Raisa mengusap-usapkan tangan ke tisu setelah pembantu tua itu mengajak salaman suaminya, Andi, dan dia. Raisa bersungut sungut melihat Andi begitu akrab dengan nenek tua itu.
"Mas," bisiknya menahan emosi, "kapan pulangnya?" tanya Raisa.
Andi meletakkan jari telunjuk di bibirnya, menyuruh Raisa diam. Raisa menyesal kenapa dia mesti ikut ke rumah asisten rumah tangga idola Andi. Sudah rumahnya jauh, jalan berliku-liku, rumahnya jelek, kotor, dan mereka akan ditumpangi anak nenek --yang dipanggil Andi emak-- kembali ke Jakarta dan bekerja di perusahaan Andi. Aduh, yang bener saja, memangnya mereka lembaga sosial?
"Terima kasih sekali, ya, Den Andi mau njemput Atika sekalian," kata emak dengan wajah berbunga-bunga, "sekali lagi makasih, ya Den, sama Neng."
Raisa menjengit dia mencebik marah. Dia mendengarkan setengah hati cerita nenek itu tentang bagaimana Andi dititipkan padanya dan kemudian sang nenek menjadi asisten rumah tangga Andi di kota. Raisa tetap merasa jengkel dan tidak ikhlash dengan kunjungan mereka ke rumah nenek peyot itu. Raida mendengkus, kalau saja Andi tidak menerima telepon dari bosnya malam itu, pastilah mereka tidak akan bersusah payah ke rumah reyot di desa ini. Huh.
"Kalau begitu Kami berangkat sekarang saja, Mak, takut macet," kata Andi. Raisa bernapas lega, akhirnya dia pergi juga dari rumah usang bau kambing ini, huuuh padahal dia sudah susah-susah ke salon tadi pagi.
"Eh, jangan pergi dulu. Makan dulu, Den. Emak sudah masak sayur asem sama goreng ikan asin sama sambel terasi kesukaan Den Andi," kata emak, "sambil nunggu Tika juga... Ayo, Den," kata emak Sambil menggamit lengan Andi. Raisa mencelos, dia marah sekali, karena suaminya dengan suka cita mengikuti ajakan emak peyot itu, Andi cuma melambaikan tangan, mengajak Raisa ikut ke dalam.
Raisa merasa sangat terhina, ternyata mereka tidak memiliki ruang makan, mereka meletakkan bakul nasi, piring lauk, mangkuk sayur, piring, sendok, gelas-gelas dan kendi di atas tikar yang digelar di lantai ... haduuuh.
"Ayo, Neng Raisa, mumpung masih hangat," kata emak, sambil mengambilkan nasi ke dalam piring.
"Sudah, Mak, jangan banyak-banyak," kata Raisa, dia merasa tidak selera makan lagi melihat penataan ruang yang sepertinya kurang estetis menurut Raisa. Emak tertawa, dia tidak memedulikan protesan Raisa dan memberikan porsi besar pada wanita langsing itu. Andi pun terkekeh-kekeh melihat wajah Raisa yang ditekuk menerima piring dari Emak.
"Udah, nggak papa. Sekali-kali makan banyak," kata suaminya, "sayur asem Emak ini paling enak sedunia, apalagi sambelnya, waaah, semua makanan di dunia ini lewat. Makanan favoritku sepanjang masa. Nanti kamu minta resep sambelnya sama Emak, ya," kata Andi dengan wajah semringah. Raisa cemberut mendengar ucapan suaminya, tetapi dalam hati Raisa mulai merasa gamang, karena memang aroma sayur asem dan semua pelengkapnya di depan Raisa memang menggoda sekali. Raisa khawatir dia akan ketagihan masakan Emak, seperti cerita Andi tadi.
Tetapi setelah suapan pertama, Raisa merasakan kenikmatan tak terkira. Serupa masakan restoran yang biasa dikunjunginya. Lezat tak terkira. Sayur asemnya enak sekali, benar-benar rasa sayur asemnya seperti di restoran mahal yang pernah dikunjungi Raisa. Apalagi sambelnya yang gurih alami. Pedas, tetapi nagih, membuat Raissa ingin terus memakan sambal terasi buatan wanita setengah baya itu. Wah, Raisa tak bisa menahan tangannya untuk mengambil terus sambal yang disajukan langsung di atas cobek itu. Ah, nikmat sekali, sampai Raisa tidak menyadari Andi dan Emak tertawa melihat tingkahnya lucu itu.
