama bertahun-tahun. Atan ternyata gembong narkoba.”

Kami enggan mencercar Pak RT lagi. Sekujur tubuh kami keburu lemas. 

 ooo

Suka
Favorit
Bagikan
Anda harus login atau daftar untuk mengirimkan komentar
Tidak ada komentar
Rekomendasi dari Slice of Life
Rekomendasi