Dalam sekejap nasi di piring Raisa raib dan berpindah ke perut Raisa yang datar. Raisa gengsi untuk mengakui bahwa dia ingin sekali menambah, dia malu mau mengambil nasi lagi, untunglah emak cukup pengertian dan bertanya dengan sopan.
"Mau nambah, Neng? Sini Emak ambilin," kata Emak dengan ceria.
Dengan tersipu-sipu Raisa mengangguk. Raisa terkejut ketika melihat Andi tertawa terbahak-bahak.
"Raisa... Raisa... tidak usah sok kota di sini, ini dulu juga tempatku bermain, dulu aku juga orang desa. Enak, kan masakan Emak?" tanya Andi geli. Raisa memerah pipinya karena sangat malu, dia mengangguk.
"Iya, Mas, enak sekali. Hampir sama seperti masakan di Saung Bandung langgan kita, ya, Mas," jawab Raisa sopan dan dengan pipi merona malu.
Andi menghela napas lega, kalimat itu adalah kalimat pertama yang terdengar sopan dari mulut Raisa, karena dari tadi Raisa hanya mendengus, cemberut dan menggerutu saja.
"Ya, iya, lah. Emak kan, dulu pernah kerja di kota. Jadi chef di Saung Bandung, iya, kan, Mak?" Andi terkekeh geli melihat mata Raisa yang membeliak kaget.
"Wah, benarkah? Tak heran makanannya rasanya enak sekali dan benar-benar nagih," kata Raisa dengan bersungguh-sungguh, sekarang dia sudah tidak gengsi lagi mengakui kalau rasa masakan Emak memang luar biasa.
"Halah, Den Andu, itu, kan dulu. Dulu banget malahan," kata Emak dengan malu, "tetapi Alhamdulillah kalau Eneng suka. Emak jadi bahagia," kata emak semringah. Emak tersenyum bahagia. Raisa dan Andi pun ikut tersenyum, tertular senyum emak yang terlihat sangat bahagia.
"Wah, ada apa, nih? Ramai sekali." Suara itu menengahi keceriaan makan siang Raisa dan Andi.
"Tika, Apa kabar, Tik?" Andi bangkit dan menyalami seorang wanita yang baru saja keluar dari kamar di belakang Raisa.
Raisa berhenti makan. Nasi yang ditelannya seperti menyangkut di tenggorokan. Dia pernah mendengar suara itu di tempat yang lain.
"Neng Raisa ini anak Emak, Neng, namanya Atika. Teman Den Andi waktu masih kecil. Dulu kan, Den Andi sering dititipkan di sini. Jadi, ya, mereka berdua selalu bermain bersama," kata emak sambil berdiri.
Jantung Raisa berdegup kencang, dengan terpaksa dia juga ikut berdiri dan memandang ke arah sumber suara. Tubuhnya gemetaran karena dia tahu siapa yang datang. Tetapi ketika Raisa memandang si pemilik suara, di tetap saja merasa terkejut dan syok. Raisa melihat wanita cantik yang memakai kemeja dan jilbab putih sederhana. Wanita itu tampak ceria dan sangat ramah dengan senyuman lebarnya.
"Lho ..." seru Atika. Dia juga terkejut melihat Raisa.
"Bu Atika," sapa Raisa canggung.
"Kok, kamu di sini, Sa? Eh, kamu istrinya Andi, ya?" tanya Atika lagi.
"Eh, iya, Bu," jawab Raisa gugup. Dia panas dingin sekaligus gugup dan takut
Selanjutnya Raisa tidak mampu lagi mendengar penjelasan Atika kepada Andi bahwa dulu Raisa adalah mahasiswa yang pernah diajar Atika. Raisa tidak tahu apakah Atika menceritakan kepada Andi bahwa dia adalah mahasiswa paling bodoh, tukang cela, sombong dan ngeyel di kelas. Raisa semakin pening ketika mengingat dia dulu harus drop out dari kuliah karena nilai yang sangat rendah.
Pandangan Raisa mulai gelap ketika menyadari bahwa dulu Raisa pernah bercerita pada Andi bahwa dia kuliah di Amerika.
****